Oleh: Ali Topan
DS
“Hadiahnya sebanding dengan resikonya. Itulah hukum kehidupan” demikian ungkapan Robert Antony. KPK
tak henti-henti menangkap “penjahat berdasi” negara ini. Paling anyar adalah penangkapan Akil Muhtar,
ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Kejadian yang sangat memalukan bagi institusi
penagak hukum seperti MK. Tentu saja penangkapan ini menambah menjadi catatan
buram penegak hukum.
Akil
ditangkap tangan oleh penyidik KPK bersama Choirun Nisa (Anggota DPR F-Golkar)
dan Kornelis (Seorang Pengusaha). Tidak lama, KPK juga menangkap Bupati Gunung
Mas Kalimantan Tengah Hambit Bintih dan seorang swasta berinisial HD di sebuah
Hotel. Diduga, mereka melakukan suap kepada Akil berkaitan dengan kasus pilkada
Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Mereka akan menjalani pemeriksaan di
KPK. Sebagai barang bukti, KPK menyita uang yang jumlahnya mencapai 2 miliar
dalam bentuk dollar Singapura dan Amerika.
Penangkapan
Akil sontak menjadi perhatian khalayak ramai. Hal ini dikarenakan jabatan sebagai
ketua MK. Beberapa tokoh sempat kaget dengan penangkapan Akil. Mahfud MD mantan
ketua MK, ia mengaku terkaget mendengar berita penangkapan Akil. Mantan ketua
MK lainnya, Jimly Asshidiqi juga mengungkapkan kekecewaan dan kesedihan atas
penangkapan Akil. Ia bahkan menyarankan agar Akil dihukum mati meski tidak ada
UU yang mengatur hal itu. Komentar lain juga disampaikan oleh ketua KPK,
Abraham Samad yang sepakat dengan Jimly untuk menerapkan hukum mati bagi Akil.
Kecurigaan
bahwa aparat penegak hukum dianggap tidak adil terlihat dari berbagai
penanganan kasus yang merugikan rakyat miskin, “si lemah”. Catatan mengenai
hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas benar terbukti dalam konteks saat ini. Hakim
yang sebenarnya bukanlah hakim yang memimpin sidang. Tetapi hakim saat ini
adalah uang. Masih lekat dalam ingatan kita, saat aparat penegak hukum
memenjarakan seorang nenek karena nyolong
biji kopi. Sementara “penjahat berdasi” dengan uang banyak yang ia punyai, masih
bisa tawar menawar meringankan hukuman.
Korupsi
serta suap terhadap aparat penegak hukum adalah bukti kegagalan hukum itu
sendiri. Hal ini kemudian dikuatkan dengan bukti adanya “hukum transaksional”. Pengangkatan
hakim ditransaksikan; penyelesaian sengketa pemilu ditransaksikan; penyelesaian
sengketa tanah ditransaksikan serta banyak lagi kasus hukum yang
penyelesaiannya dengan transaksi. Hukum seakan dapat diperjualbelikan. Siapapun
yang terlibat dalam transaksi-transaksi hukum, harus sedia menerima resikonya.
Melalui
pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa penangkapan KPK terhadap ketua MK
menjadi catatan potret buram hukum di Indonesia. Kejadian penangkapan Akil telah
mengagetkan beberapa tokoh seperti Mahfud MD dan Jimly. Keduanya adalah mantan
ketua MK. Mereka memberi komentar, seperti disampaikan Jimly yang mengusulkan
hukum mati Akil.
MK
perlu mengambil keputusan dengan menetapkan status terkait penangkapan Akil. Hukum
tegas dan seberat-beratnya jika Akil terlibat kasus suap tersebut. Perlu meninjau
kembali kualitas hakim-hakim yang duduk dilembaga tinggi negara secara khusus
dan lembaga hukum lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar