Selasa, 20 Mei 2014

Studi Kitab Tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl (Tafsîr al-Khâzin)

Ali Thaufan Dwi Saputra / 2113034000002

Pendahuluan
Penafsiran terhadap nash al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Ia merupakan mufassir yang paling otoritatif, mengingat wahyu al-Qur’an diturunkan kepadanya. Dalam lintasan sejarah selama 14 abad, telah banyak karya-karya para mufassir al-Qur’an dari masa klasik –sejak tafsir mulai dibukukan- hingga saat ini. Beragamnya kitab-kitab tersebut memberi konsekuensi pada perbedaan penafsiran. Hal ini lumrah adanya, karena seorang penafsir seringkali menafsirkan al-Qur’an sesuai pada konteks masanya. Sedangkan penafsir yang datang berikutnya juga menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan masanya pula.

Banyaknya karya kitab tafsir para mufassir, kerap menjadi rujukan generasi mufassir setelahnya dan kajian penelitian. Generasi yang datang berikutnya mengkaji kitab tersebut dan menjadi “anotator” atasnya. Generasi berikutnya juga kerap menyepakati dan juga mengkritik hasil penafsiran sebelumnya. Tentu sebagai sebuah penelitian akademis, hal ini sangat wajar selama dalam batas koridor dan norma-norma penelitian.

Diantara kekayaan literatur tafsir, salah satunya adalah kitab tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl” karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî. Ia dikenal dengan sebutan al-Khâzin, oleh sebab itu kitab tafsirnya dikenal pula dengan Tafsir al-Khâzin. Tulisan ini ingin mengulas secara singkat tentang kitab tersebut. Ulasan tulisan ini antara lain meliputi: Riwayat sang pengarang kitab; latar belakang penulisan kitab; sekilas tentang tafsir “Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl (al-Khâzin)”; serta pujian dan kritikan atasnya. Penelitian dan kajian terhadap tafsir al-Khâzin bukanlah sesuatu yang baru. Meski demikian, tulisan ini diharap dapat memberikan deskripsi umum tentang tafsir al-Khâzin dan menjadi rujukan bagi para peneliti berikutnya.

Riwayat Hidup al-Khâzin
Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl adalah karya ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî atau yang terkenal dengan panggilan al-Khâzin. Ia lahir pada tahun 678 H di Baghdad. Panggilan al-Khâzin yang ditujukan kepadanya dikarenakan ia merupakan penjaga kitab-kitab di perpustakaan Khanqah al-Samistiyah.

Al-Khâzin dikenal sebagai seorang sufi, orang yang baik hati dan mukanya yang cerah. Ia juga banyak menguasai keilmuan agama. Hal ini dibuktikan dari beberapa karya yang ia tuliskan. Diantara karyanya: Syarakh Umdatu al-Ahkâm, Maqbûl al-Manqûl, Musnad al-Syafi’i, Musnad Ahmad, Muwatha’, Sunan Daruqutni yang ditulis sesuai bab serta Sirah Nabi. Al-Khâzin wafat pada tahun 741 H.

Guna mengembangkan pengetahuan dan keilmuannya, al-Khâzin berguru pada al-Qasimi ibn al-Muhdzafar yang berada di Damaskus. Kemudian ia melanjutkan ke Mesir dan berguru pada Wazirah binti Umar ibn As’ad Ummi Abdullah.[1] Ia juga tercatat pernah belajar hadis ke Maghrib kepada al-Tsa’labi al-Jazair yang dikenal dengan nama Zaid Abdu al-Rahman ibn Muhammad ibn Makhluf.[2]

Latar Belakang Penulisan Kitab
Tafsir al-Khâzin merupakan ringkasan dari kitab Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl yang ditulis Abdullah Ahmad ibn Mahmûd al-Nasafî (w. 701 H). Madârik al-Tanzîl sebetulnya hasil ringkasan dan banyak mengutip dari tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyarî (w. 538 H) dan Ma’âlim al-Tanzîl karya Abû Muhammad Husain ibn Mas’ud al-Baghawî (w. 510 H). Tetapi al-Nasafî tidak memasukkan penafsiran-penafsiran bias Muktazilah seperti hal nya al-Zamakhsyari, karena ia bermazhab Ahlu al-Sunnah.[3]

Alasan al-Khâzin –seperti ia kemukakan dalam muqaddimah tafsirnya- menulis dan meringkas kitab Madârik al-Tanzîl (yang merupakan ringkasan Ma’âlim al-Tanzîl) didasari “cinta” nya kepada al-Baghawî. Menurutnya, al-Baghawî adalah seorang yang mulia, yang menghidupkan sunnah Nabi dan luas pengetahuan ilmu. Lebih lanjut, al-Khâzin menilai Tafsir Ma’âlim al-Tanzîl sebagai kitab tafsir terbaik yang didalamnya terkandung hadis-hadis sahih, kisah-kisah yang menarik serta banyak mengulas persoalan hukum syariah. Upaya al-Khâzin dalam meringkas kitab Ma’âlim al-Tanzîl adalah dengan membuang sanad-sanad pada hadis yang dikutip dan memotong cerita yang panjang.[4]

Al-Khâzin memaparkan lima hal sebelum memulai tafsirnya, yakni: tentang fadhilah belajar al-Qur’an; ancaman bagi orang yang berbicara al-Qur’an tanpa didasari ilmu dan orang yang hafal al-Qur’an tetapi melupakannya dan tidak mengulangi hafalannya; penjelasan tentang turunnya al-Qur’an dan urutan-urutan sûrah; penjelasan mengenai turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf; serta tentang pengertian tafsir dan takwil.[5]

Sekilas Tentang Kitab Tafsir al-Khâzin
Penulis melakukan penelitian kitab tafsir Lubâb al-Takwîl fî Ma’ânî al-Tanzîl atau al-Khâzin menggunakan kitab terbitan Dâr al-Fikr (tidak disebutkan tahun penerbitan). Kitab tersebut terdiri dari empat jilid. Jilid pertama terdiri dari 504 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Fâtihah sampai dengan al-Mâidah. Jilid kedua terdiri 350 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-An’âm sampai dengan Hûd. Jilid ketiga terdiri 503 halaman yang memuat penafsiran sûrah Yusuf sampai dengan Fâtir. Jilid keempat terdiri 423 halaman yang memuat penafsiran sûrah Yasin sampai dengan al-Nâs.[6] Pada setiap selesai pembahasan sûrah diakhir jilid, al-Khâzin menuliskan ungkapan “telah selesai pembahasan dalam jilid ini”.

Kitab tersebut berukuran panjang 30 cm dan lebar 20 cm. Sampul menggunakan hard cover berwarna hitam dengan berhias ornament (hiasan semacam batik) disampul bagian muka (depan). Sedangkan disampul bagian dalam tidak dihiasi ornament. Pada setiap permulaan sûrah, terdapat ornament dan tertulis lafaz “Basmalah”. Adapun kertas yang digunakan adalah jenis kertas buram berwarna kuning atau semacam jeluang.[7]

Telaah Metodologis Tafsir al-Khâzin
  1. Metode dan Manhaj Penafsiran
Para ulama tafsir telah memaparkan beberapa metode yang digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut al-Farmawi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab membagi metode penafsiran menjadi empat macam, yakni: metode tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i.[8] Setelah meneliti tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa metode yang digunakan oleh al-Khâzin adalah metode tahlili. Sumber penafsirannya mayoritas menggunakan tafsir bil-Ma’tsur.

Al-Khâzin menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan sûrah mulai dari sûrah al-Fatihah sampai dengan al-Nâs. Ia mengawali penafsiran suatu sûrah dengan menjelaskan bahwa sûrah tersebut termasuk kategori sûrah Makkiah atau Madaniah. Kemudian ia menginformasikan jumlah ayat, kalimat dan huruf dalam sûrah tersebut.[9] Tidak jarang ia juga menjelaskan sebab turunnya sûrah tersebut. al-Khâzin menafsirkan potongan ayat demi ayat dengan menggunakan tanda kurung.[10]

  1. Corak Penafsiran al-Khâzin
Ketika menafsirkan al-Qur’an, mufassir seringkali dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya dan latar belakang keilmuannya. Oleh sebab itu, para mufassir yang memiliki latar belakang sebagai ahli sejarah akan larut menjelaskan al-Qur’an dari aspek kesejarahan. Para sastrawan dan ahli bahasa akan cenderung menafsirkan al-Qur’an dengan menitikberatkan aspek kebahasaan. Mufassir yang ahli dalam filsafat dan kalam, akan menaruh perhatian yang cukup besar dalam menafsirkan al-Qur’an dari sisi filsafat dan kalam. Mufassir yang ahli dibidang ilmu pengetahuan akan menafsirkan dari sisi ilmu pengetahuan. Para ahli hukum atau fikih juga akan menafsirkan al-Qur’an dengan kecenderungan pada aspek hukum atau fikih. Hal inilah oleh para pakar ilmu tafsir termasuk Quraish Shihab disebut sebagai corak penafsiran.

Lebih lanjut, menurut Quraish saat ini corak penafsiran telah berkembang yakni munculnya corak sastra dan kebudayaan masyarakat. Corak ini identik dengan penafsiran yang memberikan jawaban-jawaban terkait dengan persoalan kehidupan yang dinamis. Selain itu, corak ini memberikan solusi terhadap persoalan hidup dengan bahasa yang mudah dimengerti dan lugas.[11]

Setelah meneliti secara “random” isi tafsir al-Khâzin, penulis mendapati bahwa ayat yang berhubungan dengan hukum atau fikih banyak dijelaskan al-Khâzin. Sebagai contoh saat menjelaskan sûrah al-Baqarah ayat 228.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Al-Khâzin memberikan penjelasan tentang pembagian permasalahan iddah sebagai berikut: iddah wanita yang sedang hamil sampai melahirkan, iddah seorang istri yang suaminya wafat selama empat bulan sepuluh hari, iddah muthalaqah (masa perceraian) bagi perempuan yang telah disetubuhi selama tiga quru’ dan iddah seorang hamba sahaya.[12]

Selain masalah iddah, al-Khâzin juga memberi perhatian terkait hukum potong tangan bagi pencuri dalam sûrah al-Mâidah ayat 38.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ia menjelaskan dengan membagi beberapa pasal atau bagian, yaitu: Pertama, bahwa hukum potong tangan wajib ditegakkan, terlepas sedikit atau banyak barang/harta yang dicuri. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhâri-Muslim:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده

Kedua, menurut mayoritas ulama, hukum potong tangan berlaku bagi pencuri yang telah mencuri pada batasan seperempat dinar atau tiga dirham. Ia mendasarkan pada hadis:

عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً

Ketiga, memotong bagian lengan tangan sebelah kanan, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah kaki kirinya pada bagian mata kaki, apabila ia kembali mencuri maka dipotonglah tangan kiri dan jika ia masih tetap mencuri maka dipotonglah kaki kanannya lalu dipenjarakan. Hal ini didasarkan sabda Nabi:

إذا سرق السارق فاقطعوا يده, فإن عاد فاقطعوا رجله فإن عاد فاقطعوا يده فإن عاد فاقطعوا رجله.[13]

Al-Khâzin juga mengulas persoalan hukum meninggalkan puasa bagi orang sakit dan yang dalam perjalanan yang termaktub dalam sûrah al-Baqarah ayat 184.

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ...

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...”
Al-Khâzin  mengutip beberapa pendapat ulama fikih. Beberapa silang pendapat ia kemukakan semisal: jarak tempuh perjalanan, ada yang berpendapat kebolehan meninggalkan puasa jika perjalanan selama satu hari, dua hari dan tiga hari. Ia juga menutip pendapat Syafi’i bahwa puasa dalam sebuah perjalanan lebih baik. Sementara ulama lain seperti Imam Ahmad justru menganggap bahwa membatalkan puasa saat dalam perjalanan adalah lebih baik.[14]

Ketiga ayat yang berkaitan dengan persoalan fikih di atas adalah sebagian kecil dari pembahasan masalah fikih yang dijelaskan oleh al-Khâzin. Selain kedua ayat diatas, al-Khâzin sering mengulas persoalan yang berkaitan dengan fikih. Pembahasannya biasanya diulas dengan menyebutkan hukum ayat tertentu dengan membaginya secara pasal demi pasal.

Berkaitan dengan ayat-ayat “Kalam”, penulis mencatat bahwa al-Khâzin tidak memiliki kecenderungan pada mazhab tertentu. Penulis mengambil contoh ketika al-Khâzin menafsirkan sûrah al-Baqarah ayat 255, yang dikenal dengan sebutan ayat kursi.

...وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“...Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Al-Khâzin mendasarkan penafsirannya pada bebrapa perbedaan tentang makna kursi Allah. Pertama, ia mengutip pendapat yang mengatakan bahwa kursi tersebut adalah singgasana Allah. Kedua, ia juga mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa kursi dalam ayat tersebut bukan singgasana Allah. Ketiga, ia mengatakan bahwa kursi adalah sesuatu yang besar dan menjadi sandaran ilmu.[15] Penulis tidak mendapati pendapat pribadi atau kesimpulan al-Khâzin.

Ayat “Kalam” kedua adalah sûrah al-Qiyamah ayat 23. Ayat ini secara literal mengatakan bahwa kelak manusia akan dapat melihat Tuhan, pada hari akhir.

إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Kepada Tuhannya mereka melihat.”

Berkaitan dengan hal tersebut, al-Khâzin juga mengutip berbagai pendapat. Antaranya, pendapat Ibn Abbâs yang mengatakan bahwa banyak mufassir yang berpendapat bahwa seorang hamba akan melihat Tuhan pada hari akhir. Al-Khâzin kemudian mengutip pendapat Mujahid dan Abû Salah yang berpendapat bahwa “melihat” disini berarti menunggu pahala Tuhan, bukan melihat Tuhan. Lebih lanjut, al-Khâzin mengutip beberapa hadis yang menjelaskan bahwa manusia dapat melihat Tuhannya. Salah satunya adalah saat Nabi duduk pada suatu malam laila al-Qadar, Nabi mengatakan pada Jarir bahwa kelak akan melihat Tuhan sebagaimana melihat bulan yang ia lihat saat itu.[16] Jika melihat penafsiran al-Khâzin tentang ayat “Kalam” di atas, ia sepertinya berada pada posisi “moderat”. Penafsirannya tidak memiliki kecenderungan pada mazhab Sunni atau Muktazilah.

Selain banyak penafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum fikih dan “Kalam”, al-Khâzin sebetulnya lebih dikenal sebagai ahli sejarah yang banyak bercerita[17] dan menyisipkan isrâiliyât dalam tafsirnya. Terkait hal ini, penulis paparkan pada sub bab sumber rujukan tafsir al-Khâzin di bawah ini.

  1. Sumber Rujukan Tafsir al-Khâzin
Kitab tafsir al-Khâzin adalah merupakan ringkasan dari kitab tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl karya Abdullah Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî (w. 710). Tentu saja, dapat dipastikan rujukan utama adalah kitab tersebut. Bahkan menurut al-Dzahabi, al-Khâzin tidak merubah sedikitpun kitab tafsir tersebut kecuali membuang sanad hadis-hadis yang menjadi penjelasan tafsir dalam kitab Madârik.[18]

Penulis mendapati bahwa rujukan yang dominan dalam tafsir al-Khâzin adalah hadis-hadis Nabi. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penafsirannya, ia mengutip hadis dari ibn Abbâs,[19] Imam Malik dan Abû Hurairah dengan menggunakan kode (خ) jika yang dikutip adalah dari Imam Bukhâri, (م) adalah Imam Muslim dan (ق) adalah hadis riwayat Bukhâri dan Muslim.

Penulis meneliti jumlah hadis-hadis tersebut pada sepuluh sûrah dalam jilid (volume) empat tafsir al-Khâzin. Dalam sûrah Yasin terdapat 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 hadis Sahih Muslim dan 2 hadis Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Shaffat 1 hadis Sahih Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Shad 1 hadis Sahih Bukhâri dan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zumâr 2 hadis Sahih Bukhâri, 2 Sahih Muslim dan 7 Sahih Bukari-Muslim. Sûrah al-Mukmin 1 hadis Sahih Bukhâri, 4 Sahih Muslim dan 7 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah Fushilat 1 hadis Sahih Bukhâri, 1 Sahih Muslim dan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Syura 3 hadis Sahih Bukhâri, 3 Sahih Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Zuhrûf 2 hadis Sahih Bukhâri, 1 Sahih Muslim dan 3 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Duhkan 2 Sahih Bukhâri-Muslim. Sûrah al-Jatsiyah 1 Sahih Muslim dan 1 Sahih Bukhâri-Muslim. Tetapi diantara banyak hadis tersebut, al-Khâzin tidak mencantumkan sanad hadis secara lengkap.[20]

Selain meriwayatkan hadis dari Bukhâri dan Muslim, al-Khâzin juga meriwayatkan hadis dari perawi lainnya, seperti Abi Dawud dan Tirmidzi. Tetapi al-Khâzin tidak menggunakan kode khusus. Ia mengutip dengan menyebutkan nama perawi tersebut.[21]

Penafsiran al-Khâzin banyak bersumber dari cerita-cerita isrâiliyât. Al-Qur’an mengandung banyak kisah yang menceritakan kehidupan masa lampau (sebelum Muhammad diutus sebagai rasul). Seperti kisah nabi Musa saat ia mendapat ujian dari Khidir; kisah lahirnya Nabi ‘Isa yang di luar kemampuan akal manusia; serta pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrâhîm dan kisah ashâb al-Kahfi yang benar-benar ajaib (tertidur ratusan tahun). Karena al-Qur’an jarang menjelaskan secara detail kisah-kisah para Nabi tersebut, maka umumnya penafsirannya diambil dari isrâiliyât.

Menurut al-Dzahabi, sumber isrâiliyât tersebut didapatkan dari riwayat Wahab ibn Munabbih, Ka’ab al-Ahbâr dan lainnya. Sebagai contoh ketika al-Khâzin menafsirkan Sûrah al-Anbiyâ’ ayat 83-84 tentang kisah nabi Ayyûb.

al-Khâzin dimulai dengan mengutip riwayat Wahab ibn Munabbih yang menceritakan Ayyûb adalah laki-laki asal Romawi bernama lengkap Ayyûb ibn Amos ibn Narîkh ibn Rum ibn Ish ibn Ishâq ibn Ibrahîm. Allah mengangkatnya menjadi Nabi dan melimpahkan rahmatnya berupa harta melimpah. Ia orang yang baik hati, bertaqwa dan menyantuni fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyûb, iblis-iblis biadab ingin mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar kepada Allah agar ia dapat mengoda Ayyûb sehingga jatuh imannya.[22]

Selanjutnya Al-Khâzin menceritakan bahwa pada suatu saat iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyûb ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri. Kemudian ia naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyûb sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah. Maka wajar jika ia menyukuri-Mu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatmu, tentu dia tidak akan bersyukur lagi dan menyembah-Mu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu (iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyûb”. Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun rencana penghancuran harta Ayyûb.

Al-Khâzin melanjutkan ceritanya, bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyûb, ternyata ia tidak mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyûb. Allah menjawab “Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui Ayub dan berkata “Seandainya engkau tahu penderitaan anak-anakmu dan bagaimana mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu akan luluh”. Ayyûb pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyûb bertaubat dan iblis pun terheran-heran.

Iblis belum puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyûb, karena iman Ayyûb tetap tak goyah. Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak tubuh Ayyûb. Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyûb, akan tetapi kamu tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak tubuh Ayyûb. Ketika Ayyûb sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya. Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyûb terbakar. Badannya pun menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyûb melalui istrinya, karena Ayyûb tidak kunjung sembuh, istrinya menawarkan Ayyûb untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika, Ayyûb pun marah dan menyuruh pergi istrinya.[23]

Contoh dari pengutipan al-Khâzin kepada Ka’ab antara lain adalah, ketika menafsirkan sûrah al-An’âm ayat pertama. Dengan mengutip Ka’ab, al-Khâzin menjelaskan bahwa lafaz al-Hamdu juga terdapat dalam awal dan akhir kitab Taurat. Ia kemudian menjelaskan bahwa akhir ayat dalam Taurat adalah sama seperti akhir Sûrah Hûd.[24]

Selain mengutip hadis dan isrâiliyât, Al-Khâzin juga kerap mengutip syair-syair Arab untuk menafsirkan al-Qur’an. Pengutipan tersebut terkadang untuk menyambung penjelasan suatu ayat dan menguak suatu makna pada sebuah ayat. Sebagai contoh ketika al-Khâzin mengutip sebuah syair untuk menjelaskan makna “al-Zanjabila” pada sûrah al-Insân ayat 17.[25]

Keistimewaan dan Kritik atas Tafsir al-Khâzin
Setiap kitab tafsir tentu memiliki keistimewaan dan kritik dari penafsir setelahnya dan pembacanya. Setelah penulis meneliti tafsir al-Khâzin, beberapa hal yang menurut penulis menjadi keistimewaan adalah: (1) al-Khâzin memberikan gambaran umum (seputar jumlah ayat, kalimat dan huruf) mengenai sebuah sûrah sebelum ia menafsirkan; (2) menjelaskan sebab turunnya ayat; (3) terkadang menjelaskan keutamaan sebuah surah yang didasarkan pada hadis; (4) ketika mengutip hadis dari Imam Bukhâri, Muslim dan hadis yang diriwayatkan keduanya, al-Khâzin memberikan kode. Hal ini sangat memudahkan para pembacanya; (5) dalam membahas sebuah ayat tertentu, al-Khâzin sering memberikan poin-poin seperti ayat yang berkaitan dengan hukum dan kisah.

Namun demikian, tafsir al-Khâzin juga mendapat kritikan. Salah satu kritik yang paling keras disampaikan al-Dzahabi. Kritik tersebut adalah: penghapusan sanad dan juga pengutipan isrâiliyât yang dianggap berlebihan dan tanpa meninjau kesahihannya. Ia bahkan menyebut tafsir al-Khâzin banyak terjadi penyimpangan lantaran mengutip isrâiliyât yang tidak masuk akal.[26]

Kesimpulan
Melalui pembacaan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) tafsir al-Khâzin adalah tafsir ringkasan dari tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqaiqi al-Takwîl karya Abdullah Ahmad ibn Mahmud al-Nasafî. Tafsir Madârik al-Tanzîl sendiri adalah ringkasan dari Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî dan al-Kasysyâf karya Zamakhsyari; (2) al-Khâzin seringkali mengutip cerita-cerita nabi secara panjang dan detail dari isrâiliyât. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang kritik; (3) tidak benar jika tafsir al-Khâzin selalu diidentikkan dengan tafsir yang sarat isrâiliyât, karena al-Khâzin juga banyak berbicara masalah fikih dalam tafsir tersebut.



[1] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Hadîs, Kairo, 2005), vol 1, h. 265. Sedangkan dalam sampul kitab tafsir al-Khâzin, menyebut tahun wafat pada 725 H
[2] Ahmad Khozin “Analisa Kritis Terhadap Surah al-Fil dalam Tafsir al-Khazin” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin, 2011) h. 12
[3] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol 1, h. 260
[4] ‘Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Fikr, tt), vol. 1, h. 3
[5] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 5
[6] Kitab tersebut penulis dapatkan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Memang ada beberapa perbedaan dengan kitab yang diterbitkan penerbit lainnya. Sebagai contoh kitab Tafsir al-Khâzin yang diterbitkan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan pertama tahun 1995. Kitab tersebut ditahqiq oleh Abdu al-Salam Muhammad Ali Syahin dan terdiri 6 jilid. Jilid pertama terdiri dari 614 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Fatihah sampai dengan Ali Imrân. Jilid kedua terdiri 647 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nisâ sampai dengan al-A’râf. Jilid ketiga terdiri 527 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Anfâl sampai dengan al-Hijr. Jilid keempat terdiri 558 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Nahl sampai dengan al-Naml. Jilid kelima terdiri 542 halaman yang memuat penafsiran sûrah al-Qashâsh sampai dengan al-Hujurât. Jilid enam terdiri 550 halaman yang memuat penafsiran sûrah  Qaf sampai dengan al-Nâs.
[7] Kertas dari kulit kayu
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), h. 129
[9] Sebagai contoh dapat dilihat ketika al-Khâzin menafsirkan sûrah al-Baqarah, Ali Imran, Yasin dan beberapa sûrah lainnya.
[10] Kitab yang penulis teliti berbeda dengan kitab terbitan Dâr Kutub al-‘Ilmiah Beirut Libanon cetakan pertama tahun 1995. Pada kitab tersebut penafsirannya dikelompokkan beberapa ayat lalu kemudian ditafsirkan.
[11] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 107
[12] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 153
[13] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 455
[14] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 112
[15] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 1, h. 180
[16] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 335
[17] Misalnya cerita tentang penciptaan alam semesta pada sûrah al-Fushilat, ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 81 dan kisah penyembelihan Ismail pada sûrah al-Shaffat,  vol. 4, h. 22
[18] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol 1, h. 265
[19] Selain mengutip hadis yang diriwayatkan Ibn Abbâs, dalam banyak ayat, al-Khâzin banyak mengutip pendapat Ibn Abbâs. Penulis kemudian merujuk pendapat Ibn Abbâs dalam kitab Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs. Sebagai contoh penulis mendapati bahwa penafsiran al-Khâzin pada sûrah Yasin ayat 1 dan 19 bersumber dari riwayat Ibn Abbâs. Lihat Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 440.
[20] Lihat hadis pada masing-masing sûrah: ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4.
[21] ‘Alâu al-Dîn Alî, Tafsîr al-Khâzin, vol. 4, h. 75 dan h. 105
[22] Muhammad Husain al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, (Kuwait: Dar al-I’tishom, 1978), h. 32. Lihat ‘Alâu al-Dîn Alî, al-Khâzin, vol. 3, h. 268.
[23] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 32-36. Lihat ‘Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 3, h. 269.
[24] Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 2, h. 1.
[25] Alâu al-Dîn Alî,  al-Khâzin, vol. 4, h. 341.
[26] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 30-37. Lihat pula dalam Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 77

Senin, 12 Mei 2014

“Jancuk”, Kalian Para Penghujat

Oleh: Ali Thaufan DS

Jancuk, isok opo koen?”. Terdengar teriakan itu saat diskusi yang tiba-tiba memanas menyoal capres 2014. Awalnya diskusi berlangsung “sehat”, tidak ada otot saraf yang tegang. Tetapi tiba-tiba suasana itu menjadi keruh karena masing-masing peserta mempertahankan argument untuk membela capres yang diidolakan. Maha Suci Tuhan yang memiliki segala isi bumi termasuk manusia yang “bandel”.

Deklarasi para capres diwarnai dengan pemberitaan sisi “putih” dan “hitam”. Artinya, selalu ada sisi baik dan buruk yang diungkap oleh mereka yang pro dan kontra atas pencapresan seseorang. No one is perfect, sangatlah tepat menjawab anggapan baik dan buruk seorang capres. Tulisan ini hadir dari “kekecewaan” penulis melihat kampaye kotor dan bahkan penuh “ke-najis-an” yang selama ini menjadi “sampah” media. Tidak ada yang patut diapresiasi dari semua kampaye tersebut. Semua atas nama politik yang dapat menghalalkan segala cara; atas nama kebebasan menyampaikan aspirasi; dan atas nama capres yang diidamkan. Jika “diiyakan” hal yang demikian, hancurlah tanah nusantara ini.

Penulis mencermati hujatan terhadap para capres seperti Joko Widodo (PDIP), Prabowo Subianto (Gerindra) dan Aburizal Bakri (Golkar) yang terlalu berlebihan. Joko dianggap “antek” Cina dan dalam menjalankan jabatan Gubernur Jakarta hanya memamerkan kebohongan belaka. Komunikasi Joko yang saat ini dibangun dengan kedutaan luar negeri juga dipahami secara parsial. Yakni: Joko akan tunduk pada asing. Prabowo dianggap sebagai penculik yang, sampai hari ini intens diperdebatkan. Tak kalah menariknya, Aburizal Bakri yang dianggap “Pembawa Bencana” masyarakat sekitar Lapindo. Semua itu hanya sebagian kecil dari hujatan masing-masing pendukung capres tertentu.

Stigma negatif capres terus dan selalu dimunculkan guna mendiskriminasikannya. Stigma ini pula yang membutakan pengakuan atas prestasi capres. Model kepemimpinan Joko yang terjun langsung ke masyarakat akar rumput, penulis anggap sebagai prestasi untuk saat ini. Hal ini mengingat, pola kepemimpinan para pemimpin atau elit di Indonesia yang cenderung eksklusif dan terkesan high class. Pola ini yang kemudian dipatahkan oleh Joko. Hadirnya Joko menjadi penawar kerinduan rakyat yang selama ini diiming-iming dengan ungkapan “klo aku jadi pemimpinmu aku akan terjun ke rakyat untuk penyelesaian masalah”.

Prabowo, mantan Pangkostrad dengan segudang pengalaman ini punya banyak prestasi yang dilupakan. Ia seorang ahli inteligen handal yang dipunyai Indonesia. Kemampuannya ini akan sangat berharga jika digunakan untuk menjaga keutuhan NKRI. Ia juga keturunan seorang ekonom, Sumitro yang tentu saja bakatnya mengalir dalam jiwa Prabowo. Karenanya, ia gigih untuk menerapkan model ekonomi kerakyatan untuk memandirikan Indonesia.

Ical atau sapaan akrab Aburizal Bakrie pun demikian, ia konglomerat asli dasar Indonesia. Selama ini, deretan orang kaya papan atas selalu dihiasi muka-muka Tionghoa. Hal itu harus diakui, terkadang membuat geram. Karenannya, hadirnya Ical sebagai konglomerat “made in” Indonesia harus diapresiasi. Ia juga kacap soal urusan ekonomi dan mampu merumuskan “kesejahteraan Indonesia 2045”. Ulasan ini adalah sedikit dari banyaknya prestasi para capres. Penulis tidak bisa mengatakan bahwa mereka baik atau tidak baik sebagai capres, karena hal itu belum teruji.

Persoalan yang menjadi sorotan tulisan ini sebetulnya bukan banyak atau sedikitnya prestasi para capres. Tetapi ulah para “fans-fans” mereka yang bisa dibilang “sadis”. Toh, para “fans” penghujat tersebut tidak lebih baik. Kalau hanya menjadi penghujat, tentu derajatnya akan sangat rendah. Untuk apa membuat “sampah” yang mengotori media sosial? Bukannya itu akan menjadi legacy pola kampanye politik yang amoral. Apakah tidak lebih baik memberikan sumbangan pendidikan moral berpolitik yang baik. “’asa an takrahu syai’an wahua khairu lakum wa ‘asa an tuhibbu syai’an wahua syar lakum”.

Tulisan ini juga mementahkan cara pandang “parsial” penghujat yang beranggapan bahwa para capres saat ini cacat moral. Jika memang benar adanya mereka cacat moral, untuk melawannya harus menggunakan cara-cara bermoral pula. Bukan cara “serampangan” yang mengabaikan moralitas. Perlu diinggat, bahwa masyarakat nusantara mempunyai kearifan lokal yang menjunjung nilai-nilai moral.


Perlu penulis sampaikan bahwa penggunaan judul dengan kata “Jancuk” bukan lah berarti sesuatu yang “Jorok”. Ini adalah ungkapan untuk melawan kejahatan yang dilakukan oleh fans-fans capres tertentu. Jancuk yang penulis maksud sekaligus ungkapan kekecewaan karena hal utama yang paling mendasar bagi manusia yakni budi dan moral, telah dinodai. Ungkapan Jancuk yang penulis gunakan disini menggunakan “Epistemologi Jancuk” yang ditawarkan Kyai Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya, penulis juga menyoroti bahwa demokrasi ini sudah tidak sehat dan harus segera diperbaiki. Penulis kemudian memahami bahwa ini –fase domokrasi tak sehat- adalah tahap ujian bagi siapa saja yang besar hatinya untuk menjadi seorang pemimpin yang tangguh.

Pemikiran Ke-Tafsiran Al-Qur’ân dan Wacana Kontemporer Seputar Pemilihan Pemimpin (Membincang Pemilihan Umum di Indonesia)

Ali Thaufan DS

Abstract: How to be a good leader? This question often appears before the general elections. Issue about islamic leadership also raished in campaign. Moreover differences of religion was a target of black campaign. In Indonesia this cases often happens, for instance black campaign suffered Joko Widodo-Basuki T Purnama in general elections of Gavernor DKI Jakarta last years. How the al-Qur’an speaked at is problem? Many the thinkers of Muslim has been talk about it. This paper shows nothing wrong with non muslim leader with a good capacity of leader.

Pendahuluan
Setiap kali menjelang pemilihan pemimpin –pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati- masyarakat dipertontonkan upaya pencitraan kandidat calon tertentu. Antarsesama calon pemimpin menggunakan berbagai cara merebut simpati konstituen. Tidak jarang, tafsir-tafsir teks keagamaan pun dijadikan argumen guna memuluskan tujuannya. Isu-isu yang dilontarkan kerap bersinggungan dengan penafsiran al-Qur’ân. Dengan tafsir-tafsir “parsial” tersebut, satu calon kerap “menyerang” calon lainnya. Sebagai sebuah contoh, kasus kampanye Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu yang bernada SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan). Rhoma Irama yang saat itu menjadi juru kampanye pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli “menyerang” pasangan Joko Widodo-Basuki T Purnama (Ahok). Jokowi dianggap keturunan non muslim, sedangkan Ahok sendiri non muslim. Rhoma menyerang keduanya dengan menggunakan dalil al-Qur’ân sûrah al-Nisâ ayat 144.[1]
Ide tulisan tema ini muncul dari hasil diskusi antara penulis dengan Eva Nugraha (seorang Dosen Fak. Ushuluddin UIN Jakarta) saat mencermati perpolitikan dan perebutan kekuasaan di Indonesia (tahun 2014). Saat ini harus diakui bahwa partai politik berideologi Islam terkendala oleh: minimnya figur calon pemimpin dari seorang muslim; partai politik Islam yang “lesu”; serta perdebatan mengenai calon pemimpin muslim vis a vis non-muslim (atau paling tidak calon dari partai Islam dan nasionalis). Tentu, tema ini bukan sesuatu yang baru dalam dunia akademis yang memperdebatkan soal kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan.[2] Tetapi, tema ini selalu menarik perhatian terlebih dimusim-musim pemilihan pemimpin –baik Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati.
Karena pada saat masa kampanye kerap muncul “penafsir dadakan”, maka diperlukan reinterpretasi atas ayat-ayat kepemimpinan. Hal ini menjadi penting agar masyarakat dapat menghindari permusuhan antaragama yang disebabkan oleh pemilihan pemimpin. Tulisan ini mencoba memberi ulasan seputar wacana kepemimpian: bagaimana al-Qur’ân memandang kepemimpinan serta sistem pemerintahan yang baik?
Kepemimpinan dalam Islam
Istilah kepemimpinan dalam Islam merujuk pada term khalîfah, amîr, uli al-amri, imâm, sultân dan mulk. Mengenai pembahasan kepemimpian dalam Islam, penulis akan mengulas pandangan tokoh. Persoalan kepemimpinan dalam Islam, oleh Ibn Taimiyah didasarkan pada sûrah al-Nisâ ayat 58-59
 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Menurut Ibn Taimiyah dengan mengutip pendapat Zamakhsyari, ayat ini turun pada saat penaklukan Makkah. Diceritakan, saat Nabi Muhammad menaklukkan Makkah, Nabi ingin melakukan salat di dalam Ka’bah. Tetapi, Uthmân ibn Thalhah, seorang yang menjaga ka’bah enggan memberikan kuncinya. Kemudian, ‘Ali ibn Abi Thâlib merebut darinya dan membuka pintu ka’bah agar Nabi dapat salat didalamnya. Setelah salat, Nabi mendapat wejangan dari pamannya, Abbas. Pamannya menyarankan agar kunci tersebut diserahkan kembali pada Uthmân agar ia yang mengurus ka’bah dan air minum bagi orang yang berhaji.
Menurut keterangan para ulama, lanjut Ibn Taimiyah, ayat ini (al-Nisâ: 58) menekankan sikap amanah bagi seorang pemimpin. Selain itu sikap adil juga mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Sedangkan ayat selanjutnya (al-Nisâ: 59) ditunjukkan pada orang yang dipimpin, agar senantiasa taat kepada pemimpin mereka yang adil. Tetapi jika pemimpin mereka melakukan kemaksiatan, maka haram hukumnya menaati pemimpin tersebut. Ibn Taimiyah juga berpesan kepada pemimpin pemerintahan agar memberikan tanggung jawab sebuah urusan kepada orang yang memiliki kapasitas dalam urusan tersebut.[3]
Ibn Taimiyah menyinggung orang yang meminta jatah jabatan kepemimpinan tertentu. Menurutnya, hal ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Nabi. Ia mengutip beberapa hadis Nabi, seperti:
“Bahwa ada satu kaum yang datang kepada beliau, maka mereka menuntut kepada Nabi suatu jabatan pimpinan; lantas Nabi berkata: ‘bahwa kami tidak akan menyerahkan jabatan pimpinan ini kepada siapa yang menuntutnya’”.
Dalam hadis lainnya:
“Hai Abd al-Rahman, jangan sekali-kali engkau menuntut pemimpin suatu jabatan, maka jika jabatan itu diberikan kepada engkau tanpa diminta, engkau dapat pertolongan atasnya; dan jika jabatan itu diberikan kepada engkau karena diminta, engkau diberi atasnya.”
Pemilihan pemimpin yang ditawarkan oleh Ibn Taimiyah adalah didasarkan kecakapan calon pemimpin tersebut. Tidak dibenarkan pengangkatan pemimpin karena alasan-alasan seperti: kerabat, hubungan pertemanan, pertalian kedaerahan, dan karena penyuapan. Jika pemilihan tidak didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka sama halnya dengan pengkhianatan kepada Allah.[4]
Dalam potret pemerintahan di Indonesia, meminta jabatan tertentu oleh sebagian orang menjadi warna dari kerjasama antarpartai (koalisi) saat mengajukan calon pemimpin (presiden). Kemudian, presiden terpilih membantu membagi jabatan-jabatan tersebut. Setelah terpilih sebagai pemimpin (presiden) ia kemudian membagi jabatan kepada pihak-pihak terdekatnya untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kriteria lain sebagai seorang pemimpin adalah kerendahan hati dan membuka diri untuk menerima koreksi. Berkenaan akan hal itu, Basri mengutip pidato Abû Bakr saat ia dilantik menjadi pemimpin,
“Wahai manusia, Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memegang kekuasaan atasmu, padahal aku bukan yang terbaik diantaramu; maka jika aku berlaku baik (dalam menjalankan kekuasaan) bantuhlah aku; tetapi jika salah, betulkan. Kejujuran adalah amanah, dusta adalah khianat...”[5]
Sedangkan Al-Mawardi, tokoh yang memberi perhatian pada sistem tata negara memberikan syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin (imamah/khalifah), yakni antara lain: 1). Adil dalam bertindak. 2). Memiliki keluasan ilmu dan mampu berijtihad. 3). Sehat jasmani, yang dengannya ia dapat melakukan tindakan-tindakan dalam kepemimpinan. 4). Sehat organ tubuh (tidak cacat). 5). Pengalaman kepemimpinan. 6). Memiliki keberanian untuk melindungi negara dan melawan musuh.[6]
Selanjutnya menurut al-Mawardi, seperti dikutip Bakir Ihsan bahwa kepemimpinan politik yang kuat harus didasarkan pada aspek spiritual. Ia tidak bisa mengandalkan aspek akal semata. Oleh karena itu setiap persoalan yang menyangkut kepemimpinan dan kekuasaan, selain berdasarkan pada petunjuk-petunjuk rasional, juga membutuhkan petunjuk ajaran agama.[7] Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin selain ia harus cakap dan pandai, ia juga harus berpegang pada nilai-nilai agama.
Dilema Sistem Pemerintahan dan Hubungan Agama-Negara
Fokus para pemikir ke-tafsiran belakangan ini banyak tercurah pada isu-isu seputar hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan sistem pemerintah. Agaknya alasan ini dapat diterima, mengingat ketiga topik tersebut adalah kenyataan yang selalu dihadapi dalam masyarakat saat ini. Di bawah ini penulis sedikit mengulas diskursus tentang sistem pemerintahan dan hubungan agama-negara.
Dalam era modern ini, setidaknya ada dua bentuk sistem pemerintahan yang kerap menjadi perdebatan, yakni: sistem khilafah dan demokrasi. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah dianggap sebagai sistem yang paling benar dan berdasar pada ajaran Tuhan. Dasar al-Qur’an yang digunakan adalah sûrah al-An’âm: 57 (إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ). Pengusung jargon “kembali pada Khilafah” juga mendasarkan pendapatnya pada praktik sistem pemerintahan yang pernah dijalankan oleh Nabi dan masa Khulafâ al-Râshidîn.
Peristiwa pertemuan di Saqifah disinyalir sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah model pemerintahan khilafah. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat menggelar rembuk bersama untuk meletakkan dasar-dasar pemerintahan. Para sabahat pada awalnya tidak mengerti maksud dari perkumpulan tersebut. Hingga pada akhirnya, terpilihlah Abû Bakr menjadi khalîfah setelah melalui berbagai perdebatan.[8] Atas terbentuknya khilafah sebagai sistem pemerintahan, saat ini beberapa tokoh muslim dan beberapa organisasi masyarakat mendambakan model yang demikian. Mereka menyampaikan aspirasinya dalam banyak bentuk, termasuk media sosial (situs-situs internet).[9] Termasuk dalam kelompok ini adalah: Taqiu al-Din Nabhani, Dhiya al-Din al-Rais, Abu Bakar Ba’asyir, Ormas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),[10] Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan banyak lagi lainnya.
Menurut Farid Wadjdi dan para pendukung sistem khilafah, setidaknya ada tujuh poin alasan kembali kepada sistem khilafah. Farid memaparkan sebagai berikut:
“... tidak ada alasan untuk tidak kembali menegakkan khilafah, karena: pertama, khilafah adalah tuntutan akidah dan syariat Islam; kedua, khilafah akan menyejahterakan rakyat; ketiga, khilafah akan menjamin keamanan rakyat; keempat, khilafah akan menjaga pertahanan serta keutuhan dan persatuan negeri-negeri Islam; kelima, khilafah akan memuliakan dan menjaga kehormatan wanita; keenam, khilafah akan melindungi orang-orang yang lemah dan non muslim; ketujuh, khilafah akan menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.”[11]
Wacana sistem pemerintahan dan pendirian negara Islam di Indonesia telah mengemuka sejak awal kemerdekaan. Saat itu, Sukarno mendapatkan desakan untuk mendirikan negara Islam. Salah satu tokoh yang gencar menyuarakan berdirinya negara Islam adalah M. Natsir. Ia perpandangan bahwa dengan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, maka nilai-nilai Islam akan mudah diaplikasikan dalam kehidupan.[12]
Penegakan khilafah atau negara Islam mendapat tantangan tokoh pro demokrasi semisal Ali Abdu al-Raziq[13] dan Asghar Ali Engineer.[14] Sementara di Indonesia sendiri, tokoh ataupun ormas tersebut antara lain: Abdurrahman Wahid (alm), Syafi’i Ma’arif,[15] Jaringan Islam Liberal (JIL) serta masih banyak lagi lainnya. Menurut aktivis pro demokrasi di Indonesia, demokrasi adalah sistem yang paling ideal dan mampu mengakomodir pluralitas yang ada di Indonesia. Pendukung sistem demokrasi beranggapan bahwa, sejatinya demokrasi telah dilakukan oleh Nabi. Pada beberapa aspek, demokrasi memiliki kesamaan dengan sistem kepemimpinan Nabi, Syura. Dalam banyak hal, Nabi selalu mengajak sahabat bermusyawarah dalam pemecahan suatu masalah.[16]
Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang terbaik di Indonesia ditenggarai oleh adanya oknum yang memanfaatkan demokrasi dan ormas yang menunggangi demokrasi demi kepentingan mereka.[17] Oleh sebab itu, demokrasi tidak akan pernah berjalan mulus sesuai teori-teori yang selama ini “di-Tuhan-kan” oleh pengagum demokrasi.
Wacana pendirian khilafah dan negara Islam, oleh Amir Piliang tidak lah tepat dalam konteks Indonesia. Terdapat beberapa aspek mendasar yang harus diperhatikan, yakni menyangkut nilai-nilai kehidupan, ideologi, relasi perbedaan, identitas serta jarak budaya. Hal ini ditambah lagi citra Islam yang kian buruk. Stigma Islam sebagai agama radikal, ekstrim dan bahkan teroris terlanjur melekat.[18]
Perbincangan mengenai sistem pemerintahan serta hubungan agama dan negara, menurut Ritauddin bertolak pada tiga paradigma. Pertama, paradigma integralistik yang memandang Islam sebagai ajaran yang sempurna. Oleh sebab itu praktiknya dalam pemerintahan menjadi sebuah keharusan. Beberapa eksponen pada paradigma ini adalah: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb dan Rasyid Ridha. Kedua, paradigma sekularistik yang dengan tegas menolak hubungan antara agama dan negara. Menurut pandangan kelompok sekularistik, bahwa Nabi tidak diutus untuk mendirikan sebuah negara. Ali Abdu al-Raziq menjadi salah satu motor kelompok ini. Ketiga, paradigma simbiotik, pandangan bahwa agama dan negara saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara sebagai menjamin hak-hak keberagamaan. Demikian pula negara yang membutuhkan ajaran moral suatu agama.[19]
Bagaimana Pemilihan Pemimpin yang “Islami”?
Sebelum mengulas hal-hal terkait pemilihan pemimpin yang “islami”, penulis akan menyajikan sedikit wacana tentang hubungan muslim dengan non muslim. Hal ini karena –hubungnan muslim dengan non muslim- sangat berkaitan dengan pemilihan pemimpin. Diskursus hubungan muslim dengan non muslim menjadi pembahasan yang menarik perhatian pemikir Islam. Kaitannya dengan hal ini, Abdullah Saeed mengulas pemikiran Rashid Ghannushi yang menyoroti kehidupan muslim dengan non muslim serta posisi non muslim di Tunisia. Menurut Ghannushi, seperti dijelaskan Saeed, non muslim yang menjadi pemegang jabatan tertentu harus memenuhi kualifikasi dan keahlian. Namun demikian, terdapat posisi penting yang tidak diperkenankan untuk non muslim, yakni jabatan seperti panglima perang.[20]
Dalam konteks Indonesia kekinian, agaknya sangat sulit menemukan pemimpin ideal sebagaimana dijelaskan di atas (sub judul: Kepemimpinan dalam Islam). Bahkan pemimpin dari kalangan tokoh Islam sekalipun. Harapan mayoritas umat Islam kepada partai berideologi Islam untuk menghadirkan figur ideal tampaknya hanya sekedar utopi. Secara bersamaan, sentimen-sentimen keagamaan muncul menjadi “hantu” pemilu di Indonesia. Sentimen tersebut terkadang berujung pada perdebatan pemilihan pemimpin muslim atau non-muslim –atau sekedar pemimpin dari kelompok islamis dan nasionalis.[21] Misalnya, sentimen keagamaan dan bahkan etnis dalam kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta pasangan Joko Widodo-Basuki (Ahok).
Al-Qur’ân memberi isyarat untuk pemilihan pemimpin. Dalam banyak ayat, al-Qur’ân menegaskan agar tidak memilih pemimpin kafir. Berikut beberapa ayat yang dijadikan landasan haramnya memilih pemimpin kafir.
“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)”.[22]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.[23]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”[24]
Selain tiga ayat di atas, masih banyak lagi ayat lainnya yang bernada penolakan pemimpin non-muslim, yaitu: al-Maidah: 57, al-Mumtahanah: 1, al-Mujadalah: 22, al-Nisâ: 144, al-Anfâl: 73, al-Taubah: 71, al-Taubah: 8, Ali Imrân: 100, al-Nisâ: 141.
Ayat-ayat ini yang mendasari beberapa ulama klasik hingga kontemporer melakukan penolakan pemimpin non muslim. Diantara penafsir dan ulama yang tegas menolak pemimpin non muslim adalah: al-Jashâsh, al-Zamakhsyarî,[25] al-Alûsi, al-Arabî, Ibn Kathîr,[26] al-Qurtubî, Wahbah Zuhaili, al-Thaba’thaba’î, al-Mawardî, Abdu al-Wahab Khalâf, Taqîyu al-Dîn Nabhanî dan lain-lain.[27]
Pertanyan yang kemudian muncul adalah: bagaimana dalam konteks keindonesiaan yang notabene bukan negara Islam? Sementara pada saat yang sama, terdapat calon atau pemimpin pemerintahan non muslim yang memiliki kapabilitas dari calon yang muslim.
Untuk menjawabnya, perlu reinterpretasi atas ayat-ayat yang secara teks sangat menolak pemimipin non muslim. Ayat-ayat seputar hubungan antar iman dan pemerintahan oleh Abdullah Saeed termasuk dalam kategori ayat ethicho-legal, ayat yang telah mapan menjadi hukum Islam selama beberapa abad. Untuk dapat mendudukkan ayat tersebut dalam konteks kekinian, perlu pemahaman konteks saat ayat tersebut diwahyukan. Sehingga “spirit” ayat tersebut dapat dikontekstualisasikan saat ini.
Beberapa pemikir muslim “liberal” memberikan jawaban serta memposisikan diri berseberangan dengan ulama penentang pemimpin non muslim. Mereka antara lain: Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Ahmed al-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer, Abdu al-Rahman al-Kawaqibi, Muhammad Said al-Asmawi. Menurut al-Asmawi, sebagaimana dikutip Mujar, ayat larangan pemilih pemimpin non muslim adalah ayat Madaniyah yang bersifat temporer. Saat turun ayat tersebut, umat Islam sedang berperang. Ketika dalam sebuah negara tidak ada perang antara muslim dengan non muslim, maka ayat tersebut bisa tidak diterapkan.
Selanjutnya, Mujar mengutip pendapat Abdullah Ahmed al-Na’im yang berpendapat bahwa penolakan pemimpin non muslim yang didasarkan sebuah ayat adalah merupakan produk penafsiran. Ulama klasik menentang pemimpin non muslim didasarkan pada aspek histori saat mereka menafsirkan ayat tersebut. Tentu sangat berbeda penafsirannya dengan yang ada saat ini. Lebih lanjut, Na’im menawarkan sûrah al-Hujurât ayat 13 untuk menunjukkan persamaan universal antar manusia, termasuk didalamnya hak-hak politik.[28]
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Namun demikian, penulis menggarisbawahi dan mengkritik atas penyataan Mujar yang menyimpulkan bahwa ayat pelarangan pemimpin non muslim adalah tidak relevan pada masa sekarang. Penulis mengacu pada pendapat bahwa tidak ada ayat yang dihapus atau bahkan tidak relevan. Menurut penulis, ayat tersebut bisa tidak berlaku pada suatu tempat –katakanlah Indonesia-, tetapi tetap berlaku pada tempat yang lain.
Kepemimpinan dalam Islam kerap dikaitkan dengan term amîr. Seorang ‘amîr harus ditaati secara mutlak sebagaimana firman Allah dalam surah al-Nisâ: 59 (taatilah Allah dan Rasulnya, dan taatilah uli al-amri diantara kamu). Al-Amîr oleh mayoritas ulama dipahami sebagai seorang ahli agama. Namun, menurut Salman Ghanim amîr dalam konteks ayat ini bukanlah bukanlah seorang ahli agama yang saleh. Lebih lanjut, Salman menjelaskan bahwa kesalehan seseorang amat sulit diukur. Ia kemudian menegaskan bahwa amîr dalam ayat diatas adalah seorang yang memiliki kecakapan memimpin, sekalipun bukan ahli agama.[29] Berpijak dari pernyataan Salman, pemimpin tidak harus beragama Islam. Tetapi yang lebih penting adalah kemampuan pemimpin tersebut untuk membuat perubahan-perubahan yang lebih baik dalam sebuah negara.
Dalam konteks Indonesia, karena telah menerapkan Pancasila sebagai dasar negara dan tidak ada peperangan (fisik) antara muslim dan non muslim, maka tidak ada “ke-haram-an” memilih pemimpin non muslim. Tentu saja, dengan pertimbangan bahwa calon atau pemimpin non muslim tersebut memenuhi kriteria pemimpin ideal. Menurut Asghar seperti dikutip Mujar, Rasul pernah berbangga lahir pada masa raja Nushirwan karena ia raja non muslim yang adil.[30] Sementara itu, Ibn Taimiyah memberi penjelasan dengan mengutip Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan pemimpin perang fasik yang kuat lebih baik dari pada pemimpin muslim yang lemah.[31] Pemimpin ideal untuk Indonesia adalah pemimpin yang tidak mengkhianati “Kontrak Politik”, Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemimpin yang manusia sempurna.[32]
Penutup
Kesimpulan dari tulisan ini adalah: perhatian penulis atas sedikit perilaku dari banyaknya perilaku buruk para pemimpin atau stakeholder pemerintah Indonesia. Pertama pemilihan pemimpin yang kerap diwarnai isu SARA dan diskriminasi kelompok minoritas. Sebetulnya, isu dikotomi pemimpin semacam ini –islamis, nasionalis dan non muslim- tidak perlu diangkat. Hal ini akan menyulut permusuhan antaragama. Dalam konteks keislaman dan keindonesiaan, diskriminasi semacam itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan ideologi Pancasila.
Kedua, adalah soal kerjasama partai (koalisi) yang berakhir pada pembagian jatah kursi kabinet. Jelas, hal ini sangat jauh dari tradisi Islam. Sebagaimana hadis yang dikutip Ibn Taimiyah. Koalisi sejatinya membuat cacat sistem demokrasi, karena jika ada koalisi maka berarti ada oposisi.






[1] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?. Isi ceramah Rhoma Irama dapat dibaca di situs: http://metro.sindonews.com/read/2012/08/09/63/664388/ini-isi-ceramah-rhoma-yang-diduga-berbau-sara. Diakses pada (21/04/2014) pukul 13.22 WIB
[2] Abdullah Saeed memasukkan ayat-ayat pemerintahan kedalam kategori ayat ethico-legal. Ethico-legal adalah ayat-ayat yang banyak menyita perhatian pemikir Islam. Sebagai produk pemikiran, maka lahirlah kemudian apa yang disebut dengan Islamic Law (hukum Islam). Lihat: Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’an Towards a Contemporery Approach, (New York: Routladge, 2006), h. 1
[3] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, pent Firdaus AN, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h. 9. Lihat penafsiran al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 94
[4] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 16
[5] Bisri Iba Asghari, Solusi al-Qur’ân Tentang Problem Sosial, Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 109
[6] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, pent. Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 6
[7] A. Bakir Ihsan, “Referensi Pemikiran Politik NU”, dalam Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 170
[8] Dhiya al-Din al-Rais, Teori Politik Islam, pent. Abu Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 14
[9] Dari penelitian penulis, beberapa situs media sosial yang menurut penulis gencar “mengkampanyekan” berdirinya khilafah Islam, seperti: http://hizbut-tahrir.or.id/. http://www.eramuslim.com/. http://alismatsul.mw.lt/. http://www.dakwatuna.com/. http://www.hidayatullah.com/. http://muslim.or.id/. www.suara-islam.com. dan lainnya.
[10] Abu Bakar Ba’asyir dan juga ormas MMI bahkan menjadikan upaya tegakknya negara Islam atau khilafah sebagai salah satu dakwahnya. Lihat dalam: Irfan Suryahardi Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003) h. 61
[11] Farid Wadjdi, “Mengapa Harus Khilafah?” dalam Farid Wadjdi-Shiddiq al-Jawi (dkk), Ilusi Negara Demokrasi, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 347.
[12] Ide Natsir tersebut hanya menemui kebuntuan, mengingat Sukarno telah memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sebetulnya antara Islam dan Pancasila tidak ada pertentangan. Pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa nilai-nilai agama tidak dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara. Karenannya, Sukarno dengan lantang menyatakan kepada umat Islam agar membanjiri parlemen, sehingga keputusan  di parlemen memiliki ruh Islam. Lihat: M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, dalam Jurnal Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. XI, No 2, 2009, h. 155
[13] Tulisannya yang kontroversial dengan judul “Risalah Bukan Pemerintahan Agama Bukan Negara”. Lihat dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), h. 3. Pemikirannya mengundang reaksi dari Dhiya al-Din al-Rais yang kemudian menerbitkan buku “al-Islâm wa al-Khalîfah fî al-‘Ashr al-Hadîts (Naqd Kitâb “al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”). Buku ini telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu al-Raziq”. Salah satu kritik Rais kepada Raziq adalah saat ia menganggap bahwa sistem khilafah sama sekali tidak berdasar dari Islam. Bahkan Raziq menganjurkan penghapusan sistem tersebut. Lihat: Dhiya al-Din al-Rais, “Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, ‘Ali Abdu al-Raziq”, pent Afif Muhammad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), h. xxi.
[14] Asghar dikenal sebagai pendukung model negara “sekuler-liberal”. Ia tegas menolak sistem pemerintahan khilafah (negara Islam). Menurutnya, al-Qur’an  tidak mewajibkan pemeluknya mendirikan sebuah negara Islam. Ia bahkan menuding pendirian negara khilafah Islam adalah hasil konstruksi sejarah para ahli hukum Islam. Asghar Ali Engineer, Islam Masa Kini, pent. Tim FORSTUDIA, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 132.
[15] Alasan penolakan kedua tokoh ini karena khilafah mempunyai misi menggeser Pancasila dari ideologi bangsa Indonesia. Lihat: Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (LibForAll Foundation, 2009), h. 18
[16] Rahmat Solihin, “Referensi Islam dalam Memilih Pemimpin”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 2009, h. 79
[17] Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, h. 158
[18] Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan, 2011), h. 93
[19] M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 147
[20] Abdullah Saeed, “Rethinking Citizenship Rigth of Non-Muslims in A Islamic State: Rashid Ghannushi contribution to the evolving debate”, dalam Islam and Cristian-Mushim Relation, vol 10, no 3, 1999, h. 317
[21] Sebagai sebuah catatan, bahwa hingga Februari 2013 terdapat beberapa pejabat daerah (Gubernur) non muslim (beragama Kristen). Mereka adalah: Frans Lebu Raya (Nusa Tenggara Timur), Cornelis (Kalimantan Barat), Agustinus Teras Narang (Kalimantan Tengah), Sinyo Harry Sarundajang (Sulawesi Utara), Karel Albert Ralahalu (Maluku), Abraham Octavianus Atururi (Papua Barat). Sumber: http://pastorgarrytengker.blogspot.com/2013/02/daftar-gubernur-kristen-di-indonesia.html. Diakses pada (22/4/2014). pukul 17.52 wib
[22] Sûrah ‘Âli Imrân : 28
[23] Sûrah al-Mâidah: 51
[24] Sûrah ‘Âli Imrân: 118
[25] Lihat penafsiran al-Zamakhsyari dalam menafsirkan surah al-Maidah ayat 51 dalam al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 249
[26] Lihat penafsiran Ibn Kathîr dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 28, 100 dan 118 yang menjelaskan larangan melilih pemimpin yang kafir dan menjalin hubungan dengan mereka. Abu Fidâ al-Hâfid ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2011), Vol 1, h. 325, 351 dan 359.
[27] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 20
09, h. 92-93
[28] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, h. 103-105
[29] Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, pent. Kamran Asad Irsyadi (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 68. Lihat juga Muhammad Khalaf Allah, “Kekuasaan Legislatif” dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, h. 28.
[30] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, h. 105
[31] Ibn Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, h. 16
[32] M. Sidi Ritauddin, “Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer”, h. 161