Rabu, 22 Mei 2013

Pengaruh Abu Bakar Ba’asyir dan Pesantren Al-Mukmin dalam Dakwah dan Radikalisme Islam Indonesia


Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Pasca dibukanya “kran” demokrasi dengan diawali gerakan reformasi besar-besaran tahun 1998, Indonesia memasuki babak baru, era keterbukaan. Di era ini muncul berbagai macam organisasi masyarakat (ormas). Kenyataan ini memberikan konsekuensi munculnya berbagai ormas berbasis agama Islam dengan ragam gerakan dan ideologi yang diusung. Seperti munculnya aliran dan kelompok gerakan radikal. Gerakan ini disebut sebagai gerakan radikal karena upaya-upaya yang dilakukan dalam melakukan gerakan sering kali diluar norma mayoritas, yakni melakukan dengan “kasar”. Gerakan tersebut tentu saja dapat meresahkan masyarakat umum, terlebih memperburuk citra ormas dan agama.

Kelahiran kelompok-kelompok radikal di Indonesia selain ditengarai oleh pemahaman yang dilandaskan pada aspek teologis, juga dipicu oleh dua faktor. Pertama, ketidakstabilan masalah keamanan umat beragama di Indonesia. Kedua, adanya penyudutan dunia internasional terhadap Islam. Faktor pertama dapat dilihat tatkala terjadi konflik antar agama, seperti yang terjadi di Ambon pada 1999 yang mayoritas korbannya beragama Islam. Hal tersebut tentu saja menyulut kemarahan umat Islam lainnya, sehingga mereka mengirimkan “tentara-tentara Islam” guna membantu.

Sedangkan faktor dua dapat dilihat sejak peristiwa bom World Trade Centre (WTC) pada 2001 dan terlibatnya Osamah bin Laden sebagai pelakunya. Seketika itu, Amerika dan sekutunya memunculkan stigma bahwa Islam adalah agama teroris. Sejak saat itu pula, Amerika menyuarakan bahayanya gerakan Islam militan yang menjadi bibit teroris keseluruh dunia Islam termasuk Indonesia.[1]

Kelompok radikal yang muncul dalam di Indonesia antara lain; Darul Islam (DI), Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan masih banyak yang lainnya. Pada umumnya, kelompok-kelompok tersebut muncul dari sebuah keresahan karena melihat sistem ketatanegaraan di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Sistem (demokrasi) yang diterapkan adalah produk “kafir”. Dengan dalih tersebut, ide dasar ormas diatas adalah penerapan syariat Islamiyah. Bagi mereka, syariat Islam akan mampu menyelesaikan problematika bangsa. Dengan cara apapun mereka akan menegakkan tegaknya syariat Islam Indonesia. [2]

Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu tokoh yang selalu menyeru pada penegakkan syariat Islam. Ia seorang tokoh yang pada masa orde baru dibungkam lantaran menolak azas tunggal pancasila. Saat itu ia menjadi buronan dan hijrah ke Malaysia, yakni pada 1985. Setelah kembali dari negeri Jiran pada 1999, ia berkeinginan memberikan jalan keluar ditengah kemelut yang dihadapi Indonesia kala itu.[3] Dengan mendirikan organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), ia dan rekan-rekannya ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia sebagai jawaban dan solusi persoalan Indonesia. Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) memang terkenal dan identik dengan organisasi Islam garis keras. Apapun cara dilakukan demi tegaknya syariat Islam di Indonesia, seperti berjihad.

Karena sifat organisasi yang MMI yang begitu radikal tersebut, kemudian muncul dugaan bahwa aksi teror yang terjadi di Indonesia dengan mengatasnamakan agama Islam adalah merupakan file project yang sedang digarap MMI. Dugaan tersebut didasarkan pada pimpinan organisasi MMI, Abu Bakar Ba’asyir, yang namanya dikaitkan dengan peledakan bom di Masjid Istiqlal pada 1999.[4]

Selain ormas MMI yang menjadi sorotan sebagai ormas Islam radikal, terdapat lembaga pendidikan yang juga disebut sebagai lembaga pendidikan yang radikal, yakni Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo. Pesantren ini didirikan oleh beberapa orang, diantaranya, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah sungkar. Keduanya adalah orang yang menentang azas tunggal Pancasila pada masa orde baru. Label pesantren radikal yang disandang pesantren tersebut karena aturan pesantren yang melarang penghormatan kepada bendera merah putih (Bendera Indonesia). Selain itu, salah satu pendirinya, Abu Bakar Ba’asyir juga identik dan selalu diakit-kaitkan dengan aksi teror. Alasan lain yang menyebutnya sebagai pesantren radikal adalah, tersangka peledakan bom Bali dan pengeboman dibeberapa daerah diketahui adalah alumni pesantren Al-Mukmin, yakni Fathur Rohman al-Ghozi.[5] Maka, selain mendapat julukan pesantren radikal, Al-Mukmin juga mendapat julukan sarang teroris.[6] Bahkan sejak saat itu, pemerintah mulai memandang “sinis” dan penuh kecurigaan terhadap beberapa lembaga pendidikan pesantren.

Pesantren yang diidentikkan sebagai sarang teroris tentu mengundang kemarahan umat Islam. Selama ini, pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan untuk menguatkan basis pengetahuan keagamaan, Islam khususnya. Jika pesantren dijadikan tempat pendidikan teroris, tentu akan sangat membahayakan. Karena terorisme merupakan perbuatan yang mengancam keselamatan orang dan menimbulkan rasa ketakutan. Apapun kepentingan dan jenisnya, teroris tetaplah tindak kejahatan.[7]

Identitas sebagai muslim aliran garis keras tampaknya sulit lepas dari sosok Abu Bakar Ba’asyir. Meski demikian, sebenarnya ia memiliki konsep dakwah guna menegakkan syariat Islam. Melalui ormas dan pesantren yang ia dirikan, Abu Bakar Ba’asyir mencoba menawarkan berbagai macam konsep untuk melepaskan bangsa dari keterpurukan, yakni tegaknya syariat Islam, menjadikan Islam sebagai solusi.

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pengaruh Abu Bakar Ba’asyir dalam dakwah penegakan syariat Islam, serta keterlibatannya dan pesantren al-Mukmin dalam kasus teror yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, kita akan dapat mengukur sejauh mana peran Abu Bakar Ba’asyir dalam dakwah dan juga tindakan radikal yang terjadi di Indonesia.

Dakwah dan Pengertian Radikalisme Islam

A.     Pengertian Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti panggilan, ajakan atau seruan. Sedangkan dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim masdar yang berasal dari kata kerja : دعا, يدعو, دعوة     artinya : menyeru, memanggil, mengajak. Orang yang berdakwa disebut da’i. Sedangkan orang yang menerima dakwah disebut mad’u.

Secara istilah, beberapa cendekiawan mendefinisikan dakwah, antara lain: Toha Yahya Umar, ia mendefinisikan dakwah sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang lurus sesuai perintah Tuhan demi kebaikan hidup dunia akhirat. Menurut Hamka, dakwah adalah seruan panggilan kepada suatu yang mempunyai dasar positif. Dengan menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai substansi dari dakwah tersebut. Sementara Muhammad Natsir, menjelaskan bahwa dakwah adalah kewajiban manusia untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan tokoh pembaharu Mesir, Muhammad Abduh, dakwah adalah menyeru pada kebaikan dan mencegah kebatilan. Dan ini merupakan kewajiban setiap Muslim. Dari definisi para cendekiawan di atas, penulis berkesimpulan bahwa dakwah adalah mengajak orang baik seagama atau bukan untuk senantiasa melakukan kebaikan demi mengharap ridho Tuhan. 

Pola dalam melakukan dakwah cukup beragam. Terdapat beberapa pendekatan yang perlu diperhatikan ketika melakukan dakwah. Seperti dakwah kultural dan dakwah politik. Dakwah kultur yang dimaksud adalah seorang yang hendak mengajak mad’u, harus mengenal beberapa karakter sosial budayanya. Tentu akan sangat sulit bagi da’i untuk mengajak mad’u jika ia tidak mengenal karakter dan seluk beluknya. Sebagai contoh dakwah kultural adalah sebagaimana yang dilakukan para Wali Songo. Mereka berdakwah dengan pendekatan kultur budaya jawa. Sedangkan dakwah politik gerakan dakwah dengan melalui kekuasaan. Misalnya, dakwah dengan berupaya menerapkan ideologi Islam sebagai aturan negara.[8] Dakwah ini seperti dilakukan Abu Bakar Ba’asyir dalam upaya penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara.

Sebagai seorang pendakwah harus memahami macam-macam metode dakwah. Wahidin dalam buku berjudul Pengantar Ilmu Dakwah memaparkan metode dakwah yang meliputi:
  1. Metode bi al-hikmah. Menurut Muhammad Abduh, hikmah adalah mengetahuai rahasia dan faidah dalam setiap hal. Sedangkan menurut Toha Yahya Umar, hikmah adalah meletakkan sesuatu pada yang semestinya dengan penuh tanggung jawab dan tidak bertentangan dengan aturan Allah. Dari pengertian hikmah di atas, tidak dipungkiri bahwa hikmah merupakan  bekal bagi pendakwah. Seorang da’i, yang berhadapan dengan ragam masyarakat (mad’u) harus memiliki kapasitas yang mumpuni.
  2. Mauidza al-hasanah. Istilah mauidza al-hasanah mungkin sudah umum kita dengan. Apalagi dalam suatu majelis ilmu atau majelis pengajian. Secara bahasa, mauidza al-hasanah berarti nasihat kebaikan. Menurut Abdul Hamid al-Bilali adalah matode dakwah dengan lemah lembut agar para mad’u senantiasa menjaga kepatuhan kepada Allah swt. Seorang da’i tidak dibenarkan berkata senonoh atau kasar. Wajah Islam akan terlihat dari bagaimana cara da’i menyampaikan seruan atau dakwahnya.
  3. al-Mujadalah. Kalimat mujadalah berasal dari kata jadala yang bermakna berdebat. Maksud mujadalah disini ialah, berdebat atau berbantah-bantahan dengan baik tanpa melahirkan permusuhan dan konflik. Menghindari hal-hal kasar dan senantiasa berkata sopan dan lemah lembut.[9]
Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana seorang da’i atau pendakwah harus mengetahui betul etika bagi seorang da’i. Tugas mahaberat ada dipundaknya. Kemajuan agama Islam akan terlihat bagaimana ia menyeru para mad’u dengan baik. Sebagaimana firman Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104). Tidak dibenarkan melakukan dakwah dengan cara-cara kasar dan anarkis. Kecuali jika memang ada ancama terhadap kegiatan kebaikan tersebut. Islam sebagai agama dakwah menganjurkan untuk melakukan dakwah dengan persuasif dan lemah lembut serta tidak ada paksaan.

Dewasa ini kita sering melihat fakta bahwa dakwah Islam dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Seruan amar ma’ruf nahi munkar dilakukan dengan cara kemungkaran. Sebagian kelompok melakukan dakwahnya dengan berbagai macam hal mulai dari menebar ancaman sampai aksi kekerasan. Contoh, dakwah Front Pembela Islam (FPI) yang memiliki kecenderungan radikal. Menteri Agama, Suryadharma Ali menghimbau agar FPI merubah karekter dakwah yang cenderung radikal menjadi dakwah yang lembah lembut dan menarik simpati.[10]

B.     Pengertian Radikalisme Islam

Sebelum memahami gerakan radikalisme Islam, perlu untuk mengetahui gambaran umum mengenai terminologi gerakan radikal itu sendiri. Gerakan radikal, kerap muncul dari ketidakpuasan terhadap kondisi tertentu atau tatanan dan aturan yang sudah ada. Misalnya, sekelompok orang tidak menemukan kepuasan dalam tatanan pemerintahan demokrasi, maka mereka dengan lantang melakukan gerakan untuk diterapkannya sistem pemerintahan lainnya. hal tersebut juga mengandung pengertian bahwa prilaku radikal menghendaki perubahan secara radic, menyeluruh atau merombak sebuah sistem yang sudah ada.

Berkaitan dengan gambaran di atas, radikalisme Islam adalah upaya yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam yang tidak mendapat kepuasan terhadap sistem pemerintahan disebuah Negara terteuntu; merasa tidak mendapat keadilan sosial; dan menawarkan ideology Islam sebagai pegangan hidup bernegara (memberlakukan sistem syariat Islam). Karena bagi mereka dunia ini telah “diobok-obok” oleh intervensi barat/Amerika, maka cara lain untuk kembali mengislamkan tatanan kehidupan adalah dengan menegakkan syariat Islam.

Jika ditelusuri, fundamentalisme dan gerakan radikalisme Islam tidak hanya tumbuh di Indonesia saja. Tetapi tumbuh juga di negara Timur Tengah seperti, Afganistan, Mesir, India. Gerakan ini juga bukan gerakan baru di Indonesia. Tetapi sudah ada sejak lama, orde baru. Hanya saja kemunculan di ruang terbuka seperti sekarang karena konsekuensi dari era reformasi. Gerakan radikal di Indonesia sendiri merupakan pengaruh dari lahirnya gerakan radikal di Timur Tengah. Munculnya Ihwanul Muslimin yang didirikan di Mesir (1928); Jamaat Islam di Pakistan; Hizbullah di Lebanon; al-Jama’ah al-Islamiyah di Mesir telah memberi pengaruh baik ideologi dan gerakannya di Indonesia. Bahkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia sering mengutus kadernya untuk ditempa dan mendapat pendidikan dari kelompok radikal di negara lain. 

Meskipun ada perbedaan antara radikalisme di Indonesia dan di negara lain – seperti kultur budaya, pemerintahan dan lain sebagainya-, akan tetapi mereka memiliki “payung yang sama”. Upaya Barat/Amerika yang terus menyudutkan Islam membangunkan mereka (gerakan radikal) untuk melawan kedikdayaan Barat. Berjuang dengan atas nama Islam.[11] Mereka berkeyakina bahwa saat ini umat Islam terus dikebiri oleh Amerika. Amerika dengan segala cara akan selalu menebar kebencian bagi umat Islam.

Kelompok radikalis berupaya menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh pada aspek kehidupan. Selain itu, seringkali para radikalis menyerang faham atau ideologi lainnya seperti kapitalisme, sosialisme dan liberalism. Dan yang perlu dicatat, bahwa ideologi mereka juga menganjurkan jihad melawan orang kafir. Bagi mereka, jihad merupakan ibadah seorang Muslim. Hal tersebut diatas ini merupakan karekter menonjol dari radikalisme Islam.[12] Bahkan, berkaitan dengan penegakan syariat Islam, Ja’far Umar Thalib menyerukan untuk melakukan cara kekerasan sekalipun demi tegaknya syariat Islam. Baginya jihad harus dilakukan untuk melawan pemerintahan yang dipimpin oleh orang kafir.[13]

Radikalisme dalam agama memang erat kaitannya dengan fundamentalisme[14] agama. Yakni, pemeluk agama menginginkan kembalinya pada dasar-dasar agama. Upaya kembalinya pada ajaran dasar agama –Fundamentalisme- akan bergeser menjadi radikalisme tatkala upaya tersebut dihalangi oleh kondisi sosial yang berseberangan. Radikalisme yang hanya berkutat pada pemikiran ideologi tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika radikalisme sudah bergeser menjadi sebuah gerakan-gerakan masif akan menimbulkan masalah. Terutama jika fundamentalisme itu sendiri tidak diakomodir dan berbenturan dengan kondisi sosial politik.[15]       

Sekilas Profil Pesantren Al-Mukmin

A.     Sejarah Berdiri Pesantren

Pesantren al-Mukmin berdiri pada 10 Maret 1972, terletak di Solo. Pesantren ini berdiri atas inisiasi para tokoh, yaitu, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Baraja’, Yoyo’ Rosywandi serta para pendukung lainnya. Pendirian pesantren ini berawal dari para tokoh yang aktif dalam pengajian sehabis salat zuhur di masjid Agung Surakarta, yang mendirikan Madrasah Diniyah di Jalan Gading Kidul 72 Solo. Atas dukungan Radio Dakwah Islam (RADIS) dan sambutan baik masyarakat sekitar, pesantren ini berkembang dengan pesat.[16]

Adapula sumber yang menyebutkan bahwa pesantren al-Mukmin didirikan oleh Muhammad Amir sejak tahun 1962. Ia mengasuh 12 santri di Masjid yang terletak di lingkungan rumahnya. Saat itu, pesantren yang ia dirikan dan Madrasah Diniyah yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan rekan-rekannya merupakan dua lembaga pendidikan yang berbeda, berjalan sendiri-sendiri. Tetapi pada tahun 1972, kedua lembaga itu digabung menjadi satu yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Islam al-Mukmin.[17]

Sifat pesantren al-Mukmin adalah independen. Tidak berada di bawah organisasi atau partai tertentu. Pesantren ini menegaskan bahwa pesantren adalah milik umat, karena sejak awal berdirinya, masyarakat telah banyak membantu dan mendukung. Visi dari pesantren adalah Terbentuknya generasi muslim yang siap menerima dan mengamalkan Islam secara secara kaffah. Sedangkan misinya adalah: Mencetak kader Ulama dan cendekia yang amilin fi sabilillah; Melaksanakan kegiatan pendidikan dan da’wah secara “Independen” dan bertanggung jawab kepada umat melalui Yayasan Pendidikan dan Asuhan Yatim/Miskin Al-Mukmin (YPIA); Melaksanakan proses pembelajaran secara integral dalam satu kepemimpinan mudirul Ma’had (pimpinan pesantren).[18]

B.     Model Pengajaran dan Pendidikan Pesantren Al-Mukmin

Pondok Pesantren al-Mukmin bisa dikatakan sebagai pondok pesantren modern. Sistem pengajaran dan pendidikan di pesantren dilakukan berjenjang. Jenjang pendidikan di pesantren ini, yaitu: Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan Kulliyatul Mu’allikat Al-Islamiyah (KMA), Ma’had Shighar (MS), dan Ma’had ‘Aly (MA). Meski demikian pesantren juga menerapkan pola pendidikan tradisional seperti sorogan kitan di luar kelas.

Pola pengajaran dan pendidikan di Pesantren al-Mukmin dilakukan secara total, 24 jam di dalam pesantren. Selain mendapat pendidikan formal di dalam kelas, para santrinya juga mendapat pengajaran dan pendidikan di luar kelas. Hal ini terlihat dari kewajiban santri solat lima waktu di masjid; anjuran puasa senin dan kamis; serta ceramah dari para ustadz-ustadz adalah merupakan pola pendidikan non formal.

Selain mengajarkan buku-buka agama, pesantren ini juga mengajarkan buku-buku umum. Akan tetapi, perpustakan di pesantren hanya membatasi buku-buku pemikiran Islam tertentu. Buku-buku di perpustakaan merupakan buku-buku yang sejenis. Buku-buku tersebut tidak lain merupakan buku-buku yang sesuai dengan visi dan misi pesantren. Buku yang kerap menjadi kajian para santri antara lain, Al-Wala’ wa al-Bara’ karya Said salim al-Qahthani dan Tarbiyah Jihadiyah karya Abdullah Azzam. Selain itu, buku karya Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan Fathi Yakan juga menjadi “santapan” kajian para santri.[19] Buku-buku tersebut tentu saja sangat mewarnai corak pemikiran santri.

C.     Pesantren Al-Mukmin dan Upaya Penerapan Syariat

Upaya penegakkan syariat Islam di Indonesia bukanlah di suarakan oleh pesantren Al-Mukmin saja. Tetapi juga oleh beberapa ormas yang ada di Indonesia. Seperti Majelis Muhajidin Indonesia, Jamaah Salafi, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) dan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). Ormas-ormas tersebut selalu “menggembar-gemborkan” penegakan syariat Islam. Meski tujuannya adalah penegakan syariat, ormas-ormas di atas ternyata mempunyai cara dan orientasi berbeda dalam pencapaian cita-citanya itu.[20]

Upaya penerapan syariat Islam yang dilakukan pesantren Al-Mukmin adalah melalui jalur pendidikan. Menurut Wahyudin, pimpinan pesantren, syariat Islam adalah satu-satunya cara untuk mensejahterakan umat. Islam telah mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Penerapan syariat Islam perlu dilakukan dalam berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melalui pendidikan pesantren inilah sosialisasi penegakkan syariat kepada masyarakat dilakukan.[21]

Dalam proses pendidikan, pesantren al-Mukmin sangat menekankan aspek penanaman jiwa keagamaan. Pesantren juga memperhatikan pendidikan akidah, syariat dan bahasa Arab. Hal ini tentu sangatlah penting mengingat akidah berkaitan dengan keimanan; syariat berkaitan dengan bagaimana mengimplementasikan aturan Islam; dan bahasa Arab sebagai medium memahami al-Qur’an, karena al-Qur’an sendiri berbahasa Arab.[22]
 
Pola pengajaran di pesantren ini cukup memberi kesan fundamentalistik. Hal penting yang ingin dicapai adalah untuk pemurnian ajaran agama Islam. Terlebih ketika salah satu pendiri pesantren, Abu Bakar Ba’asyir terlibat dalam kasus terorisme. Saat itu, pesantren al-Mukmin diidentikkan dengan pesantren yang mengajarkan terorisme. Kesan fundamentalisme lainnya terlihat dari penyataan Abdullah Sungkar yang memberi fatwa haram melakukan penghormatan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pesantren ini juga mengharamkan para santrinya mengkonsumsi produk-produk berbau Amerika, seperti minuman Coca Cola.[23] Suasana berbeda juga tampak di dalam ruang kelas. Biasanya, di sekolah-sekolah umum atau bahkan juga di pesantren, di dalam kelas terpampang foto Presiden dan Wakil Prasiden. Tetapi lain hal nya di pesantren ini, foto tersebut tidak didapati.[24]

Penerapan syariat Islam menurut Wahyudin harus dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan. Meski para pendiri pesantren al-Mukmin termasuk kategori Islam garis keras, akan tetapi pesantren ini pesantren ini tidak mengajarkan kekerasan dalam mengaplikasikan syariat Islam. Lebih lanjut menurut Wahyudin, jika ada penolakan syariat dengan argumentasi, maka harus dilawan dengan argumentasi pula. Jika ada penolakan dengan berperang, maka harus dilawan dengan berperang (jihad) juga.

Uraian di atas memberikan kesimpulan bahwa pesantren al-Mukmin mempunyai strategi penerapan syariat dengan sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren. Pendidikan dan pengajaran di pesantren dijadikan dakwah kepada syariat Islam. Berbeda dengan ormas tertentu yang mengusung jargon “tegakkan syariat Islam”, tidak jarang mereka hanya mengkampanyekan melalui aksi-aksi demonstrasi. Selain itu, pesantren ini juga tidak mengajarkan terorisme. Adapun jika ada santri atau alumnus dari pesantren yang terlibat dalam kasus teror, itu adalah pengaruh ajaran dari luar, bukan ajaran pesantren. Kurikulum pesantren juga telah dikoreksi oleh Kementerian Agama. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri agama juga menegaskan bahwa pesantren ini (al-Mukmin) bukanlah pesantren yang mendidik teroris.[25]

Konsep Dakwah dan Pemikiran Radikal Abu Bakar Ba’asyir

A.  Biografi singkat Abu Bakar Ba’asyir

Abu Bakar Baasyir dilahirkan pada 12 Dzulhijjah 1356 H, atau bertepatan 17 Agustus 1938 di sebuah Desa kecil, Pekunden Kecamatan Mojo Agung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Abud Ahmad Baasyir, seorang keturunan Yaman. Kesehariannya sebagai pedagang kain. Ayahnya wafat saat Abu Bakar Ba’asyir berumur tujuh tahun. Sejak saat itu, ia hanya diasuh ibunya yang bernama Halimah. Abu Bakar Baasyir adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara, empat orang perempuan dan tiga laki-laki, masing-masing bernama: Seha, Fatmah, Aisyah, Salim, dan Ahmad (perempuan keempat tidak diketahui namanya).

Pada tahun 1959, Abu Bakar Baasyir melanjutkan pendidikannya di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, atas biaya dua orang kakaknya, Ahmad dan Salim. Setelah tamat dari Gontor pada 1963, ia meneruskan pendidikan dan kuliah di Universitas Al-Irsyad, Surakarta, mengambil jurusan Dakwah. Selama masa pendidikannya, ia terlibat dan aktif dibeberapa organisasi. Menjadi ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia Cabang Pondok Gontor; ketua LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam) Cabang Surakarta; Sekretaris Umum Pemuda Al-Irsyad Cabang Solo.

Pengalaman berorganisasi yang banyak ia rasakan benar-benar menempa dan membentuk kepribadiannya.  Abu Bakar Ba’asyir aktif dalam forum pengajian. Ia pun mendirikan Radio Dakwah Islam al-Irsyad pada 1967 dan setelah itu mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS). Karena aktifitas dakwah yang ia pancarkan di radio banyak bersinggungan dengan pemerintah, radio tersebut pun dilarang mengudara. Selain mendirikan radio sebagai sarana dakwah, ia bersama rekannya Abdullah Sungkar mendirikan Pesantren Al-Mukmin sebagai.[26]

B.  Konsep Dakwah Abu Bakar Ba’asyir

Dakwah Abu Bakar Ba’asyir ditekankan pada ajaran ketauhîdan dengan mengaplikasikan syariat Islam. Abu Bakar Ba’asyir mengutip penjelasan para ulama tentang ketauhîdan. Bahwa tauhîd itu terbagi menjadi tiga. Pertama, tauhîd rubûbiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah sang pengatur apa yang ada di alam semesta ini. Hanya Allah lah yang dapat menentukan hidup, mati dan mengatur rizki hambanya. Kedua, tauhîd asmâ wa sifat, yaitu keyakinan terhadap sifat-sifat Allah, seperti maha mengetahui, mendengar, bijaksana dan sifat lainnya yang dikenal dengan asmâ al-husna. Ketiga, tauhîd ulûhiyah, yaitu keyakinan kepada hukum Allah (syariat Islam) dan mentaatinya.[27]
 
Abu Bakar Ba’asyir menyebut bahwa jika seseorang hanya mengamalkan salah satu dari pembagian tauhîd di atas, maka belumlah sempurna ketauhîdannya. Bahkan, dengan tegas Ba’asyir menerangkan apabila seseorang hanya mengimani tauhîd rubûbiyah dan tauhîd asmâ wa sifat saja, maka ia sama halnya dengan orang musyrik dan iblis. Ia menegaskan bahwa orang-orang musyrik juga percaya bahwa ada Allah yang mengatur alam semesta. Serta mengimani pula sifat-sifatnya. Maka dari itu, seseorang juga harus mengimani dan mengamalkan tauhîd ulûhiyah. Yakni yakin dan taat pada syariat Allah. Lebih lanjut Ba’asyir menyebutkan bahwa dengan menjalankan syariat Allah inilah, maka seseorang di sebut sempurnah tauhîdnya.[28]

Secara sederhana, konsep kesempurnaan tauhîd menurut Ba’asyir adalah apabila seseorang telah benar-benar telah tasdiq atau percaya akan kebenaran aturan hidup dari Allah dan rosulNya. Selain itu ia harus benar-benar mematuhi. Aturan kebenaran (syariat Allah/hukum Allah) tersebut tidak cukup hanya di yakini dan patuhi, tetapi yang lebih penting juga adalah dilaksanakan.

Terkait tauhîd, Abu Bakar Ba’asyir juga menjelaskan bahwa setiap manusia yang lahir dimuka bumi, pasti dalam keadaan tauhîd. Hal ini didasarkan pada firman Allah: ―Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Qs. Al A’raf: 172).

Dalam masalah ibadah, Ba’asyir menyatakan saat ini banyak orang terjebak bahwa pelaksanaan ibadah bukan hanya sebatas melaksanakan solat, puasa, zakat dan haji, akan tetapi ibadah yang sesungguhnya adalah pengamalan syariat Islam. Menurutnya, tujuan diciptakannya manusia dan jin adalah untuk mengmalkan syariat secara kaffah (utuh) dengan hanya mengharap ridha Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah, 2:208).

Bagi Ba’asyir, pengamalan syariat yang hanya “secuil” atau sepotog-potong akan menyebabkan umat terjerumus kehinaan hidup.[29]

Penolakan pengamalan dan membantah syariat Islam dapat menyebabkan kemusyrikan umat Muslim. Pendapat Ba’asyir ini didasarkan pada firman Allah:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya mereka telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab, 33 :36).
 
Ba’asyir memaparkan bahwa syariat Islam diturunkan untuk semua umat manusia. Mulai dari seorang pemimpin hingga rakyatnya. Ia mendasarkan paparannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti anjuran penegakan syariat bagi pada pemimpin yang didasarkan pada ayat:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (syari’at Islam), dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orong yang fasik.” (Qs. Al-Maidah, 5 : 49).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (syari’at Islam), dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Qs. An-Nisaa', 4:105).
Sedangkan kewajiban pengamalan syariat bagi rakyat didasarkan atas ayat:
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya mereka telah sesat, kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab, 33:36).
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orong-orang yang beruntung.” (Qs.An-Nur, 24:51). 

Ba’asyir juga memberi maklumat jika saja umat tidak menerapkan syariat Islam secara utuh maka akan terjadi musibah. Seperti, kerusakan moral di kalangan pemimpin maupun masyarakat; kesempitan hidup lahir dan batin; terjadinya pertengkaran dan perselisihan antara pemimpin.[30]

Ditinjau dari segi dakwah, Abu Bakar Ba’asyir sangat memperhatikan permasalahan tauhîd. Ia menyeru agar semua elemen umat Islam untuk menjalankan tauhîd dengan sebenar-benarnya. Penulis membaca bahwa titik tekan dakwah Abu Bakar Ba’asyir adalah pengamalan dari keyakinan tauhîd rubûbiyah, asmâ wa sifat dan ulûhiyah

Dari segi penyampaian gagasan dakwahnya, Abu Bakar Ba’asyir memang cukup tegas dan lantang. Terutama dalam hal tegaknya syariat Islam. Ia memberikan gambaran keburukan yang akan diderita oleh siapa yang tidak menegakkan syariat Islam. Oleh karenanya, umat wajib menegakkan syariat, bahkan harus berjihad untuknya. Menurutnya, mendakwahkan Agama Islam wajib hukumnya bagi umatnya. Dakwah bisa dilakukan dengan ceramah-ceramah, tabligh dan melalui media. Semua itu dimaksudkan demi tegaknya syariat Islam

C.  Pemikiran Radikal Abu Bakar Ba’asyir

Kesan radikal yang dialamatkan pada Abu Bakar Ba’asyir didasarkan pendiriannya yang teguh untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Bersama rekan-rekannya di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansorut Tauhîd JAT)  dan juga melalui Pesantren Al-Mukmin, ia menyampaikan dakwah untuk menegakkan syariat Islam. Bahkan demi tegaknya hal tersebut, ia menyeru untuk jihad. Kemudian muncullah dugaan bahwa Abu Bakar Ba’asyir terlibat dengan kasus teror di Indonesia.

Tentu saja Ba’asyir punya segudang alasan yang mendasari pemilihan syariat Islam untuk dijadikan aturan kehidupan dan bernegara. Diantara banyak faktor, yang paling penting, bahwa pemikiran penegakkan syariat Islam oleh Ba’asyir didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya adalah pedoman hidup seorang Muslim. Selain itu, ia ingin melepaskan “kekacauan” yang memimpa Indonesia, yakni dengan penegakan syariat Islam. Menurutnya negara Indonesia bisa rusak karena menerapkan sistem kafir, yakni Demokrasi.[31]

Gerakan radikal Islam tidak hanya tumbuh di Indonesia. Sebagaimana yang penulis ulas di atas, bahwa gerakan ini juga lahir dan berkembang di timur tengah (Ihwanul Muslimin di Mesir, Jamaat Islam di Pakistan; Hizbullah di Lebanon). Pengaruh mereka juga merabah pada ideologi. Demikian seperti yang terlihat pada pemikiran Abu Bakar Ba’asyir. Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir sangat dipengaruhi oleh gagasan Sayyid Qutb tentang jihad secara global dan radikal. Selain itu, Abu Bakar Ba’asyir juga menerapkan strategi usrah[32] yang menjadi khas Ikhwanul Muslimin.[33]

Pengaruh pemikiran ini dapat terlihat dari, pertama, seruan menegakkan syariat Islam sekalipun dengan cara jihad. Kedua, jaringan yang dibangun oleh Abu Bakar Ba’asyir untuk kepentingan menegakkan syariat juga sangat kuat. Bagaimana tidak, seorang yang sudah menjadi tersangka dapat mengelabuhi aparat hukum dan ngabur ke Malaysia pada 1985. Bahkan di negeri Jiran itu, ia mendapat tempat untuk hidup.

Selain itu, pemikiran Abu Bakar Ba’asyir dianggap radikal terkait dengan kasus teror yang menyeret namanya. Ia dituduh sebagai bagian dari Jamaah Islamiyah (JI). JI dianggap sebagai organisasi di bawah Al-Qaedah. JI juga merupakan organisasi lintas negara. Hubungan Abu Bakar Ba’asyir dengan JI didasari bahwa pendiri JI di Indonesia adalah Abdullah Sungkar. Meski demikian, Abu Bakar Ba’asyir mengaku tidak tergabung dalam JI.[34]

Penutup

Pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana pengaruh Abu Bakar Ba’asyir dalam dakwah penegakan syariat Islam, serta keterlibatannya dan pesantren al-Mukmin dalam kasus teror yang terjadi di Indonesia. 

Pertama, pengaruh Abu Bakar Ba’asyir dalam penegakan syariat Islam sangat kuat. Ia merupakan eksponen dan tokoh yang tidak sedikit pengikutnya. Dakwah yang di tekankan adalah kesempurnaan bertauhid dan pengamalan syariat Islam secara utuh. Ia tidak segan-segan menyebut orang murtad apabila ia tidak mengamalkan syariat Islam. Dakwah seperti ini menimbulkan kesan bahwa ia seorang Muslim garis keras.

Kedua, terkait teror yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia, ternyata menyeret nama pesantren. Yakni pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo. Tidak ada bukti yang secara outentik  menunjukkan bahwa pesantren tersebut adalah sarang teroris. Memang, para pelaku aksi teror yang terjadi adalah alumnus pesantren Al-Mukmin. Tetapi, al-Mukmin tidak mengajarkan teror. Terkait tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Abu bakar Ba’asyir juga belum didapat fakta nyata. Hal ini didasarkan bahwa penahanan Abu Bakar Ba’asyir adalah atas pelanggaran imigrasi, bukan terorisme. Dan yang penting untuk dicatat, jika Ba’asyir benar terbukti dalam beberapa kasus teror, mengapa polisi hanya memvonis penjara dan tidak menjatuhkan hukuman mati. 

Pembahasan mengenai radikalisme dan terorisme tentu masih sangat hangat untuk dibahas. Penulis menyarankan adanya penelitian lebih lanjut mengenai radikalisme dan terorisme. Apalagi, aksi teror ini kerap terjadi saat situasi politik sedang goyah. Perlu ada pembacaan terkait fenomena tersebut. 

Daftar Pustaka

Baizar Amrullah, Upaya Majelis Mujahiddin Memformulasikan Syariat Islam dalam Lembaga Negara, (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009)
Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005)
Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan, Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2002)
A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009)
Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003)
Mujibburrahman, MengIndonesiakan Islam, Representasi dan ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Ridwan al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010)
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011)
http://www.time.com/time/magazine/article
http://id.wikipedia.org
http://www.rimanews.com
http://wildan71.wordpress.com
http://www.almukmin-ngruki.com
http://www.voaindonesia.com
http://news.detik.com
http://syiahali.wordpress.com
http://dakwah.info


[1] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 2
[2] Ridwan al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 53
[3]  http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,1963506,00.html. “Under Fire”, wawancara Majalah Time dengan Abu Bakar Ba’asyir. Di unduh pada 19 April 2013
[5] Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan, Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 123
[6] Tesis ini dibenarkan oleh Sidney Jones, ia mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul “al-Qaidah in South Asia the Case of the Ngruki Network in Indonesia”, bahwa Abu Bakar Ba’asyir memiliki kontak dengan biang aksi teror yang terjadi di Asia Tenggara. Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 134-137.
[7] A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 26
[8] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 3
[9] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 244-254
[11] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 105
[12] Ridwan al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta dan Solo, (Jakarta: Center for the Studi of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h, 20-22
[13] Ridwan al-Makasary dkk, Benih-benih Islam Radikal di Masjid, Studi Kasus Jakarta dan Solo, h. 33
[14] Tidak sedikit cendekiawan muslim Indonesia yang mencoba mendefinisikan istilah fundamentalisme, terutama fundamentalisme Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip Mujiburrahman, fundamentalisme Islam adalah sebuah kelompok yang muncul sebagai upaya gerakan pembaharu, respon terhadap kaum modernis, reaksi terhadap westernisasi dan keyakinan terhadap islam sebagai ideologi alternative. Lihat: Mujibburrahman, MengIndonesiakan Islam, Representasi dan ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm 5-6
[15] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 5
[16] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 133
[17] Muhammad Wildan, Pondok Ngruki Dan Radikalisme Agama Di Indonesia, diunduh dari: http://wildan71.wordpress.com/2010/09/26/pondok-ngruki-dan-radikalisme-agama-di-indonesia/. pada 17 April 2012
[18] Di unduh dari situs resmi pesantren Al-Mukmin pada 26 April 2013: http://www.almukmin-ngruki.com.
[19] Muhammad Wildan, Pondok Ngruki Dan Radikalisme Agama Di Indonesia, diunduh dari: http://wildan71.wordpress.com/2010/09/26/pondok-ngruki-dan-radikalisme-agama-di-indonesia/. pada 17 April 2012
[20] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 153
[21] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 135
[22] Khittah Pendidikan Pesantren Al-Mukmin. Di unduh dari situs resmi pesantren Al-Mukmin pada 26 April 2013: http://www.almukmin-ngruki.com.
[23] Afadhal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 138
[26] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, (Yogyakarta: Wihda Press, 2003), h. 8
[27] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 33
[28] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 39
[29] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 40. Lihat: Baizar Amrullah, Upaya Majelis Mujahiddin Memformulasikan Syariat Islam dalam Lembaga Negara, (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), h. 29
[30] Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir, h. 42
[32] Jika dimaknai secara literal, usrah berasal dari bahawa Arab yang berarti keluarga. Menurut Hasan al-Banna, Usrah merupakan kaidah asas dalam binaan dakwah. Dalam hal ini dakwah bagi Ikhwanul Muslimin. Al-Banna berkata “Wahai Ikhwan sekalian, sistem ini amat berguna untuk kita dan dakwah ini dengan izin Allah SWT. Ia berfungsi untuk mengontrol ikhwan yang ikhlas dan menjadikan mereka berada dalam suasana mudah dihubungi dan menerima arahan dari masa ke semasa untuk kepentingan dakwah yang mulia ini. Ia akan menguatkan ikatan dan meningkatkan ukhuwah satu sama lain dari tahap kata-kata (teori) ke tahap perbuatan dan praktikal (pelaksanaan)”. Diunduh sari situs: http://dakwah.info/fikrah-dakwah/usrah-adalah-qaedah-asas-dalam-struktur-dakwah-kita/. Pada 30 April 2013
[33] Greg Fealy-Anthony Bubalo, Joining the Caravan, The Midle East, Islamism and Indonesia”, pent Muzakki, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 129