Rabu, 30 Januari 2013

Pil Coplo dan Pseudo Happiness Artis



Oleh: Ali Topan DS

“Artis yang tersandung kasus Narkoba dilarang tampil di televisi” –Fraksi PKS-

Penyalahgunaan obat-obat terlarang atau yang akrab di masyarakat luas dengan sebutan narkoba sudah menjadi bagian dari budaya dan trend kaum muda belakangan ini. Tidak seperti dulu, narkoba hanya menyentuh kalangan wong sugih, tapi sekarang, narkoba sampai pada wong-wong mlarat. Atau, narkoba bukan lagi “Simbol” pergaulan kaum hedonism.

Pengguna narkoba di Indonesia sendiri mengalami kenaikan yang cukup pesat dan mengagetkan. Melalui situs resmi, Kompas menyebutkan pangguna narkoba pada tahun 2012 mencapai 5 juta orang. Sementara Tempo menyebut angka pengguna narkoba pada tahun 2012 mencapai 3,8 juta dan semua didominasi oleh anak-anak muda

Modus penjualan barang “haram” ini bermacam-macam. Vulgarnya arus informasi kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang barang berbahaya ini. Mulai dari “Narkoba go to School and Campus” dengan sasaran pelajar dan mahasiswa; penjualan di situs-situs internet yang secara “telanjang” menginformasikan; instansi pemerintahan; hingga di lembaga pemasyarakataan alias penjara.

Narkoba memang ibarat pelarian bagi orang yang dangkal, dangkal moral, pengetahuan dan segalanya. Kenyataan ini kemudian diperparah dengan gaya hidup yang berjargon “lo gak gaul tanpa narkoba”. Sehingga tidak jarang pengguna narkoba kemudian merasa dirinya orang yang paling up to date dengan mode gaya hidup kekinian. Rekan, teman dan kerabatnya ia “racuni” dengan dogma bahwa life enjoy with narkoba.

Dengan meneguk pil coplo itu alis ngepil, penggunanya terbawa oleh ilusi psikologis. Ia kemudian terpagari oleh “nikmat” yang selalu ditagih. Penggunanya tak sadar bahwa ia diperdayai kenikmatan sesaat. Dengan dalih untuk mengejar pengalaman yang menyenangkan; mengatasi masalah yang membuat stress dan ajakan lingkungan/kelompok, ia merelakan rupiah untuk mendapatnya. Tentu saja yang lebih parah, ia harus merelakan kesehatan jasmaninya digerogoti barang haram tersebut. Dalam ilmu medis, narkoba dipastikan merusak fungsi vital organ tubuh seperti, otak, jantung, hati, pernapasan, peredaran darah dan lain-lain.

Pada saat yang bersamaan, selain narkoba menjadi budaya baru anak muda masa kini, segelintir orang yang dijadikan figur oleh publik juga menunjukkan bahwa ia pengguna narkoba. Sebut saya artis atau politisi. Mereka kerap muncul di televisi dan menjadi tontonan publik. Saat ia menggunakan narkoba, secara tidak langsung “orang yang dangkal” akan dengan mudah mengikuti dengan bangganya. Meminjam istilah Emha Ainun Najib, bahwa narkoba itu adalah penipuan untuk mencapai pseudo happiness yang subyektif atau formula takhayul. Bahayanya pun tidak dirasakan sendiri (pengguna) tetapi juga masyarakat lainnya.
 
Jika sudah seperti ini keadaan anak-anak muda bangsa ini, maka kita harus siap memasuki era dan babak baru, “zaman narkoba”. Yang dijadikan figur “meracuni” dengan contoh penggunaan narkoba, masyarakatnya tidak sadar atas “racun” itu. Titik klimaks dari bahaya narkoba adalah, butuh kesadaran secara “berjamaah” akan bahaya racun budaya masa kini itu, narkoba. Bahwa narkoba itu hanyalah iming-iming setan yang memabukkan, tidak menyehatkan.

Jumat, 25 Januari 2013

Kanjeng Nabi Muhammad, Kami Merindukanmu

Oleh: Ali Topan DS

Ya Nabi salam alaika. Ya rasul salam, salam alaika...

Salah satu wejangan guru ngaji saya (selanjutnya penulis) waktu kecil adalah, jika seorang Muslim selalu bersalawat dan doa untuk Nabi Muhammad, maka doa itu akan mengalir padanya. Sederhananya, doa seseorang pada Muhammad, adalah doa untuk dirinya. Sebagai nabi pembawa risalah Islam, Muhammad telah mencatatnya namanya dalam sejarah sebagai orang yang punya pengaruh besar terhadap sebuah perubahan.

Karena pengaruhnya yang sedemikian besar, maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat mengagungkan. Selain karena perintah mengagungkannya. Sekalipun ia tak menganggap agung dirinya. Dalam dirinya terdapat kesempurnaan sifat dan sikap. Ia tauladan yang wajib diteladani oleh seluruh umat manusia di jagat raya. Pengakuan atas kesempurnaannya tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga umat Nasrani dan Yahudi. Meski banyak pula yang mencercanya.

Setiap tanggal 12 Rabi’u al-Awwal, umat Muslim sedunia memperingati hari lahirnya. Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Tentu saja sebagai representasi dari rasa cinta umat Islam terhadapnya. Lantunan sahdu salawat tersanjung untuk Muhammad Sang Kekasih Tuhan. Dengan memejam mata, umat Islam yang larut dalam peringatan tersebut, seakan merasa dekat dengan Muhammad. Nabi teragung tersebut hadir dalam denyut nadi.

Momentum peringatan hari lahir Nabi Muhammad, atau yang sering disebut Mawlid Nabi adalah titik tolak untuk membangkitkan semangat umat Muslim agar berpegang pada ajaran yang ia bawa; sebagai wujud cinta umat pada Nabinya; serta berharap agar kelak dipertemukan dengannya. Dalam peringatan tersebut, beragam sajian tersuguhkan. Sajian rohani dan jasmani. Lantas, banyak orang berlomba menggelar hajatan peringatan tersebut.

Bagi umat Islam Indonesia, peringatan Mawlid Nabi atau yang sering dikata muludan menjadi bumbu ekspresi keagamaan tersendiri, terlebih di pedesaan. Muludan seakan menjadi ritual tersendiri dan tiap daerah punya khas dalam melakukannya. Sebutnya di salah satu daerah di Yogyakarta, saat peringatan muludan, setiap warga lingkungan daerah tersebut membuat berkat (nasi tumpeng) yang kemudian dibawa ke masjid atau musallah dan kemudian saling bertukar satu sama lainnya. Selain itu, ada pula yang menggelar pengajian “super akbar”, serta bentuk peringatan lainnya. Perlu dicatat, ditengah suka cita peringatan muludan, ada pula sebagian golongan yang enggan memperingati hari lahir Nabi tersebut dengan berbagai alasan –yang penulis tak perlu menyebutkan disini.

Jelas sekali bahwa dengan gelaran peringatan muludan, umat Islam merindukan Muhammad, Nabi kekasih Tuhan, Nabi yang kita harapkan pertolongannya kelak di hari akhir. Tentu saja, penulis berharap agar peringatan muludan yang semarak menggelora di berbagai pelosok negeri ini memberi dampak psikis bagi umat Islam Indonesia. Dampak psikis yang penulis maksud adalah meneladani sifat dan sikapnya. Seperti saat membaca al-Qur’an, dampak psikisnya adalah mengingat kebesaran Tuhan. Sebagai manusia yang selalu dekat dengan dosa, meneladani sifat Nabi memang bukan perkara mudah. Akan tetapi bukan alasan bagi s untuk tidak berlaku jujur, dapat dipercaya, tabligh dan cerdas.