Senin, 16 Januari 2012

Sejarah dan Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia: Peran Ilmu Komunikasi dalam Membangun Demokrasi Indonesia


Pendahuluan
Komunikasi merupakan salah satu aktivitas manusia, namun sangat sedikit yang dapat mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah bicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa penyebaran informasi; gaya hidup. Hal ini menjadi masalah bagi akademisi untuk menerapkan secara tepat istilah komunikasi dalam praktik kehidupan.[1] Komunikasi juga merupakan proses dimana individu –dalam berhubungan dengan orang lain, kelompok, organisasi atau masyarakat– merespon serta menciptakan pesan untuk berhubungan dengan lingkungan dan orang lain.[2]
Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern sebagai ilmu baru sejak dekade PD II. Dewasa ini penelitian-penelitian komunikasi terus menerus dilakukan. Sejumlah jurnal ilmiah dalam bidang komunikasi terbit. Sejumlah karya ilmiah telah menjadi karya klasik dalam ilmu komunikasi seperti The People Choice, The Passing of Traditional Society, Mass Media and National Development, Personal Influence, Understanding Media, The Process and Effect of Communication, Public Opinion, dan sebagainya.
Demikian pula sejumlah figurnya seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, Mc Comb, George G. Gebner, dan sebagainya telah dikenal sebagai tokoh-tokoh dalam kajian ilmu komunikasi. Ilmu publistik (sebutan awal bagi ilmu komunikasi) lahir di Amerika, sedang perkembangannya di Eropa, khususnya Jerman.[3]
Selain tokoh-tokoh komunikasi barat, di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.[4]
Namun, penulis berasumsi bahwa “komunikasi” sebagai aktivitas social telah ada sejak Adam (manusia pertama) diturunkan ke bumi. Karena waktu itu pula telah terjadi proses komunikasi. Namun keberadaan komunikasi sebagai sebuah disiplin keilmuan, baru muncul kemudian, sebagaimana yang penulis singgung di muka. Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan ulasan tentang sejarah komunikasi, khususnya di Indonesia, serta perannya dalam pembangunan masyarakat demokratis.
Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia
Kajian komunikasi sebagai sebuah kajian teoritis terus menerus dikembangkan. Para ahli terus menerus melakukan penelitian menguji teori hasil penelitian dalam bentuk-bentuk seminar-seminar. Di negara-negara maju tampak melalui sejumlah forum dan jurnal-jurnal yang diterbitkan.
Fenomena kajian komunikasi di Indonesia menunjukkan beberapa fenomena berikut. Di Indonesia, aktivitas ilmiah dalam kajian komunikasi dapat dilihat melalui kegiatan yang diadakan oleh kampus[5] atau lembaga pemerintahan lainnya. Bahkan tampak pula kemunculan lembaga baru humas yaitu Public Relation Society of Indonesia. Tampaknya institusi semacam ini yang terlihat melakukan aktivitas ilmiah dalam kajian komunikasi. Selain itu, ada juga kajian komunikasi melalui lembaga LSM seperti Media Watch seperti ISAI, LSPP, LKM, dan sebagainya.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji sekarang merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang merubah nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa nama tokoh yang berjasa dalam mengembangkan ilmu komunikasi antara lain, Drs Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro dan Prof. Dr. Mustopo. Kemudian ditambah lagi pakar komunikasi Astrid S. Susanti dan Alwi Dahlan (keduanya dari luar negeri, Astrid dari Jerman dan Alwi dari Amerika).[6]
Media Komunikasi sebagai Perangkat Sosial di Indonesia
Memahami dan mendefinisikan komunikasi bukanlah perkara mudah. Banyak bermunculan pakar komunikasi mencoba mendefinisikan komunikasi dari berbagai perspektif atau sudut pandang mereka. Seseorang tidak akan pernah lepas dari kebutuhan berkomunikasi, baik dia sebagai birokrat, politisi, dokter, pengusaha, ulama dan berbagai profesi lainnya. Melalui proses komunikasi orang dapat saling mengenal, memahami dan menerima satu dengan yang lain. Maka betapa pentingnya komunikasi, sehingga orang tidak akan mampu berbuat tanpa komunikasi.[7]
Komunikasi sebagai sebuah disiplin keilmuan di Indonesia sangat menunjang proses bermasyarakat yang ada. Bentuk komunikasi yang paling berpengaruh sebagaimana dikemukakan oleh John Vivian adalah memalui media massa.[8] Di Indonesia sendiri, tampak bahwa media massa menjadi unsur penting bagi keberlangsungan sistem pemerintahan. Kerena statusnya sebagai control social. Media komunikasi berfungsi dan dipandang sebagai perekat sebuah kelompok tertentu yang menghasilkan identitas bersama; menyediakan sarana untuk menghasilkan pengetahuan; dan membuat orang kreatif.[9]
Dalam kehidupan sosial, interaksi masyarakat tidak akan pernah lepas dari komunikasi. Sehingga komunikasi sangat membantu proses kelangsungan hidup seseorang. Varian komunikasi juga bermacam-macam sesuai dengan bidang yang digeluti seseorang, seperti komunikasi politik, ekonomi, bisnis, agama dsb. Dalam masyarakat demokratis komunikasi juga ikut andil besar. Dengan komunikasi keterbukaan diharapkan mampu mengawal sistem demokrasi negara ini.
Penutup
Dengan ditandai keputusan presiden pada tahun 1982 mengenai ilmu komunikasi, setidaknya membuka harapan baru bagi berkembangnya disiplin ilmu tersebut. Penerapan ilmu komunikasi juga tidak hanya diterapkan internal negara ini saja, melainkan dengan negara-negara lain. Hal ini dimaksud untuk menjalin kemitraan global untuk tercapainya cita-cita bersama. Sehingga komunikasi internasional manjadi sangat penting.
Dengan semakin matangnya sistem informasi yang ada di Indonesia, tentu akan memudahkan masyarakat dalam melakukan komunikasi. Negara telah menjamin kebebasan dan menetapkan hukum-hukum pers. Sehingga hal ini diharapkan mampu menjadi bagian dari komunikasi yang turut berperan dalam membangun masyarakat negeri ini. Sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia membutuhkan kawalan dari masyarakat. Media komunikasi menjadi bagian dari bentuk kawalan tersebut.


Daftar Pustaka
Arifin, Anwar, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Dilla, Sumadi, Komunikasi Pembangunan, Pendekatan Terpadu, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007
Fiske, John, Cultural and Communication Studies, pent Yosal Iriantara-Idi Subandi Ibrahim, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
Ishara, Luwi, Jurnalisme Dasar, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011
Mufid, Muhammad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009
Richard West-Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application, pent Maria Natalia Dimayati, Jakarta: Salemba Humanika, 2008
Tebba, Sudirman, Filsafat dan Etika Komunikasi, Ciputat: Pustaka Irvan, 2008
Vivian, John, The Media and Mass Communication, pent Tri Wibowo, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008


[1] John Fiske, Cultural and Communication Studies, pent Yosal Iriantara-Idi Subandi Ibrahim, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hlm 13
[2] Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009). Hlm 56
[3] Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). Hlm 3
[5] Aktivitas tersebut ditandai dengan adanya acara-acara seminar, diskusi terbuka atau bahkan workshop. Selain itu juga muncul organisasi persatuan mahasiswa ilmu komunikasi seluruh Indonesia.
[6] Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas, Hlm 1
[7] Sumadi Dilla, Komunikasi Pembangunan, Pendekatan Terpadu, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007). Hlm 16
[8] John Vivian, The Media and Mass Communication, pent Tri Wibowo, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008). Hlm 448
[9] Sudirman Tebba, Filsafat dan Etika Komunikasi, (Ciputat: Pustaka Irvan, 2008). Hlm 121

Sabtu, 14 Januari 2012

Mengenal Semiologi Ferdinand De Saussure


Pendahuluan
Ilmu pengetahuan selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Tuntunan untuk menghasilkan temuan-temuan baru semakin mendesak. Semiotika, tampaknya mulai akrab ditelinga para akademisi dan para mahasiswa. Pada bidang ilmu komunikasi, semiotika menjadi pembahasan sendiri “semiotika komunikasi”. Begitu juga akademisi yang konsen dibidang tafsir al-Qur’an, mereka juga mengurai makna al-Qur’an (menafsirkan al-Qur’an) dengan pendekatan semiotic. Semiotic adalah pengetahuan yang berhubungan dengan tanda. Ilmu semiotic berkembang menjadi disiplin ilmu pada abad modern, yakni dengan ditandai munculnya bapak linguistic dari Swiss, Ferdinand de Saussure dan filosof Amerika Charles Sander Pierce dan Charles W. Morris.[1]
Terdapat perbedaan pengunaan istilah semiotika atau semiologi. Namun, jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ada kesamaan persis mengenai dua istilah tersebut, semiotika dan semiologi. Penggunaan istilah di atas lebih menunjukkan pada pemikiran tokoh nya. Istilah semiotika biasanya menunjukkan C.S. Pierce dan semiologi ditunjukkan pada Ferdinand de Saussure.[2]
Dalam tradisi semiotic, ada beberapa variasi kajian, semantic, sintaktik dan prakmatik. Semantic berbicara mengenai bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya (apa yang ditunjuk tanda). Sintaktik adalah suatu kajian hubungan diantara tanda-tanda. Dan prakmatik memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda dalam kehidupan manusia.[3]
Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan ulasan mengenai pengertian semiotika dan  mengenal semiotika Ferdinand de Saussure.
Memahami Semiotika
Semiologi/semiotic berasal dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi adalah kajian sistematis suatu tanda-tanda. Arti harfianya adalah “Kata-kata mengenai tanda-tanda”. Semiologi kemudian berkembang untuk menganalisis tanda-tanda. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, semiotika adalah ilmu atau teori tentang lambang dan tanda.[4]
Menurut Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistik, semiologi adalah “Suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal itu merupakan bagian dari psikologi sosial atau berkaitan dengan psikologi umum. Semiologi akan menjelaskan unsur yang menyusun suatu tanda dan bagaimana hukum-hukumnya itu mengaturnya.”[5] Menurut C.S. Peirce, semiotika adalah hubungan antara tanda, obyek dan makna.[6]
Sementara Umberto Uco dalam bukunya A Theory of Semantics, mendefinisikan
“Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu yang lainnya. Segala sesuatu ini tidak begitu mengharuskan akan adanya atau untuk mengaktualisasikan adanya tempat entah dimanapun pada saat tanda memaknainya. Jadi semiotika ada dalam semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi termasuk juga dapat digunakan untuk menipu. Bila sesuatu tidak dapat dipakai untuk menceritakan kebohongan, maka sebaliknya berarti tak dapat juga menceritakan kebenaran…”[7]
Mengenal Semiologi Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa Swiss pada 26 November 1857 dan meninggal pada 22 Februari 1913. Ia dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Salah satu master piece Saussure berjudul Course in General Linguistik yang konon diterbitkan oleh muridnya tiga tahun pasca meninggalnya, tahun 1916.[8] Pemikiran semiologinya kemudian berkembang dan sering disebut dengan Mazhab Saussurean.
Berbicara semiotika, maka tidak akan lepas dari tanda dan bahasa (dalam hal ini kata-kata). Prinsip yang menyatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem tanda dan setiap tanda terdiri dari dua bagian, yakni penanda (singnifier) dan petanda (singnified)” adalah sebuah prinsip penting dalam menangkap hal pokok pada toeri Saussure. Bagi Saussure, bahasa adalah suatu sistem tanda (sing). Segala suara, baik manusia, hewan, atau bunyi-bunyi yang lain, akan dikatakan sebagai bahasa jika ia mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan ide-ide dan pengertian-pengertian tertentu.[9]
Mazhab Saussurean berpandangan bahwa tanda-tanda itu bekerja dengan dua elemen. Yaitu, aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Demikian apa yang dinyatakan Saussure,
Saya menyebut kombinasi konsep dan citra bunyi sebagai tanda, namun dalam penggunaan dewasa ini, dalam istilah umum, hanya dinamakan citra-bunyi. Sebuah kata yang digunakan untuk contoh (arbor [dalam hal ini pohon] dsb), orang cenderung melupakan bahwa kata arbor dinamakan tanda hanya karena tanda tersebut mengandung konsep tentang pohon (tree), akibatnya konsep tentang ide panca indera secara tak langsung menyatakan bagian ide tentang keseluruhan.
Ambiguitas akan muncul bila ketiga makna yang tercakup disini ditandai dengan tiga makna yang masing-masing maknanya berlawanan satu sama lain. Saya bermaksud memastikan bahwa kata “tanda” (signe) itu untuk menyusun keseluruhan dan untuk menggantikan konsep dan citra bunyi masing-masing dengan “petanda” (signifie) dan “penanda” (signifian). Kedua istilah terakhir lebih menguntungkan untuk mengindikasikan oposisi keterpisahannya dari aspek yang lain dan dari aspek keseluruhan yang membangunnya. [10]
Gagasan Saussure digambarkan dalam diagram berikut:










 






Kata “pohon” atau bunyi kata pohon sebagai penanda. Sedangkan konsep “pohon” sebagai petanda. Hubungan antara keduanya ini adalah bersifar arbiter, dalam arti kata “pohon” tidak mesti selalu merujuk pada gambar pohon, tetapi bisa saja kata pohon digunakan untuk menyebut batu, anjing, kucing dll. Tergantung pada konsensus masyarakat/ manusianya.
Penutup
Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang tergolong baru, sebagaimana yang penulis kemukakan diawal, bahwa kemunculan ilmu ini pada abad modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, semiotika memberi sumbangan pada disiplin ilmu lainnya. Seperti adanya relasi dengan disiplin ilmu yang lain (komunikasi, tafsir). Ferdinand de Sausurre, sebagai bapak linguistic, secara tidak langsung memberi pengaruh dan mendapat apresiasi pemikir-pemikir setelahnya, khususnya bagi yang konsen dibidang bahasa/linguistic.
Dalam kajian tafsir al-Qur’an, agaknya semiotic pun telah menjadi semacam metode penafsiran.[11] Adalah Toshihiko Izutsu yang mengurai makna al-Qur’an dengan pendekatan semantik. Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata Al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.[12]
Sebagai akademisi bidang tafsir-hadis, agaknya perlu untuk membuka hal-hal baru –metode penafsiran yang digunakan para mufassir atau pemikir Muslim datang belakangan. Sehingga dapat memberi penafsiran baru yang sesuai dengan zamannya.


[1] Robert Beard ed. al, Philipp Strazny (editor),  Encyclopedia of Linguistics, (New York: An Imprint of the Taylor-Francis Group, 2005) vol II, hlm 949
[2] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) hlm 12
[3] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Theories of Human Communication 9, (Teori Komunikasi, edisi 9) pent Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009) hlm 55-56
[4] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) hlm 1029
[5] Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture An Introduction to Semiotics, pent  Dwi Marianto (Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000) hlm 12
[6] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Teori Komunikasi edisi 9, hlm 54. Lihat pula John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm 65
[7] Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, hlm 12
[9] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hlm 46
[10] Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, hlm 12
[11] Karena semiotic berhubungan erat dengan kebudayaan, sehingga ia juga memberi pengaruh bagi penafsiran ayat al-Qur’an. Lihat Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001) vol II,  hlm 137
[12] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran, pent. Supriyanto Abdullad, et.all., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) hlm 1