Minggu, 17 Agustus 2014

Ancaman Disintegrasi di Pesta Kemerdekaan

Oleh: Ali Thaufan DS

“Kemerdekaan ini milik koruptor. Rakyat belum sejahtera.” Begitu statemant seorang teman saya dalam status BlackBerry Masangger (BBM). Bagi saya, tidak ada yang salah dari pernyataan di atas. Rakyat memang jauh dari kesejahteraan. Kemerdekaan NKRI hanya dimiliki oleh segelitir orang. Kemerdekaan negara ini milik Hakim yang menjual-membeli kasus; konglomerat yang memonopoli pasar; pembuat kebijakan yang memainkan undang-undang; dan elit partai yang terus menyambung garis politiknya baik dipartai dan pemerintahan. Adalah tantangan besar bagi siapapun pemimpin negara ini untuk menuntaskan kemerdekaan rakyat yang tertunda, jauh dari cita-cita kemerdekaan sesungguhnya.

Pada 17 Agustus 2014, negara ini kembali merayakan hari ulang tahunnya, kali ini yang ke-69. Rakyat bersuka ria dalam pesta perayaan kemerdekaan NKRI. Pada bulan Juni lalu pemandangan jalan penuh dengan spanduk caleg, capres dan partai. Kemudian pada bulan Juli pemandangan jalan dipenuhi dengan spanduk Ramadhan dan Idul Fitri. Kini, bulan Agustus, pemandangan jalan dihiasi dengan warna bendera merah putih. Pepohonan dihiasi dengan gemerlap lampu yang memberi cahaya indah di malam hari. Berbagai arena perlombaan digelar untuk memeriahkan HUT NKRI. Rakyat Indonesia larut dalam suka cita dan suka ria pesta perayaan kemerdekaan.

Tetapi, kemeriahan HUT NKRI kali ini dihiasi pula dengan sebuah suasana ketegangan, ketegangan politik. Pasca pemilihan presiden 9 Juli lalu, harus disadari masih banyak “pesakitan” berkelanjutan. Fanatisme terhadap capres terlanjur menggurita dibenak pendukungnya. Hal ini kemudian diperparah oleh sikap para petinggi partai pendukung capres yang terkadang menyulut api permusuhan. Ditambah lagi kubu capres yang kalah menggugat hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi MK. Suasana ketegangan politik ini menodai suka ria pesta perayaan kemerdekaan. Sungguh sebuah pesta demokrasi (pemilu) yang seharusnya tidak menghasilkan suasana yang merusak pesta kemerdekaan. Suasana ketengan politik ini begitu menjenuhkan. Surat kabar, televisi, media online larut memberitakannya.

Ketegangan politik setidaknya dapat dilihat dari situasi ketegangan sidang gugatan hasil pilpres yang diajukan capres Prabowo-Hatta dan timnya di MK. Ada tiga elemen yang terlibat aktif dalam ketegangan ini, kubu Prabowo-Hatta, Komisi Pemilihan Umum dan Kubu Jokowi-JK. Ketegangan tiga elemen ini berimplikasi pada ketegangan banyak elemen, seperti para relawan dan pendukung, pengamat politik, TNI dan Polri. Ketegangan tersebut dapat menjadi ancaman perpecahan bangsa, disigtegrasi.

Ancaman disintegrasi semakin nyata dengan digerakkannya pendukung “abal-abal” untuk berdemontrasi di depan gedung MK dan beberapa kantor KPU di daerah; fanatisme buta terhadap capres; serta DPR memaksa membentuk Pansus Pilpres. Hal ini yang cukup disayangkan. Sebuah kelakuan yang seharusnya jauh dari adab orang Indonesia. Capres dan tim pemenangnya ternyata cukup berambisi menjadi pemenang. Siap menang dan tak siap kalah. Pihak yang kalah seharusnya mengaca diri sendiri atas kekalahan. Sungguh sangat disayangkan, peringatan HUT NKRI kali ini mendapat bayang-bayang dan ancaman disintegrasi akibat ketegangan politik.

Bogor, 17 Agustus 2014

Selasa, 12 Agustus 2014

Prabowo Dalam “Lingkaran Hitam” (Realita Politik Pasca Pencapresan Prabowo Subianto Pada Pilpres 2014)


Oleh: Ali Thaufan DS

“Genderang perang ditabuh”. Agaknya terlalu berlebihan jika mengaggap pemilu presiden sebagai medan perang. Memang, kedua kubu pasangan capres Prabowo dan Jokowi beradu strategi. Tetapi bukan strategi perang, melainkan strategi meraup suara. Pemilihan presiden sejatinya untuk memilih pemimpin baru yang lebih baik dari sebelumnya. Sungguh sangat sempit pikiran orang yang beranggapan jika pemilu hanya bertujuan demi tegaknya demokrasi, karena sesungguhnya demokrasi adalah alat.

Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah. Rakyat terpaksa dan sukarela menjatuhkan pilihannya untuk memilih antara dua capres, Prabowo dan Jokowi. Tetapi dari bersejarah bernama pilpres tersebut ternoda oleh adanya oknum yang lepas tanggung jawab akan integritas bangsa. Beberapa oknum bersembunyi dibalik masing-masing capres dan memberi atmosfir udara panas. Ibarat mengipas bara, masing-masing juru bicara capres melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontra terhadap integritas bangsa. Sungguh memalukan. Hal ini kemudian diperparah karena capres pun mengamini pernyataan tersebut. Memang, Kedua pasangan capres juga memiliki tim-tim pemenang yang mempunyai kapasitas pada bidangnya. Tetapi hal tersebut tidak menjamin bahwa komando dari tim pemenangan menjadi satu suara. Banyak hal-hal dari para jurkam kedua capres yang saling kontradiksi. Kini, pilpres telah berlalu. Tapi menyisahkan “se-Gunung” masalah bagi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini dikarenakan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta menggugat hasil pilpres karena banyak terjadi kecurangan.

Tulisan ini hadir ditengah sidang gugatan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta yang tidak menerima hasil pilres dan menuntut ulang pilpres. Fokus penulis adalah mencermati dan menganalisa komponen pendukung di belakang Prabowo, yang memiliki sebab akibat terhadap pengambilan sikap Prabowo. Data dan fakta penulis dapatkan melalui berbagai media sejak pasca hitung cepat pilpres 9 Juli 2014 lalu hingga sidang gugatan MK berlangsung.

Pasca hitung cepat pilpes, masing-masing capres mengklaim dirinya sebagai pemenang. Jokowi bersama JK dan ketua umum partai pengusung menggelar jumpa pers terlebih dahulu. Lalu kemudian diikuti oleh Prabowo-Hatta. Pemirsa televisi kebingunggan melihat beberapa lembaga survei yang saling berbeda hasilnya. Sebagian memenangkan Jokowi dan sebagian lainnya memenangkan Prabowo. Sehingga muncul ungkapan “Jokowi presiden televisi A” dan “Prabowo presiden televisi B”. Masing-masing capres akhirnya harus legowo dengan hasil hitung cepat. Keduanya kemudian sepakat untuk menunggu putusan komisi pemilihan umum (KPU).

Putusan KPU pun tiba waktunya dibacakan. Mata melihat dan telinga mendengar. Rakyat akhirnya mengetahui siapa pemenang pilpres. Namun sayang sekali pada proses ini, Prabowo menarik mundur saksinya yang berada di KPU. Ia menganggap pilpres sarat kecurangan dan menuntut ulang. Ia bersikukuh sehingga ia harus menempuh melalui siding MK.

Ada satu –dan tentu masih banyak- fenomena yang oleh penulis menarik untuk dikaji pada pilpres ini, komponen pendukung Prabowo. Keberadaan komponen tersebut tak terbantahkan akan memengaruhi pengambilan sikap Prabowo. Penulis mencermati ada banyak benturan ide, gagasan, ideologi dan pastinya kepentingan di dalam komponen pendukung Prabowo. Benturan-benturan tersebut terlihat cukup keras dan berimplikasi pada memburuknya citra Prabowo. Banyak kesalahan-kesalahan fatal yang ditimbulkan oleh jurkam Prabowo. Sebagai misal saat sebelum pilpres, adanya kontradisksi dalam menanggapi suatu permasalah dan isu terkini. Sebagai contoh, Prabowo berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Tetapi salah satu jurkamnya menilai bahwa KPK harus dihapuskan. Hal ini membuat gamang calon pemilih Prabowo.

Hal selanjutnya yang menjadi sorotan penulis saat ini adalah bahwa tim pemenang Prabowo terkesan  tidak solid dan “canggih” dalam menghadapi situasi pasca pilpres, termasuk gugatan pilpres di MK. Tim pemenangan Prabowo justru menggiring sosok Prabowo pada hal-hal yang tidak seharusnya. Sebagai mantan Jenderal TNI, mantan menantu Presiden dan Capres, tidak seharusnya diperlalukan seperti “ayam jago hendak diadu”. Penulis menggunakan istilah ini didasari pada sebuah fakta rill lapangan. Prabowo turun langsung memimpin orasi di depan gedung MK adalah salah satu contoh. Tidak semestinya hal tersebut dilakukan Prabowo. Ia seharusnya memposisikan diri sebagai seorang capres yang berwibawa. Prabowo bukan panglima yang sedang memimpin peperangan, ia juga bukan aktivis laiknya pemimpin demonstran. Tentu, disini dapat dilihat bahwa komponen tim pemenangan Prabowo tidak menimbang akibat sikap Prabowo. Dalam pidatonya di siding MK, Prabowo justru merendahkan proses pemilu dan menyinggung buruknya proses pemilu negara lain. Hal ini cerminan bahwa ia lemah dalam hubungan international.

Pencapresan Prabowo juga menyisakan kesan “transaksi politik” dan rapuhnya soliditas tim pemenangan. Ada kesan setengah hati yang dilakukan partai koalisi pendukungnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak solidnya elit partai, karena dukungan mereka juga ditujukan pada capres lain, Jokowi. Orang-orang yang setia mendampingi Prabowo sampai saat ini pun menunjukkan adanya apa yang penulis sebut sebagai magic transaksi politik. Mereka yang kerap mendampingi Prabowo adalah kalangan elit partai dan pengusaha. Tim pemenang yang dipastikan memiliki think tank tidak tampil dimuka.

Diakhir tulisan ini, penulis menyampaikan bahwa Prabowo dalam lingkaran yang tidak tepat. Penulis menggunakan term “lingkaran setan” sebagai bentuk kekecewaan kepada Prabowo yang menunjukkan sikap tidak negarawan. Hal ini dapat dipastikan pengaruh “ulah” tim pemenangan yang ada dibelakangnya. Tim pemenang Prabowo terkesan memanfaatkan Prabowo semata. Memanfaatkan dalam arti luas, segi financial, pengalaman di TNI dan profesinya sebagai pengusaha.



Selasa, 05 Agustus 2014

Mudik, Ketupat dan Petasan Sebagai Identitas Idul Fitri

Oleh: Ali Thaufan DS

Suka cita datangnya bulan Ramadhan menjadi cerita menarik bagi seorang muslim. Ada banyak hal yang bagi setiap muslim Indonesia menyisahkan cerita-cerita menarik itu. Seakan telah menjadi “tradisi”, setiap Ramadhan terlebih menjelang Idul Fitri, telah “memaksa” orang muslim untuk menyibukkan diri. Kesibukan seperti membeli baju baru, menyiapkan kue-kua lebaran, antri untuk membeli tiket dan liburan pulang kampung halaman, yang akrab disebut mudik. Tulisan ini hadir dari “refleksi” liputan mudik yang penulis amati baik di televisi maupun surat kabar; makanan ketupat yang menjadi bagian tak terpisah di meja makan saat lebaran; serta pesta petasan yang memeriahkan meski membahayakan pada saat malam-malam bulan Ramadhan.

Jauh sebelum Ramadhan tiba, para pekerja yang bekerja diluar daerahnya (perantau) telah merencanakan secara matang persiapan mudik. Kota-kota besar semisal Jakarta tampak sepi ditinggal penghuninya yang mudik ke kampung halaman. Ada banyak proses para pemudik yang bagi penulis, menarik untuk diamati. Tidak sedikit dari mereka harus rela mengantri untuk membeli tiket angkutan umum (bus, kereta, kapal, dan pesawat). Mereka yang tidak menggunakan angkutan umum mempersiapkan kelaikan kendaraan pribadinya untuk persiapan mudik. Selain sarana kendaraan, pemudik juga menyiapkan oleh-oleh yang beragam dari tanah perantauannya. Buah tangan khas daerah menjadi pilihan. Pada saat yang sama, jasa pertukaran uang pun menjadi buruan.

Antrian panjang kendaraan menjadi pemandangan di musim mudik dan balik. Volume kendaraan yang keluar dari Jakarta menuju berbagai daerah pun tidak sedikit. Puluhan ribu kendaraan keluar dari Jakarta mengantarkan penumpangnya kembali menuju Hari Fitri di kampung. Tampilan kendaraan pribadi tak seperti biasanya. Agar mampu membawa kapasitas lebih, bagian atap mobil dilengkapi perangkat untuk menaruh barang bawaan. Pun demikian dengan motor. Pemudik yang mengendarai motor terkadang meninggalkan kesan “bahaya berkendara”. Kapasitas motor yang idel untuk dua orang harus dipaksa menjadi empat. Himbauan aparat kepolisian agar tidak mudik mengendarai motor pun dihindari. Alasannya cukup sederhada: demi menghemat uang dan jarak tempuh lebih cepat dibanding menggunakan kendaraan roda empat.

Tentu, ada pertanyaan yang menarik melihat fenomena mudik, “Kenapa harus rela macet dijalan?”. Oleh kebanyakan pemudik, hal tersebut –kemacetan- akan terobati karena kangen kampung halaman yang terlampau besar. Sepanjang apapun macet di jalan tidak menjadi halangan. Harga tiket kendaraan angkutan umum yang melonjak pun tidak menjadi alas an untuk tidak mudik.

Ditengah suka cita ber-Idul Fitri, salah satu makanan yang tidak akan ketinggalan adalah ketupat. Makanan berbahan dasar beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda (janur) menjadi bagian integral dari Idul Fitri. Makanan penuh makna, simbol dari pengakuan kesalahan. Sehingga di hari yang Fitri seorang muslim saling memberi maaf pada muslim lainnya. Hal ini sangat berkaitan dengan Fitri, yakni kembali pada fitrah manusia yang terlahir tanpa dosa.

Hampir diberbagai daerah di Indonesia melakukan tradisi makan ketupat pada saat Idul Fitri. Umumnya di beberapa daerah Jawa, terdapat acara tersendiri untuk merayakan makan ketupat. Di Jombang misalnya, ada istilah “riyoyo kupat” (lebaran ketupat) yang diperingati hari ketujuh pasca Idul Fitri. Warga berdondong-bondong ke langgar (mushallah) membawa ketupat untuk kemudian bersantap bersama di teras langgar.

Hal lain yang tak kalah men-tradisi-nya saat Idul Fitri adalah petasan. Orang Jombang menyebut “mercon”, orang yang melakukan aktivitas atau menyalakan mercon di “merconan”. Suara petasan oleh sebagian orang sangat mengganggu, tetapi oleh sebagain lainnya suara itu menghibur. Orang yang terlanjur “ngefans” petasan tak segan mengeluarkan rupiahnya demi merayakan Hari Fitri dengan kemeriahan petasan. Musim lebaran tentu mendatangkan rezeki melimpah bagi penjual petasan. Tetapi harus diakui bahwa petasan dapat mendatangkan musibah jika ceroboh dalam menyimpan dan menyalakannya. Setiap kali musim lebaran, selalu saja terdapat korban meninggal akibat petasan.

Mudik, ketupat dan petasan sudah menjadi identitas Idul Fitri di Indonesia. Idul Fitri yang tentu berbeda dengan negara-negara lainnya. Diatas tiga identitas tersebut di atas, hal yang menjadi subtansi Idul Fitri adalah perubahan yang lebih baik seorang muslim pasca hari Fitri. Busana baru yang dikenakan saat Idul Fitri harus memperbarui prilaku dari tercela menjadi terpuji. Itulah hakikat dan subtansi Idul Fitri.

Bogor, 4 Agustus 2014