Rabu, 26 Desember 2012

Warna Natal 2012: Antara Toleransi dan Intoleransi



Oleh: Ali Topan DS
Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani merayakan hari Natal. Natal adalah hari kelahiran Yesus Kristus yang dimaknai sebagai bentuk dari kebaikan dan kesederhanaan Tuhan. Pada hari tersebut, umat kristiani dengan penuh suka cita menyambut hari besar mereka. Berbagai bentuk perayaan mereka gelar, mulai dari menghias rumah dengan pohon cemara khas Natal; bartukar kado dan lainnya.

Di Indonesia terdapat bermacam tradisi menyambut dan merayakan Natal. Masing-masing daerah memiliki khas dalam perayaan, sebut saja Bali yang menghias gerajanya dengan ornamnent khas bali; Yogyakarta, dimana sang pendeta mengenakan blangkon sebagai simbol budaya Jawa Yogyakarta; serta Jakarta, yang dimeriahkan aksi coret muka dengan bedak putih saat perayaan Natal. Hal ini dimaksudkan sebagai penyucian dari dosa.

Berbeda-beda agama yang ada di Indonesia, serta beragamnya budaya. Tidak hanya Natal. Saat hari besar/raya setiap agama yang ada di Indonesia, kita melihat para pemeluknya dengan suka cita menyambutnya. Masing-masing perayaan hari besar agama tidak terpisah dari tradisi tempat tumbuhnya agama tersebut. Selalu ada nuansa tradisi yang kental terasa saat perayaan hari besar agama tertentu.

Ada hal yang menjadi catatan “merah” dan “putih” bagi penulis pada perayaan hari besar umat kristiani (Natal)tahun 2012 ini, toleransi dan intoleransi. Pertama, adalah toleransi. Penulis terperangah saat membaca kabar bahwa sebanyak 200 anggota Front Pembela Islam (FPI) di Makassar turut mengamankan perayaan Natal kali ini. Menurut Ketua Majelis Syuro FPI Sulsel, alasan pengamanan ini adalah sebagai bentuk toleransi antar umat beragama. Bagi penulis, ini hal yang patut diacungi jempol. Seperti yang sudah-sudah, FPI selalu diidentikkan dengan gerakan Islam secara seporadis saat memberantas kemungkaran, serta terkesan eksklusif dan anti non Muslim. Namun kali ini FPI sangat santun. Atas nama toleransi beragama, mereka mengamankan perayaan Natal.

Selain itu, di kawasan Jakarta terdapat pula halaman masjid yang sengaja dijadikan tempat parkir bagi jemaat yang melakukan perayaan Natal di Gereja. Menurut salah pengurus ta’mir masjidnya, hal ini sudah biasa dilakukan dalam rangka menjaga kerukunan beragama. Hal yang sama juga disampaikan salah seorang jemaat, ia menyampaikan bahwa saat perayaan Id Adha, pihak gereja memberi batuan hewan kurban.

Kedua adalah intoleransi. Kejadian ini terjadi saat petugas satpol pp dan beberapa orang yang mengenakan peci bulat putih menghadang umat kristiani yang hendak melakukan kebaktian Natal di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia Bekasi dan Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor. Petugas satpol pp dan orang berpeci tersebut seakan tak punya hati. Belas kasih mereka entah dimana. Untuk memberikan kesempatan berbahagia bagi umat kristen melakukan kebaktian Natal saja mereka enggan. Lebih dari sekedar menghadang, mereka –satpol pp dan orang berpeci putih- juga mengusir jamaat gereja tersebut.

Apapun alasannya, mulai dari izin mendirikan bangunan atau sengketa tanah serta ketidakberpihakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Sesungguhanya tidaklah layak jika sampai mengusir orang yang hendak melakukan ibadah kebaktian, terlebih saat hari besar mereka. Pengusiran yang dilakukan tidak mencerminkan prilaku manusia beragama. Tidakkah negosiasi itu dapat dilakukan sehingga umat kristiani tersebut dapat melaksanakan perayaan Natalnya. Karena pada saat bersamaan seluruh umat kristiani sedang bersuka-cita melaksanakan Natal.

Selain kejadian di atas, ada hal yang bertolok belakang dengan apa yang dilakukan oleh FPI Makasar. Yakni saat FPI Semarang melakukan aksi protes kepada Bupati Semarang yang mengizinkan umat kristiani melalukan misa di alun-alun kota. Menurut Sekjend FPI Semarang, perayaan misa Natal di alun-alun kota adalah rawan konflik karena letaknya yang berdekatan dengan masjid Agung. Ia menambahkan bahwa izin yang diberikan oleh Bupati adalah toleransi yang berlebihan.

Demikian catatan “merah-putih” penulis saat melihat suka cita perayaan Natal 2012. Tentu saja penulis berharap, kerukunan dan kesatuan warga Indonesia adalah di atas kepentingan siapapun. Apapun ragam kepercayaannya, tidak seharusnya ada intimidasi antara satu dengan yang lain. Jika umat Muslim menganggap bahwa umat kristiani adalah kafir, maka perlu ditinjau kekafirannya. Bahwa mereka adalah kafir dzimmi yang dilindungi negara dan berhak mendapat tempat dan perlindungan di negeri yang mayoritas umat Islam.

Diskursus Tafsir dan Ta’wil: Tafsir al-Qur’an Dari Masa ke Masa


Dalam keyakinan seorang Muslim, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tak perlu diragukan lagi, ia dipandang para ulama memiliki kebenaran yang mutlak.[1] Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[2] Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Dalam posisi yang demikian, kajian terhadap al-Qur’an secara alami bermuara pada bagaimana membuka dan menjelaskan kadungan ayat-ayat al-Qur’an. Maka ilmu tafsir dan ta’wil yang harus dijadikan pegangan.

Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik bahasa atau istilah terhadap term tafsir. Penulis akan mengulas beberapa pendapat ulama mengenai term tersebut. Menurut al-Zarqanî, tafsir secara bahasa sesuatu yang menerangkan dan menjelaskan. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33

وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya

Sedang menurut istilah, tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.[3]

Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[4]

Sedangkan ta’wil secara bahasa berasal dari kata ‘aul yang berarti kembali ke asal. Dengan merujuk pada kalimat “أول الكلام تأويلاً”, maka ta’wil berarti memikirkan, memperkirakan dan menafsirkan. Terdapat dua makna mengenai istilah ta’wil kalam, pertama, ta’wil dengan pengertian suatu makna pembicara (orang pertama) mengembalikan perkataannya. Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan makna. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Thabari dalam kitab tafsirnya.[5]

Ulama muta’akhkhirîn memberi pengertian ta’wil dengan “Memalingkan makna lafaz yang kuat kepada makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya”. Tentu saja definisi ini sangat tidak sesuai dengan tradisi ulama klasik, sebagaimana ta’wil menurut al-Thabâri.[6]

Kalangan filosof dan teolog pada umumnya diketahui sebagai kelompok yang fokus penta’wilan al-Qur’an dengan menggunakan akal sebagai tolok ukur dalam menilai hasilnya. Beberapa filosof memandang bahwa ungkapan kebahasaan teks keagamaan adalah bersifat metaforis (majazi). Artinya, maksud yang dikehendaki teks adalah bukan seperti yang tertera dalam teks. Maka dalam rangka menangkap arti sebenarnya diperlukan disiplin ilmu dan latihan berfikir yang tinggi.

Sebagian teolog juga menggunakan akal sebagai tolok ukur diterima atau ditolaknya sebuah ta’wil. Menurut aliran mu’tazilah, jika ayat yang dita’wilkan terdapat ketidaksesuaian dengan pendapatnya, maka dicari segala kemungkinan ta’wil sehingga tidak terjadi pertentangan. Mereka memandang bahwa akal harus didahulukan dari sumber lain dalam menta’wilkan al-Qur’an. Sedangkan kalangan sufi memandang bahwa ta’wil tidak cukup menggunakan akal saja, tetapi dengan intuisi guna mengalihkan makna zahir kepada batin. Bahwa dalam al-qur’an terdapat makna yang tersembunyi. Ta’wil dalam konteks ini dipahami sebagai upaya menyingkap makna tersembunyi di balik teks al-Qur’an.[7]

Demikian ulasan mengenai definisi tafsir ataupun ta’wil. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan kami paparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.

A.    Tafsir pada Masa Klasik

Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuaan)

1.      Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat

Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi.[8] Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.

Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:

أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ

“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”

Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[9]

Karena penafsiran para sahabat sangat tergantung dengan pentokohan atau bersandar kepada Nabi dan sahabat lain, maka penafsiran seperti ini kurang memaksimalkan penggunaan rasio dan mengemukakan budaya kritisisme[10]. Inilah yang disebut dengan nalar quasi-kritis[11] oleh Abdul Mustaqim. Maka tidaklah heran jika tafsir era tersebut didominasi tafsîr bi al-riwâyah, sedangkan tafsîr bi al ra’yî cenderung dihindari bahkan dicurigai.[12]

2.      Tafsir pada masa tabi’in

Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.

Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[13]

Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.[14] Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[15] Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.[16]

Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.[17]

Jika penafsiran bil ijtihâd pada masa sahabat mengundang pro-kontra, yang demikian juga terjadi pada masa tabi’in. Sebagian menolak akal dalam penafsiran, sebagian lainya membolehkan. Diantara tabi’in yang menolak penggunaan ijtihad akal dalam penafsiran adalah Sa’îd ibn Musaiyâb dan Ibn Sirîn.

Sa’îd ibn Musaiyâb berkata:

إِنِّى لاَ نَقُوْلُ فِي اْلقُرْاَنِ شَيْئًا

“Sesungguhnya aku tiada mau mengeluarkan pendapatku sedikit pun dalam menafsirkan al-Qur’an”[18]

Al-Sya’bî dan Ubaidillah ibn Abdullâh ibn Umar juga mengungkapkan keberatan penggunaan akal dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Sya’bî berkata:

ثَلاَثٌ لاَ أَقُوْلُ فِيْهِنَّ حَتَى أَمُوْتُ: اْلقُرْاَنَ, اْلرُوْحَ, اْلرَأْيَ

“Tiga perkara, aku tidak mengatakan apa-apa terhadapnya sampai wafat: al-Qur’an, ruh dan ijtihad.”

Sementara Ubaidillah ibn Abdullâh ibn Umar berkata:

لَقَدْأَدْرَكْتُ فُقَهَاءَ اْلمَدِيْنَةِ يُعَظِّمُوْنَ اْلقَوْلَ فِي اْلقُرْاَنِ مِنْهُمْ سَالِمُ بْنُ عَبْدُ اللهِ, اْلقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَسَعِيْدٌ.

“Aku menjumpai fuqaha-fuqaha Madinah. Mereka tidak menafsirkan al-Qur’an dengan dasar ijtihad. Diantaranya Salim ibn Abdullâh, al-Qasîm ibn Muhammad dan Sa’îd.”

Sedangkan diantara tabi’in yang membolehkan ialah, Mujâhid dan Ikrimah. Golongan yang tidak membolehkan ijtihad dalam penafsiran mengkritik dan mencela golongan yang membolehkan. Hal tersebut mereka dasarkan pada hadis

مَنْ تَكَلََّمَ فِي اْلقُرْاَنِ فَأَصَابَ فَأَخْطَأَ.

“Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pikiran dan ijtihadnya, walaupun betul ijtihadnya, namun dipandang salah juga.”

Pendirian Mujâhid dan golongannya yang menggunakan ijtihad dalam penafsiran mendapat sambutan dari ulama Irak, kelompok Mu’tazilah dan ulama kalam. Diantara tokoh Mu’tazilah yang menggunakan rasio dalam penafsiran adalah al-Jâhidh (255 H), an-Nadhâm (231 H) dan al-Allâf (266 H).

Maka dari sini timbul perbedaan tafsir dan ta’wil. Tafsir ialah menjelaskan ayat al-Qur’an dengan dasar naql yang diterima dari rasul dan para sahabat. Sedangkan ta’wil adalah penafsiran al-Qur’an dengan dasar ijtihad melalui pengertian yang dalam terhadap makna kata-kata tunggal dan petunjuk bahasa.[19]

3.      Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuaan)

Pasca generasi tabi’in,[20] tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Menurut al-Dzahabî, masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H).[21] Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Ishâq ibn Rahawaih (238 H).[22]

Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abusyî Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).[23]

Beberapa perbedaan pendapat mengemuka tentang siapa yang pertama kali menulis tafsir dalam satu kitab tersendiri setelah dipisahkan dari kitab hadis. Pendapat pertama menyebut Ibn Juraîj (80-150 H) adalah yang pertama kali menulis kitab tafsir. Namun pendapat itu dibantah oleh beberapa ulama. Karena terdapat riwayat lain yang menyebut bahwa Ibn Abbâs pernah mendiktekan tafsir pada muridnya, Mujâhid. Pendapat lain menyatakan bahwa yang pertama kali menulis kita tafsir adalah Sa’îd ibn Jubair yang diminta oleh khalifah Abdul Malik ibn Marwan (w. 86 H) untuk mengumpulkan lembaran-lembaran tafsir. [24] Riwayat lain menyebut bahwa al-Farrâ’ yang pertama kali menulis kitab tafsir, dan kitab tersebut dapat kita temukan sekarang.[25]

Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[26]

B.     Tafsir pada Masa Abad Pertengahan

Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).[27] Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.

Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).

Bersamaan dengan itu, muncul tafsir dengan corak Syi’i, seperti Tafsîr al-Qur’ân karya Alî Ibrahim al-Qummî (w. 939 M), al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’ân karya Muhammad ibn Hasan al-Thûsî (w. 1067 M), Majmâ’ al-Bayân fî Ulûm al-Qur’ân karya Abû Ali Fadl al-Thabarsî (w. 1153 M) dan al-Shâfi fî Tafsîr al-Qur’ân karya Muhammad Murtadhâ al-Kasyî (w. 1505 M).

Dalam sejarah perkembangan Islam, abad pertengahan merupakan abad menerjemahan karya Yunani klasik ke dalam bahasa Arab. Terjadi akulturasi budaya Arab-Yunani. Sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an juga mendapat pengaruh, yakni tafsir corak sufi-falsafi. Diantara tafsir dengan corak demikian adalah Tafsîr al-Qur’ân karya Sahl ibn Abdillâh al-Tustâri  dan Haqâ’iq al-Tafsîr karya Abû Abdurrahman al-Sulamî (w. 412 H). Kitab Haqâ’iq al-Tafsîr menurut Ibn Shalâh merupakan kitab tafsir yang cacat, berbau Syi’a dan di dalamnya banyak hadis mawdhû’. Ibn Shalâh mengatakan “Saya temukan pendapat dari Imam Wahidî bahwa Abû Abdurrahman telah menulis kitab Haqâ’iq al-Tafsîr, apabila ia berkeyakinan bahwa kitabnya adalah kitab tafsir, maka ia telah kufr.”[28]

Komentar Ibn Shalâh di atas menjadi bukti bahwa pada abad pertengahan klaim-klaim kafir terhadap penafsiran yang tidak sesuai dengan mazhab tertentu telah muncul. Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud. [29]

Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.[30] Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl, macam qira’at, I’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[31]

Selain nama mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[32]

Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[33]

Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.

C.    Tafsir pada Masa Modern

Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.

Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[34]

Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.[35]

Pada tahun 1880 dianggap era baru sebagai kemunculan tafsir al-Qur’an muslim modern. Hal ini ditandai ketika Ahmad khan[36] mencurahkan minat mempelajari al-Qur’an ditengah hiruk pikuk terjadi ketegangan antara India dengan Inggris kala itu. Khan memberi pandangan baru terhadap masyarakat India bahwa kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dapat bersesuaian dengan semangat zaman kapan pun.

Namun perlu menjadi catatan bahwa kemunculan tafsir muslim modern tidak dimulai oleh Khan, karena pada tahun 1703 telah hadir tokoh di India yakni Syah Waliyullah al-Dahlawi (inilah yang disinyalir sebagai tokoh embrio pembaruan Islam). Syah Waliyullah al-Dahlawi adalah seorang intelektual Muslim India. Ia lahir pada 04 Syawwal 1214 H/ 21 Februari 1703.[37] Ia yang memberi reaksi positif atas perubahan situasi yang ada, yaitu melalui karyanya Hujjah Allah al-Bâligha dan Taqwîl al-Hadîth fî Rumûz Qisâs al-Anbiya. Karya yang kedua, menegaskan mengenai kemukjizatan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.

Pada masa berikutnya muncullah Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal, yang disebut-sebut rekan satu pemahaman dengan Ahmad Khan. Berbeda dengan Ahmad Khan, dalam merespon situasi sosial-politik yang terjadi, Abduh tidak memulainya dengan menulis tafsir al-Qur’an, namun menulis “Teologi Muslim”, atau yang disebut Risâlah al-Tauhid (1897). Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha.[38] Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.[39]

Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Tafsîr Jawâhir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[40]

Pada masa berikutnya muncul pakar dalam bidang tafsir di Mesir. Dua orang pengarang independen yang menjadi terkenal dalam bidangnya, yaitu Muhammad Ahmad Khalafullah dan Mohammad Kamil Husain. Khalafullah menampilkan sebuah master piece yakni al-Fann al-Qasasi fî al-Qur’ân al-Karîm.

Pada tahun 1930, terdapat karya tafsir, Tarjuman al-Qur’ân karya Abu Kalam ‘Azad (1888-1958). Ia lahir di Mekkah dari orang tua kebangsaan India. Melalui karyanya tersebut ia mengatakan bahwa al-Qur’an menunjukkan kecemerlangan kebenaran universal yang menjadi kebutuhan umat.[41] Azad juga tercatat sebagai aktivis politik. Ia juga mengkritik Inggris atas diskriminasi ras yang dilakukan.[42]

Menurut Azad, sebuah penafsiran seorang mufassir tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, masa atau zaman si mufassir. Ia berpendapat bahwa sebuah pemikiran merupakan produk dari lingkungan dan zamannya. Tetapi pandangan ini tidak berlaku bagi para sahabat nabi, ada pengecualian. Karena, menurut Azad, pemahaman para sahabat adalah pemahaman yang jelas dan sesuai hakikat yang dikandung al-Qur’an. pendapatnya yang demikian ia dasarkan atas kedekatan sahabat dengan nabi.[43]

Selain ‘Azad, muncul nama Muhammad Inayatullah Khan, yang lebih dikenal dengan al-Masyriqi (Sang Orientalis). Ia menulis buku dengan judul Hadîth al-Qur’ân (ditulis dari 30 Mei-20 Juni 1951). Dalam bukunya itu, ia ingin menunjukkan betapa tingginya peran al-Qur’an dalam bidang ilmu evolusi dan unifikasi umat manusia (persatuan/kesatuan umat manusia).

Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[44] Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[45]

Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981).[46]

Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[47] Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.

Potret sejarah penafsiran yang penulis kemukakan di atas mengantarkan pada sebuah diskursus bahwa tafsir pada periode pertama (masa Nabi dan sahabat) setidaknya memiliki karakteristik: (1). Penafsiran didasarkan pada perkataan nabi atau sahabat lainnya (tafsir bil ma’tsûr). (2). Tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. (3). Sedikit periwayatan yang diambil dari kisah israliyyat. (4). Minimnya perbedaan pendapat diantara sahabat dalam memahami al-Qur’an.

Pada periode kedua (masa tabi’in), (1). Tafsir mulai dimasuki kisah-kisah isrâiliyyât. (2). Mulai timbul perbedaan penafsiran karena sebagain penafsiran didasarkan pada ijtihad. (3). Pembukuan tafsir mulai bertambah, tidak seperti pada masa sahabat. Sedangkan pada periode ketiga (masa kodifikasi dan selanjutnya), karakteristik penafsiran sudah jauh dari masa sebelumnya. Pengaruh mazhab dan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi faktor utama.

Ulasan di atas juga sangat menyoroti perdebatan mengenai boleh tidaknya penggunaan ra’yi dalam penafsiran. Apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad. Ijtihad yang dimaksud di sini adalah ketika mufassir telah menguasai dengan baik kaidah-kaidah bahasa Arab dan segala aspek keilmuan yang digunakan menafsirkan al-Qur’an.[48] Menyikapi tafsir bil ra’yi juga harus diperhatikan, apakah tafsir tersebut bil ra’yi yang mahmûd (terpuji), atau mazdmûm (tercela).

Tafsir bil ra’yi mahmûd adalah penafsiran yang disandarkan pada al-Qur’an, sunnah nabi, dengan pengetahuan bahasa yang baik dan mengetahui kaidah-kaidah syar’iyah. Sedangkan tafsir bil ra’yi madzmûm, adalah penafsiran yang didasarkan pada pemahaman sendiri dan hawa nafsu serta tanpa dibekali pengetahuan syar’iyah yang baik. Maka tidak lain hal tersebut adalah bid’ah.[49] Namun, perlu diperhatikan juga bahwa kategori terhadap tafsir ra’yi terpuji atau tercela juga banyak perbedaan.[50]

Jika melihat kembali definisi ilmu tafsir, –ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya- maka tidak menutup kemungkinan bahwa selain mendapatkan penafsiran dari hasil periwayatan, penggunaan ra’yi atau kisah isrâiliyyât pun dapat membantu untuk memahami makna-makna, mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Hal ini agaknya berseberangan dengan pendapat al-Dzahabî. Dimana ia mengemukakan keberatannya dalam pengutipan riwayat isrâiliyyât untuk menjelaskan tafsir, penafsiran bil ra’yi model Mu’tazilah serta kecenderungan rasionalistik para mufassir modern.[51]

Adanya disparitas penafsiran sudah menjadi hal yang lumrah. Kenyataan tersebut dapat dilihat ketika ulama saling “menyerang” satu dengan yang lain ketika berbeda penafsiran. Hal ini berawal dari penggunaan ratio (akal) dalam menafsirkan ataupun bias teologi/mazhab. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, karena jika kita berpegang pada perkataan imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain itu salah, tapi mungkin juga benar.” Maka kita tidak mudah terjebak dalam truth claim.[52]




[1] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 1.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[3] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[4] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi ilmu Sarf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, pent Muzakris AS. (Bogor: Lintera AntarNusa, 1992), h. 452.
[5] Thabari menggunakan kalimat: “Pendapat tentang ta’wil ayat ini adalah…”. Sehingga yang dimaksud ta’wil disini adalah tafsir.
[6] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 453.
[7] Norhidayat, Metode Ta’wil al-Qur’an Menurut Imam al-Ghazali, (Tesis Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 70-77.
[8] Diantara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[9] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[10] Paham pemikiran yang kritis/secara mendalam (berbagai konsep).
[11] Nalar quasi-kritis menurut Abdul Mustaqim tidak dimaksudkan meragukan penafsiran nabi. Tetapi justru menegaskan keyakinan kuat bahwa seluruh tafsir nabi juga berdasarkan pada wahyu sebagaimana termaktub dalam Sûrah  al Najm/53: 3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
[12] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 34-35.
[13] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 41.
[14] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37. Lihat Muhammad Abdu as-Salam al-Naili, Tafsîr al-Imâm Mujâhid ibn Jabâr, (Dâr al-Fikr al-Islamî al-Hadîts), h. 66.
[15] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[16] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), vol 1, h. 97.
[17] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, pent Muzakris AS. (Bogor: Lintera AntarNusa, 1992), h. 470.
[18] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1971), h. 111.
[19] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 219-221.
[20] Dalam perkembangan sejarah Islam, generasi pasca tabi’in disebut generasi tabi’ut tabi’in.
[21] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 127.
[22] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 227.
[23] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 472.
[24] Tim Penyusun Forum Karya Ilmiah. Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. (Kediri: Lirboyo Press. 2011), h. 211-212.
[25] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 43.
[26] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[27] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[28] Badruddîn Muhammad ibn Abdullâh Al-Zarkasy, al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîst, 2006), h. 429.
[29] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
[30] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
[31] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 514.
[32] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
[33] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
[34] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[35] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
[36] Salah seorang pemimpin Muslim di India pada tahun 1857
[37] Syah Waliyullah al-Dahlawi, Hujjah Allah al-Bâligha, pent Nurudin Hidayat dan Romli Bihar Anwar, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta), h. 682.
[38] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha. Lihat. Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami. Pent Alaika Salamullah dkk. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), h. 396.
[39] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
[40] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
[41] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 15.
[42] http://en.wikipedia.org/wiki/Abul_Kalam_Azad. diunduh pada 23 September 2011
[43] Ahmad Rafiq, Kesatuan Tuhan dan Kesatuan Agama: Model Penafsiran Maulana Abul Kalam Azad, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Editor Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 26-27.
[44] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
[45] Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
[46] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[47] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. 2,  h. 126-132.
[48] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 221.
[49] Fahd ibn Abdu al-Rahman al-Rumi, Buhûs fî Ushû al-Tafsîr wa Manâhijuha, (Riyadh: Maktabah Taubah, tt), h. 80.
[50] Dalam hal ini, al-Dzahabî memasukkan tafsir Fakhruddin al-Razi sebagai tafsir bil ra’yi al-jâiz (yang mahmûd). Namun hal ini berbeda dengan Abu Hayyan yang mengomentari tafsir al-Razi “didalamnya terkandung segala hal, kecuali tafsir itu sendiri”. Komentar tersebut setidaknya dapat dipahami bahwa tafsir Mafâtih al-Ghaib dapat dimasukkan dalam ketegori tafsir madzmûm. Lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm 248. Bandingkan Fahd ibn Abdu al-Rahman al-Rumi, Manhaj Dirâsah al-‘Aqliyah al-Hadîtsah fî Tafsîr, (Riyahd: al-Buhûs al-Ilmiah wa al-Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Irsyâd), h. 28 tentang komentar Abu Hayyan.
[51] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 12.
[52] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 81.