Jumat, 07 September 2018

Partisipasi Civil Islam di Pilpres 2019


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Dinamika pencalonan presiden-wakil presiden tidak hanya diperankan oleh elit partai politik. Kelompok civil juga memainkan peranannya mendukung calon presiden untuk Pemilu 2019. Partisipasi peran civil semakin meneguhkan demokrasi kita pascareformasi 1998.

Menjelang pendaftaran capres-cawapres, semua parpol disibukkan dengan lobi membangun koalisi: “siapa akan berpasangan dengan siapa?”. Kandidat capres di Pemilu 2019 masih wajah lama (seperti Pemilu 2014) yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya dibuat “bingung” memilih pasangan sebagai cawapres. Kegalauan kedua pasangan ini adalah antara memilih pasangan cawapres dari parpol atau tokoh di luar parpol. Di tengah kegalauan kedua bakal calon itu, civil society menawarkan capres-cawapres alternatif. Peran civil ini antaranya muncul dari kelompok Islam.

Menjelang pendaftaran capres 2019 penulis mencermati beberapa peran civil Islam dalam menawarkan dan mengusulkan kandidat yang layak diusung parpol. Peran civil ini seperti yang dilakukan oleh Presidium Alumni 212, yaitu sebuah gerakan yang muncul pada tahun 2017 menuntut penegakan hukum terhadap Basuki T. Purnama (Ahok) atas dugaan penodaan agama. Pada 29 Mei 2018, PA 212 menggelar Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta, dan salah satu hasil kesimpulannya adalah mengajukan nama-nama capres-cawapres.

Nama yang direkomendasikan sebagai capres oleh PA 212 adalah: Habib Rizieq Syihab (Imam FPI), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Tuan Guru Bajang (Kader Partai Demokrat/Gubernur NTB), Yusril Ihza Mahendra (Ketum PBB), serta Zulkifli Hasan (Ketum PAN). Sedangkan nama yang direkomendasikan sebagai cawapres adalah: Ahmad Heryawan (PKS), Hidayat Nur Wahid (PKS), Yusri Ihza Mahendra (Ketum PBB), Anies Matta (PKS), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), Eggi Sudjana (Tokoh Islam), Ustadz Bachtiar Nasir (Dai/Penceramah), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), dan Anies Baswedan (Gubernur Jakarta).

Selain PA 212, menjelang pendaftaran capres, muncul pula gerakan bernama Presidium Pusat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama). Gerakan ini dimotori berbagai ulama dari berbagai ormas Islam. Ulama yang tergabung dalam GNPF Ulama merupakan ulama yang juga tergabung dalam GNPF MUI, yang turut menuntut penegakan hukum kepada Ahok.

Pada 27 Juli 2018, GNPF Ulama menggelar rapat yang disebut “Ijtimak Ulama” di Jakarta. Acara ijtimak ulama ini menurut pengurus GNPF diikuti sebanyak 600 orang ulama. Tak hanya para ulama, ijtimak ulama juga dihadiri tokoh-tokoh politik, ketua umum parpol, seperti Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden PKS M. Sohibul Iman, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra. Ijtimak ulama melahirkan rekomendasi pengusungan capres-cawapres kepada Koalisi Keummatan (klaim nama bagi koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PBB) yaitu simulasi pasangan: Prabowo Subianto-Salim Segaf Al-Jufri dan Prabowo Subianto-Abdul Somad Batubara (penceramah).

Hasil rekomendasi ijtimak ulama itu direspons dengan berbagai tanggapan antara lain seperti dikemukakan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya meski ijtimak ulama merekomendasikan dukungan pada Prabowo, tetapi hal itu tidak senantiasa membuat partinya mendukung Prabowo. Sementara Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB menyebut ijtimak ulama itu belum mewakili pandangan ulama dari kalangan NU.

Disamping PA 212 dan GNPF Ulama, beberapa ormas lain juga mengajukan usulan capres-cawapres. Ormas Islam terbesar Indonesia, PBNU misalnya mengusulkan agar bakal capres Jokowi meminang kader NU. Di internal PBNU beredar empat nama yaitu: Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siroj, Rais Aam PBNU Ma'ruf Amin, Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PPP M Romahurmuziy.

Pada akhirnya, rekomendasi dari civil Islam tidak selalu dijadikan pilihan. Prabowo misalnya, tidak memilih satupun dari hasil keputusan PA 212 dan GNPF Ulama. Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno, kadernya sendiri di Gerindra. Sedangkan Jokowi memilih salah satu nama yang muncul dari internal NU, Makruf Amin.

Model Pencapresan

Firman Noor dalam Opini di harian Kompas (6 September 2018) menulis dengan judul “Kokohnya Elit Partai”. Dalam tulisannya, Firman membagi tiga model pencapresan yang lazim dilakukan parpol. Pertama, pencapresan parpol diserahkan sepenuhnya kepada ketua umum parpol. Kedua, pencapresan di dalam parpol ditentukan oleh sebuah kelompok kecil dan terbatas (baik berupa majelis ataupun badan). Parpol menyerahkan sepenuhnya pencapresan kepada kelompok kecil itu. Ketiga, parpol menyerap aspirasi kader yang terpresentasi melalui pengurus tingkat daerah hingga pusat dalam menentukan pencapresan. Terhadap model pencapresan ini, Firman mengkritik pola pencapresan Pemilu 2019 yang menurutnya sangat ditentukan oleh sedikit saja elit parpol.

Firman juga menyayangkan model pencalonan baik presiden dan kepala daerah yang dilakukan parpol-parpol, yang justru mementingkan kepentingan bersama rekan koalisi daripada masukan dan saran kader. Terhadap kasus ini, penulis mencatat sebagaimana yang terjadi pada koalisi PDIP dengan PPP di Pilgub Sumatera Utara 2018. Ketika itu, kader PPP Sumut tidak menerima hasil kebijakan DPP PPP yang mendukung pasangan Djarot Saiful Hidayat (PDIP)-Sihar Sitorus (pengusaha). Kader-kader PPP menyayangkan sikap DPP PPP yang berkoalisi dengan PDIP padahal bukan kader PPP yang dijadikan calon. Puncak kekesalan kader PPP saat itu adalah melakukan protes dan membakar foto ketua umumnya, Romahurmuzy.

Partisipasi civil Islam dalam pengusulan pencapresan adalah bukti bahwa kekuatan Islam selalu berperan dalam momen-momen politik Indonesia (Pemilu dan Pilkada). Meski begitu, kekuatan tersebut tidak terkumpul dalam wadah yang mengakomodir seluruh kekuatan politik Islam. Pasalnya, masing-masing kelompok menonjolkan kekuatan mereka masing-masing. Ini bukan sesuatu yang mengherankan karena perbedaan dalam Islam merupakan hal yang lumrah, termasuk dalam pandangan politik.

Hasil Survei yang Tak Menguntungkan PAN


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Menjelang Pemilu 2019, berbagai lembaga survei merilis hasil survei. Tidak hanya elektabilitas calon presiden dan wakil presiden, beberapa lembaga survei juga merilis elektabilitas partai politik peserta Pemilu. Sebagian hasil survei menjadi kabar gembira bagi capres dan parpol. Sebagian lagi menjadi kabar yang mengecewakan. Tidak jarang, hasil survei dianggap kontroversial.

Tingginya angka parliamentary threshold (ambang batas parlemen) sebesar 4 persen membuat seluruh partai politik harus bekerja ekstra keras. Dalam berbagai survei, diperkirakan ada beberapa parpol yang tak masuk parlemen (DPR RI), salah satunya Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini merujuk hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Januari 2018 dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Juli 2018. Hasil survei SMRC dan LIPI memang bukan hal yang menggembirakan bagi PAN. Tetapi survei tersebut bisa menjadi cambuk koreksi diri agar PAN memperbaiki performance menjelang Pemilu.

Pada awal Januari 2018, lembaga survei SMRC menyebut PAN diprediksi tak lolos ambang batas. PAN hanya mendapat 2,0 persen (di bawah ambang batas 4 persen). Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais menyebut bahwa lembaga-lembaga survei patut dipertanyakan kredibilitasnya. Ia bahkan menyebut lembaga survei kerap menggiring opini dan sarat dengan kepentingan politik dan bisnis semata.

Hasil survei LIPI yang dirilis Juli 2018, menyebut elektabilitas PAN hanya 2,3 persen. Survei ini ditanggapi beberapa politisi PAN, salah satunya Saleh P. Daulay. Menurutnya, hasil survei kerap berbeda dengan hasil real count KPU. Oleh sebab itu, PAN tidak ambil pusing atas survei yang mengatakan bahwa PAN tidak lolos DPR.

Hasil-hasil survei memang terbuka untuk diperdebatkan, terlebih menyangkut metode survei. Hasil survei juga sering kali tidak sesuai dengan hasil Pemilu. Oleh sebab itu, temuan servei terkadang diabaikan begitu saja oleh sebagian parpol. Menurut Daulay, survei yang dilakukan lembaga survei adalah mengukur elektabilitas. Sedangkan Pileg adalah memilih daftar nama caleg. Hal inilah yang menurut Daulay menjadi pembeda setiap hasil survei dengan hasil penghitungan suara.

Hasil-hasil survei seharusnya bisa menjadi catatan penting bagi PAN dalam menyusun strategi dan kebijakan partai menjelang Pemilu. Melalui hasil survei, PAN bisa membaca peta kekuatan lawan (parpol lainnya), juga membaca keinginan rakyat dalam menentukan pilihan (partai/caleg). Oleh karena ini, betapapun kontroversialnya hasil survei, terdapat temuan yang bisa dimanfaatkan.

Sebagai parpol yang lahir dari rahim reformasi, PAN bisa dikatakan memiliki basis massa pemilih muslim modernis, dari ormas Islam Muhammadiyah. Partai ini memang identik sebagai partainya warga Muhammadiyah karena didirikan (pada 1998) oleh Amin Rais yang saat itu Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammdiyah. Akan tetapi, karena sifat Muhammadiyah yang tidak berpolitik praktis, maka anggotanya pun bebas memilih parpol.

Dengan mengandalkan suara warga Muhammadiyah, PAN harus bersaing dengan parpol lain yang menyasar basis pemilih yang sama, seperti PBB dan PKS. Ketiga parpol ini sama-sama memiliki kemiripan dalam corak keagamaan. Mereka lahir dari rahim kelompok modernisme Islam. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi PAN.

Bagi PAN, Pemilu 2019 terasa berbeda dengan Pemilu 2014 karena pada Pemilu tersebut PAN mencalonkan ketua umunya, Hatta Rajasa. Pada Pemilu 2019 yang berlangsung serentak, parpol-parpol yang tidak mencalonkan kadernya sebagai capres-cawapres tentu menghadapi persoalan tersendiri. Pada satu sisi parpol mengkampanyekan kader parpol lain untuk kampanye pilpres, dan pada sisi lain harus berkampanye sendiri untuk memenangkan kadernya di pileg.

Meski menghadapi berbagai tantangan seperti keserentakan Pemilu dan tingginya ambang batas parlemen, PAN mempunyai peluang untuk meningkatkan suara karena Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menduduki jabatan sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah jabatan yang terbilang istimewa. Kedudukan Zulkifli sebagai ketua lembaga negara bisa menjadi magnet untuk menggaet pemilih dari berbagai kalangan (tidak hanya muslim).

Kekuatan Dua Partai Islam di Dua Paslon Pilpres


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)

Pada Pemilihan Presiden 2019, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusung pasangan Joko Widodo-Makruf Amin. Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua paslon didukung dua parpol Islam. Dengan formasi tersebut, kedua paslon didukung kekuatan dua parpol Islam.

Parpol Islam di pilpres 2019 tidak mampu menampilkan kadernya (Ketua Umum) sebagai kandidat capres dan cawapres. Kondisi ini, pada titik tertentu dianggap sebagai kegagalan parpol Islam dalam memproduksi kader untuk bersaing di pilpres. Elektabilitas ketua umum parpol Islam praktis tidak mampu menandingi Jokowi dan Prabowo. Dalam berbagai survei, ketum parpol Islam hanya masuk dalam bursa cawapres baik Jokowi maupun Prabowo. Ketum parpol Islam hanya berebut posisi cawapres.

Ide memunculkan paslon alternatif dengan mengusung capres maupun cawapres dari parpol Islam sempat mengemuka. Namun, redup di tengah jalan. Praktis saja, suara umat Islam terpecah di Pemilu 2019, antara mendukung Jokowi atau Prabowo. Sebuah ironi. Ketika politik identitas (Islam) menguat, kekuatan Islam politik justru berpecah, terdistribusi dalam dua kekuatan utama (Jokowi dan Prabowo).

Dukungan Suara

Dalam menggalang koalisi, gabungan parpol sangat memperhitungkan dukungan suara massa. Hal ini tentu saja merujuk pada perolehan suara pada Pemilu sebelumnya. Ini menjadi penting karena perolehan suara Pemilu dan beberapa kali Pilkada serentak (2015,2017 dan 2018) menjadi tolok ukur kemampuan parpol dalam mendukung paslon capres-cawapres yang diusung.

Pada Pemilu 2014 lalu, PKB yang mengusung Jokowi-Makruf Amin memperoleh suara 11.298.957 suara, dan kursi DPR sebanyak 47 kursi. Sedangkan PPP yang juga turut mengusung Jokowi-Makruf Amin, pada 2014 lalu memperoleh suara 8.157.488 suara, dan kursi DPR sebanyak 39 kursi. PKS yang kini berkoalisi mendukung Prabowo-Sandiaga, pada Pemilu 2014 lalu mendapat suara 8.480.204 suara, dan 40 kursi DPR. Sementara PAN mendapat suara 9.481.621, dan kursi 49 kursi di DPR.

Jika dilihat berdasarkan statistik angka perolehan suara pada Pemilu 2014 lalu, pasangan Jokowi-Makruf Amin sedikit unggul. Jika ditotal suara PKB dan PPP, jumlahnya mencapai 19.456.445 suara. Sedangkan suara PKS dan PAN, jika dijumlah sebanyak 17.961.831. Angka ini menjadi penting karena salah satu syarat pencapresan adalah adanya Presidential Threshold (ambang batas pencapresan) berdasarkan perolehan suara pada Pemilu 2014 lalu. Selain ini, angka perolehan suara menjadi penting karena kemenangan pilpres ditunjukkan jumlah angka.

Konflik Tradisonalis-Modernis

Pada Pemilu 2019 nanti, mimpi membentuk poros baru telah terkubur. Hanya ada dua calon yang menjadi kandidat orang nomer satu dan dua RI. Sebagian orang mungkin menyayangkan parpol Islam tidak bersatu saja membentuk koalisi alternatif. Jika PKB, PAN, PKS dan PPP berkoalisi, syarat pencapresan akan terpenuhi. Dan koalisi ini sangat layak disebut “Koalisi Keummatan”. Koalisi ini juga mencerminkan koalisi dua organisasi Islam terbesar, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Yang menjadi pertanyaan: Mengapa koalisi ini tak terbentuk? Bukankan para kader partai Islam ini mengawali hari secara sama, yaitu solat Subuh?. Bukankan para kader partai Islam ini telah mengenal arti ukhuwah Islamiyah? Rupanya, pilihan politik tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia berakar dari dua pemikiran utama, yaitu kelompok “Islam tradisionalis” dan “Islam modernis”. Dhuroruddin Masad (2008:4) membagi lahirnya ormas Islam juga didominasi dua kelompok tersebut. Ormas yang tergolong tradisionalis antara lain: Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) didirikan di Bukit Tinggi pada 1930 dan Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada 1926. Sedangkan ormas yang tergolong modernis antara lain: Sarikat Dagang Islam (SDI) didirikan di Solo pada 1905, Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912, Thawalib didirikan di Sumatera Barat pada 1917, Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 1923.

Dalam pentas nasional, aktor-aktor dua kelompok ini –tradisionalis dan modernis- terlibat aktif dalam politik praktis. Deliar Noer (1987:84) dalam bukunya Partai Islam di Pentas Nasional mengulas detail perdebatan kelompok tradisionalis dalam hal ini NU dengan ormas Islam lainnya di dalam tubuh Masyumi. Perdebatan dipicu pembagian jatah kursi kabinet saat itu. Misalnya, ketika hendak menentukan kursi Menteri Agama pada 1952, internal Masyumi bergejolak. Elit Masyumi dari NU mendesak agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada kader NU, tetapi ormas lain menolak. Akhirnya jabatan Menteri Agama diberikan kepada kader Muhammadiyah, Usman Fakih.

Konflik kelompok Islam tradisionalis dan Islam modernis terus bergulir meski pada era Orde Baru, pemerintah mengambil kebijakan fusi partai-partai Islam, menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Berbagai konflik internal PPP terjadi disebabkan adanya ketidaksepahaman antara kelompok tradisionalis dan modernis di dalamnya ketika mengambil sebuah kebijakan politik. Kondisi ini terus terjadi mewarnai roda organisasi PPP.

Pada reformasi 1998, kekuatan politik Islam mendapatkan momentum bersatu, melawan rezim Orde Baru. Pada Pemilu 1999, kekuatan politik Islam bersatu hingga akhirnya memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Terpilihnya Gus Dur merupakan kerjasama yang solid antara kelompok tradisionalis dan modernis. Akan tetapi, narasi sejarah seolah menjadi beban. Di tengah jalan, kelompok tradisionalis (terepresentasi melalui PKB) dan kelompok modernis (terpresentasi melalui PAN) terlibat konflik. Puncaknya, Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden. Sejak saat itu, ketengangan kelompok tradisionalis dan modernis seolah memasuki babak baru.

Kelompok Islam tradisionalis dan Islam modernis memang bisa bertemu dalam satu kepentingan: kepentingan politik. Sebagai contoh pada Pemilu 2009, Islam Tradisionalis (PKB) dan Islam Modernis (PAN dan PKS) bergabung bersama mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono. Akan tetapi, pada 2014, keduanya kembali berseberangan. PKB mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sementara PAN dan PKS mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pada Pemilu 2019 nanti, karena kondisi politik identitas yang menguat, keduanya juga tidak bersatu. PKB dan PPP (representasi tradisionalis) mendukung Jokowi-Makruf Amin. PAN dan PKS kembali mendukung Prabowo yang kini berpasangan dengan Sandiaga. Dengan komposisi koalisi yang demikian, politik Islam tidak akan mampu “memuaskan” suara umat Islam seluruhnya. Jargon umat Islam bersatu dalam politik kian jauh dari harapan.

Menguji Ketulusan PKS Pada Prabowo-Sandiaga dan Isu Mahar Politik


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai politik pendukung koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Keduanya adalah ketua dewan dan wakil ketua dewan pembina Partai Gerindra. Tuluskah PKS mendukung keduanya? Pasalnya, Pemilihan Umum 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan anggota legislatif dan presiden. Selain itu, PKS sebelumnya telah mengajukan sembilan nama kadernya pada Prabowo (mengerucut menjadi satu nama: Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Majelis Syura PKS). Dengan mendukung Prabowo tanpa pamrih (kursi cawapres), akankah PKS mendapat cottail efect dari dukungan terhadap Prabowo?

Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018, PKS di beberapa daerah menjalin koalisi dengan Gerindra. Harapan mereka, koalisi ini bisa diteruskan hingga pilpres 2019, yaitu Prabowo menjadikan kader PKS menjadi pendampingnya. Akan tetapi, detik-detik jelang penutupan pendaftaran capres-cawapres berkata lain, Prabowo meminang kadernya sendiri: Sandiaga. Dalam benak hati kader PKS tentu terbesit rasa kecewa, meski tidak ditunjukkan ke muka publik.

Kekecawaan itu dapat terbaca mudah. Jika ditarik sedikit ke belakang, dalam banyak kesempatan elit PKS bermanuver mengingatkan Prabowo agar mengambil satu dari sembilan kader usulan PKS. Bahkan, beberapa elit PKS sempat “mengancam”, akan meninggalkan Prabowo jika tidak menjadikan kader PKS sebagai cawapres.

Keikhlasan PKS berkoalisi dengan Prabowo diwarnai isu politik transaksional. Hal ini seperti dikemukakan politisi Partai Demokrat, Andi Arief yang menyebut PKS dan PAN menerima imbalan sebesar Rp. 500 miliar dari Sandiaga agar tetap mendukung Prabowo-Sandi meski kader kedua parpol itu tidak mendampingi Prabowo sebagai cawapres. Andi kemudian mengistilahkan Prabowo sebagai “Jenderal Kardus”, kardus dianggap sebagai tempat menaruh uang berjumlah miliaran.

Isu ini memang mengagetkan dan seperti tidak rasional. Bagaimana mungkin, parpol yang selama ini mencitrakan diri sebagai pembela umat dan ulama bisa menerima fulus itu. Prabowo, PKS, dan PAN sendiri membantah isu miring itu. PKS misalnya, membantah tuduhan dan siap membawa ke ranah hukum. Bantahan mereka berbuah konflik antarpartai menjelang pilpres. Beberapa politisi Gerindra kemudian menyindir Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Umum Partai Demokrat) dengan sebutan “Jenderal Baper”. Sebetulnya ini situasi yang tidak menguntungkan keduanya, karena keduanya sedang dalam upaya membangun koalisi.

Isu Politik Uang Terulang

Sistem politik Indonesia mulai menata agar praktik politik uang bisa diminimalisir hingga dihilangkan. Berbagai pengaturan regulasi memperketat dan menindak tegas praktik politik uang. Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, praktik “mahar politik” dilarang keras.  Pada pasal 228 disebutkan “Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden”. Jika parpol terbukti melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka parpol bersangkutan dilarang mengajukan presiden pada Pemilu yang akan datang. Sedemikian ketat aturan dibuat agar praktik haram politik uang ini bisa dihindari.

Isu praktik politik uang yang diberikan kepada PKS bukan kali ini saja terjadi. Menjelang pilpres 2004, isu serupa juga berhembus menimpa PKS. Yusuf Supendi dalam Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elit PKS, menyebut adanya indikasi uang yang mengalir ke PKS. Pada Pilpres 2004, PKS telah menentukan sikap mendukung paslon Amin Rais-Siswono Yudho Husodo. Akan tetapi, Ketua Majelis Syura, Hilmi Aminuddin membuat keputusan lain, mendukung Wiranto-Sholahudin Wahid. Keputusan Majelis Syura itu diwarnai dengan adanya aliran dana sebesar Rp. 21 miliar ke PKS. Tidak hanya dari Wiranto, menurut Yusuf, aliran dana juga mengalir dari Ketua Umum PAN, Sutrisno Bachir.

Munculnya isu mahar Rp. 500 miliar kepada PKS dan PAN ini menguatkan praktik politik uang bisa terjadi kapan dan kepada siapa saja. Makna politik semakin tereduksi hingga menjadi sesuatu yang negatif (kotor). Urusan politik semakin disimplifikasi dengan kekuatan uang. Parpol yang memiliki ideologi seolah bisa dibeli dengan kekuatan finansial. Kondisi seperti ini semakin menguatkan tesis Kuntowijoyo (2018:142) yang menyebut bahwa parpol sejak orde baru telah bergerak dari ideologis menjadi pragmatis. Kondisi semacam ini menurut Nurcholish Madjid kian menjauhkan parpol Islam dari cita-citanya.

Munculnya isu praktik mahar politik dalam pencalonan Prabowo-Sandiaga bisa merugikan citra Gerindra, PKS dan PAN. Pasalnya, selama ini praktik politik uang dalam kontestasi politik (Pilkada dan Pemilu) dianggap sebagai biang korupsi, baik di eksekutif (terutama kepala daerah) maupun legislatif. Praktik kotor politik uang akan membuat cita-cita politik PKS dan PAN (parpol Islam) semakin jauh dari esensi. Jika isu ini terus direproduksi, elektabilitas kedua parpol ini bisa tergerus.

Meredam Politik Identitas di Pilpres 2019


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia, Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia)

Teka-teki siapa yang akan mendampingi Joko Widodo sebagai calon wakil presiden terjawab sudah. Jokowi bersama partai koalisi memilih Makruf Amin sebagai cawapres. Pilihan ini sebetulnya tidak begitu mengagetkan meskipun calon yang kerap disebutkan akan menjadi cawapres Jokowi adalah Mahfud MD.

Pemilihan cawapres Jokowi memang penuh dilema bahkan seperti drama. Terlebih, jelang deklarasi, Mahfud MD sempat bakal ditunjuk akan mendampingi Jokowi. Tetapi, dalam hitungan menit, cawapres Jokowi berubah menjadi Makruf Amin.

Nama Makruf Amin sendiri memang termasuk dalam tokoh-tokoh yang diprediksi mendampingi Jokowi. Sebelumnya, Jokowi menyampaikan jika calon pendampingnya berinisial M. Inisial ini merujuk pada beberapa nama yaitu: Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), M. Romahurmuzy (Ketua Umum PPP), Mahfud MD (mantan Ketua MK), dan Makruf Amin (Rois ‘Am PBNU yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia).

Pemilihan Makruf Amin memang sudah diprediksi karena yang bersangkutan juga termasuk dalam rekomendasi yang diusulkan ormas Islam terbesar, PBNU. Makruf sendiri sebelumnya memang menyatakan kesiapannya jika yang bersangkutan “dipanggil” untuk menunaikan tugas menjadi cawapres meski dirinya sudah nyaman menjadi ulama, kyai dan tokoh umat Islam.

Jokowi dan partai koalisi mempertimbangkan secara matang sebelum memilih Makruf. Dalam keterangannya, Jokowi menyebut Makruf sebagai sosok yang tidak diragukan lagi karena memiliki segudang pengalaman, menjadi Anggota DPRD, DPR RI, Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila hingga Ketua Umum MUI. Melihat rekam jejak ini, Makruf terbilang cukup banyak pengalaman politik.

Pada 2017 lalu, menjelang Pilkada Jakarta, nama Makruf kian dikenal karena sempat bersaksi dalam sidang kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (calon Gubernur Jakarta). Saat itu, Ahok dianggap bersikap tidak sopan pada Makruf yang akhirnya semakin membuatnya tidak disukai banyak kalangan. Meski begitu, Makruf dengan kerendahan hati, memaafkan Ahok. Tapi ibarat “nasi menjadi bubur”, Ahok semakin tidak disukai, elektabilitasnya melorot dan akhirnya kalah dalam putaran kedua Pilgub.

Makruf tidak saja dikenal sebagai ulama (kyai), tapi juga seorang negarawan. Dalam kondisi menguatnya politik identitas, Makruf sering meredam panasnya isu-isu SARA (terutama agama) di Pilkada 2018. Kedudukannya sebagai tokoh Islam sangat dihormati dan petuahnya sangat diperhatikan banyak pihak. Ibarat mesin pendingin, itulah Makruf Amin.

Nasionalis-Religius

Pasangan Jokowi-Makruf Amin merupakan duet kolaborasi nasionalis-religius. Jokowi yang merupakan kader PDI-Perjuangan selalu mengidentikkan citra sebagai representasi nasionalis. Sementara Makruf yang merupakan kader NU, representasi Islam (religius). Duet nasionalis-religius sebetulnya bukan strategi baru dalam pilpres di Indonesia. Dalam setiap Pemilu langsung pascareformasi, pasangan seperti ini selalu muncul. Pada Pemilu 2004 misalnya, Megawati (PDI-Perjuangan) berpasangan dengan Hasyim Muzadi (NU). Pasangan ini mencitrakan dirinya sebagai representasi nasionalis-religius.

Kolaborasi tersebut merupakan strategi untuk mengantisipasi isu-isu miring kampanye terutama menyangkut agama. Meski dalam beberapa survei menyebut bahwa pertimbangan utama pemilih dalam memilih adalah berbasis kinerja, tetapi faktor “kesamaan keyakinan (agama)” masih menjadi isu yang diperhitungkan. Dalam suasana politik identitas yang menguat jelang Pemilu 2019, pilihan berpasangan dengan Makruf menjadi sangat rasional bagi Jokowi.

Akan tetapi, patut menjadi pelajaran bahwa kolaborasi nasionalis-religius tidak menjamin paslon bersangkutan meraih kemenangan. Justru, pada Pemilu 2004, paslon kolaborasi tersebut “keok”. Megawati-Hazim Muzadi, Hamzah Haz-Agum Gumelar dan Wiranto-Sholahuddin Wahid, yang merupakan paslon nasionalis-religius, semuanya kalah dengan paslon Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (pasangan yang bukan merupakan duet nasionalis-religius).

Oleh sebab itu, meski kolaborasi nasionalis-religius kerap menjadi pilihan dalam penentuan koalisi, tetapi bukan jaminan mulus meraih suara, menang Pemilu. Hal ini merupakan bukti bahwa meski politik identitas dihembuskan sebagai bagian strategi kampanye, namun hasilnya tidak sepenuhnya berhasil.

Market Lama: Atas Nama Umat

Dalam beberapa kasus, baik Pemilu dan Pilkada, paslon duet nasionalis-religius mencoba merebut suara umat Islam melalui peran ormas-ormas Islam. Mereka tidak segan-segan melegitimasi strategi dengan doktrin agama dalam kampanye. Ini semua dilakukan dalam rangka merebut suara dan meraih kemenangan.

Terdapat hal yang lebih penting dari sekedar memasarkan isu-isu duet nasionalis-religius ini, yaitu mengkonversi suara umat Islam menjadi produk kebijakan yang menguntungkan umat dan bangsa secara keseluruhan. Hal ini telah lama didengungkan Kuntowijoyo, agar umat mengambil peran dalam kontestasi Pemilu dan berkontribusi pada perbaikan bangsa.

Model kolaborasi nasionalis-religius jangan hanya menjadi alat kampanye, memasarkan citra lalu mengabaikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Jika politik kita masih mementingkan pakaian kolaborasi, tanpa disertai penyelesaian persoalan bangsa yang mendasar, maka politik identitas tidak akan pernah usai. Demokrasi politik kita masih akan disibukkan pada dua pengelompokan atau dikotomis seperti: nasionalis-religus.

PBB yang Ditinggal Gerbong Koalisi


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Direktur Program Institut Studi Strategi Indonesia, Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Adagium tidak ada teman dan musuh abadi dalam politik memang benar adanya. Politik membuat ketidakpastian kesetiaan teman dan musuh. Hal ini mungkin yang dialami Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Menjelang tenggat waktu pendaftaran capres-cawepres untuk Pemilu serentak 2019 yang berakhir pada 10 Agustus 2018, semua partai politik membangun komunikasi intens sesamanya. Mereka mencari kesepakatan untuk membangun koalisi mengusung pasangan calon capres-cawapres. Membangun koalisi lebih kepada kesamaan kepentingan, dan mengabaikan kesamaan asas dan ideologi parpol. Hal ini dibuktikan dengan adanya koalisi parpol-parpol berasas Pancasila dan agama (dalam hal ini Islam).

Untuk Pilpres 2019, parpol-parpol telah membentuk koalisi dan memunculkan dua paslon: Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Paslon Jokowi-Makruf diusung enam parpol yang berada di parlemen (DPR RI) yaitu PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura. Dukungan enam parpol lebih dari cukup untuk mengusung Jokowi-Makruf. Di luar itu, Jokowi-Makruf juga didukung parpol non parlemen (DPR RI) dan parpol baru: PKPI, PSI dan Perindo.

Sementara itu Prabowo-Sandiaga diusung empat parpol yang ada di parlemen: Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS, serta parpol baru yaitu Beringin Karya. Dengan komposisi tersebut di atas, kedua paslon mendapat dukungan parpol Islam, PKB dan PPP mendukung Jokowi-Makruf. Sedangkan PAN dan PKS mendukung Prabowo-Sandiaga.

Koalisi Prabowo yang sebelumnya sering disebut “Koalisi Keumatan” memang cukup mengejutkan ketika Prabowo memilih Sandiaga. Pasalnya ijtimak ulama (sebuah forum kelompok ulama tertentu) merekomendasikan Prabowo agar berpasangan dengan Salim Segaf (Ketua Majelis Syura PKS) atau Abdul Somad (seorang penceramah). Namun apa mau dikata, Prabowo sudah berketetapan hati memilih Sandiaga.

Pasca penentuan paslon Prabowo-Sandiaga, Partai Bulan Bintang (PBB) melalui ketumnya Yusril buka suara soal koalisi tersebut. Yusril bersama PBB yang selama ini kerap sependapat terhadap koalisi Prabowo ternyata merasa ditinggalkan. Padahal, dalam banyak pandangan terhadap kebijakan pemerintah, Yusril sering memposisikan diri bersama barisan oposan (Gerindra dan PKS). Akan tetapi dalam konteks pencapresan, takdir politik berkata lain.

Merasa tidak diajak berkoalisi, Yusril menyebut bahwa parpol Koalisi Keumatan itu ingin agar PBB masuk “liang lahat”. Ia kecewa kepada koalisi itu karena sejak dalam proses pendaftaran parpol peserta Pemilu, PBB yang kerap mendapat kendala-kendala teknis terhadap aturan penyelenggara (KPU), merasa tidak ada simpati sedikitpun dari Gerindra, PAN dan PKS. Terlebih saat hendak mengusung capres-cawapres, PBB merasa ditinggalkan.

Cukup Presidential Threshold

Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur bahwa syarat pencalonan presiden dan wakil presiden adalah diusung parpol atau koalisi parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR RI dan atau 25 persen perolehan suara sah nasional dari hasil Pemilu 2014 lalu. Dengan aturan ini, praktis saja PBB tidak begitu diperhitungkan parpol koalisi. Terlebih, pada 2014 lalu PBB hanya memperoleh suara sebanyak 1,8 juta (1,46 persen) dan ini memaksa PBB tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen) yang saat itu ditetapkan 3,5 persen.

Dalam membangun koalisi, tentu saja aspek ambang batas parlemen menjadi pertimbangan yang sangat penting. Ketiadaan PBB di DPR RI periode 2014-2019 bisa menjadi alasan mengapa Gerindra dan koalisinya meninggalkannya begitu saja. Tingginya angka ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 nanti, sebesar 4 persen, juga bisa saja menjadi pertimbangan koalisi Prabowo tidak menarik gabung PBB. Pasalnya, merujuk survei, PBB diperkirakan tidak lolos ambang batas parlemen yang diberlakukan khusus tingkat DPR RI itu.

Hal lain yang mungkin menyebabkan tidak diajak bergabungnya PBB dengan koalisi Prabowo adalah terkait logistik Pemilu. Harus diakui, sistem Pemilu terbuka yang kita terapkan saat ini berkonsekuensi pada mahalnya biaya politik. Sebagai parpol “menengah ke bawah”, besar kemungkinan PBB tidak memiliki kemampuan logistik yang memadai untuk menjadi daya tawar dalam koalisi.

Fokus Pileg

PBB telah mengalami kegagalan penempatkan calegnya di DPR pada Pemilu 2014 lalu. Ini menjadi pelajaran bagi partai yang sering disebut sebagai next Masyumi atau partai Keluarga Bulan Bintang. Dengan tidak bergabungnya PBB pada koalisi paslon capres-cawapres tertentu, sebetulnya bisa membuat PBB lebih fokus pada Pileg. Dengan ditetapkannya ambang batas parlemen sebesar 4 persen tentu memaksa PBB berkerja ekstra keras jika ingin kembali masuk di parlemen (DPR RI) seperti hasil Pemilu 1999 lalu.

Dukungan parpol pada paslon belum tentu diikuti dengan adanya cottail effect (efek jas ekor) pada perolehan suara parpol. Misalnya, Golkar yang mendukung Jokowi-Makruf, belum mendapat jaminan pemilih memilih Golkar karena Jokowi merupakan kader PDIP. Sama halnya dengan PAN yang mengusung Prabowo-Sandi, belum mendapat jaminan pemilih memilih PAN karena Prabowo merupakan Ketum Gerindra. Oleh sebab itu, bagi PBB, Pemilu 2019 nanti sejatinya bukan menjadi soal untuk menentukan dukungan terhadap capres-cawapres karena yang terpenting adalah meraih suara sebanyak mungkin agar lolos ambang batas parlemen, dan menempatkan wakilnya di DPR RI. Dengan demikian, PBB akan kian eksis dalam kancah perpolitikan nasional.

PPP Pasca Mundurnya Djan Faridz


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Sejak 2018 lalu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami konflik internal. Bahkan konflik mencapai titik nadir saat partai berlambang Ka’bah ini terpecah dua kubu, mengalami dualisme kepengurusan, kubu Romahurmuzy (Romy) dan Djan Faridz. Kedua kubu mengklaim sebagai PPP yang sah. Bahkan sampai melegitimasi keabsahannya berdasarkan “sabda” ulama-ulama sepuh (tua yang dihormati).

Jika dicermati, konflik antarkubu PPP bermula dari perbedaan dukungan pencapresan pada 2014 lalu. Faksi Romy mendukung Joko Widodo, dan faksi Suryadharma Ali (Ketum PPP saat itu) bersama Djan Faridz mendukung Prabowo Subianto. Sejak saat itu, konflik internal PPP semakin keras hingga melahirkan kepengurusan PPP versi Surabaya dan versi Jakarta. Langkah islah diupayakan dengan “Muktamar Islah” di Asrama Haji Pondok Gede. Tapi Muktamar ini tidak dihadiri kelompok Djan.

Kekacauan konflik internal ini berdampak fungsi kedewanan anggota fraksi PPP baik di DPR RI maupun di DPRD. Selain itu konflik juga pasti mengganggu konsolidasi PPP. Pasalnya, sejak berkonflik, PPP menghadapi tiga kali Pilkada serentak, 2015, 2017 dan 2018.

Konflik internal sebetulnya mulai surut pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan kubu Romy. Sejak saat itu, kubu Djan mulai meredup. Beberapa loyalis Djan mulai mundur, seperti Sekretaris Jenderalnya Dimyati Natakusumah. Sementara itu, individu-individu yang tidak terakomodir di dua kubu, mencoba membuat gerbong baru: “PPP Khittah”.

Setelah terlibat dalam konflik panjang, akhirnya Djan memutuskan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta, tepatnya pada 30 Juli 2018. Alasannyan ia gagal memenuhi amanat menyatukan dan menyelesaikan konflik dualisme. Mundurnya Djan seolah menjadi isyarat persatuan kembali kader PPP menjelang Pemilu 2019. Meski ditinggal Djan, PPP versi Jakarta itu menunjuk Plt Ketua Umum, Hamprey Djemat. Plt ini yang akan mengantarkan pada Muktamar Luar Biasa untuk memilih ketua umum kembali.

PPP Jakarta sepertinya kehilangan momentum politik nasional. Pasalnya, pada verifikasi parpol peserta Pemilu 2019, PPP yang diverifikasi adalah di bawah Ketua Umum Romy. Kepengurusan Romy yang pada saat berkonflik berkantor di kawasan Tebet kini kembali ke kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro Menteng. Saat terjadi konflik internal. Kantor PPP sempat vakum dan pernah terjadi kerusuhan.

Keputusan untuk tetap berkubu “PPP Jakarta” adalah sebuah kerugian bagi mereka. Pasalnya, setelah kehilangan politik, mereka tetap "ngotot" menunjukkan eksistensi tanpa pengakuan dari pihak lain, pemerintah (terutama penyelenggara Pemilu). Di sisi lain, PPP Jakarta yang ingin menunjukkan eksistensi juga bisa menjadi batu sandungan bagi PPP di bawah kepengurusan Romy. Suka atau tidak, PPP Jakarta bisa menggembosi perolehan suara PPP sendiri dalam Pemilu. Inilah yang harus diwaspadai PPP.

Masih adanya perkubuan “dualisme” di PPP jelang Pemilu tentu menambah beban PPP. Pasalnya, Pemilu 2019 memberlakukan ketentuan ambang batas parlemen yang cukup besar, empat persen (4%) dari total suara pemilih. Besarnya PT ini tentu memaksa parpol lebih keras dalam meraih suara. Terlebih lagi, dalam beberapa hasil survei elektabilitas parpol, PPP terancam tidak lolos ambang batas parlemen. Jika tidak lolos, ini adalah “kuburan PPP” dan menjadi sejarah karena PPP sendiri merupakan parpol Islam tertua yang berdiri sejak 1973.

Menurut Lili Romli (2016), salah satu penyebab kader parpol keluar dan berpindah adalah akibat adanya konflik. Hal ini yang juga terjadi di PPP. Ujian PPP jelang Pemilu juga adanya "migrasi" beberapa elit PPP yang memutuskan keluar parpol dan bergabung dengan parpol lain. Beberapa politisi PPP yang tidak tergabung kubu Romy dan Djan, seperti Ahmad Yani, berpindah ke Partai Bulan Bintang (PBB). Yani sendiri mengakui jika alasan keluarnya karena konflik PPP yang begitu lama.

Politisi PPP lain, yang dinilai tidak punya masalah dalam struktur kepengurusan, seperti Okky Asokawati (juga anggota Fraksi PPP DPR) juga memutuskan berpindah parpol. Keadaan ini tentu sangat merugikan PPP karena di tengah parpol berupaya berebut suara, justru kader PPP yang sudah memiliki basis massa berpindah ke lain parpol.

Hofmeister dan Grabow (2011:51) menyadari betul bahwa konflik internal parpol amat sulit dihindari. Akan tetapi, konflik bukan tanpa penyelesaian. Kerasnya konflik tetap dapat diselesaikan melalui musyawarah antarpihak yang terlibat konflik. Dengan demikian, akan didapatkan titik temu penyelesaian.

Mundurnya Djan sebetulnya menjadi momentum Romy untuk mengajak kader PPP Jakarta untuk “kembali pulang ke rumah” dan menyudahi konflik mereka. Hanya saja, kubu Romy tentu dihadapkan pada dilematis karena tidak mampu mengakomodir mereka dalam pencalegan karena terbatas waktu. Tentu saja, dengan semangat musyawarah akan tercapai titik temu.