Selasa, 17 April 2012

Indonesia, Republik Anarki?


Masih lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia, sejak pertengahan bulan maret lalu, hampir semua media elektronik maupun cetak gencar dengan pemberitaan seputar kenaikan harga BBM. Hingga pasca sidang paripurna yang memutuskan naik atau tidaknya harga BBM, masyarakat tetap larut dalam isu kencang tersebut. Ditambah lagi sidang yang diwarnai kericuhan para anggota dewan perwakilan rakyat. Persoalan kenaikan harga BBM juga berkaitan erat dengan soliditas hubungan antar partai koalisi pendukung pemerintah SBY. Karena terdapat anggota partai koalisi yang tidak sejalan dengan ide pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Fakta diatas barangkali menjadi konsumsi publik belakangan kemarin.

Berbeda dengan pemberitaan media sebelumnya, kali ini masyarakat Indonesia di buat resah dengan beberapa kasus anarkis geng motor. Anggota yang tergabung geng motor rata-rata usia pelajar setingkat SMA atau bahkan SMP. Hal ini tentu sangat disayangkan. Karena pada saat ini seharusnya mereka konsentrasi menghadapi ujian nasional.

Di Ibu Kota Jakarta para geng motor kerap melakukan balap liar di malam hari. Lebih dari itu, kali ini mereka juga melakukan tindakan anarkis dan criminal dengan merampok disebuah mini market. Selain merampok, para anggota geng tersebut tidak segan-segan menganiaya penjaga mini market. Selain di Jakarta, kasus serupa juga terjadi di Tangerang Selatan, Bandung dan Makassar. Aksi anarkis dan tawuran antara dua kelompok geng motor yang terjadi di Makassar pun menelan korban jiwa.

Penulis mengamati, bahwa aksi tawuran yang kerap terjadi biasanya dipicu dendam lama atau yang pernah menimpa sebelumnya. Sehingga tawuran kemudian menjadi tradisi bagi mereka. Keamanan yang diberikan oleh pihak penegak hukum juga dirasa kurang. Karena beberapa aksi balap liar atau perampokan tidak terjadi belakangan ini. Selain itu, tidak jarang dari aksi tawuran yang terjadi akibat perbedaan pendapat antar satu kelompok dengan lainnya. Para pelaku tawuran juga iresponsif terhadap somasi dari aparat keamanan.

Sungguh sebuah ironi. Bangsa Indonesia harus menerima kenyataan prilaku negatif yang dilakukan anak muda penerus bangsa; kericuhan akibat disparitas pendapat dalam sidang DPR; serta melihat nyawa melayang akibat ulah tak bertanggung jawab kelompok tertentu. Inilah problem dan fakta lapangan yang harus segera diakhiri. Jika dibiarkan demikian, maka sebutan “Republik Anarki” layak disandang Indonesia.
Melihat disharmoni yang terjadi dikalangan masyarakat, sudah semestinya masyarakat Indonesia memahami kembali nilai-nilai kebangsaan. Pancasila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia, harus diaplikasikan dalam perbuatan, bukan sekedar dihapal. Keragaman dan heterogenitas masyarakat bukan alasan untuk saling berpecah belah. Seharusnya hal ini menjadi titik pijakan dalam merajut satu kesatuan.

Senin, 16 April 2012

Pengaturan Subsidi BBM, Benarkah untuk Kemakmuran Rakyat?Pengaturan Subsidi BBM, Benarkah untuk Kemakmuran Rakyat?

Melekat kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, memori ketuk palu pemutusan kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR akhir Maret lalu. Berita hangat seputar kenaikan harga BBM santer dijadikan bahan obrolan di setiap penjuru publik. Mulai dari beberapa stasiun televisi, media cetak, hingga forum-forum diskusi mahasiswa. Walhasil, semua elemen masyarakat pun larut dalam hiruk-pikuk pro dan kontra kenaikan harga BBM.
Kabar serta wacana kenaikan harga BBM memang telah lama terdengar, jauh sebelum sidang paripurna dilaksanakan. Jauh hari pula, masyarakat telah aktif menyuarakan aspirasinya. Terlihat bagaimana ribuan massa turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, menolak kenaikan harga BBM. Bukan hanya para oposan pemerintah, kalangan koalisi pun ikut andil dalam menyuarakan aspirasinya dengan turun ke jalan. Tidak jarang aksi tersebut berujung dengan tindak anarkis yang memakan korban. Pengamat ekonomi dan politik juga tidak ketinggalan. Mereka kerap mewarnai layar kaca dan ruang opini media cetak, menyoal dan mengamati keputusan yang akan diambil pemerintah dalam menaikkan harga BBM.
Pernyataan kenaikan BBM di awal tahun ini, sebagaimana di sampaikan oleh Arif Budimanta, salah seorang Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi, memiliki dua alasan utama. Pertama, dinamika krisis keuangan global yang tak kunjung surut. Kedua, kenaikan harga minyak dunia yang memberi dampak pada rencana kenaikan BBM bersubsidi. Maka, tanpa adanya kenaikan harga BBM, kian berat beban yang akan dipikul pemerintah.
Lebih lanjut Arif Budimanta mengkritisi bahwa RAPBNP 2012 terjadi ketimpangan alpha (ongkos distribusi dan pajak Perusahaan Pertamina) yang cukup besar, yakni 11 persen, yang seharusnya 25 persen (Sebagaimana yang menjadi standar komponen alpha) menjadi 36 persen. Pemerintah mematok harga BBM per tahun 2012 jika tidak disubsidi mencapai kisaran Rp 9.325, apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan Rp 6000, maka pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 3.325. Ongkos produksi Rp 5.947/liter. Sehingga ada selisih Rp 3.378/liter (harga nonsubsidi dikurangi harga ongkos produksi). Maka terdapat perbedaan 11 persen dari yang dikemukakan di awal. Jika di rupiahkan jumlah tersebut berkisar Rp 1.025. Seharusnya harga BBM nonsubsidi seharga Rp 8.300 (jika mengacu pada standar komponen alpha sebesar 25 persen).
Besarnya selisih 11 persen inilah yang mengundang pertanyaa. Tak ayal jika banyak pihak menuntut pemerintah untuk menjelaskan kemana besaran dana subsidi tersebut dialokasikan?. Padahal, jika nilai 11 persen atau setara dengan Rp 1.025/liter dikalikan dengan total BBM yang subsidi yakni 40 miliyar liter, maka total dana dari selisih 11 persen melebihi Rp 40 triliun.
Memang, kenaikan subsidi BBM yang dirancang pemerintah bukan tanpa alasan. Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo memaparkan “Kenaikan BBM bersubsidi dipicu dari lonjakan pengguna atau konsumsi BBM.” Lebih lanjut, ia mengatakan “Subsidi BBM di Indonesia terbilang murah, sehingga terjadi banyak penimbunan dan penyelundupan. Masyarakat pengguna BBM nonsubsidi pun beralih ke BBM bersubsidi”.
Pemerintah berpendapat bahwa kenaikan BBM bersubsidi adalah untuk menyelamatkan APBN. Pemerintah juga telah merencanakan bahwa dana subsidi BBM akan dialokasikan untuk pengembangan beberapa sektor tertentu. Tidak hanya pemberian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sekarang disebut Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yang dinilai banyak pihak kurang efektif. Tetapi pemerintah juga memperhatikan pembangunan infrastruktur energi dan revitalisasi transportasi umum.
Jika kenaikan harga BBM benar terjadi, pemerintah sudah pasang target untuk memberikan dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), yakni serupa dengan BLT. Besaran dana tersebut 150.000/bulan selama 6 bulan (total Rp 900.000) yang diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga.
Menyikapi hal ini, Bambang Susatyo, salah satu anggota Badan Anggaran dari fraksi Partai Golkar menilai bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk menaikkan pamor pemerintah (SBY). Menurutnya, kenaikan harga BBM masih dapat diperdebatkan. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, Negara akan menghemat subsidi dana sekitar Rp 53 triliun. Dari penghematan tersebut pemerintah membagi Rp 30,6 triliun untuk kompensasi dan Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah. Menurut Bambang, jika BBM tidak dinaikkan, Rp 23 triliun untuk tambahan belanja pemerintah dapat dicari. Seperti penghematan pemerintah sebesar Rp 18,8 triliun pada tahun 2011 dan tambahan pemasukan pajak Rp 5 triliun.
Bambang menambahkan bahwa pemberian BLSM dinilai sarat dengan kepentingan politik menjelang pilpres 2014. Terlebih dari anggaran Rp 30,6 triliun hanya Rp 5 triliun untuk subsidi tranportasi. Dan sisanya Rp 25,6 triliun untuk BLSM.
Maka dalam hal ini, agaknya hipotesa penulis dapat dijadikan bahan pertimbangan. Bahwa untuk memakmurkan rakyat, bagian Rp 23 triliun dari dana Rp 53 triliun tidak perlu dialokasikan untuk tambahan belanja pemerintah. Cukup lah dana tersebut diperuntukkan bagi rakyat secara keseluruhan. Baik untuk subsidi transportasi, ataupun BLSM. Sehingga, harapan rakyat untuk makmur pun akan semakin jelas terlihat.

Melacak Akar Radikalisme Ormas Islam di Indonesia

Saat ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok lain “tersesat” baik secara toelogis maupun praktis. Terlebih apabila stereotip didasarkan karena perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan dan “theological believe”. Barangkali masih teringat dibenak kita beberapa tindak kekerasan terhadap Jamaat Gereja Yasmin, menyerbuan Ma’had Syi’ah di Madura dan akhir-akhir ini rusuh ormas Islam. Kejadian ini sarat dengan motif-motif agama dan kekuasaan.
Pasca dibukanya “kran” demokrasi dengan diawali gerakan reformasi besar-besaran tahun 1998, orang semakin mudah berekspresi. Atas nama kebebasan yang dijamin oleh demokrasi dan HAM, mereka rela melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang atau kelompok lainnya. Kemudian muncul istilah “demokrasi kekecawaan”. Jika pada era presiden Suharto –yang dikatakan sebagai rezim otoriter- orang sangat dibatasi ruang geraknya, maka setelah runtuhnya rezim tersebut hal ini berubah, berbalik keadaan. Muncul ormas-ormas yang sebelumnya tidur atau “dipenjarakan” oleh orde lama.
Munculnya ormas Islam di Indonesia bukan hal baru. Mereka ada sejak masa orde lama dan baru atau jauh sebelumnya. Sebut saja Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1920), Persis (1926), Persatuan Ulama Indonesia (1917) dan Nahdhatul Ulama (1926), mereka lahir sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dan namanya tidak asing ditelinga kita. Namun sekarang kita mengenal nama-nama lainnya yang tak kalah asing, seperti FPI, MMI, HTI dan lain-lain. Keberadaan mereka juga telah lama, hanya mungkin tidak banyak dikenal orang karena terbatas pada beberapa daerah tertentu.
Kini, beberapa ormas terakhir tersebut kerap mewarnai media pemberitaan. FPI yang kerap melakukan tindak sweeping atas nama amar’ ma’ruf nahi munkar; MMI yang sering dikaitkan dengan terror bom atas seruan jihad; dan HTI yang menolak demokrasi karena al-Qur’an hanya menyeru syura serta gencar menyuarakan “Demokrasi sistem kafir”. Tampak sekali bahwa apa yang menjadi action mereka didasarkan atas teks-teks keagamaan. Sehingga orang atau kelompok yang berseberangan paham dengan mereka menjadi “musuh”. Kemudian muncul spekulasi-spekulasi atas perlakuan dan tindak mereka. Bahwa mereka mendapat suntikan dana asing; mereka merupakan antek-antek jaringan radikal asing. Benarkah hal ini?. Mereka yang tertuduh lantas melakukan preventive.
Jika dikaji lebih dalam, tindak-tindakan mereka tidak terbatas pada persoalan politik, kekuasaan dan ekonomi. Lebih dari itu, dalam benak mereka –ormas radikal- muncul kultur ketakutan, direndahkan dan harapan. Kultur ketakutan lahir ketika Islam dalam ancaman dan bahaya lawan; kultur direndahkan lahir tatkala Islam sebagai agama direndahkan, serta kultur harapan lahir dari ide Islam adalah solusi, sehingga segala cita-cita mereka dasarkan pada sendi-sendi Islam. Kemudian dengan mencoba menghidupkan nuansa keIslaman yang didasarkan pada al-Qur’an, mereka tentang keadilan Islam dan kedaulatan.
Cara-cara yang ditempuh dalam menyebaran fahamnya pun bisa dibilang cukup bervariasi. Dakwah melalui halaqah-halaqah terkadang mereka galakkan dengan menyusup keberbagai perguruan tinggi. Namun tidak jarang mereka muncul sebagai “momok” dengan gerakan anarkis.
Dalam posisi yang demikian, Negara mestinya memberi perhatian atas kasus tersebut. Pasalnya bukan tidak mungkin, ini menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI kita. Melalui Kementerian dalam negeri, pemerintah telah mengatur UU ormas. Dalam Pasal 1 UU No 8/1985 tentang Ormas disebutkan, Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan; dalam rangka mencapai tujuan nasional; dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pada pasal 50 dijelaskan bahwa ormas dilarang melakukan kekerasan dan menggangu ketertipan bersama. Dan bagi ormas yang melakukan pemerintah dapat menindak.
Jika mengacu pada UU tersebut, seharusnya ormas-ormas mengedepankan sifat dan sikap persaudaran dan saling membantu demi cita-cita bangsa, Bukan saling mengintimidasi kelompok lain. Karena hal itu dapat merusak semangat kebhinekaan Negara RI.