Rabu, 29 November 2017

Fanatisme dan Anti-Kritik: Legacy Pilpres dan Pilkada

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Ada sekian banyak orang memberi kritik baik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), tetapi pemberi kritik harus berhadapan dengan “nyinyiran” dan cibiran orang-orang yang terlampau fanatik terhadap orang nomor satu di RI dan Jakarta itu. Kondisi ini menunjukkan demokrasi kita tidak sehat.

Pemilihan presiden 2014 dan Pilkada Jakarta 2017 lalu ternyata menyisahkan bermacam luka hati disebagian kalangan. Para pendukung pasangan calon yang kalah masih belum bisa, menggunakan istilah kekinian “move on”, atau dalam pelafalan diucapkan “mup on”. Meski demikian, ada pula orang yang sudah bisa melupakan kekalahan paslon yang didukung. Untuk mendapatkan informasi move on atau tidaknya, kita bisa melihat di beranda media sosial rekan dan teman yang terlibat total di kampanye Pilpres dan Pilkada Jakarta lalu.

Dalam konteks kehidupan beragama, pemikir Muslim Abu Ala al-Maududi mengulas secara mendalam sikap fanatisme selalu berujung pertikaian. Fanatisme kesukuan yang terjadi di padang pasir Arab era kesultanan (kekhalifahan dulu), menurut Maududi menjadi biang kemunduran Islam. Akibat pertikaian yang disebabkan fanatisme itu, wilayah kekuasaan Islam mulai terpecah-pecah (Maududi, 96:42).

Apa sebab fanatisme ini? Ahmad Shidqi menjelaskan fanatisme muncul akibat hilangnya rasa confident dan rasionalitas dalam diri seseorang. Biasanya, fanatisme itu tumbuh dan berkembang akibat problem ekonomi yang melanda seseorang serta kekalahan bersaing dengan modernitas dan globalisasi. Lahirnya globalisasi memberi konsekuensi adanya jurang disparitas ekonomi yang besar. Globalisasi telah menciptakan orang kaya dengan kekayaan “selangit” dan pada saat yang sama menciptakan orang miskin dengan kemiskinan “hingga dasar laut”.

Dalam kondisi ini, beberapa pemeluk agama, adat dan kebudayaan menghadapi dilema. Di tengah dilema ini, muncul anggapan bahwa modernitas atau bahkan globalisasi adalah ancaman. Pada titik ini lahirlah fanatisme (Shidqi: 44). Mereka anti terhadap kritik akibat dogma “psudo” yang merasuki otaknya. Fanatisme ini juga kerap muncul akibat menguatnya “politik identitas”. Model ini telah membuat pemilih bersikap irasional karena basis pemilihan lebih didasarkan atas kesamaan, suku, budaya dan agama, dan menafikan kapasitas actor politik.

Sumanto Al-Qurtubi dalam kolom Opini di sebuah media berita online menulis bahwa pengalaman Pilkada serentak 2015 dan 2017 telah secara nyata memunculkan fanatisme di lapisan masyarakat, baik masyarakat religius maupun sekular. Menurut Qurtubi fanatisme ini muncul akibat orang lebih senang belajar instan, tidak mendalam. Informasi yang diterima ditelan mentah-mentah tanpa ada proses apa yang disebut dalam istilah Islam sebagai tabayun. Mereka yang sudah memperoleh informasi melalui cara-cara instan menganggap informasinya paling benar dan menjadi legitimasi melakukan tindakan. Cara pikir mereka “mengeras” dan tidak membuka ruang berdebat (diskusi), sehingga menjadi anti kritik.


Jika fanatisme dan sikap anti kritik ini terus dipelihara, menjangkiti pejabat dan para pendukungnya, maka bahaya perpecahan sangat mungkin terjadi. Dalam dua tahun mendatang 2018 dan 2019 Indonesia kembali menghadapi momentum pemilihan kepala daerah dan Pemilu serentak Pilpres dan Pileg. Bahaya fanatisme akibat momentum politik sebelumnya (Pilkada 2015 dan 2017) terus membayangi ke depan. Setiap pihak sebaiknya terbuka terhadap ruang dialog dan tidak terjebak  jurang fanatisme.

Minggu, 26 November 2017

Merebut Hati Rakyat

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Partai politik Indonesia sebagai salah satu pilar penting demokrasi harus berbenah diri. Pasalnya, sebagai lembaga politik, parpol sepertinya mempunyai jarak dengan masyarakat. Hal ini tercermin dari hasil survei nasional lembaga Poltraking Indonesia periode survei 8-15 November 2017 yang di dalamnya terdapat preferensi pemilih terhadap parpol. Dari 2.400 responden sebanyak 53,9% menyebut tidak ada satu pun parpol yang dekat dengan responden; 17,6% responden menyebut ada parpol yang dekat; dan 28,5% responden tidak menjawab. Kondisi tersebut di atas sangat jauh dari idealitas parpol. Padahal, salah satu fungsi parpol adalah pendidikan politik masyarakat yang artinya: parpol dekat dengan rakyat.

Temuan survei di atas juga sekaligus menguatkan tesis Thomas Mayer (2012: 42) yang menyebut bahwa parpol akan selalu bertopeng manis untuk merebut hati rakyat, tapi disaat bersamaan parpol selalu menghindar dari tanggung jawab kepada rakyat. Keberadaan parpol memang kerap hadir pada saat momentum elektoral seperti Pilkada dan Pemilu.

Hasil temuan survei di atas sekaligus meruntuhkan slogan-slogan parpol yang menjual kata “Rakyat”. Seperti diketahui, banyak slogan parpol yang bertemakan rakyat, antara lain: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusung slogan “PKB Membela Rakyat”; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung slogan “Berkhidmat untuk Rakyat”; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusung slogan “Bergerak Bersama Rakyat”; Partai Golongan Karya mengusung slogan “Golkar Sahabat Rakyat”.

Meskipun parpol dianggap memiliki jurang “gap” dengan rakyat, tetapi parpol masih mendapat kepercayaan dari rakyat. Hasil survei Poltracking kali ini menyebut bahwa sebanyak 38,1% masih percaya kepada parpol; 29,2% tidak percaya; dan 32,7% tidak menjawab. Hasil tersebut menunjukkan ada ruang trust publik terhadap parpol. Ruang inilah yang tidak boleh disia-siakan parpol.
Ruang kepercayaan publik terhadap parpol harus terus ditingkatkan. Pasalnya kepercayaan publik terbilang berbeda tipis dengan mereka yang tidak percaya, berbeda 7%. Beratnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap parpol diakibatkan ulah parpol itu sendiri. Sebagai contoh, konflik internal parpol yang mengemuka di ruang publik dan adanya elit parpol yang terlibat kasus korupsi membuat kian beratnya parpol merebut hati rakyat.

Kepercayaan publik terhadap parpol harus dibayar pula dengan program parpol yang sejalan dengan keinginan rakyat. Program kerja parpol dan keberpihakannya terhadap rakyat menjadi indikator utama elektabilitas parpol ketimbang ketokohan “figur” parpol atau ikatan ideologi (agama) parpol. Survei Poltracking menyebutkan bahwa faktor ketokohan dan figur partai tidak begitu memengaruhi elektabilitas. Demikian juga dengan parpol agama, parpol berdasarkan ideologi.

Perilaku pemilih tidak selalu mengedepankan asas kesamaan ideologi antara pemilih dengan parpol. Dalam konteks politik Indonesia, parpol berideologi agama (katakanlah parpol Islam) belum mampu memikat pemilih. Padahal mayoritas pemilih di Indonesia beragama Islam. Hal ini terbukti berdasarkan Pemilu dari tahun ke tahun bahwa parpol Islam di Indonesia tak mampu bersaing di papan atas. Demikian halnya dengan hasil survei terbaru ini, parpol Islam tak mampu bersaing di tiga besar. Tiga parpol dengan tingkat elektabilitas tertinggi adalah PDI-Perjuangan dengan 23,4%, partai Gerindra 13,6%, dan partai Golkar dengan 10,9%. Parpol Islam PKB bertengger di urutan keempat dengan 5,1%.


Menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, parpol harus segera berbenah dan mencari strategi merebut hati rakyat. Parpol harus kembali kepada asas dasar pendirian parpol: sebagai pilar demokrasi dan dalam rangka menyejahterakan rakyat. Namun perebutan hati rakyat juga harus dilakukan dengan cara-cara beretika, bukan secara membabi-buta menyebar kampanye hitam antarparpol. Ini bukan contoh baik dalam berdemokrasi

Minggu, 12 November 2017

Dilema Pekerja Indonesia

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Kemajuan teknologi secara nyata telah menciptakan berbagai inovasi untuk kemudahan dalam hidup. Beberapa pelayanan publik yang sebelumnya ditangani oleh “tangan-tangan” manusia kini beralih dengan sebuah sistem digital, menggunakan perangkat komputer. Cepat dan mudah dalam pemberian pelayanan menjadi impian para pengguna jasa. Namun, dibalik semua itu ada banyak tangan-tangan pekerja yang mulai dianggurkan (dirumahkan). Inilah tantangan pekerja zaman “now” dan yang akan datang.

Belum lama ini, pada 6 November 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis kondisi terbaru dunia ketenagakerjaan. Hingga Agustus 2017, jumlah usia kerja di Indonesia mencapai 192,08 juta orang. Dari jumlah itu, untuk angkatan kerja terdapat sebanyak 128,06 juta orang, dan angka bukan kerja sebanyak 64,02 juta orang. Dari jumlah 128,06 juta angkatan kerja, terdapat sebanyak 121,02 juta orang yang bekerja dan 7,04 juta orang yang menganggur. BPS mengklasifikasikan jumlah pekerja dengan tiga jenis kerja, yaitu: 87,20 juta orang menjadi pekerja penuh; 24,68 juta menjadi pekerja paruh penuh; dan 9,14 juta orang menjadi pekerja setenggah menganggur.

Sementara itu untuk usia kerja yang berada di kelompok bukan angkatan kerja yang berjumlah 64,02 juta orang, berdasarkan hasil survei BPS menunjukkan 39,92 juta orang mengurus rumah tangga; 16,49 juta bersekolah; dan 7,61 melakukan kegiatan lain-lain. Perlu dicatat, bahwa jumlah angkatan kerja hingga bulan Agustus 2017 menunjukkan tren penurunan dibanding bulan Februari 2017. BPS mencatat angkatan kerja per Februari sebanyak 131,55 juta orang. Hal ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan kerja atau faktor lain sehingga terjadi penurunan angkatan kerja.

Hingga Agustus 2017, dari sebanyak 121,02 juta orang yang bekerja, pekerja di sektor pertanian masih mendominasi dengan jumlah 35,93 juta orang. Selanjutnya, sektor lain yang cukup menyedot pekerja adalah perdagangan sebanyak 28,17 juta orang, disusul sektor jasa sebanyak 20,48 juta orang, sektor industri sebanyak 17,01 juta orang, sektor konstruksi sebanyak 8,14 juta orang, sektor transportasi sebanyak 5,76 orang, sektor keuangan sebanyak 3,75 juta orang, sektor pertambangan sebanyak 1,39 juta orang, dan sektor listrik, gas air sebanyak 0,39 juta orang.

Dari jumlah penduduk bekerja yang menjadi 121 juta orang, status pekerjaan yang paling dominan adalah buruh/karyawan sebanyak 39,71 juta orang. Sedangkan jika dilihat dari latar balakang pendidikan, pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD atau setingkatnya) ke bawah, yaitu sebanyak 50,98 juta orang pekerja. Sementara lulusan perguruan tinggi (sarjana) hanya 11,32 juta orang.

Potret kondisi pekerja Indonesia menunjukkan dua masalah utama, yaitu: jumlah pekerja bisa terus menurun, artinya akan banyak pekerja yang dirumahkan, dan tantangan pekerja yang terus bermunculan. Seperti disinggung di atas, bahwa transformasi pelayanan publik berbasis digitalisasi pada satu sisi memberi kemudahan dan efektivitas pelayanan, namun di sisi lain harus mengorbankan tangan-tangan manusia yang selama ini mengerjakannya. Pilihan pelayanan berbasis digitalisasi akan menjadi pilihan utama perusahan karena selain efektivitas juga dapat menekan cost pengeluaran. Perkembangan teknologi ini nantinya, bukan tidak mungkin akan menciptakan mesin-mesin pekerja dan menggantikan tangan manusia.

Tantangan lain dari pekerja Indonesia adalah masifnya tenaga asing dari luar. Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang dinukil Kompas, ada sebanyak 74,183 tenaga kerja luar negeri di Indonesia. Jumlah tersebut didominasi pekerja yang berasal dari Tiongkok.

Pekerja Indonesia tampak mengalami dilema. Pada satu sisi, negara (Pemerintah) menjanjikan penyediaan lapangan kerja. Namun disisi lain, inovasi teknologi ternyata menginginkan pemangkasan jumlah pekerja. Ini terutama terjadi di sektor swasta. Menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, rasanya bukan solusi mengatasi tantangan pekerja era digital.


Negara harus menempatkan kembali pekerja sebagai manusia yang bernilai, bukan sekedar manusia bertenaga yang dipaksa memproduksi barang bukan untuk kebutuhan tapi komoditas. Oleh sebab itu, pekerja harus mendapat pembekalan diri (peningkatan kapasitas) sehingga ia dalam keadaan siap menyongsong digitalisasi. Kondisi ini sekaligus menjadi permenungan bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi) untuk merumuskan kembali pendidikan vokasi untuk menghadapi arus deras digitalisasi.

Kamis, 09 November 2017

Wisata: Antara Eksploitasi Keindahan Alam dan Seksual

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Keindahan alam Indonesia tidak berlebihan rasanya jika disebut dengan “surga kecil dunia”. Keindahan ini pula yang mendorong minat pemerintah untuk membuka tempat-tempat pariwisata baru guna mendongkrak ekonomi lokal dan menjadi sumber devisa negara. Kampanye pesona Indonesia dilakukan secara masif untuk menarik perhatian wisatawan baik lokal maupun wisatawan mancanegara (wisman). Dibukannya tempat pariwisata memberi efek domino bagi terbukanya usaha-usaha kecil menengah dan pemberdayaan masyarakat untuk memproduksi kekhasan daerah baik makanan atau pernak-pernik buah tangan lainnya.

Meski jumlah wisman Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga, tetapi wisman yang berkunjung ke Indonesia menunjukan tren kenaikan. Statistik Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Indonesia menunjukkan adanya kenaikan. Pada bulan Januari 2015 jumlah wisman ke Indonesia sebanyak 798.983, lalu meningkat pada Desember 2015 sebanyak 986.519. Kemudian pada Januari 2016 jumlah wisman sebanyak 814.303, meningkat pada Desember 2016 menjadi 1.113.328. Selanjutnya pada Januari 2017 sebanyak 1.032.930 wisman dan meningkat pada Agustus 2017 sebanyak 1.404.664 (Kemenpar.go.id).

Kendala utama pariwisata Indonesia adalah infrastruktur menuju tempat pariwisata yang belum memadai. Hal ini yang menyebabkan ongkos menuju destinasi menjadi tinggi (mahal) sehingga wisman lokal pun enggan berkunjung. Kondisi ini juga tidak menguntungkan bagi penyedia jasa travel pariwisata karena selain memakan waktu perjalanan yang cukup lama, juga mempertahuhkan keselamatan.

Sisi positif pariwisata sebagai sumber devisi negara teryata menyimpan sisi negatif. Hasil penelitian ECPAT, sebuah organisasi yang menaruh perhatian pada pengembangan pariwisata menemukan adanya tempat-tempat pariwisata yang bukan saja tidak ramah anak, tapi juga membahayakan. Beberapa tempat pariwisata diduga menjadi tempat eksploitasi seksual anak. Kondisi ini tentu sangat merugikan karena adanya tempat pariwisata diikuti dengan mengorbankan masa depan anak (Kompas 10/11/2017).

ECPAT menemukan lima modus eksploitasi seksual anak di tempat pariwisata, yaitu: protitusi anak; prostitusi online; pedofilia; wisata seks; dan kopi pangku. Protitusi anak hampir tersedia di tempat pariwisata seperti bar, kelap malam, tempat karaoke dan hotel. Ironisnya, penyedia tempat hiburan ini memang menyediakan perempuan usia anak-anak untuk memuaskan pengunjung. ECPAT juga menemukan motif kedatangan para turis, bahwa mereka tidak hanya ingin menikmati alam indah wisata Indonesia, tetapi juga mencari pemuas nafsu seksnya.

Sementara itu, wisata seks menurut ECPAT kerap terjadi di daerah wisata pegunungan. Daerah wisata seks menawarkan wisata kawin beberapa bulan bagi pengunjungnya (kawin kontrak). Dapat dibayangkan, ada berapa banyak anak yang tak memiliki orang tua yang lahir dari aktivitas wisata seks atau kawin kontrak ini?

Modus lain dari ekploitasi seks di tempat pariwisata adalah kopi pangku. Wisata model ini menyediakan kafe-kafe dan para pengunjungnya (pria) disediakan anak-anak gadis perempuan untuk dipangku selama menikmati minuman.

Inilah potret buram dunia pariwisata. Membuka tempat pariwisata berpotensi dan mengandung konsekuensi munculnya tempat-tempat prostitusi. Masyarakat sekitar daerah pariwisata patut berhati-hati dengan fenomena prostitusi di tempat wisata ini. Menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya eksploitasi seksual anak. Peran aparat hukum dan tokoh masyarakat sangat penting untuk menjaga generasi muda penerus bangsa (anak-anak).


Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredam praktik eksploitasi seksual anak di daerah kawasan wisata adalah membuka program pendidikan pariwisata di sekolah-sekolah tingkat atas. Dengan cara ini, anak-anak dapat memanfaatkan tempat wisata di daerah tersebut dengan bekal ilmu dan pengetahuan, bukan menggadaikan masa depan (melacur).

Senin, 23 Oktober 2017

Nasionalisme Santri (Refleksi Hari Santri)

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia sepertinya menjadi magnet tersendiri oleh sebagian peneliti Barat. Ketertarikan para peneliti tersebut tidak begitu sulit dibuktikan, salah satunya dapat dilihat dalam karya M.C. Ricklefs (2001), A History of Modern Indonesia. Dalam buku tersebut, Ricklefs memulai tulisannya dengan the coming of Islam (kedatangan Islam).

Apa yang ditulis Ricklefs menandakan betapa pentingnya Islam bagi Indonesia. Bahkan, ia menjadikan era kedatangan Islam sebagai permulaan sejarah modern Indonesia. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia sangat sulit dipisahkan dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Membicarakan Islam dalam konteks sejarah Indonesia secara tidak langsung membicarakan akar kemerdekaan Indonesia.

Umat Islam di Indonesia termasuk para santri dan kyai turut menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Peran mereka dalam mewujudkan kemerdekaan tak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, santri dan pesantren dapat dimasukkan sebagai bagian terpenting dari perjuangan melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.

Santri dan Pesantren

Kata santri bukanlah istilah yang terdapat dalam terminologi peperangan dan perjuangan. Kata santri juga bukan merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Ditinjau dari segi bahasa, “santri” memiliki dua pengertian, yaitu: pertama, santri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti melek huruf, dan kedua santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti seorang guru, baik ketika guru itu pergi atau menetap disebuah tempat, pesantren (Madjid 1997:20).

Dalam pemahaman masyarakat luas, santri dikenal sebagai siswa pondok pesantren yang meninggalkan rumah dan secara khusus belajar ilmu agama. Penjelasan tentang pesantren diuraikan oleh pelopor pondok pesantren modern, K.H. Imam Zarkasyi yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama (pondok) yang menjadikan kyai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwai, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya”.

Sementara Junaedi (2007:48) memaparkan pesantren sebagai lembaga yang amat penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pesantren merupakan tempat menempa santri untuk menjadi ulama dan kyai. Setamat dari pesantren pada umumnya para santri kembali ke daerah masing-masing dan bertanggung jawab atas agama (Islam), baik mendirikan masjid, pesantren maupun madrasah.

Dengan begitu, Islam terus berkembang di berbagai polosok Tanah Air. Abdurrahman Wahid (2001:4) dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren menggambarkan pesantren sebagai sebuah komplek yang di dalamnya terdapat rumah kyai, masjid dan asrama (tempat tinggal santri).

Keberadaan pesantren di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang Perihal sejarah munculnya pesantren, para peneliti banyak berbeda pandangan. H.J. De Graff menyebut pesantren telah ada sejak abad ke-16. Sedangkan Martin Van Bruinessen menyebut kehadiran pesantren dimulai abad ke-18. Pendapat Martin merujuk pada berdirinya pesantren Tegal Rejo di Ponogoro pada 1742. Pada masa penjajahan, banyak para kyai yang mendirikan pesantren. Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren di Pulau Jawa diperkirakan 300 pesantren.

Beberapa pesantren yang cukup terkenal saat itu antara lain: pesantren Lengkong dan Punjul di Cirebon, Tegal Sari dan Banjar Sari di Madiun, dan Sida Cerma di Surabaya (Marwati-Nugroho 2008;302). Pendapat lain mengenai asal-usul pesantren di Indonesia juga dikemukakan Zamakhsyari Dhofier yang menyatakan bahwa pesantren yang ada saat ini berakar dari tradisi Hindu-Budha. Inilah yang kemudian disebut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya sebagai “ikatan sejarah” antara dharma dengan pesantren. Istilah santri diambil dari bahasa India “shastri” yang menurut Dhofier berarti orang yang memahami kita suci agama Hindu.

Sejak kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-13, terjadi akulturasi budaya termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan Hindu-Budha kemudian ditransformasikan dalam bentuk pesantren Islam. Hal inilah yang membuat pesantren sangat mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Berbeda dengan Dhofier, Martin berpendapat bahwa tidak ada kaitannya antara pesantren dengan tradisi Hindu-Budha. Bagi Martin, pesantren murni berasal dari tradisi Islam.

Terlepas dari silang pendapat terkait asal usul pesantren di Indonesia, narasi di atas telah menunjukkan bahwa pesantren memiliki sejarah cukup panjang. Peran pesantren juga sedemikian penting. Kehidupan pesantren yang identik dengan santri, kyai, asrama dan masjid menunjukkan adanya kesalehan dan kekuatan sosial di tengah masyarakat. Melalui pesantren ajaran Islam terpelihara dengan baik dan berkesinambungan.

Denys Lombard (1996:135) mengemukakan peranan santri dan pesantren dalam menyebarkan Islam yang tidak hanya di kawasan pesisir Utara, tetapi juga masuk ke daerah pedalaman (kelompok agraris). Maka tidak mengherankan jika peneliti Barat menaruh perhatian lebih pada santri dan pesantren.

Pejuang Kemerdekaan-Pendidikan

Dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia, pada umumnya menempatkan kelompok nasionalis dan tentara sebagai aktor utama perjuangan melawan penjajah. Padahal kelompok santri, dan kyai serta rakyat juga terlibat total dalam perjuangan tersebut.

Sejarah perjuangan santri dan kyai dalam perang melawan penjajah telah dimulai sejak lama. Marwan Saridjo (1982) mencatat beberapa pejuang santri telah mengusir para penjajah. Nama-nama seperti Patih Unus, Trenggono dan Fatahillah tercatat sebagai pejuang mengusir Portugis pada abad ke-15, juga pejuang lain seperti Imam Bonjol, Antasari, Cik Ditiro, Sultan Agung dan Pattimura. Semua pahlawan santri itu turut memberontak atas segala bentuk penjajahan.

Pada masa Perang Jawa, Diponegoro juga mengerahkan santri dan kyai turut serta berperang mengusir penjajah. Diponegoro yang merupakan keturunan Keraton Yogyakarta dan menghabiskan masa kecil sebagai santri merasakan penindasan penjajah. Penjajah Belanda dan Inggris secara bergantian memporak-porandakan Keraton dan meruntuhkan tatanan Jawa yang sangat menjunjung tinggi adat dan kepercayaan. Bagi Diponegoro dan pengikutnya, perang melawan Belanda adalah perang melawan kapir laknatullah, orang-orang kafir yang terlaknat.

Pada masa Perang Jawa di bawah pimpinan Diponegoro, perang tidak hanya terjadi di Jawa (khususnya Jawa Tengah), tetapi juga berkecamuk diseluruh nusantara (Carey: 2013). Upaya pejuang santri di atas dalam mengusir penjajah menjadi inspirasi perjuangan kaum santri dan kyai setelahnya. Diantara kyai yang menjadi pahlawan perjuangan kemerdekaan adalah K.H. Hasyim Asyari. Pendiri Ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang tersebut terlibat secara total dalam perjuangan kemerdekaan.

Ia juga memiliki kedekatan dengan para pejuang kemerdekaan lain seperti Bung Tomo dan Jenderal Sudirman. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Bung Tomo kerap mendatangi sang Kyai untuk membicarakan strategi pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang (Samsul 2008:107). Dalam sejarah Indonesia, pekik Resolusi Jihad digelorakan oleh K.H. Hasyim Asyari.

Tiga hal penting dari Resolusi Jihad adalah, setiap orang Islam wajib berperang melawan penjajah dan menjaga kedaulatan Indonesia; santri, kyai dan rakyat yang mati di medan perang termasuk syuhada (orang yang menginggal di jalan Allah); warga Indonesia yang membelot dengan mendukung penjajah adalah pengkhianat dan boleh dibunuh.
Selain K.H. Hasyim Asyari dengan Pesantren Tebu Ireng, Kyai Abbas dan Muqayyim dari Pesantren Butet Cirebon juga turut berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Kyai Abbas melihat kesewenang-wenangan Belanda yang mengacaukan Kesultanan dan sendi kehidupan rakyat. Gelora perlawanan terhadap penjajah Belanda di Cirebon semakin meluas hingga Karawang, Sumedang dan Indramayu (Bambang-Dyah 2012:3).

Perjuangan fisik para kyai dan santri diwujudkan dalam pembentukan pasukan-pasukan seperti Laskar Hizbullah, Sabilillah dan beberapa laskar santri lainnya. Sejak didirikan pada 14 Oktober 1944 Hizbullah memberikan pelatihan militer kepada santri di markas pusat latihan yang terletak di Cibarusa Jawa Barat (Lombard 1995:139).

Sebanyak 500 santri dari berbagai daerah mengikuti latihan tersebut. Setelah mengikuti latihan, para santri kembali ke daerah asal untuk mengembangkan Hizbullah daerahnya. Ricklefs menggambarkan seruan perang melawan penjajah yang digelorakan oleh NU dan Masyumi sebagai seruan Perang Sabil (perintah wajib perang). Seruan ini menggerakkan hati para kyai dan santri untuk turun ke medan perang. Mereka merelakan jiwa raganya untuk Tanah Air dan agama.


Perjuangan –baik fisik dan non fisik- santri tidak terhenti pasca kemerdekaan. Lamanya durasi penjajahan membuat upaya mengusir penjajah teramat sulit. Meski pendiri bangsa telah memproklamirkan kemerdekaan, hal itu tidak serta merta membuat penjajah pergi. Bahkan, dunia belum mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Di berbagai daerah masih saja ditemui kekuatan tentara penjajah, bahkan mereka masih memegang senjata. Pada 10 November 1945 misalnya, para santri dan kyai bersatu bersama rakyat berperang melawan tentara Inggris di Surabaya. Peristiwa ini kemudian diabadikan dengan diperingatinya tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan.

Ibi dan Lanny (2014:36) juga mencatat perjuangan santri pasca kemerdekaan antara lain, pertama, memberikan solusi atas pertentangan tentang asas negara, antara agama dan sekuler, dan kelompok dari pesantren menerima asas negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa; melahirkan cendekiawan yang berwawasan kebangsaan; serta mengusulkan pembentukan lembaga pendidikan terutama bagi masyarakat pedesaan.

Kedua, pasca kemerdekaan, para santri dan kyai mendapat tantangan dengan kehadiran gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Menyikapi hal ini, pesantren mengambil posisi untuk tetap setia pada NKRI. Hingga era pembangunan Orde Baru dan reformasi, santri, kyai dan pesantren tetap mewarnai perjuangan Indonesia.

Para kyai alumni pesantren tidak bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. Hidayat Nur Wahid menjelaskan peran penting alumni pesantren pada awal kemerdekaan. Saat itu, dalam mempersiapkan kemerdekaan, terdapat 10 (sepuluh) orang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan alumni pesantren.

Selain menjajah Indonesia dalam hal sosial, ekonomi, politik, Belanda juga menjajah pendidikan. Penindasan di bidang pendidikan sangat merugikan rakyat Indonesia. Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo adalah salah satu diantara sekian banyak pesantren yang merasakan penindasan itu. Pesantren Gontor Lama –sebelum kemudian didirikan kembali oleh K.H. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin Fannani- mengakui kemundurannya akibat masifnya penjajahan Belanda.

Menurut Malik Fajar (2004:xv), sejarah pesantren Indonesia adalah sejarah perlawanan para ulama terhadap penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Penindasan terhadap hak pendidikan yang dilakukan para penjajah kepada rakyat Indonesia adalah dalam bentuk pembagian kelas sosial yang tidak adil.

Selain “mengurung” dan membatasi pendidikan rakyat, pemerintah Belanda juga berbuat diskriminatif terhadap pendidikan pesantren. Belanda selalu mengawasi gerak-gerik pendidikan pesantren dan bahkan mengeluarkan kebijakan menutup pesantren jika mengajarkan pelajaran yang tidak dikehendaki Belanda. Hal ini yang menggerakkan santri-santri dan para kyai di pesantren-pesantren melakukan perlawanan. Oleh sebab itu peran mereka dalam perjuangan pendidikan tidak bisa diabaikan.

Tantangan Santri-Pesantren

Era penjajahan dan perang fisik telah berakhir ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan para pendiri bangsa. Namun tantangan bagi santri dan pesantren bukan tidak ada, justru semakin banyak. Zaman terus berjalan diiringi peluang dan tantangannya.

Sampai saat ini, pesantren di Indonesia tetap eksis dan jumlahnya terus bertambah. Data Kementerian Agama pada tahun 2012 menyebutkan terdapat sebanyak 27.230 pesantren yang tersebar diseluruh Indonesia. dari jumlah tersebut tercatat sebanyak 1.886.748 santri laki-laki dan 1.872.450 santri perempuan. Sistem pembelajaran pesantren pun semakin berkembang, mengkombinasikan materi pelajaran dari kitab-kitab klasik (tradisi Islam) dengan pelajaran umum. Ini merupakan satu bentuk transformasi pesantren di era modern saat ini.

Kemajuan teknologi saat ini berjalan sangat cepat dan telah memberi banyak kemudahan. Hal ini harus dimanfaatkan santri dan pesantren untuk pengembangan diri dan lembaga. Pesantren harus mengambil peran dalam membangun sumber daya manusia (SDA). Selain menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren harus menjadi kekuatan sosial yang menggerakkan bangsa.

Melihat realitas sosial dan dinamika kebangsaan saat ini yang penuh keprihatinan, santri dan pesantren harus hadir menjadi solusi. Perbagai persoalan kebangsaan yang mengarah pada disintegritas harus diredam. Pemahaman santri tentang keislaman harus dielaborasi dengan kebhinekaan dan persatuan Indonesia untuk terus menjadi benteng kekuatan bangsa. Jika pada masa pra kemerdekaan santri dan pesantren menjadi pejuang kemerdekaan, maka saat ini santri menjadi pengisi, penjaga dan penerus kemerdekaan. Inilah tantangan santri dan pesantren saat ini.


Kamis, 28 September 2017

PKI Dalam Narasi Politik Indonesia: Sebuah Cerita yang Tak Terhapuskan

Oleh: Ali Thaufan DS

Akhir-akhir pekan ini (pada September 2017) marak sekali pembicaraan dan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagian orang menuding PKI masih hidup dan bersembunyi, dan sebagain lainnya berkeyakinan bahwa PKI telah mati. Sebagai sebuah lembaga politik (parpol), PKI jelas telah mati, dibubarkan sejak era Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak hanya partainya, seluruh organisasi yang berafiliasi dengannya juga “diberendel”. Bahkan paham yang kerap dikait-kaitkan dengan PKI seperti Marxsis pun dilarang karena bertentangan dengan Pancasila.

PKI bukan bahan perbincangan baru dalam peta politik Indonesia. Sebagai partai dengan ideologi komunis, ia tercatat pernah mewarnai konstalasi politik nasional, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sejarah politik Indonesia mencatat jika PKI lahir dari perseteruan yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Para tokoh SI yang pro terhadap komunis membentuk barisan baru dengan istilah “SI Merah” yang konon dianggap sebagai pioneer PKI.

Setelah berhasil membentuk parpol, PKI mengambil simpati dari rakyat kelas bawah seperti buruh dan tani. PKI merupakan partai yang diperhitungkan pada Pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Terbukti, pada Pemilu itu, PKI menduduki urutan ke empat di bawah Partai Nasionalis Indinesia (PNI), Partai Masyumi, dan Partai NU

Herbert Feith (1988) dalam Indonesian Political Thinking, menggambarkan pertarungan ideologi yang menjadi platform parpol di awal masa kemerdekaan. Salah satu ideologi politik yang cukup berpengaruh adalah ideologi komunis. Pada masa pra kemerdekaan sekitar tahun 1920-an, Feith mencatat saat itu para tokoh intelektual Islam dan komunis terlibat pergolakan pemikiran tentang cara terbaik untuk merdeka dari kolonialisme. Tak hanya dengan kelompok intelektual Islam saja, kolompok intelektual komunis juga berhadapan dengan kelompok nasionalisme radikal.

Uraian Feith tentang ideologi parpol dalam rentan waktu 1945 hingga 1965 kemudian melahirkan lima ideologi besar, yaitu: Islam, sosialisme demokrat; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, dan komunisme. Ideologi ini kemudian menjelma dalam bentuk parpol dan diindoktrinasi ke dalam pikiran para anggotanya. Kelima ideologi ini kemudian terus menerus melakukan “tarik-menarik” kepentingan politik parpol mereka.

Pada tahun 1957, para tokoh intelektual parpol berdebat sengit di sidang Dewan Konstituente. Mereka mengemukan ideologi apa yang seharusnya dijadikan asas negara Indonesia. Tokoh Islam yang melegenda, Muhammad Natsir dalam kesempatan pidatonya, mengkritik paham komunis yang hendak dijadikan ideologi negara. Natsir mengemukakan ketidakmampuan komunisme merawat bangsa ketika cita-cita bangsa tercapai.

Puncak dari aktivitas politik PKI dalam narasi sejarah Indonesia adalah ketika ia dianggap oleh banyak penulis sejarah ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Meski kemudian anggapan ini juga banyak ditolak oleh sejarawan yang berusaha meluruskan sejarah. Pada titik inilah berdebatan tentang PKI itu muncul.

Membongkar masalah PKI tidak pernah selesai karena setiap sejarawan punya interpretasi sendiri atas roman PKI. Dalam buku-buku sejarah Indonesia, kita disajikan informasi bahwa PKI telah melakukan pembantaian kyai di berbagai daerah, PKI juga anti terhadap Islam, PKI melakukan kudeta, dan sebagainya. Ketika menyampaikan bahwa PKI melakukan pembantaian terhadap Islam (para kyai), ada saja sanggahan jika cerita itu adalah manipulasi rezim penguasa. Cerita kejamnya PKI bahkan sebagai konspirasi kelompok anti PKI yang mengatasnamakan PKI. Sejarah aktivitas politik PKI pun menjadi semakin rumit.


Dalam konteks sejarah politik Indonesia, satu hal yang pasti tentang PKI, yaitu: PKI tidak bisa dihapuskan dari sejarah. Menulis sejarah politik Indonesia rasanya sulit untuk tidak mengulas PKI.

Minggu, 20 Agustus 2017

Harapan dari Perbatasan

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Daerah perbatasan seringkali diidentikan sebagai daerah tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur, minim fasilitas pendidikan dan kesehatan, bahkan rawan kriminal seperti penyelundupan. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena daerah perbatasan seharusnya menjadi beranda dan jendela Indonesia. Untuk mengatasi problem di atas, pemerintah telah melakukan upaya menggenjot pembangunan daerah perbatasan.

Harian Kompas edisi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia 2017 kali ini mengulas berita “Jelajah Tapal Batas”. Isinya menyoroti perhatian pemerintah kepada daerah-daerah perbatasan dari Sabang sampai Merauke. Hidup di daerah perbatasan diselimuti suka dan duka. Mereka harus berjibaku untuk mendapatkan kebutuhan bahan pokok. Selain menghadapi medan yang berat, mereka juga dihadapkan pada harga yang relatif mahal. Dengan kata lain, hidup di perbatasan cost-nya mahal.

Potret kehidupan di daerah perbatasan yang serba susah antara lain dapat ditemui di Krayan Kalimantan Utara. Seorang warga harus berbelanja ke negara tetangga, Malaysia untuk membeli kebutuhan pokok. Yang menyedihkan lagi, untuk belanja kesana warga memerlukan waktu 14 jam, dengan jarak lebih dari 100 km. Lamanya perjalanan diperparah dengan kondisi jalan yang terjal. Kondisi ini menunjukkan suasana di Krayan seperti terisolir. Warga disana berharap pembangunan jalan Malinau-Krayan segera selesai. Dengan jalan tersebut, ketergantungan kebutuhan pokok kepada Malaysia dapat dikurangi. (Kompas 14/8/2017).

Dalam sebuah wawancara dengan Rusdi Salim, salah satu Reporter Radio Republik Indonesia (RRI) yang bertugas di Nunukan Kalimantan Utara pada 16 Agustus tahun lalu, penulis mendapatkan gambaran betapa memprihatinkan kondisi di daerah perbatasan Nunukan Kaltara-Malaysia. Ia pernah mengalami kehabisan stok makanan, lalu menunggu Pesawat Perintis untuk mencari pasokan kebutuhan bahan pokok. Pesawat Perintis yang bentuknya kecil itu dipaksa mengangkut tidak hanya besar dan sayuran, tetapi juga ayam, dan domba. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan nasionalisme warga yang hidup di perbatasan. Mereka penuh kecintaan terhadap Indonesia.

Keterbatasan listrik menjadi problem sehari-hari warga yang hidup di perbatasan. Di Desa Siwalan NTT, meski letaknya tak jauh dari PLBN, masih didapati warga yang tak mendapatkan aliran listrik. Mereka menggantungkan malam pada sebuah lilin dan lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas.

Untuk meminimalisir kesenjangan kehidupan di perbatasan, geliat pembangunan terus dilakukan pemerintah. Pada tahun 2010 hingga 2014, Kompas mencatat pemerintah telah membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sebanyak tujuh titik daerah perbatasan yaitu: Aruk Kalimantan Barat, Entikong Kalimantan Barat, Nanga Badau Kalimantan Barat, Mutaain Nusa Tenggara Timur, Skouw Jayapura, Wini Nusa Tenggara Timur, dan Motamasin Nusa Tenggara Timur. Dari jumlah itu, dua belum diresmikan yaitu PLBN Wini dan Motamasin.

Pada tahun 2015-2019 pemerintah merencanakan membangun sembilan PLBN dibeberapa titik, Sei Pancang Kalimantan Utara, Serasan Kepri, Tanjung Medang Riau, Maritaeng Nusa Tenggara Timur, Jasa Kalimantan Barat, Oepoli Nusa Tenggara Timur, Jagoi Babang Kalimantan Barat, Waris Kaerom Papua, Napan Nusa Tenggara Timur. (Kompas 15/8/2017).
Namun di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba sulit di perbatasan, kita patut mengapresiasi semangat yang tumbuh dari warga yang tinggal disana. Semangat itu bernama “semangat pendidikan”. Terkait dengan kondisi pendidikan, hasil penelurusan Kompas menyebutkan bahwa di Krayan dan Krayan Selatan per tahun 2015 terdapat 26 SD, 12 SMP dan 7 SMK/SMA. Minimnya SMA di Krayan tak menyurutkan siswa untuk menempuh pendidikan. Mereka sebagian ke Tarakan melanjutkan sekolah. Setelah lulus SMA beberapa siswa juga melanjtkan ke perguruan tinggi di Tarakan, Samarinda, hingga kota besar seperti Yogyakarta dan Bandung.

Pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan selain dipacu, harus didukung dengan pembangunan sumber daya manusia. Investasi terbesar di perbatasan sejatinya bukan bangunan fisik, tetapi bangunan pendidikan. Pemerintah tidak boleh memadamkan api semangat yang muncul di pinggiran (perbatasan) Indonesia. Perlu pernghargaan lebih agar api semangat mereka tetap menyala. Dengan api semangat itu, harapan besar muncul dari perbatasan.


Momentum HUT Republik Indonesia ke-72 menjadi waktu yang paling tepat merefleksikan kondisi daerah perbatasan dan memikirkan langkah pembangunan selanjutnya.

Senin, 07 Agustus 2017

Mengawasi Dana Desa

Oleh: Ali Thaufan DS

Awal Agustus ini, publik dikejutkan dengan operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Pamekasan beserta dua orang Kepala Desa. Penangkapan mereka diduga karena melakukan penyelewengan dana infrastruktur yang dibiayai menggunakan dana desa. Keterlibatan Kades tidak mengherankan karena Kades merupakan pemegang kekuasaan tertinggi terhadap keuangan desa (dana desa).

Kejadian ini mengundang kemarahan publik. Muncul istilah baru di masyarakat, “bancakan dana desa”. Dana desa dianggap menjadi ladang baru korupsi pejabat daerah.Terjadinya korupsi dana desa diduga minimnya pengawasan dari berbagai pihak.

Penyelewengan dana desa bukan kali pertama sejak dialakokasikannya dana desa. Dari data yang penulis himpun dari berbagai sumber berita sepanjang 2017 ini, sudah ada beberapa penyelewengan dana desa yang dilakukan Kades. Penyelewangan dana tersebut berujung pada penahanan sang Kades. Kejadian ini diantaranya terjadi di Desa Bunder Kab. Gunung Kidul; Desa Sukaresi Kab. Sukabumi; Desa Jatidukuh Kab. Mokokerto; Desa Koba Kab. Luwu; Desa Cigagede Kab. Garut. Tentu kita menyayangkan kasus ini terjadi.

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Dana Desa, pemerintah mengalokasikan dana desa dalam setiap anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN). Alokasi dana desa terbilang fantastis, puluhan triliun. Dana desa juga sangat istimewa di mata pemerintah karena di tengah gencarnya pemerintah melakukan penghematan (pemotongan anggaran), anggaran dana desa tidak dipotong.

Jika melihat besaran anggaran dan realisasi berdasarkan nota keuangan sejak 2015, realisasi penyaluran dana desa memang sedikit mengalami penurunan. Pada tahun 2015, anggaran dana desa sebesar Rp. 20,7 triliun realisasinya 100%. Pada tahun 2016, aggaran dana desa sebesar Rp. 46,9 triliun realisasinya 99,4%. Pada tahun 2017, dana desa dianggarkan sebesar Rp. 60 triliun. Pada tahun 2018, pemerintah berancana akan menaikkan kembali alokasi dana desa.

Peningkatan dana desa dari tahun ke tahun cukup beralasan. Merujuk pada data BPS per Maret 2016 lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih didominasi penduduk desa. Sebanyak kurang-lebih 27 juta penduduk miskin Indonesia, 63 persen berada di pedesaan. Peningkatan dana desa juga menjadi komitmen pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran dan pedesaan (Nawacita butir ketiga).

Adanya dana desa hingga saat ini cukup memberikan sumbangan signifikan terhadap pembangunan desa. Sasaran dari alokasi dana desa diantaranya meliputi tiga aspek. Pertama, pembangunan infrastruktur desa seperti irigasi desa, dan drainase. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana desa seperti posyandu dan PAUD. Ketiga, pengembangan kapasitas ekonomi desa, contohnya mengembangkan koperasi, peternakan desa, pertanian desa, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMdes).

Sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan desa melalui dana desa perlu pengawasan yang ketat dari berbagai pihak. Dalam UU Desa pasal 82, disebutkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemantauan dan pengawasan pembangunan desa. Masyarakat juga berhak mendapat informasi rencanan dan pelaksanaan pembangunan desa. Masyarakat dapat melaporkan hasil pemantauan dan pengawasan kepada Badan Musyawarah Desa.

Pemerintah sendiri sudah menyiasati pengawasan dana desa melalui Unit Pelayanan Kawasan (UKP) yang bertempat di Kecamatan. Tugasnya adalah melakukan pengawasan anggaran dana desa dan asas kemanfaatannya. Selain itu, unit ini juga merumuskan berdirinya BUMdes Bersama. Dilihat dari tugasnya, unit tidak tidak hanya mengawasi pembangunan dana desa yang berasal dari anggarana dana desa, tetapi juga mengenalkan produk desa melalui BUMdes.

UU Desa juga mengamanatkan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa, termasuk di dalamnya pengelolaan dana desa pada tiga tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota. Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah pusat diatur dalam pasal 113 huruf h, yang berbunyi: “menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa”.

Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah provinsi diatur dalam pasal 114 huruf b, yang berbunyi: “melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa”. Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah Kab/Kota diatur dalam pasal 115 huruf f dan g, yang berbunyi: “(f) menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa; (g) mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa”.

Pada era mendatang, pemerintah dituntut melakukan pengawasan lebih ketat untuk menghindari penyelewengan dana desa. Namun pada akhirnya, dengan mencermati kasus di atas dan pengaturan pengawasan amanat UU Desa, pengawasan penggunaan dana desa tidak akan berarti apa-apa tanpa ada kesadaran pejabat desa untuk menghindari perilaku korup dalam membangun desa. Membangun desa tidak saja berupa bangunan fisik yang ada di desa, tetapi juga mental aparatur sipil negara yang mengurus desa. Sebanyak apapun dana desa dianggarkan tidak akan berarti bagi desa. Oleh sebab itu, perlu kesadaran bersama membangun desa, “pengawasan dan kesadara”.



Kamis, 13 Juli 2017

Banpol dan Tanggung Jawab Politik

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Keuangan partai politik (parpol) menjadi aspek penting dalam pengelolaan parpol di era modern. Hal ini seperti diungkapkan Wilhelm Hofmeister and Karsten Grabow (2011) dalam Political Parties Functions and Organisation in Democratic Societies mengenai manajemen keuangan parpol. Hasil riset lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2011 menunujukan sedikitnya bantuan dana ke parpol (banpol) menjadi pemicu utama oknum kader parpol melakukan korupsi. Mereka –kader parpol- yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif akhirnya memilih memanfaatkan jabatannya melakukan korupsi dan umumnya aliran dana korupsi mengalir ke parpol.

Reformasi 1998 memang telah berhasil menurunkan Presiden Suharto. Tapi, cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai, yaitu mereformasi parpol. Muncul adagium bahwa reformasi itu sendiri terlalu sulit untuk mereformasi birokrasi dan parpol. Keduanya elemen penting untuk menilai berhasil dan tidaknya cita-cita reformasi. Parpol di Indonesia, menurut Andreas Ufen (2005) dalam Political Parties in Post-Suharto Indonesia menghadapi berbagai kendala, satu yang bisa disebutkan adalah keuangan.

Dalam dua pekan awal Juli 2017 ini, wacana menambah dana bantuan parpol dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kembali mengemuka. Wacana menambah banpol bukan kali ini saja mengemuka, pada tahun 2016 lalu, penulis juga sempat merekam perbedatan perlu tidaknya penambahan dana bantuan parpol dilakukan. Sebagian pendapat sampai pada kesimpulan tidak perlu menambah banpol. Pendapat ini lebih didasarkan “emosi”, karena menganggap parpol adalah salah satu lembaga politik yang korup sehingga tidak ada gunannya menambah banpol. Namun, meski mendapat penolakan, wacana kenaikan banpol juga mendapat dukungan dari beberapa pihak.

Pemerintah sepertinya tidak “main-main” dengan rencananya menaikkan banpol. Pasalnya, beberapa kajian telah dilakukan dengan beberapa lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta elemen masyarakat (berbagai LSM). Dari berbagai kajian itu, sampai pada kesimpulan untuk menambah banpol dengan jumlah yang bervariasi. Selama ini, banpol masih didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang kemudian direvisi dengan PP No. 83 tahun 2012. Dalam PP itu, besaran banpol adalah jumlah perolehan suara dikali Rp. 108. Angka tersebut dinilai terlalu kecil untuk parpol. Bagaimana mungkin parpol sebagai pilar demokrasi hanya mendapat dana yang sedemikian minim? Berdasarkan hasil kajian di atas, terdapat usulan untuk menambah dana banpol dari Rp. 108 per suara menjadi Rp. 1.000.

Sebagai institusi politik, parpol mempunyai peran dan fungsi yang begitu penting. Thomas Mayer (2012) mengemukakan peran penting parpon, yaitu: mengagregasi aspirasi rakyat lalu menjadikannya sebagai basis kebijakan yang dapat menguntungkan rakyat. Selain itu, parpol juga berkewajiban melaksanakan pendidikan politik, bagi kader dan masyarakat secara umum. Pendidikan politik inilah yang menjadi perhatian dari fokus pemberian dana banpol.

Pada PP tentang banpol, diamanatkan 60 persen banpon dialokasikan untuk pendidikan politik. Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah: “Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Pendidikan politik bertujuan untuk membangun etika berpolitik, sehingga politik dapat dimaknai sebagai sesuai yang mulai, bukan hina.


Penambahan banpol harus diikuti dengan manajemen pengelolaan keuangan parpol secara lebih transparan. Karena dana banpol berasal dari rakyat, maka parpol juga harus memberikan pertanggung jawabannya secara terbuka pada rakyat. Dengan transparansi keuangan (terbuka untuk rakyat), dapat dipastikan akan mampu menaikkan elektabilitas parpol yang bersangkutan. Secara sederhana, pertanggungjawaban banpol adalah: pelaksanaan pendidikan politik masyarakat dan melaporkan keuangan tersebut secara transparan. 

Rabu, 17 Mei 2017

Menatap Pilkada Serentak 2018

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 akan dimulai pada Juni tahun ini. Penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu harus bekerja semaksimal mungkin agar Pilkada nanti dapat berjalan dengan baik. Pelaksanaan Pilkada serentak telah dilangsungkan dua gelombang sebelumnya, tahun 2015 dan 2017. Kita patut bangga, pelaksanaan Pilkada serentak dapat berjalan dengan baik, lancar dan aman. Meski demikian, berkaca pada dua pelaksanaan tersebut, terdapat segudang persoalan penyelenggaraan yang harus dibenahi dalam pelaksanaan Pilkada 2018 mendatang.

Berdasarkan catatan KPU, beberapa persoalan dalam Pilkada 2017 ini antara lain adalah kemampuan anggaran daerah dalam pencairan dana hibah untuk pelaksanaan Pilkada. Pada Pilkada 2015, pendanaan Pilkada dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Namun setelah disahkan Undang-undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, anggaran Pilkada juga dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Persoalan lain yang muncul pada Pilkada 2017 kemarin adalah masih terdapat konflik internal partai politik sehingga memengaruhi proses pencalonan pasangan calon. Pada perkembangannya, KPU dan Bawaslu harus menuntaskan beberapa sengketa pencalonan tersebut. Pada tahapan pelaksanaan pemungutan suara, KPU juga mencatat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum KPPS. Mereka diduga mencoblos seluruh sisa suara yang tidak digunakan. Selain itu, pada Pilkada 2017 kemarin juga masih ditemukan adanya pemilih yang sudah memiliki hak pilih tetapi tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Persoalan ini menambah panjang masalah carut marut DPT yang selalu terjadi dari tahun ke tahun.

Selain persoalan teknis pelaksanaan Pilkada, pada Pilkada serentak 2017 ini masyarakat dibuat risau dengan polarisasi akibat perbedaan pilihan. Media sosial menjadi alat yang paling masif dalam menyebarkan kampanye hitam. Tentu saja, kondisi ini amat disayangkan. Persatuan menjadi terbelah akibat fanatisme dalam mendukung paslon tertentu.

Pilkada serentak 2018 nanti tentu akan menjadi tantangan bagi KPU dan Bawaslu yang baru dilantik April kemarin. Berbeda dengan Pilkada 2017 yang dilaksanakan di 101 daerah, Pilkada 2018 nanti dilaksanakan di 171 daerah, dengan rincian 17 Provinsi, 115 Kabupaten dan 39 Kota. Secara kuantitas, Pilkada serentak 2018 lebih banyak ketimbang 2017 lalu. Penulis mencatat beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita semua yaitu hari H pemungutan, masa jabatan penyelenggara Pemilu di daerah (KPUD), dan besaran anggaran Pilkada.

Pertama berkenaan dengan tanggal dan hari pemungutan suara. Pada Pilkada 2018 nanti, pemungutan suara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018. Hal ini sudah disepakati oleh DPR dan KPU pada rapat dengar pendapat 25 April lalu. Untuk diketahui, pada bulan Juni 2018 umat Islam juga merayakan hari Raya Idul Fitri yang diperkirakan jatuh pada 16 atau 17 Juni. Artinya, hari pemungutan suara sangat berdekatan dengan hari Raya Idul Fitri. Penetapan pemungutan suara yang dilakukan pada bulan Juni bukan “asal tunjuk” dari KPU, tetapi merupakan amanat UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada dalam ketentuan peralihan pasal 201.

Konsekuensi dari penetapan hari pemungutan suara yang berdekatan dengan hari Raya Idul Fitri adalah masa kampanye yang dilakukan pada bulan Suci Ramadhan. Masa kampanye pada bulan Ramadhan akan menjadi tantangan bagi Bawaslu dalam melakukan pengawasan kampanye, terutama menyangkut money politic (politik uang). Bawaslu dipastikan kesulitan memberi batasan apa yang dimaksud politik uang.

Larangan praktek politik uang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 73 ayat (1) yang berbunyi “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”. Akan tetapi, larangan menjanjikan dan memberikan diberikan pengecualian seperti dijelaskan pada pasal 73 penjelasan, yaitu: “pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU”.

Adapun pengaturan sanksi politik uang disebutkan pada pasal 187A bahwa setiap orang yang melakukan politik uang akan mendapat sanksi pidana “... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dengan dilakukannya kampanye pada bulang Ramadhan, maka patut menjadi pertanyaan, apakah paslon yang mengadakan acara buka puasa bersama dan sahur bersama dapat dikategorikan sebagai politik uang?, padahal ini menjadi tradisi Ramadhan di Indonesia. Apakah paslon yang memberikan “ampau” dan “THR-an” pada saat Idul Fitri juga dikategorikan sebagai politik uang? Ini patut direnungkan.

Perhatian kedua adalah berkenaan dengan masa jabatan anggota KPU baik ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pada Pilkada serentak 2018 nanti, terdapat beberapa daerah yang masa jabatan anggota KPU-nya akan berakhir pada Juni 2018. Merujuk pada data KPU, penulis mencatat setidaknya ada 13 KPUD yang masa jabatnya berakhir pada bulan Juni 2018. Adapun KPUD tersebut adalah Provinsi Sumatera Selatan yang habis masa jabatan 11 Juni 2018, Kota Bengkulu 1 Juni 2018, Kota Tanjung Pinang 27 Juni 2018, Kota Bau-Bau 28 Juni 2018, Kabupaten Tangerang 6 Juni 2018, Kabupaten Kayong Utara 22 Juni 2018, Kabupaten Minahasa 26 Juni 2018, Kabupaten Kapuas, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Tanah Laut, dan Bone, masing-masing 24 Juni 2018.

Masa akhir jabatan yang berdekatan dengan pelaksanaan Pilkada tentu sedikit banyak memberi pengaruh secara psikis bagi penyelenggara Pemilu. Untuk menyiasati masa akhir jabatan yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, KPU Pusat harus membuat formula yang tepat agar pelaksanaan Pilkada tetap berjalan dengan baik yakni dengan memperpanjang masa jabatan KPUD yang bersangkutan. UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pasal 130 menyebutkan bahwa KPUD dapat diperpanjang jika masa habisnya bertepatan dengan tahapan Pilkada yang sedang berjalan.

Ketiga, terkait anggaran Pilkada. KPU dan Bawaslu sudah membuat estimasi. Kebutuhan anggaran KPU untuk Pilkada serentak 2018 sebesar Rp. 11,3 triliun. Sedangkan kebutuhan anggaran Bawaslu untuk Pilkada serentak 2018 sebesar Rp. 4,6 triliun. Jumlah yang dianggarkan KPU dinilai terlalu besar dibanding Pilkada serentak sebelumnya. Pada Pilkada serentak 2015 yang dilaksanakan di 269 daerah, anggaran sebesar Rp. 7 triliun. Sedangkan Pilkada serentak 2017 kemarin, di 101 daerah memakan anggaran 4,4 triliun.

Cermat Memilih

Menatap Pilkada adalah menatap masa depan daerah. Pilkada menjadi momentum memperbaiki dan membangun Pemerintah Daerah. Satu hal penting yang patut diperhatikan adalah bahwa Pilkada harus melahirkan kepala daerah yang berkualitas bukan Kepala Daerah yang lahir dari rezim aristokrasi.


Patut menjadi perhatian, deretan kasus korupsi yang dilakukan Kepala Daerah menjadi pelajaran berharga bagi paslon yang mencalonkan diri dan pemilih dalam menentukan pilihan mereka. Masyarat sebagai pemilih harus jeli menimbang pilihan. Betapapun, dua menit pemungutan suara di dalam bilik suara, sangat menentukan lima tahun berjalannya pemerintahan daerah ke depan.