Minggu, 20 Agustus 2017

Harapan dari Perbatasan

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Daerah perbatasan seringkali diidentikan sebagai daerah tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur, minim fasilitas pendidikan dan kesehatan, bahkan rawan kriminal seperti penyelundupan. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena daerah perbatasan seharusnya menjadi beranda dan jendela Indonesia. Untuk mengatasi problem di atas, pemerintah telah melakukan upaya menggenjot pembangunan daerah perbatasan.

Harian Kompas edisi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia 2017 kali ini mengulas berita “Jelajah Tapal Batas”. Isinya menyoroti perhatian pemerintah kepada daerah-daerah perbatasan dari Sabang sampai Merauke. Hidup di daerah perbatasan diselimuti suka dan duka. Mereka harus berjibaku untuk mendapatkan kebutuhan bahan pokok. Selain menghadapi medan yang berat, mereka juga dihadapkan pada harga yang relatif mahal. Dengan kata lain, hidup di perbatasan cost-nya mahal.

Potret kehidupan di daerah perbatasan yang serba susah antara lain dapat ditemui di Krayan Kalimantan Utara. Seorang warga harus berbelanja ke negara tetangga, Malaysia untuk membeli kebutuhan pokok. Yang menyedihkan lagi, untuk belanja kesana warga memerlukan waktu 14 jam, dengan jarak lebih dari 100 km. Lamanya perjalanan diperparah dengan kondisi jalan yang terjal. Kondisi ini menunjukkan suasana di Krayan seperti terisolir. Warga disana berharap pembangunan jalan Malinau-Krayan segera selesai. Dengan jalan tersebut, ketergantungan kebutuhan pokok kepada Malaysia dapat dikurangi. (Kompas 14/8/2017).

Dalam sebuah wawancara dengan Rusdi Salim, salah satu Reporter Radio Republik Indonesia (RRI) yang bertugas di Nunukan Kalimantan Utara pada 16 Agustus tahun lalu, penulis mendapatkan gambaran betapa memprihatinkan kondisi di daerah perbatasan Nunukan Kaltara-Malaysia. Ia pernah mengalami kehabisan stok makanan, lalu menunggu Pesawat Perintis untuk mencari pasokan kebutuhan bahan pokok. Pesawat Perintis yang bentuknya kecil itu dipaksa mengangkut tidak hanya besar dan sayuran, tetapi juga ayam, dan domba. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan nasionalisme warga yang hidup di perbatasan. Mereka penuh kecintaan terhadap Indonesia.

Keterbatasan listrik menjadi problem sehari-hari warga yang hidup di perbatasan. Di Desa Siwalan NTT, meski letaknya tak jauh dari PLBN, masih didapati warga yang tak mendapatkan aliran listrik. Mereka menggantungkan malam pada sebuah lilin dan lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas.

Untuk meminimalisir kesenjangan kehidupan di perbatasan, geliat pembangunan terus dilakukan pemerintah. Pada tahun 2010 hingga 2014, Kompas mencatat pemerintah telah membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sebanyak tujuh titik daerah perbatasan yaitu: Aruk Kalimantan Barat, Entikong Kalimantan Barat, Nanga Badau Kalimantan Barat, Mutaain Nusa Tenggara Timur, Skouw Jayapura, Wini Nusa Tenggara Timur, dan Motamasin Nusa Tenggara Timur. Dari jumlah itu, dua belum diresmikan yaitu PLBN Wini dan Motamasin.

Pada tahun 2015-2019 pemerintah merencanakan membangun sembilan PLBN dibeberapa titik, Sei Pancang Kalimantan Utara, Serasan Kepri, Tanjung Medang Riau, Maritaeng Nusa Tenggara Timur, Jasa Kalimantan Barat, Oepoli Nusa Tenggara Timur, Jagoi Babang Kalimantan Barat, Waris Kaerom Papua, Napan Nusa Tenggara Timur. (Kompas 15/8/2017).
Namun di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba sulit di perbatasan, kita patut mengapresiasi semangat yang tumbuh dari warga yang tinggal disana. Semangat itu bernama “semangat pendidikan”. Terkait dengan kondisi pendidikan, hasil penelurusan Kompas menyebutkan bahwa di Krayan dan Krayan Selatan per tahun 2015 terdapat 26 SD, 12 SMP dan 7 SMK/SMA. Minimnya SMA di Krayan tak menyurutkan siswa untuk menempuh pendidikan. Mereka sebagian ke Tarakan melanjutkan sekolah. Setelah lulus SMA beberapa siswa juga melanjtkan ke perguruan tinggi di Tarakan, Samarinda, hingga kota besar seperti Yogyakarta dan Bandung.

Pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan selain dipacu, harus didukung dengan pembangunan sumber daya manusia. Investasi terbesar di perbatasan sejatinya bukan bangunan fisik, tetapi bangunan pendidikan. Pemerintah tidak boleh memadamkan api semangat yang muncul di pinggiran (perbatasan) Indonesia. Perlu pernghargaan lebih agar api semangat mereka tetap menyala. Dengan api semangat itu, harapan besar muncul dari perbatasan.


Momentum HUT Republik Indonesia ke-72 menjadi waktu yang paling tepat merefleksikan kondisi daerah perbatasan dan memikirkan langkah pembangunan selanjutnya.

Senin, 07 Agustus 2017

Mengawasi Dana Desa

Oleh: Ali Thaufan DS

Awal Agustus ini, publik dikejutkan dengan operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Pamekasan beserta dua orang Kepala Desa. Penangkapan mereka diduga karena melakukan penyelewengan dana infrastruktur yang dibiayai menggunakan dana desa. Keterlibatan Kades tidak mengherankan karena Kades merupakan pemegang kekuasaan tertinggi terhadap keuangan desa (dana desa).

Kejadian ini mengundang kemarahan publik. Muncul istilah baru di masyarakat, “bancakan dana desa”. Dana desa dianggap menjadi ladang baru korupsi pejabat daerah.Terjadinya korupsi dana desa diduga minimnya pengawasan dari berbagai pihak.

Penyelewengan dana desa bukan kali pertama sejak dialakokasikannya dana desa. Dari data yang penulis himpun dari berbagai sumber berita sepanjang 2017 ini, sudah ada beberapa penyelewengan dana desa yang dilakukan Kades. Penyelewangan dana tersebut berujung pada penahanan sang Kades. Kejadian ini diantaranya terjadi di Desa Bunder Kab. Gunung Kidul; Desa Sukaresi Kab. Sukabumi; Desa Jatidukuh Kab. Mokokerto; Desa Koba Kab. Luwu; Desa Cigagede Kab. Garut. Tentu kita menyayangkan kasus ini terjadi.

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Dana Desa, pemerintah mengalokasikan dana desa dalam setiap anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN). Alokasi dana desa terbilang fantastis, puluhan triliun. Dana desa juga sangat istimewa di mata pemerintah karena di tengah gencarnya pemerintah melakukan penghematan (pemotongan anggaran), anggaran dana desa tidak dipotong.

Jika melihat besaran anggaran dan realisasi berdasarkan nota keuangan sejak 2015, realisasi penyaluran dana desa memang sedikit mengalami penurunan. Pada tahun 2015, anggaran dana desa sebesar Rp. 20,7 triliun realisasinya 100%. Pada tahun 2016, aggaran dana desa sebesar Rp. 46,9 triliun realisasinya 99,4%. Pada tahun 2017, dana desa dianggarkan sebesar Rp. 60 triliun. Pada tahun 2018, pemerintah berancana akan menaikkan kembali alokasi dana desa.

Peningkatan dana desa dari tahun ke tahun cukup beralasan. Merujuk pada data BPS per Maret 2016 lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih didominasi penduduk desa. Sebanyak kurang-lebih 27 juta penduduk miskin Indonesia, 63 persen berada di pedesaan. Peningkatan dana desa juga menjadi komitmen pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran dan pedesaan (Nawacita butir ketiga).

Adanya dana desa hingga saat ini cukup memberikan sumbangan signifikan terhadap pembangunan desa. Sasaran dari alokasi dana desa diantaranya meliputi tiga aspek. Pertama, pembangunan infrastruktur desa seperti irigasi desa, dan drainase. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana desa seperti posyandu dan PAUD. Ketiga, pengembangan kapasitas ekonomi desa, contohnya mengembangkan koperasi, peternakan desa, pertanian desa, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMdes).

Sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan desa melalui dana desa perlu pengawasan yang ketat dari berbagai pihak. Dalam UU Desa pasal 82, disebutkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemantauan dan pengawasan pembangunan desa. Masyarakat juga berhak mendapat informasi rencanan dan pelaksanaan pembangunan desa. Masyarakat dapat melaporkan hasil pemantauan dan pengawasan kepada Badan Musyawarah Desa.

Pemerintah sendiri sudah menyiasati pengawasan dana desa melalui Unit Pelayanan Kawasan (UKP) yang bertempat di Kecamatan. Tugasnya adalah melakukan pengawasan anggaran dana desa dan asas kemanfaatannya. Selain itu, unit ini juga merumuskan berdirinya BUMdes Bersama. Dilihat dari tugasnya, unit tidak tidak hanya mengawasi pembangunan dana desa yang berasal dari anggarana dana desa, tetapi juga mengenalkan produk desa melalui BUMdes.

UU Desa juga mengamanatkan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa, termasuk di dalamnya pengelolaan dana desa pada tiga tingkatan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota. Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah pusat diatur dalam pasal 113 huruf h, yang berbunyi: “menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa”.

Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah provinsi diatur dalam pasal 114 huruf b, yang berbunyi: “melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa”. Pembinaan dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah Kab/Kota diatur dalam pasal 115 huruf f dan g, yang berbunyi: “(f) menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa; (g) mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa”.

Pada era mendatang, pemerintah dituntut melakukan pengawasan lebih ketat untuk menghindari penyelewengan dana desa. Namun pada akhirnya, dengan mencermati kasus di atas dan pengaturan pengawasan amanat UU Desa, pengawasan penggunaan dana desa tidak akan berarti apa-apa tanpa ada kesadaran pejabat desa untuk menghindari perilaku korup dalam membangun desa. Membangun desa tidak saja berupa bangunan fisik yang ada di desa, tetapi juga mental aparatur sipil negara yang mengurus desa. Sebanyak apapun dana desa dianggarkan tidak akan berarti bagi desa. Oleh sebab itu, perlu kesadaran bersama membangun desa, “pengawasan dan kesadara”.