Senin, 29 Desember 2014

Wow! Kasus Korupsi “Top Of Mind” di 2014 (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Sebelumnya saya –selanjutnya penulis- berasumsi bahwa kejadian pada tahun 2014 yang melekat diingatan masyarakat adalah hiruk pikuk pemilihan presiden. Bagaimana tidak, pilpres menyisakan kisah suka, duka, riang, gembira, sedih dan sebagainya. Ternyata apa yang penulis asumsikan tidak sepenuhnya tepat.

Tahun 2015 tinggal menunggu beberapa hari, jam, menit dan detik lagi. Penulis sangat yakin bahwa setiap orang punya harapan agar tahun tersebut menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya, tahun 2014. Pun demikin dengan kondisi bangsa ini, bangsa besar Indonesia Raya. Tahun 2014 adalah tangga menuju cita-cita negara Indonesia. Seperti diketahui, tahun 2014 Indonesia telah “menakdirkan” presiden dan wakil presiden yang baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dipundak keduanya cita-cita bangsa ini dipikulkan. “Tahun politik 2014” menyisahkan kisah yang penuh warna-warni seputar pemilu legislatif dan presiden; kasus hukum (korupsi) yang menyeret sederet pejabat dan elit politik; serta kebijakan ekonomi –salah satunya menaikkan harga BBM bersubsidi. Diantara tiga rentetan kisah tersebut, ternyata masyarakat sangat menyoroti kasus hukum, korupsi.

Dua hari terakhir ini penulis “mantengin” hasil jajak pendapat yang dirilis harian Kompas, yakni pada 29 dan 30 Desember 2014. Penulis mencermati bahwa kasus korupsi telah menjadi “Top Of Mind” bagi masyarakat. Pasalnya, korupsi menjadi sorotan tajam. Hal ini ditandai, pertama adalah bahwa kasus korupsi lebih banyak dibicarakan. Kedua, masyarakat sangat berharap agar di tahun 2015 esok pemerintah dapat memberantas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia telah melukai hati masyarakat. Hal ini tidak bisa dibantah lagi. Ketika angka kemiskinan –seperti disebutkan data BPS- terus meningkat, pada saat yang sama tidak sedikit pejabat yang terlibat kasus korupsi. Seperti sering diberitakan, bahwa para pejabat publik yang terlibat kasus korupsi memiliki harta yang “never last”. Maka sangat wajar jika masyarakat marah akibat perilaku korup yang dilakukan koruptor. Setidaknya hal ini menjadi dasar untuk mengatakan bahwa perilaku korupsi secara tidak langsung membuat ketimpangan kesejahteraan dan kesenjangan sosial. Uang rakyat yang seharusnya dinikmati rakyat baik dalam bentuk bantuan atau pembangunan infrastruktur telah dijarah oleh mereka, para koruptor.

Beragam tawaran hukuman bagi koruptor pun bermunculan. Sebagian orang menawarkan hukum mati koruptor; miskinkan koruptor; cabut hak politik koruptor; hukum seumur hidup koruptor, bahkan tembak mati koruptor, serta lain sebagainya. Hal ini semakin menguatkan bahwa perilaku korupsi adalah benar-benar merugikan masyarakat, serta melukai mereka. 

Sebelumnya, harian Kompas merilis jajak pendapat Kompas yang menyebutkan bahwa hukuman yang diberikan bagi koruptor 89,3 persen tidak membuat jera; 7,9 persen memberikan efek jera dan 2,8 persen tidak mengetahui. Terkait bentuk hukuman yang dapat membuat jera, jajak pendapat Kompas menyebut 45,4 persen dipenjara dan dimiskinkan; 25,7 persen hukum mati; 22 persen penjara seumur hidup; 5 persen tidak tahu; dan 1,9 persen lain-lain (Kompas 8/12/2014).
Jajak pendapat di atas juga menginformasikan persepsi perilaku koruptif di masyarakat. Perilaku menyontek di kalangan pelajar, 77,3 persen tersebar luas; 15,2 persen belum tersebar luas dan 7,5 persen tidak tahu. Korupsi waktu dikalangan pegawai 81,9 persen tersebar luas; 12 persen belum tersebar dan 6,1 persen tidak tahu. 

Hukuman yang tidak membuat jera ini yang disinyalir terus memunculkan koruptor-koruptor baru. Ibarat pepatah “Patah tumbuh hilang berganti”, pun demikian dengan korupsi. Satu kasus terungkap, muncul kemudian kasus berikutnya. Karena hukuman dianggap tidak membuat jera, maka jumlah koruptornya terus bertambah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama semester pertama tahun 2014, telah terjadi 308 kasus korupsi. Sebagian besar kasus tersebut menjerat pejabat dan pegawai pemerintahan daerah dan kementerian.   

Harian Jawa Pos pada 10 Desember 2014 mengabarkan selama berdirinya KPK selama 10 tahun, jumlah korupsi yang dilakukan anggota DPR dan DPRD sebanyak 75; Wali Kota/Bupati dan Wakilnya 42; kepala lembaga/kementerian 19; Gubernur 12; Komisioner 7; Duta Besar 4; PNS I,II,III 115; Hakim 10; Swasta 106 dan lain-lain 48. Hal tersebut yang tentunya menjadi “pekerjaan rumah” bagi KPK.
 
Pada tahun 2015 esok masyarakat tidak ingin lagi mendapati kasus korupsi terjadi di Indonesia. Tidak boleh adalah lagi pejabat negara, elit politik serta pengusaha yang terlibat korupsi dan suap menyuap. Aparat penegak hukum perlu mengambil tindakan preemtif, bukan melulu tindakan represif yang dikedepankan dalam penanganan korupsi. Dibawah “nahkoda” Jokowi-JK masyarakat berharap pula agar Indonesia ini menjadi Indonesia Raya.

Senin, 27 Oktober 2014

Harapan Baru Itu Bernama “Kabinet Kerja”

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada 27 Oktober 2014, pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla secara resmi melantik orang-orang yang akan menjadi “pembantunya”, para menteri. Suasana khidmat mengiringi pelantikan tersebut. Para menteri yang dilantik digelari nama “Kabinet Kerja”. Mereka mengucap sumpah berdasarkan kepercayaan masing-masing. Ada hal yang cukup unik dalam prosesi pelantikan kabinet kali ini, semua menteri mengenakan pakaian batik. Setidaknya Kabinet Kerja ingin menunjukkan bahwa batik adalah milik asli Indonesia dan diakui UNESCO.

Tulisan ini hadir mencermati proses menuju pelantikan kabinet pemerintahan Jokowi-JK, serta harapan masyarakat luas akan kinerja kabinet Jokowi-JK tersebut. Harapan yang penulis maksud disini adalah hadirnya menteri yang tidak tersandra oleh kasus korupsi dan kepentingan partai. Selain itu, harapan akan adanya progam real yang memihak kepentingan masyarakat dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Pasca pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden, penunjukan menteri ramai dibicarakan. Bursa calon menteri yang akan menduduki kursi kabinet menjadi pemberitaan yang “seksi” diberbagai media. Sebagian menuding Jokowi akan terjebak dalam kepentingan partai pendukungnya saat akan menentukan menteri. Sebagian lainnya menganggap Jokowi secara profesional dalam menunjuk menteri. Teka-teki kursi menteri terjawab sudah saat Jokowi akhirnya mengumumkan nama-nama pembantunya tersebut.

Selain isu seputar penunjukan menteri, perubahan nomenklatur dibeberapa kementerian juga menjadi topik hangat pemberitaan. Kementerian yang dianggap memiliki progam kerja hampir sama dijadikan menjadi satu kementerian. Sedangkan kementerian yang menjadi fokus utama pemerintahan, dibentuk kementerian baru, seperti Kementerian Koordinator Maritim. Sebagian kalangan menilai kemenko maritim adalah bentuk perhatian dan komitmen pemerintah untuk memajukan potensi kelautan Indonesia.

Harapan masyarakat akan hadirnya menteri yang “bersih” dan tidak tersandra kasus sangat besar. Masyarakat luas tentu tidak ingin memiliki menteri yang tersandra oleh kasus hukum (korupsi). Kasus hukum yang menjerat menteri disinyalir sebagai salah satu kegagalan kerja sebuah kementerian. Setidaknya masyarakat dapat melihat pada masa pemerintahan SBY-Budiono periode 2009-2014 (Kabinet Indonesia Bersat II). Saat itu, tiga menteri SBY menjadi tersangka dugaan korupsi, yaitu: Andi Alfian Malaranggeng (Menteri Pemuda dan Olahraga), Suryadharma Ali (Menteri Agama) dan Jero Wacik (Menteri ESDM). Selain itu, ada pula beberapa pejabat tinggi dalam suatu kementerian yang juga terlibat kasus hukum.

Langkah presiden Jokowi yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memilih menteri adalah wujud kongkrit untuk menghadirkan menteri yang bersih dari kasus hukum. Hal tersebut merupakan terobosan baru dari pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintahan kali ini ingin menunjukkan bahwa para menteri yang dipilih telah “lolos ujian KPK”. Tetapi perlu dicatat, hal itu tidak pula menjamin bahwa pada masa kepemimpinannya menteri akan bebas dari kasus hukum.

Pasca pelantikan kabinet, masyarakat pasti menunggu dan memastikan hadirnya progam-progam kementerian yang memihak kepentingan rakyat. Pasar menunggu kepastian kebijakan yang akan dikeluarkan pembantu presiden tersebut. Dengan hadirnya menteri yang bersih, masyarakat berharap kerja mereka hanya untuk kepentingan rakyat, bukan partai politik yang membesarkannya.


Jokowi menghimbau para menteri agar segera membuka “kebuntuan” yang menghambat progam kerja pada setiap kementerian. Ia juga menegaskan agar seluruh kabinet dapat bekerja lintas sektor, sehingga ego sektor (kementerian) dapat dihindari. Kini, masyarakat berharap agar Kabinet Kerja dapat bekerja sepenuhnya untuk kemajuan Indonesia.

Rabu, 22 Oktober 2014

Sumpah Joko Widodo-Jusuf Kalla Untuk Kekuatan Maritim Indonesia

Oleh: Ali Thaufan DS


Pada 20 Oktober 2014, bangsa Indonesia resmi memiliki presiden dan wakil presiden baru untuk periode 2014-2015. Hari itu, sumpah presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla diucap dan disaksikan seluruh pasang mata rakyat Indonesia dan dunia internasional. Harapan untuk Indonesia yang lebih baik adalah impian rakyat. Antusisme rakyat begitu luar biasa menyambut pemimpin baru. Tulisan ini hadir mencermati sumpah atau janji Jokowi yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim, memanfaatkan potensi kelautan yang dimiliki Indonesia.

Seperti diketahui, sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia –dulu Nusantara- pernah menguasai kawasan Asia Tenggara. Saat era kerajaan Majapahit, betapa bangsa ini menjadi bangsa besar dengan kekuatan kelautan yang di miliki. Tetapi orientasi kelautan dalam perjalanan sejarah bangsa terus meredup. Indonesia tidak lagi memperhatikan potensi kelautan. Indonesia menjelma menjadi negara agraris. Apa yang menjadi konsen bangsa Indonesia adalah pertanian, cocok tanam dan pembangunan yang berorientasi kedaratan.

Sebagian sejarawan menduga bahwa kolonialisme penjajah lah yang memalingkan orientasi kelautan menjadi kedaratan Indonesia. Penjajah mulai membangun transportasi darat yang kemudian membuat rakyat, meminjam istilah Jokowi, “memunggungi laut”. Rel-rel kereta dibangun, jalan-jalan utama pun demikian.

Dalam History Of Java, T.S. Raffles mencatat bahwa konon bangsa Indonesia –khususnya rakyat pulau Jawa- memang sangat hobi bercocok tanam. Segala kebutuhan hidup dapat terpenuhi dengan bertani dan cocok tanam. Kesuburan tanah dan hasil bumi yang melimpah menjadikan rakyat saat itu berada pada “zona aman”. Inilah yang kemudian menjadi ciri masyarakat Jawa. Keadaan ini pula yang memikat penjajah singgah dan menjarah hasil bumi Indonesia. Tetapi, lanjut Raffles, bangsa ini pernah menjelma menjadi kekuatan yang sangat besar saat orientasi mereka bukan hanya daratan, tetapi juga kelautan. Beberapa pulau di Indonesia disatukan oleh satu pemerintahan yang kuat melalui akses kelautan.

Orientasi pembangunan yang tidak hanya fokus pada daratan, tetapi juga pada kelautan membuat akses perdagangan semakin mudah. Pada zaman itu –periode kejayaan Majapahit-, telah didapati kapal-kapal besar (untuk ukuran saat itu) yang dapat berlayar untuk menghubungkan antar pulau guna kepentingan dagang. Sungai-sungai besar di pulau Jawa pun menjadi akses perdagangan. Saat itu Indonesia memiliki kekuatan maritim yang besar.

Harapan menjadi bangsa berkekuatan besar laiknya saat era Majapahit lalu menjadi iming-iming yang sulit dihindari dimasa sekarang. Bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya pun tidak cukup, tetapi bangsa besar adalah yang meneladani sejarah untuk menjadikannya titik pijak melakukan pembangungan. Berpijak dari model kekuatan Indonesia lama yang pernah jaya dengan kelautannya, pemerintah saat ini pun hendak merealisasikan hal itu.

Adagium “Jalesveva Jayameha”, dilaut kita jaya, dengan mantap disampaikan oleh Jokowi saat pidato pelantikan. Tentu dengan memperhitungkan kekayaan kelautan yang dimiliki, Indonesia sangat layak memiliki kekuatan kelautan yang besar. Dengan 70 persen wilayah Indonesia yang didominasi kelautan, akan banyak sektor yang dapat dikembangkan. Diantara banyaknya sektor yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai ekonomi antara lain adalah pariwisata kelautan.

Tetapi, rakyat sangat berhadap agar berkembangnya sektor kelautan dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri, bukan bangsa asing. Jokowi perlu membuat kebijakan atau regulasi yang menguntungkan Indonesia dibidang kelautan. Keberadaan investor asing dibidang kelautan perlu dipertimbangkan. Jika bangsa asing pada akhirnya mendominasi sektor kelautan, “Jalasveva Jayameha” hanya tinggal ucapan bibir.


Tentu masyarakat berharap kejayaan Indonesia dengan kekuatan maritim dapat hadir kembali. Sebuah kejayaan yang akan mengisi buku-buku sejarah, dan dinikmati generasi penerus kelak.

Senin, 13 Oktober 2014

Menyudahi polemik, Menanti Harmoni Eksekutif –Legislatif

Oleh: Ali Thaufan DS

Sejak kekalahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dari Koalisi Merah Putih (KMP) dalam perebutan kursi pimpinan DPR-MPR, beberapa pengamat memprediksi bahwa pemerintahan kedepan tidak akan mudah. Presiden dan pembantunya (para menteri) akan menemui jalan terjal dalam pembahasan agenda kerja yang harus disetujui DPR. Terlebih muncul suara-suara bernada ancaman membatalkan pelantikan dan menjegal pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla.

Tulisan ini hadir dari telaah situasi politik kekinian yang ramai membicarakan persiapan pelantikan presiden dan wakilnya pada 20 Oktober 2014. Banyak sekali ketegangan politik yang dapat dirasakan. Perseteruan KIH dan KMP menjadi topik “seksi” dalam memprediksi jalannya pemerintahan kedepan.

Seperti diketahui, kekalahan koalisi pendukung Prabowo dalam pemilu presiden 2014 lalu meninggalkan luka dan kekesalan dalam diri mereka. Buntut panjang kekalahan tersebut sepertinya “dilampiaskan” dalam pemilihan ketua DPR dan MPR. Partai koalisi KMP yang mendapat dukungan banyak partai di parlemen menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan MPR. Mekanisme pemilihan dilakukan dengan cara menafikan kata sepakat atau musyawarah. Semua proses pemilihan melalui voting.

Atas sapu bersih kursi pimpinan parlemen dan komposisi KIH yang kalah dari KMP diparlemen, KIH yang menyokong pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla (eksekutif) harus mengambil langkah strategis. Salah satu langkah strategis adalah terus berupaya menguatkan barisan pendukung di parlemen dengan menarik partai dalam KMP untuk bergabung. Dengan langkah tersebut, kebijakan pemerintah akan mudah mendapat “ketuk palu” dari DPR. Atau, eksekutif harus mampu menghadirkan progam-progam yang betul-betul mengarah pada kepentingan rakyat, sehingga tidak ada alasan diparlemen untuk menolaknya.

Dukungan kekuatan legislatif terhadap eksekutif yang kuat ternyata dapat mengarah pada hal-hal negatif dalam pemerintahan. Menurut Saldi Isra, kekuatan eksekutif yang ditopang dengan dukungan parlemen dapat melahirkan pemerintahan yang otoriter. Sebaliknya, jika eksekutif tidak mendapat dukungan legislatif, akan memunculkan ketegangan dalam pemerintahan.

Namun perlu dicatat, bahwa kekuatan eksekutif yang didukung oleh legislatif tidak memberi jaminan berjalannya pemerintahan yang mulus. Kasus ini seperti menimpa Kabinet Indonesia Bersatu II (masa SBY-Budiono periode kedua). Alih-alih dapat berjalan dengan baik, KIB II justru terjebak dalam polarisasi internal koalisi mereka sendiri. Dalam hal pengambilan keputusan melalui DPR, partai Demokrat dan koalisi yang tetap setia selalu menghadapi perlawanan dari salah satu anggota koalisinya.

Segala perseteruan dan “dendam” pilpres yang telah lalu harus disudahi. Bukan saatnya “menghantui” pemerintah dengan isu pemakzulan atau memberhentikan presiden dan wakil presiden oleh kekuatan politik di parlemen dengan alasan berbeda faksi. Tentu hal tersebut akan membuat instabilitas dibanyak bidang seperti politik, ekonomi dan keamanan. Dan, perlu diingat bahwa UUD tidak menghendaki hal tersebut tanpa ada landasan yang menguatkan, pelanggaran hukum yang menjerat presiden.


Kini, pasca dilantiknya anggota dewan, masyarakat Indonesia menanti kerja harmonis antara eksekutif dan legislatif. Keduanya harus segera merealisasikan janji-janji mereka yang disampaikan pada saat masa kampanye. Sehingga cita-cita bangsa dan negara dapat segera tercapai. Masyarakat tentu mengharapkan agar legislatif dan eksekutif segera menunjukkan kinerja yang prorakyat. Persoalan kemiskinan yang semakin tinggi, buruknya pendidikan, kesejahteraan yang jauh dari harapan masyarakat yang segera diselesaikan.

Rabu, 08 Oktober 2014

Kemelut Partai Ka’bah Perburam Partai Islam

Oleh: Ali Thaufan DS

Hadirnya Suryadharma Ali (SDA) yang saat itu menjabat ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada kampanye Partai Gerindra –pada kampanye pilpres 2014- menuai kritik. Beberapa elit partai berlambang Ka’bah tersebut angkat bicara, dengan lantang menganggap langkah SDA keliru. Ada apa dengan SDA kala itu? Mengapa begitu “bernafsu” mendukung Prabowo Subianto. Tulisan ini hadir mencermati kemelut partai Ka’bah yang bermula sejak sebelum pemilu hingga pasca pemilu.

Pada umumnya, setiap partai politik memiliki “kemelut”. Hanya, bagaimana kemudian ketua umum dapat meredamnya. Manajemen konflik adalah cara agar kemelut dalam suatu organisasi dapat diredam. Dalam sejarah partai-partai di Indonesia, semuanya memiliki pertarungan internal partai. Antarsesama kader yang memiliki ambisi memegang kekuasaan partai beradu strategi untuk menjadi pemenang. Maka sangat wajar jika dalam suatu partai terdapat faksi-faksi. Pun demikian dengan PPP, didalamnya terdapat friksi.

Menjelang pemilu 2014, beberapa partai mendapat “ujian”. Partai Golkar dengan polemik pencalonan Aburizal Bakrie, Partai Demokrat dengan kasus Anas Urbaningrum, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan kasus Lutfi Hasan Ishaq serta PPP dengan perseteruan elit partai yang dilanjutkan dengan penetapan SDA sebagai tersangka. Hanya saja, dibanding partai lainnya, PPP termasuk paling belakang –mendekati pemilu- mendapat ujian. Soliditas petinggi partai terpecah. Sang ketua umum yang menahkodai partai membawa pada arus koalisi tertentu tanpa di-amini pengurus lainnya. Pada saat bersamaan, kader lainnya pun berupaya membawa pada arus koalisi lainnya.

Dalam keadaan demikian, jalan islah yang seharusnya segera dilakukan justru menemui jalan buntu. Masing-masing petinggi partai justru saling pecat-memecat. Dua kubu –Romahurmuzi dengan SDA-saling klaim sebagai penguasa partai yang sah. Sebuah “arogansi” politik partai yang mengundang tawa dan rasa prihatin. PPP partai Islam yang mengenakan lambang Ka’bah, kiblat umat Islam. Banyak pihak menyayangkan kemelut PPP tersebut.

Sungguh sangat disayangkan sebagai partai Ka’bah yang seharusnya menjadi “rumah besar” konstituen Islam ternyata tidak layak untuk dihuni. Kemelut PPP tersebut dapat menambah buruk stigma negatif terhadap partai Islam. Pada Desember 2013, Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) memaparkan hasil survei bahwa partai Islam kurang diminati. Demikian juga lembaga Klimatologi Politik yang merilis hasil survei April 2014, bahwa partai berbasis Islam diprediksi “tidak laku”. Maka tidak berlebihan jika beranggapan bahwa kemelut partai Ka’bah menambah buram wajah partai Islam.


Di era praktik “politik bebas” yang sedang berjalan di Indonesia sekarang ini, sangat sulit mendapati partai yang konsisten dengan ideologi dasar partai, baik nasionalis maupun agama. Partai terjebak dalam praktik politik transaksional. Godaan jabatan tertentu yang dibangun dalam sebuah koalisi menjadi sesuatu yang menarik ketimbang “kekeh” dengan ideologi. Transaksi politik telah membenamkan idealisme kader partai. Tidak ada lagi nasionalis dan agamis, tetapi uang.

Berharap DPR Lebih Baik

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada Oktober 2013, lembaga survei Pol-Traking Institute merilis hasil survei tentang kepuasan terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya ternyata mengejutkan, 61,68 mengaku tidak puas, 25,68 mengaku tidak tahu dan hanya 12,64 persen saja yang mengaku puas dengan kinerja DPR. Data survei tersebut menyebut rendahnya kualitas anggota dewan. Hal yang paling membuat masyarakat geram dan tidak puas adalah: keterlibatan anggota dewan dalam kasus hukum seperti korupsi; skandal sosial; serta pernyataan-pernyataan anggota dewan yang sering mengundang kontroversi.

Penelitian yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pun sampai pada kesimpulan, yakni kerja anggota dewan yang buruk. Penelitian yang dipaparkan pada 3 April 2014 menunjukkan 61,3 persen kerja dewan yang buruk dan 22,5 persen kerja dewan yang buruk sekali.  Diantara indikator kerja buruk tersebut dilihat dari tingkat kehadiran yang barangkali sering “mbolos”, pelaksanaan kegiatan kunjungan daerah yang tidak optimal dan tingkat keaktifan pada saat rapat

Pemilihan anggota dewan untuk periode 2014-2019 April lalu telah terlewati. Harapan besar terhadap kinerja anggota dewan telah tiba. Dengan semangat baru dan beberapa anggota baru, DPR harus menjadi salah satu solusi persoalan negara. Tantangan paling yang besar ialah mengembalikan kepercayaan publik. Kepercayaan publik menjadi modal utama pelaksanaan tugas dan pengambilan keputusan. Tantangan lainnya adalah godaan untuk tidak menerima dan melakukan berbagai bentuk suap.

Harus diakui, stigma negatif terlanjur melekat bagi anggota dewan. Gaya hidup mewah misalnya, seakan menjadi identitas anggota dewan. Padahal pada saat bersamaan, rakyat miskin masih banyak didapati didaerah pilihan mereka. Janji-janji pada saat kampaye untuk membantu pengentasan kemiskinan hanya tinggal janji. Toh, jika dilaksanakan, tentu tidak merata.
Stigma buruk lainnya adalah bahwa selama ini anggota dewan menjadi “ATM” partai. Hal ini setidaknya terungkap dalam beberapa penanganan kasus korupsi yang membelit anggota dewan (yang juga kader partai). Muncul anggapan bahwa selama ini anggaran belanja negara “bocor” masuk kas partai dan hanya dinikmati segelintir orang tertentu.

Catatan buruk lainnya terhadap anggota dewan adalah pada saat pelaksanaan rapat paripurna dalam memutuskan sesuatu. Pada saat seluruh mata tertuju pada DPR, anggota dewan justru kerap menunjukkan perilaku yang tidak sepatutya. Pelaksanaan musyawarah kerap diwarnai dengan hujan interupsi. Dua kelompok berbeda pendapat beradu argumen tanpa solusi. Jalan akhir yang diambil adalah voting. Dengan demikian, pengambilan keputusan selalu menyisahkan pihak yang sakit hati.

Dengan dilantiknya anggota dewan yang baru, masyarakat berharap agar kinerja sebagai anggota dewan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Tingkat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas kinerja anggota harus diturunkan dan dihapuskan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan kerja real dan rela untuk negara, bekerja sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat luas. Bukan semata untuk kepentingan partai.


Kewenangan sebagai “pengawas” jalannya roda pemerintahan harus dijalankan sebaik-baiknya. Adanya dua blok didalam DPR memang menjadi sesuatu yang riskan mengandung resiko pada saat pengambilan keputusan. Setidaknya, pengambilan keputusan diambil dengan jalan terbaik, terbaik untuk kepentingan masyarakat banyak. 

Senin, 22 September 2014

Ironi Sang Pengaman (Menyoal Bentrok Oknum TNI-Polri)

Oleh: Ali Thaufan DS

“Dar, der, dor suara senapan tertulis dalam koran”. Itulah potongan lirik lagu Mas Iwan Fals yang tiba-tiba melintas dipikiran saat membaca berita penembakan anggota TNI oleh oknum Polisi di Batam (21/9/2014). Terbayang suasana mencekam dan menegangkan, anggota polisi melepas peluru dalam bedilnya yang mengenai anggota TNI. Kejadian ini bukan kali pertama. Perseteruan TNI-Polri sebetulnya kerap terjadi. Indonesia Police Watch (IPW) mencatat sejak Oktober 2013 sampai dengan September 2014 telah terjadi enam bentrokan antara oknum TNI dan Polri. Tulisan ini adalah hasil “pembacaan” berita seputar bentrok TNI dengan Polri yang belakangan terjadi.

Dalam pandangan mainstrem masyarakat, TNI –atau yang kerap dikenal Tentara- berfungsi untuk melindungi masyarakat apabila terjadi peperangan. Pun demikian dengan Polisi, yang kerap dipersepsikan oleh khalayak ramai sebagai petugas pengamanan. Hal tersebut sangat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi keduanya, TNI dan Polri. Dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004, tugas utama TNI disebutkan:
“... pertama, menegakkan kedaulatan negara; kedua, mempertahankan keutuhan wilayah dan ketiga, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan.  Tugas pokok tersebut dilaksanakan melalui Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)”.

Inti dari bunyi UU tersebut di atas adalah, bahwa TNI adalah alat negara yang betugas melindungi dan memberikan rasa aman bagi masyarakat. Demikian juga dengan Polisi, dalam Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah:
“Salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Baik TNI dan Polisi memiliki tugas yang hampir terdapat kemiripan. Menurut penulis, kemiripan tugas itu adalah sebagai petugas keamanan yang wajib menghadirkan rasa aman bagi masyarakat. Hal itu tidak diragukan lagi. Kehadiran anggota TNI dan Polisi dapat dilihat, misalnya dalam beberapa momen tertentu untuk mengamankan massa. Kehadiran anggota TNI dan Polisi pada akhirnya dapat meredam situasi yang berpotensi timbulnya kontra keamanan.

Tugas utama TNI dan Polisi ternyata telah diingkari oleh oknum dari korps mereka sendiri. Bentrok antar kedua anggota dari mereka telah mencoreng nama baik institusi. Ada banyak asumsi yang mencuat pasca bentrok kedua korps tersebut. Persoalan kesenjangan ekonomi menjadi alasan yang tak terelakkan. Mangapa alasan ekonomi? Pertanyaan yang sepertinya tidak terlalu sulit untuk dijawab. Seperti diketahui, ada banyak anggota baik TNI dan Polisi menjadi pengawal pribadi bagi konglomerat kelas atas. Hal itu menjadi side project bagi oknum-oknum anggota untuk meraup rupiah diluar tugas utama sebagai anggota. Alasan tersebut tentu sangat realistis, ditengah minimnya pendapatan dari profesi menjadi anggota.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum pula, jika anggota juga dijadikan “tameng” atau pengaman bagi tempat-tempat hiburan (karaoke, bar dan wisata). Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa bentrok anggota TNI dan Polisi yang terjadi ditempat hiburan. Anggota tidak hanya dinas di kesatuan korps mereka, melainkan melakukan “kedinasan” di lokasi lain seperti temapt hiburan. Hal ini berarti, anggota adalah backing bagi para pengusaha untuk pengamanan aset.


Oleh sebab itu, sepatutnya para petinggi TNI dan Polisi bersikap bijak dalam permasalahan tugas dan fungsi anggota mereka. Benar, bahwa tugas keduanya adalah sebagai pengaman, tetapi bukan pengamanan yang diberikan kepada pelanggar hukum. Sungguh sebuah ironi bagi TNI dan Polisi jika terlibat bentrok antar keduanya atau pelanggaran kriminal lainnya. Muru’ah kesatuan dan korps mereka akan runtuh jika bentrok demi bentrok terus melibatkan oknum anggota. 

Minggu, 21 September 2014

HMI “Nggak” Pernah Mati (Sebuah Refleksi Pembacaan Sejarah HMI)

Oleh: Ali Thaufan DS
Materi “Sejarah perjuangan HMI” disampaikan pada Latihan Kader HMI Komisariat Fak. Dirasat Islamiyah Cabang Ciputat
19 September 2014, Lenteng Agung, Jakarta

Pendahuluan
La raiba fi duhuli HMI”. Demikian ungkapan penulis bagi rekan-rekan mahasiswa baru yang kerap meminta pendapat atau sekedar bertanya tentang organisasi yang tepat bagi mereka. Pengakuan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang tepat bagi mahasiswa adalah hal yang wajar. Pasalnya sampai hari ini HMI masih menjadi student need bagi mahasiswa. HMI alat bagi para mahasiswa yang haus untuk melatih diri sebagai politisi, akademisi, leader dan bahkan intelektual.

Dalam lintasan sejarah Indonesia modern, HMI “terpaksa” tercatat. Dinamika Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta; polarisasi PKI, orde pembangunan dan reformasi 1998 telah menempatkan HMI dalam selipan sejarah Indonesia. Tulisan ini ingin menjelaskan secara singkat tentang berdirinya HMI sebagai sebuah organisasi pengkaderan yang meliputi: HMI tidak sekedar berdiri; Panggung menawan orde baru untuk HMI, peluang dan godaan; dan harapan cerah masa depan HMI.

HMI Tidak Sedekar Berdiri
Berdirinya HMI ditengarai dua aspek penting yang saat itu menjadi sesuatu yang centre, yaitu posisi Indonesia pasca kemerdekaan dan gelombang pemikiran dan pergerakan Islam. Dalam literatur sejarah berdirinya HMI, dituliskan bagaimana seorang Lafran Pane “ngotot” dan memaksa agar organisasi ini –HMI- berdiri, 5 Februari 1947. Dengan memanfaatkan waktu luang, Lafran Pane –yang saat itu berusia 25 tahun- dan kawan-kawan berhimpun diruang kelas yang digunakan mata kuliah Ilmi Tafsir.[1] Gagasan tentang pendirian HMI ia kemukakan kepada mahasiswa lainnya.

“Rapat hari ini adalah rapat pembentukan satu organisasi Islam dimana anggaran dasarnya sudah disiapkan. Pada hari ini bukan lagi mempersoalkan perlu atau tidaknya mendirikan organisasi mahasiswa islam. Di antara saudara-saudara boleh ada yang setuju dan boleh tidak setuju. Namun demikian, walaupun ada yang tidak setuju, pada hari ini organisasi mahasiswa islam ini  secara formal harus berdiri karena persiapannya sudah matang”.[2]

Setelah mendirikan HMI, Pane menyampaikan pernyataan:
keputusan mendirikan HMI, kami (saya) tegaskan karena kebutuhan sangat mendesak bagi para cendekiawan muslim muda untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Selanjutnya HMI juga diharapkan mampu melestarikan dan mengamankan ajaran Islam.[3]

Ungkapan “... harus berdiri karena persiapannya sudah matang” pada kutipan pertama di atas mengindikasikan HMI bukan lahir dari berbincangan semata. Ia didirikan dengan penuh kesungguhan oleh para mahasiswa saat itu. Bahkan Anggaran Dasar (AD) pun telah dipersiapkan. Setidaknya dari ungkapan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum tanggal 5 Februari 1947, Pane dan rekan-rekan mahasiswa lainnya telah “menggodok” gagasan berdirinya HMI.

Tidak ada yang kebetulan dari berdirinya HMI. Ditengah situasi politik nasional pasca kemerdekaan dan keadaan yang masih mencekam, HMI berkomitmen untuk mempertahankan NKRI. Pada fase awal berdirinya, HMI berperan aktif dan kerap bersinggungan dengan politik nasional guna mempertahankan NKRI. HMI kerap melibatkan diri dalam upaya perlawanan fisik maupun diplomasi.

Perundingan Linggar Jati 25 Maret 1947 yang kemudian berimplikasi pada pecahnya kabinet membuat HMI turun andil dalam persoalan tersebut. Seperti diketahui, posisi Syahrir (Sosialis Demokrat) sebagai ketua kabinet diturunkan oleh Amir Syarifuddin (Sosialis Revolusioner / PKI). Bersama dengan organisasi Islam lainnya, HMI melakukan aksi demontrasi menolak Amir. Itulah sebabnya dikemudian hari HMI begitu dimusuhi oleh PKI. Pada perjalanan sejarah berikutnya, PKI melakukan aksi berdarah di Madiun. HMI tidak tinggal diam. HMI mengirim kader-kadernya yang tergabung dalam Corps Mahasiswa Indonesia (CMI). Puncak kebencian PKI kepada HMI adalah pada saat PKI “mengipas hawa panas” Sukarno untuk membubarkan HMI. Tetapi atas saran Saifuddin Zuhri, Menag era itu, HMI pun tidak dibubarkan.

Setidaknya ulasan di atas memperlihatkan sejarah berdirinya HMI ditengah gejolak pasca kemerdekaan. NKRI belum betul-betul aman. Sehingga rakyat Indonesia tetap gigih dalam mempertahankannya HMI terlibat pada masa itu. Disisi lain, perlu kiranya memotret berdirinya HMI dari sudut pandang pergerakan umat Islam.

Dalam buku-buku yang memotret perkembangan dinamika pemikiran Islam, abad 19 adalah titik krusial perkembangan pemikiran Islam. Pada masa itu muncul tokoh-tokoh semisal Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Gagasan mereka adalah menuju satu tujuan, yakni kemajuan umat Islam. Kemunculan mereka dibarengi dengan munculnya tokoh-tokoh di Indonesia, sebut saja Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan NU pada 1926. Dua tokoh yang cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikiran di Indonesia sampai saat ini. Setidaknya kemunculan organisasi masyarakat yang berideologi Islam menjadi setting historis berdirinya HMI.[4]

Panggung Menawan Orde Baru untuk HMI: Peluang dan Godaan
Partisipasi HMI dalam mempertahankan NKRI pasca kemerdekaan dan sekaligus menjadikan PKI musuh utama HMI mendapat respon positif dari pemerintah orde baru. Bahkan saat itu muncul istilah bahwa ketua PB HMI pasti mendapat jatah di parlemen. Posisi HMI yang “getol” menentang PKI menjadi “kembang” dan banyak mendapat pujian. Orde baru saat itu berhasil dengan sukses membuat persepsi “Awas ada PKI”. Hal ini membuat rakyat betul-betul membenci PKI. Karena HMI saat itu menjadi musuh PKI, maka rakyat pun memuji HMI.

Pada era orde baru, Agus Salim mencatat bahwa HMI menjelma menjadi aset nasional. Saat itu mulai banyak kader HMI yang menduduki pos-pos penting di pemerintahan. HMI tampil dengan beragam inovasi dan menjadi mitra pemerintah. Namun demikian, Agus juga mencatat bahwa hal itu dapat menjadi kelemahan bagi HMI.[5]

Keberadaan kader HMI berada dalam politic cirle pada masa orde baru adalah kesempatan bagi HMI untuk menyebarkan doktrinasi positif dan nilai-nilai luhur ajaran HMI. Tetapi pada kesempatan yang sama, HMI dihadapkan dengan “godaan” politik yang mampu merontokkan idealisme kader HMI. Politik akhirnya menjadi “candu” bagi kader HMI. Kader-kader HMI pada akhirnya sangat dekat dengan kekuasaan. HMI berada dalam mainstrem pemerintah. Hal ini yang kemudian membuat HMI enggan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Pada wilayah perkembangan pemikiran Islam, semasa orde baru, HMI menerobos “kejumunan” pemikiran Islam pada saat itu. Salah satu kadernya, Nurcholish Madjid –akrab disapa Cak Nur-, HMI membuat gebrakan pemikiran. Salah satu gagasan yang cukup kontroversial saat itu adalah “Islam Yes, Partai Islam No!” yang tertuang dalam makalah yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.[6] Makalah yang dipaparkan pada 1970 tersebut pada akhirnya menginspirasi generasi selanjutnya untuk membuat terobosan-terobosan pemikiran keislaman.

Ditangan Cak Nur lah nilai dasar perjuangan HMI di tuliskan. Nilai Dasar Perjuangan (NDP)[7] HMI ditulis setelah Cak Nur menapaki pengembaraan intelektualnya. Ia melihat bagaimana kehidupan seorang Islam di barat dan timur. Lalu lahir lah NDP sebagai akumulasi dari wacara pemikiran Cak Nur untuk menjawab persoalan-persoalan tentang keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan kemanusiaan. Pada akhirnya NDP pula lah menjadi cara pandang kader HMI dalam menjawab berbagai persoalan seperti yang dimaksudkan Cak Nur.[8]

Harapan Cerah Masa Depan HMI
“Tidak ada sesuatu yang sempurna di bumi Tuhan”, ungkapan ini sering penulis sampaikan dalam beberapa kesempatan untuk memaparkan sekilas tentang HMI. Saat ini banyak kader HMI menjelma menjadi organisasi yang “nggak karuan” tanpa arah yang jelas. karenanya, ungkapan “tidak ada sesuatu yang sempurna” kerap penulis gunakan. Harus diakui masih ada berbagai kekurangan didalam HMI. Agus Salim dalam bukunya, 44 indikator kemunduran HMI: Suatu Kritik Untuk Kebangkitan HMI, mengulas hal-hal yang menjadikan HMI lepas dari "rel".

Kebebasan berpendapat yang menjadi ciri era reformasi memberi peluang bagi HMI sdan sekaligus kadernya untuk menyampaikan gagasan “suci” tentang misi para pendiri HMI. Harapan tersebut semakin nyata tatkala kader HMI yang menduduki pos-pos penting memainkan perannya dengan baik. Partisipsi HMI dalam pembangunan bangsa saat ini pun terlihat, meski belum dilakukan secara masif. Kesadaran kader HMI pada tingkat komisariat atas persoalan-persoalan bangsa patut diapresiasi.

Berbagai hal telah dilakukan para kader khususnya ditingkat komisariat untuk menjaga stabilitas ritme pengkaderan HMI. Tujuan mulia hendak mereka capai, yakni mengembalikan spirit dan kejayaan HMI. Dengan semangat kebesaran “jubah” HMI, para kader senantiasa melanjutkan estafet pembangunan bangsa. Salah satu langkah riil adalah berkontribusi dengan membuat kajian-kajian intensif. Dalam hal tataran pengambilan kebijakan, alumni-alumni HMI banyak terlibat. Mereka yang tersebar diberbagai lini pemerintahan mendorong Indonesia menjadi bangsa besar yang mampu bersaing dipanggung pasar bebas dunia.

Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, serta pengalaman yang cukup matang, HMI akan senantiasa memberikan hal terbaik untuk bangsa Indonesia. Harapan yang cerah itu selalu muncul dan tertanam dalam diri kader HMI. Pada akirnya HMI yang diprediksi akan “mati” pada siklus 70 tahunan akan terbantah. HMI akan tetap hidup dan tak pernah “mati”. Penulis mendasarkan bahwa kemajuan zaman telah mendorong segalanya lebih mudah. Hal itu menjadi kesempatan sekaligus milik HMI.


Daftar Bacaan
Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI; Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008

Agus Salim Sitompul, “Refleksi 63 Tahun Perjuangan HMI: Mendiagnosa lima zaman perjalanan HMI (Suatu tinjauan historis dan kritis terhadap fase-fase perjuangan HMI)”, Makalah disampaikan pada LK II tingkat nasional HMI cabang Malang, 20 Juni 2010

Qamaruddin H, “Tugas HMI dalam Mengmankan Pancasila, dalam Agus Salim Sitompul (dkk), HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, Yogyakarta: Aditya Media, 1997

Chazin Amrullah, Sejarah HMI Dari Masa Kemerdekaan Sampai Reformasi. Publikasi tulisan, 2012.

Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi,  Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001

Azmiansyah, Sejarah Pemikiran Nurcholish Madjid, Studi Nilai-Nilai Dasar HMI, Skripsi Fak Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013

Alfan Alfian, HMI 1963-1966, Menegakkan Pancasila ditengah Prahara, Penerbit Kompas, 2011

Hasanuddin M Soleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Penerbit Lingkaran, 1996.

Fachri Ali dll, HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan, Menghadapi Perubahan Zaman, Majelis KAHMI Nasional, 1997.

Tim Penyusun, Modul LK I HMI Cab. Ciputat, 2011

Rusydi Zakaria dkk (ed), Membingkai Perkaderan Intelektual, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, Presidium KAHMI Ciputat-UIN Jakarta Press, 2012

Muhammad Syafaat, “Reinterpretasi Nurcholish Madjid atas al-Qur’an : Studi Analitis atas Hermeneutika Neo Modernisme,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009





[1] Selain Pane, ada pula 14 orang temannya yaitu Kartono Zarkasi, Dahlan Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainab, M. Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi.
[2] Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI; Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975), (Surabaya: Bina Ilmu Offset), 2008, h. 20
[3] Qamaruddin H, “Tugas HMI dalam Mengmankan Pancasila, dalam Agus Salim Sitompul (dkk), HMI Mengayuh diantara Cita dan Kritik, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 310
[4] Chazin Amrullah, Sejarah HMI Dari Masa Kemerdekaan Sampai Reformasi. Publikasi tulisan, 2012.
[5] Agus Salim Sitompul, “Refleksi 63 Tahun Perjuangan HMI: Mendiagnosa lima zaman perjalanan HMI (Suatu tinjauan historis dan kritis terhadap fase-fase perjuangan HMI)”, Makalah disampaikan pada LK II tingkat nasional HMI cabang Malang, 20 Juni 2010, h. 6
[6] Makalah Nurcholish lihat dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Tentang Isu-Isu Kontemporer, pent. Bahrul Ulum-Heri Junaiedi, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001),
[7] Awalnya bernama Nilai Identitas Kader (NIK)
[8] Azmiansyah, Sejarah Pemikiran Nurcholish Madjid, Studi Nilai-Nilai Dasar HMI, (Skripsi Fak Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 73