Rabu, 09 Oktober 2013

Say no to Impor Pangan (Catatan Optimisme Ketahanan Pangan Indonesia)

Oleh: Ali Topan DS

Konon, Indonesia dijuluki negara agraris. Negara kepulauan dengan lahan kosong nan subur untuk bercocok taman. Tak ragu, grup musik kawakan, Koes Plus, dalam lirik lagunya mengatakan “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Lirik lagu tersebut mengantarkan pesan pada pendengar, bahwa alangkah suburnya tanah Indonesia.

Kesuburan tanah membuat hasil pertanian dan perkebunan melimpah. Jika untuk menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan jutaan manusia Indonesia, tentu kesuburan tanah Indonesia tidak kesulitan. Demikian juga untuk menghasilkan tanaman holtikultural. Tetapi, untuk menikmati hasil pertanian dan perkebunan sendiri (lokal) yang melimpah hanya tinggal big dream. Pasalnya, sampai saat ini. Pemerintah masih mengimpor bahan pangan. Ironisnya, kebijakan impor oleh pemerintah dirasa cukup besar dan terus menerus. Bahkan Franciscus Welirang menduga ada pihak-pihak yang sengaja mempolitisasi persoalan pangan. Kartel pangan kerap memegang peranan penting dalam industri importasi.

Pemerintah SBY pun mendapat julukan pemerintah yang “kecanduan” impor. SBY dinilai gagal memperlihatkan agrarisnya Indonesia. Hal ini didasari lemahnya perhatian pemerintah disektor pertanian. Ukurannya cukup sederhana, bahwa dana untuk meningkatkan sektor pertanian hanya 1,3 persen dari total APBN 2013. Kenyataan pahit ini harus dihadapi. Beberapa pakar ekonomi kemudian menawarkan konsep guna mengurangi pasokan impor.

Perhatian terhadap sektor pertanian agaknya sedang menemukan jalan. Saat ini, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sedang membuat rumusan untuk kemandirian pangan. Langkah ini diambil dengan melibatkan para transmigran guna mengarap lahan pertanian di wilayah transmigrasi. Kemenkertrans berharap dengan cara seperti ini, kemandirian pangan dapat tercapai. Kemenkertrans Muhaimin Iskandar menyontohkan wilayah transmigrasi yang dirancang sebagai pemukinan dengan posa usaha tanaman pangan, yakni daerah Tabalajaya, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Para transmigran sudah memiliki sumber penghidupan permanen, yakni lahan tani yang produktif.

Kemenkertrans akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan transmigrasi dengan mencanankan beberapa progam. Antaranya, pemukiman transmigrasi yang belum menunjukkan kemajuan akan didorong dengan membangunan infrastruktur guna menunjang kemajuan ekonomi; mengintegrasikan pemukiman transmigrasi dan penduduk setempat dengan melihat aspek ketersediaan sumber daya lahan yang produktif; serta melakukan pembinaan dan pengembangan masyarakat.

Melalui progam transmigrasi dengan prioritas memberdayaan lahan pertanian, diharapkan dapat menjadi solusi “candu impor” bahan pangan. Pada era 50-an, “presiden terlupakan” yakni Syafruddin Prawiranegara membuat gagasan penting disektor pertanian. Saat itu ekonomi bangsa sedang tidak stabil. Gagasan yang ia kemukakan adalah menempat pembangunan sektor pertanian sebagai bagian pembangunan industri negara. Bagi Syafruddin, pembangunan sektor pertanian demi tercapainya perkembangan ekonomi meliputi: sektor tanaman pangan untuk cadangan swasembada dan perkebunan sebagai sumber devisa.


Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Ditengah “candu impor” pangan Indonesia, masih ada upaya –dalam hal ini dari kemenkertrans- untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Mendorong dan meningkatkan produktivitas hasil pertanian mutlak guna menyetop impor pangan. Progam menuju kemandirian pangan dengan memanfaatkan para transmigran perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Permasalahan pangan yang sering dipolitisasi dengan industri pangan harus segera di-clear-kan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar