Oleh: Ali
Topan DS
Konon,
Indonesia dijuluki negara agraris. Negara kepulauan dengan lahan kosong nan
subur untuk bercocok taman. Tak ragu, grup musik kawakan, Koes Plus, dalam
lirik lagunya mengatakan “orang bilang
tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Lirik lagu tersebut
mengantarkan pesan pada pendengar, bahwa alangkah suburnya tanah Indonesia.
Kesuburan
tanah membuat hasil pertanian dan perkebunan melimpah. Jika untuk menghasilkan
padi guna memenuhi kebutuhan jutaan manusia Indonesia, tentu kesuburan tanah
Indonesia tidak kesulitan. Demikian juga untuk menghasilkan tanaman
holtikultural. Tetapi, untuk menikmati hasil pertanian dan perkebunan sendiri
(lokal) yang melimpah hanya tinggal big
dream. Pasalnya, sampai saat ini. Pemerintah masih mengimpor bahan pangan. Ironisnya,
kebijakan impor oleh pemerintah dirasa cukup besar dan terus menerus. Bahkan Franciscus
Welirang menduga ada pihak-pihak yang sengaja mempolitisasi persoalan pangan. Kartel
pangan kerap memegang peranan penting dalam industri importasi.
Pemerintah
SBY pun mendapat julukan pemerintah yang “kecanduan” impor. SBY dinilai gagal
memperlihatkan agrarisnya Indonesia. Hal ini didasari lemahnya perhatian
pemerintah disektor pertanian. Ukurannya cukup sederhana, bahwa dana untuk
meningkatkan sektor pertanian hanya 1,3 persen dari total APBN 2013. Kenyataan pahit
ini harus dihadapi. Beberapa pakar ekonomi kemudian menawarkan konsep guna
mengurangi pasokan impor.
Perhatian
terhadap sektor pertanian agaknya sedang menemukan jalan. Saat ini, pemerintah
melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sedang membuat rumusan untuk
kemandirian pangan. Langkah ini diambil dengan melibatkan para transmigran guna
mengarap lahan pertanian di wilayah transmigrasi. Kemenkertrans berharap dengan
cara seperti ini, kemandirian pangan dapat tercapai. Kemenkertrans Muhaimin
Iskandar menyontohkan wilayah transmigrasi yang dirancang sebagai pemukinan
dengan posa usaha tanaman pangan, yakni daerah Tabalajaya,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Para transmigran sudah
memiliki sumber penghidupan permanen, yakni lahan tani yang produktif.
Kemenkertrans
akan meningkatkan kualitas penyelenggaraan transmigrasi dengan mencanankan
beberapa progam. Antaranya, pemukiman transmigrasi yang belum menunjukkan
kemajuan akan didorong dengan membangunan infrastruktur guna menunjang kemajuan
ekonomi; mengintegrasikan pemukiman transmigrasi dan penduduk setempat dengan
melihat aspek ketersediaan sumber daya lahan yang produktif; serta melakukan
pembinaan dan pengembangan masyarakat.
Melalui
progam transmigrasi dengan prioritas memberdayaan lahan pertanian, diharapkan
dapat menjadi solusi “candu impor” bahan pangan. Pada era 50-an, “presiden terlupakan”
yakni Syafruddin Prawiranegara membuat gagasan penting disektor pertanian. Saat
itu ekonomi bangsa sedang tidak stabil. Gagasan yang ia kemukakan adalah menempat
pembangunan sektor pertanian sebagai bagian pembangunan industri negara. Bagi Syafruddin,
pembangunan sektor pertanian demi tercapainya perkembangan ekonomi meliputi:
sektor tanaman pangan untuk cadangan swasembada dan perkebunan sebagai sumber
devisa.
Melalui
pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Ditengah “candu impor” pangan
Indonesia, masih ada upaya –dalam hal ini dari kemenkertrans- untuk mendorong
terciptanya kemandirian pangan. Mendorong dan meningkatkan produktivitas hasil
pertanian mutlak guna menyetop impor pangan. Progam menuju kemandirian pangan
dengan memanfaatkan para transmigran perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Permasalahan pangan yang sering dipolitisasi dengan industri pangan
harus segera di-clear-kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar