Rabu, 30 Oktober 2013

Penyadapan Australia Runtuhkan Wibawa Indonesia

Oleh Ali Topan DS

Sistem Pengamanan data dan informasi yang menjadi rahasia negara Indonesia perlu mendapat proteksi lebih. Pasalnya, terendus kabar bahwa Amerika Serikat dan Australia menyadap satelit Palapa milik Indonesia. Satelit Palapa merupakan penyedia layanan telepon seluler dan komunikasi radio dibeberapa negara Asia Pasifik seperti: Indonesia, Filipina, Thailan, Brunei Darusalam, Malaysia dan Papua Nugini.
Sebuah media berita Sydney Morning Herald (www.smh.com.au) menyebut bahwa kantor kedutaan besar Australia di Jakarta menjadi maskas penyadapan aktivitas komunikasi  di Indonesia. AS bersama lima negara (5 eyes) yakni Australia, Inggris, Kanada dan Selandia Baru menggunakan alat spionase memantau perkembangan negara yang menjadi sasaran sadap. Kegiatan penyadapan oleh badan keamanan AS (NSA) terkuak oleh pengakuan mantan pegawai NSA, Edward Snowden. Ia membeberkan dokumen NSA pada sebuah majalah di Jerman, Der Spiegel. Australia berupaya mengusai sistem informasi beberapa negara untuk kepentingan AS.
Menurut Prof. Des Ball, seorang peneliti pertahanan dan strategi di Universitas Nasional Australia, memasuki dan menguasai sistem komunikasi informasi mutlak dilakukan untuk melakukan peperangan informasi. Jika hal ini dilakukan pada suatu negara tertentu, maka tujuannya adalah mengusai negara tersebut melalui sebuah sistem informasi. Ia mengakui pun jika negaranya telah menggunakan kantor kedutaan yang berada diberbagai negara untuk melakukan aktivitas spionase. Dengan menempatkan alat-alat untuk mematai-matai yang super canggih dibeberapa negara, Australia bebas menyadap informasi yang mereka inginkan.
Terkuaknya aksi penyadapan yang dilakukan Australia dengan sandi reprieve terhadap Indonesia menunjukkan lemahnya sistem keamanan informasi yang dimiliki Indonesia. Sebelumnya, juga beredar kabar bahwa Australia menyadap percakapan orang nomer satu Indonesia, Presiden SBY. Hal ini mereka lakukan guna menjegal langkah SBY ambil peran di Dewan Kehormatan PBB. Aksi Australia kini terulang lagi, bahkan mereka telah menjadikan kantor kedutaan sebagai markas penyadapan. Tidak hanya Indonesia, melainkan negara Asia Pasifik lainnya.
Melalui Departemen Pertahan dan Perdagangan, Australia berkilah bahwa hal ini –penyadapan- adalah untuk menanggulagi masalah teroris dan penjualan manusia. Sebuah sumber yang tidak mau disebutkan namanya menyebutkan bahwa aksi penyadapan tersebut adalah untuk bertujuan mengeruk informasi kebijakan strategis politik; hubungan diplomasi negara; dan informasi penting seputar perkembangan ekonomi. Hal ini sejalan dengan situasi kekinian Indonesia yang tengah menghadapi pemilu di tahun 2014. Tentu ada beberapa kebijakan penting dalam pengambilan keputusan politik serta keadaan ekonomi yang kerap pada posisi inkonsistensi.
Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Indonesia harus memperbaiki sistem data dan informasi rahasia negara; AS dan para sekutunya tengah menggelar operasi penyadapan diberbagai negara dengan sebutan “5 eyes”; Adanya upaya dari lima negara (AS, Australia, Inggris, Kanada dan Selandia Baru) untuk mengusai dunia yang menyusup melalui jejaring informasi.



Presiden SBY perlu mengambil langkah tegas dan strategis menindak pelanggaran penyadapan ini tanpa mengganggu aktivitas hubungan bilateral kedua negara, RI-Australia. Pasalnya, penyadapan ini telah meruntuhkan wibawa dan kebesaran Indonesia. Semangat Polri dibawah Kapolri baru, Jend. Pol. Sutarman, diharap mampu menyelesaikan tugas mahaberat ini, pengamanan intelejen informasi negara. (Data bersumber dari Media Indonesia, kompas.com dan sindonews.com pada 31/10/2013).

Senin, 28 Oktober 2013

Wacana Pencapresan Jusuf Kalla Ancam Golkar-Ical

Oleh: Ali Topan DS

Meski mengalami kekalahan saat pemilihan presiden 2009, Jusuf Kalla tampaknya masih punya ambisi mencalonkan sebagai presiden 2014 mendatang. Saat ini, ia bisa dibilang “disingkirkan” dari partai yang pernah ia pimpin, Golkar. Golkar telah menetapkan Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai calon presiden. Keputusan partai tersebut menutup peluang JK untuk mencalonkan diri dari partai Golkar.
Posisi JK saat ini adalah sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI). Sejak menahkodai PMI, ia banyak melakukan kegiatan-kegiatan bakti sosial. Selain itu, JK juga kerap memberi kuliah umum di beberapa universitas. Hal ini menjadi modal JK untuk mencalonkan sebagai capres selain, kekuatan financial. Tentu saja, modal utama JK adalah pengalaman saat menjadi wakil presiden 2004-2009 lalu. Terlebih ia dibilang cukup berhasil saat itu.
Dukungan terhadap JK untuk menjadi capres diwacanakan oleh PKB yang ingin mendorongnya. Seluruh perwakilan DPW PKB se-Kalimantan dan NTB berkumpul di Jakarta untuk membuat pernyataan dukungan terhadap pencapresan Jusuf Kalla dari PKB. Dukungan terhadap JK oleh beberapa pengurus DPW diakui oleh Wakil Ketua Dewan Syura PKB, Ali Machsan Musa. Menurutnya, partainya akan mempertimbangankan usulan tersebut. Setidaknya, PKB memiliki banyak capres seperti Rhoma Irama, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar. Ia juga akan melihat elektabitas nama-nama tersebut sebelum menentukan menjadi capres
Bagi ketua-ketua DPW di atas, JK adalah sosok negarawan yang telah terbukti menunjukkan prestasinya saat menjadi wakil presiden periode 2004-2005 lalu. Ia dianggap mampu meredam konflik; mengambil kebijakan yang beresiko untuk kepentingan yang lebih besar; serta sebagai warga NU dan dekat dengan masyarakat nahdiyin.
Wacana pencapresan JK oleh PKB menjadi “metaka” Golkar –dalam hal ini yang sudah mengusung Ical. Perlu diperhatikan bahwa JK sendiri masih memiliki “gerbong politik” di Golkar. Ia dipastikan masih tetap mendapat dukungan dari kader-kader Golkar. Keadaan seperti ini tentu dapat memecah suara diinternal Golkar.
Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Wacana pencapresan JK oleh PKB adalah hal yang wajar. JK adalah tokoh nasional yang punya prestasi. Hal ini menjadi daya tarik partai untuk mendekatinya. Wacana pencapresan JK oleh PKB juga menambah daftar capres PKB karena sebelumnya PKB sudah mengantongi nama-nama seperti Rhoma Irama, Mahfud MD serta Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar. Pencapresan JK dari partai lain, akan dapat memecah suara internal Golkar. Pasalnya, JK masih banyak memiliki gorbong politiknya di Golkar. JK harus mempertimbangkan partai yang akan mengusungnya di pilpres 2014. Ia perlu mendekati parpol secara intens. Pasalnya, beberapa parpol telah memiliki kader yang akan diusung. Meski demikian, dinamika pencapresan masih akan berjalan dinamis dengan melihat kondisi politik kekinian.


“Dosa” SBY di Sektor Pertanian

Oleh: Ali Topan DS

Menjelang akhir kepemimpinan SBY, ia banyak dinilai banyak tidak menepati janjinya. Salah satunya adalah janji untuk perluasan lahan pertanian. Seperti diketahui, saat ini pemerintah sedang mengupayakan swasembada pangan di 2014. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan pokok pangan dalam negeri terpenuhi. Tentu saja yang paling utama adalah terhindar dari importasi bahan pangan. Namun diakui, kendala swasembada adalah menyempitnya lahan pertanian.
Pakar pertanian IPB, Prof Dwi Andreas Santosa menyampaikan janji SBY yang tidak ia penuhi terkait sektor pertanian. SBY sebelumnya berjanji akan meningkatkan lahan pertanian dari dari 7,9 juta hektar menjadi 15 juta hektar. Alih-alih meningkat, justru lahan pertanian mengalami penyempitan dari 7,9 menjadi 7,3. Menurut Dwi, pemerintah selalu mengimpor bahan pangan sebagai solusi atas kebuntuan ketersediaan pangan. Padahal, ketergantungan ini sangat merugikan para petani. Masih banyak lahan pertanian yang dapat digarap sehingga memberi sumbangan atas keterbatasan ketersediaan pangan. Persoalan mendasar terletak pada banyaknya lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non tani.
Wilayah Karawang yang dianggap sebagi lumbung padi tak luput dari penyempitan lahan tani. Data Pemda Karawang menyatakan bahwa pada tahun 1989-2007 terjadi penyusutan lahan tani seluas 135,6 hektar pertahun. Rencana pembangunan pelabuhan di Cilamaya guna menopang pelabuhan Tanjung Priuk juga menjadi ancama tersendiri bagi pertanian Karawang.
Tidak ingin disalahkan, jubir presiden bidang ekonomi dan pembangunan, Rizal Halim, membantah jika SBY dianggap tidak perhatian terhadap pertanian. Saat ini SBY sebetulnya berkomitmen meningkatkan sektor pertanian dengan membuat regulasi. Tetapi banyak masyarakat sendiri yang melanggarnya. Harus diakui bahwa persoalan perluasan lahan tani bukanlah urusan mudah. Terlebih jika perluasan lahan tersebut dilakukan di luar pulau Jawa. Banyak tantangan dan hambatan untuk melakukannya. Seperti hal nya pembebasan tanah yang dianggap warisan leluhur.
Sementara itu, disaat kesulitan upaya swasembada pangan  melanda Indonesia, Australia ingin menawarkan kerjasama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Kedubes RI untuk Australia menyatakan akan ada beberapa perusahaan swasta yang berinvestasi di sana guna mendukung ketersediaan pangan.
Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Lahan pertanian mengalami penyempitan. Tentu saja ini merupakan “dosa” atas ingkar janjinya SBY. Hal ini dapat dibuktikan kurangnya perhatian pemerintah serta kebijakan impor pangan yang dilakukan. Jika penyempitan lahan tani terus dibiarkan bertambah, maka swasembada pangan yang dicita-citakan tidak akan terwujud. Pemerintah SBY diakhir masa kepemimpinannya perlu segera mewujudnya perluasan lahan pertanian sebagai janjinya. Hal ini tentu saja selain mendorong ketahan pangan, juga akan berimplikasi baik bagi para petani. Tawaran dari Australia perlu dicermati, karena bisa saja akan berdampak buruk bagi Indonesia. Misalnya, ada kepentingan tertentu yang mencari keuntungan. Selain itu, dapat pula tawaran Australia hanya sekedar “pemanis” untuk mengobati sakit hati Indonesia pasca isu penyadapan SBY yang mereka lakukan. (Data dan fakta bersumber dari Kompas.com).


Minggu, 27 Oktober 2013

Budaya Menulis Arab Pra-Islam dan Pengaruhnya Terhadap Rasm Mushhaf

Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan

Kajian rasm al-Qur’an bukan sesuatu yang baru bagi akademisi ilmu al-Qur’an. Kalangan ahli ilmu al-Qur’an masa klasik seperti Al-Zarkasyî dalam al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân dan al-Suyûtî dalam al-Itqân Fî Ulûm al-Qur’ân telah menyisipkan kajian rasm al-Qur’an pada bab tersendiri dalam kitabnya. Demikian pula kalangan ahli ilmu al-Qur’an kontemporer, mereka juga banyak membahas dalam karya-karya mereka, seperti Mannâ Khalîl al-Qatthân, Muhammad Abd al-Azîm al-Zarqanî, Nûr al-Dîn Atar[1], Abd al-Qadîr Manshûr[2], Musthafa Diba al-Bughâ dan Muhyî al-Dîn Diba Matawî[3], Abd Allah ibn Yûsuf al-Judai’[4].

Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana tradisi tulis menulis bangsa Arab pra-Islam; pembahasan rasm mushhaf menurut beberapa ahli ulûm al-Qur’an; dan berbagai perdebatan mengenai ke-tawqifi-annya atau tidak. Tulisan ini juga ingin menjawab apakah penulisan mushhaf memiliki keterpengaruhan dengan tradisi tulis menulis Arab pra-Islam? Jika benar demikian, maka kejahiliyaan –tidak bisa membaca dan menulis- yang selalu identik pada bangsa Arab pra-Islam, secara utuh tidak tepat.

Dalam memaparkan tulisan ini, penulis membagi dalam dua anak judul: Tradisi tulis-menulis bangsa arab pra-Islam dan kajian Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’an.

Tradisi Tulis-Menulis Bangsa Arab Pra-Islam

Sebelum datang Islam, masyarakat Arab diidentikan sebagai masyarakat jahiliyah (bodoh). Kejahiliyaan dapat dimaknai dengan tidak memiliki ilmu. Karena Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat jahl, maka mereka dianggap tidak mampu menulis. Akan tetapi, menurut Eva Nugraha, kata jahiliyah dalam al-Qur’an tidak menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pra-Islam dalam menulis. Dalam beberapa ayat –sûrah al-Mâidah: 50, ali Imrân: 154, al-Ahzâb: 33 dan al-Fath: 26- tidak ada petunjuk khusus bahwa jahiliyah diartikan tidak mampu menulis.[5]

Al-Qur’an memberi penegasan bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat ummî (buta huruf). Hal ini didasarkan pada firman Allah sûrah al-Jumû’ah: 2, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. Bahkan, Nabi sendiri mengatakan bahwa sebenarnya umatnya tidak dapat menulis dan berhitung.[6]

Menurut al-Zarqanî, keadaan buta huruf melekat bagi suku Quraisy. Hanya ada beberapa orang saja yang belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang bernama Harb ibn Umayyah ibn Abd Syâms. Al-Zarqanî mengutip pendapat Abû Amr al-Dâni bahwa Harb belajar menulis dari Abdullah ibn Jad’ân. Diriwayatkan bahwa Jad’ân adalah warga Anbâr. Warga Anbar sendiri belajar menulis dari seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun pengajarnya adalah al-Khaljân ibn al-Mu’mîn, sekertaris Nabi Hûd.[7] Jauh sebelum al-Zarqanî, al-Zarkasî, mengutip riwayat yang menyebutkan jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh Nabi Adam dan Ismail.[8]

Bangsa Arab, khususnya Arab bagian utara dikenal tidak mempunyai budaya tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran Nabi Muhammad, perlahan orang-orang Arab utara mulai mengembangkan budaya tulis. Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra-Islam, yakni tulisan Zabad di sebelah Tenggara Aleppo (521), Harran di Laja (568) dan Umm al-Jimal. Bangsa Arab pra-Islam yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh pada budaya menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat festival bagi para penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas dan ditempel didinding-dinding Ka’bah.[9]

Kegiatan perniagaan sangat identik menjadi profesi masyarakat Arab pra-Islam. Kota Makkah sendiri menjadi pusat perdagangan sekaligus keagamaan penyembah berhala (pagan). Bahkan pada abad ke 6, Mekkah mendapat kekuasaan kegiatan perdagangan. Adanya kegiatan perdagangan mengharuskan padagangnya mahir dalam hib dan tentunya menulis.[10]

Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, A’zami memberi jawaban bagi para orientalis yang meragukan tulisan Kuffi hanya didapati pada abad dua dan tiga hijriyah. Ia menunjukkan bukti-bukti ditemukannya skrip mushhaf Kuffi pada abad sebelumnya. Hal ini dapat dijadikan pijakan bahwa sebelum datang Islam, masyarakat Arab telah mengenal tulisan.[11]

Uraian tersebut diatas mengambarkan bahwa sekalipun masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dikenal Jahiliyah (bodoh), tetapi bukan berarti tidak bisa tulis menulis.

Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’ân

Kajian Rasm Mushhaf berkaitan erat dengan pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an pada masa khalifah Uthmân ibn Affân. Karena penulisan dan penyeragaman al-Qur’an dilakukan pada masa khalifah Uthmân, maka metode penulisannya tersebut disebut sebagai rasm mushhaf Uthmâni. Penamaan rasm mushhaf yang dinisbatkan nama khalifah Uthmân bukanlah atas instruksinya, melainkan para ulama yang memberikan nama tersebut.[12]

Rasm Uthmâni dalam beberapa metode penulisannya banyak berbeda dengan ketentuan asal pengucapan kalimat. Perbedaan penulisan rasm Uthmâni tersebut dianggap mengabaikan ketentuan dan terjadi penyimpangan. Al-Zarqanî mencatat terdapat enam kaidah penulisan rasm Uthmâni, yakni kaidah hadzf (pembuangan), ziyâdah (penambahan), hamzah, badl, washl dan fashl serta kata yang mengandung dua bacaan.[13]

Ringkasan contoh dari kaidah diatas antara lain:
Tulisan Standar
Mulisan Mushhaf
Keterangan
يدعوالإنسان
يدع الإنسان
Menghilangkan waw pada yad’u
سماعون للكذب
سمعون للكذب
Menghilangkan alif pada sammaun
لشئ إني فاعل
لشائ إني فاعل
Tambahan alif pada syai’in
بأيد وإنالموسعون
بأييد وإنالموسعون
Tambahan ya pada aidi
الربا
الربو
Huruf alif diganti waw
أن لن نجمع
ألن نجمع
Menggabungkan an dan lan
أنمايدعون
أن مايدعون
Menggabungkan anna dengan ma
مالك يوم
ملك يوم
mengandung dua bacaan[14]

Menurut al-Zarqanî, terdapat beberapa faedah atas penulisan rams Uthmâni. Pertama, menunjukkan ragam satu kata. Dalam penulisan rasm tersebut jika ada kata yang dapat dibaca dua bacaan atau lebih, maka ditulis dengan bentuk yang memungkinkan untuk baca. Pembacaan dua atau lebih tersebut harus tetap mengacu pada qira’ah para imam yang mutawatir. Sebagai contoh pada ayat (إن هذان لساحران), empat imam qira’ah berbeda dalam membacanya. Sebagai contoh: Qira’ah Nafi’ membaca tasydid nun kata إن, dan takhfif nun kata هذان. Sedangkan Qira’ah Abu Amr membaca tasydid kata إن, dan membaca ya dan takhfif kata هذين.

Kedua, menunjukkan makna yang beragam dengan kaidah tulisan yang jelas. Seperti pemutusan kata أم, pada يكون من أم, serta menyambugan kata أم, pada ayat سويا يمشي أمن. Pemutusan أم pada contoh ayat pertama berarti am muqâtha’ah yang berarti بل .  Sedangkan penyambungan (diidhamkan) pada contoh ayat kedua bukan am muqâtha’ah. Ketiga, menunjukkan harakat asal, sebagaimana kasra dengan ya (contoh: القربي وإيتاء ذي ) dan waw dengan dhamah (دار الفاسقين سا ؤريكم).[15]

Rasm Mushhaf: apakah Tawqifi?

Perdebatan mengenai apakah rasm Uthmâni bersifat tawqifî atau tidak menjadi sorotan para ahli ulûm al-Qur’ân. Jika dipetakan, ada tiga pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, yang mengganggap rasm Uthmâni adalah tawqifî. Alasan pendukung pendapat tersebut didasarkan bahwa rasm merupakan perintah Nabi. Sebagaimana diketahui, Nabi mempunyai katib (sekertaris/penulis) wahyu. Pasca wafatnya Nabi, para katib tetap memelihara tulisan hingga akhirnya ditunjuk oleh khalifah Uthmân sebagai lajnah penulisan ulang mushhaf al-Qur’an pada masanya, yakni Zaid ibn Tsabit.[16]

Kedua, pendapat bahwa rasm mushhaf bukan tawqifî, hanya istilâhî. Pendukung pendapat ini antara Ibn Khaldun. Pendapat Ibn Khaldun dibenarkan oleh Abû Bakr al-Bâqilanî. Menurutnya, Allah tidak menetapkan kewajiban penulisan wahyu dengan rasm tertentu. Selanjutnya pendukung pendapat ini beranggapan bahwa Nabi tidak menyuruh menuliskan rasm jenis tertentu. Rasm Uthmâni dinilai merupakan kesepakatan sahabat yang menuliskan dengan kebiasaan Quraisy. Dasar di atas tersebut yang mereka jadikan alasan bahwa boleh menuliskan mushhaf dangan tulisan kuffiyah (seperti: lam berbentuk seperti kaf, alif ditulis sedikit bengkok)[17]

Ketiga, pendapat yang berupaya mengkompromikan dua pendapat sebelumnya. Pendapat ini beranggapan bahwa penulisan rasm Uthmâni tidak harus dilakukan, terlebih untuk kalangan awam dalam membaca al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan mempermudah bagi pembaca. Tetapi, rasm Uthmâni harus tetap dijaga.[18]

Pada perkembangan selanjutnya, rasm Uthmâni disempurnakan yakni di tambahkan tasykîl dan i’jâm/nuqat. Pemberian titik dan harakat ini dimaksud kemudahan bagi pembacanya. Penyebaran Islam keberbagai daerah alasan penambahan tasykîl dan nuqat tersebut. Hal ini dimaksud menjaga bahasa al-Qur’an. Dalam banyak riwayat, orang pertama yang meletakkan dasar tasykîl dan nuqat adalah Abû Aswâd al-Dhualî (w. 69 H). [19]

Kesimpulan

Tulis-menulis telah terjadi di Arab sebelum datang Islam. Meski menyandang indentitas masyarakat jahl, bukan berarti masyarakat Arab saat itu tidak bisa menulis. Setelah Nabi Muhammad dan Islam datang, budaya menulis semakin digiatkan. Hal ini didasarkan atas kegiatan pencatatan wahyu yang disampaikan Nabi kepada para sahabatnya. Sehingga pada akhirnya mushhaf al-Qur’an di tulis para sahabat pasca wafatnyanya Nabi. Seperti diketahui, al-Qur’an turun dalam bahasa dialek Quraisy. Budaya tulis Quraisy kemudian memberikan implikasi dan pengaruhnya pada penulisan rasm Uthmâni.


[1] Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, (Damaskus: Matba’ah al-Shibâl, 1993), h. 187
[2] Mausû’atu Ulûm al-Qur’ân, (Dâr al-Qalâm al-Arabî, 2002), h. 77
[3] Al-Wâdhih Fî Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr al-Kalâm al-Thaiyib, 1997), h. 97
[4] Muqaddimah al-Asâsiyah Fî Ulûm al-Qur’ân, (Bairut: Markaz al-Buhûs al-Islâmiyah, 2001), h. 148
[5] Eva Nugraha “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam Penulisan Rasm” Refleksi Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin, Vol 12, No 2, 2011, h. 102
[6] Muhammad abd al-Azîm al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutb al-Arabî, 1995), vol 1, h. 297
[7] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân,  vol 1, h. 294. Lihat juga: Muhammad Abû Suhbah, Madkhâl Li Dirâsah al-Qur’ân al-Karîm, (Riyadh: Dâr al-Liwa’, 1987), h. 335
[8] Badruddîn Muhammad ibn Abdu Allah al-Zarkasî, al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 2006), h. 259
[9] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 116
[10] Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 37
[11] Musthafa A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Depok: Gema Insani, 2005), h. 142
[12] Mannâ Khalîl Qattân, Mabâhis Fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 139
[13] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 300
[14] Contoh-contoh diatas diambil dari: Alimin Mesra dkk, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PSW UIN Jakarta), h. 130
[15] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 306-8
[16] Al-Zarqanî juga mengutip hadis, yakni tatkala Nabi bersabda pada Mu’awiyah: “letakkanlah wadah tinta, miringkan pena, luruskan ba’, renggangkan sin, jangan menulis mim tanpa lubang, perbaikilah tulisan Allah…”, sabda nabi tersebut dianggap sebagai ketentuan/undang-undang penulisan wahyu. al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 310
[17] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 312
[18] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 315
[19] A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, h. 151. Pendapat lain juga dikemukakan Al-Zarqanî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 332 dan Mannâ Khalîl  Qattân, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, h. 143

Al-Qur’an dalam Suatu Konteks

Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan

Kontekstualisasi al-Qur’an sejatinya upaya menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam al-Qur’an pada tatanan kehidupan. Banyak sarjana Muslim kontemporer yang menawarkan konsep mengaplikasikan ajaran Islam di alam modern yang lengkap dengan kompleksitasnya. Ajaran agama diharap menjadi jawaban atas masalah kekinian. Tentu saja dengan jargoan “al-muhâfadzah ‘alâ qadîmi al-sâlih wa al-ahdhu bi al-jadidi ashlah”. Yakni mengaja tradisi warisan ulama terdahulu sebagai pijakan melihat konteks saat ini dan mengambil hal-hal yang baru dan baik untuk dikompromikan dalam menjawab sebuah permasalahan.

Tulisan ini mengambarkan bagaimana memposisikan al-Qur’an dalam melihat fenomena kekinian, tetapi tetap berlandaskan metode klasik. Tulisan ini juga berupaya memberikan gambaran bagaimana menyelesaikan problem dalam suatu konteks dengan melihat historiografi berdasar pada turunnya ayat serta penjelasan ahli al-Qur’an? Untuk memaparkannya, penulis membagi dalam sub judul: sekilas tentang setting historis turunnya wahyu dan asbâb al-nuzûl al-Qur’ân, serta Membaca Turunnya Teks Dalam Suatu Konteks.

Setting Historis Turunnya Wahyu dan Pentingnya Asbâb al-nuzûl

Turunnya ayat al-Qur’an yang disampaikan Nabi Muhammad –kenabiannya pada 610 M- menyentuh segala aspek kehidupan masyarakat Arab saat itu, khususnya Makkah. Berita kenabiannya pertama ia sampaikan pada istrinya, Khadijah binti Khuwailid dan orang-orang terdekatnya. Sasaran dakwah pertama Nabi adalah orang-orang ekonominya lemah, dan kalangan muda yang tak puas dengan kondisi Makkah.[1] Masyarakat Makkah kala itu terkenal dengan penyembah berhala (pagan) dan perdukunan. Kedatangan Muhammad dengan membawa misi ketauhidan sangat bertolak belakang dengan budaya Arab saat itu.[2] Muhammad menjelma sebagai seorang Nabi yang reformis. Tatanan kehidupan yang berlaku di Makkah saat itu perlahan digeser dengan pesan al-Qur’an, meski tidak secara keseluruhan.
Turunnya al-Qur’an pada masyarakat Arab sebagaimana digambarkan Nasr Hamîd Abû Zaid sangat berkaitan dengan realitas. Praktik perdukunan di Arab saat itu mengindikasikan kepercayaan masyarakat akan adanya komunikasi manusia dan jin (sesuatu yang ghaib). Karenanya, masyarakat Arab memahami betul komunikasi Muhammad dengan Jibril –dalam hal pewahyuan- tidak jauh berbeda dengan kebiasaan mereka sebelumnya.[3]

Ali Sodikin memetakan fase “reformasi” yang dilakukan Muhammad menjadi dua: reformasi Makkah dan Madinah. Pertama, reformasi Makkah (sejak kenabian hingga 616 M). Pada fase ini, Muhammad berupaya meluruskan ketauhidan masyarakat Makkah saat itu. Sebelum Muhammad datang dengan membawa wahyu Al-Qur’an, masyarakat Makkah sebetulnya telah mempercayai Allah. Akan tetapi, disamping percaya Allah, mereka tetap menyembah patung-patung. Politiesme yang mengarahkan pada pandangan materialistis masyarakat saat itu bermuara pada tidak adanya keadilan. Sehingga doktrinasi tauhid dimaksudkan pembentukan masyarakat yang egaliter dan berkeadilan.

Pendekatan “santun” yang dilakukan Muhammad mengantarkan masyarakat Makkah pada pemahaman dan kesadaran atas konsep eskatologi[4] seperti adanya hari akhir, hari pembalasan dan akhirat. Doktrin semacam ini dimaksudkan agar masyarakat berbuat kebajikan dan menyadari akan keadilan Tuhan. Selain meuluruskan tauhid dan doktrinasi eskatologis, Muhammad juga mengajarkan ritual ibadah, solat. Solat merupakan bentuk penghambaan kepada yang maha kuasa, Allah. Tuntunan solat ini sekaligus menghapus praktik mistis yang dilakukan masyarakat Makkah.[5]

Kedua, reformasi Madinah (622 M). ayat-ayat yang turun di Madinah kebanyakan menyangkut panduan membangun masyarakat sosial (konsep ummah[6], persoalan warisan[7], jihad[8], hukum potong[9] tangan hukum perzinahan[10] dan lainnya). Selain itu, ayat al-Qur’an yang turun di Madinah banyak berisi seruan pada ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) agar memeluk agama Islam.[11] Kedua fase di atas menunjukkan bahwa kedudukan Muhammad sebagai pembawa risalah kenabian. Risalah kenabian Muhammad esensinya terdapat dalam dua hal yang sangat penting, yakni membawa ajaran tauhid dan aturan berhubungan sesama manusia.[12]

Pembacaan terhadap konteks turunnya al-Qur’an sangat penting dalam memahami wahyu Tuhan tersebut. Hal ini dapat mengantarkan pada pembacaan historis secara utuh atas turunnya ayat. Dalam kajian ulûm al-Qur’ân, kajian ini didapat pada pembahasan mengenai asbâb al-nuzûl.  Al-Wâhidî membagi proses turunnya ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama, ayat yang turun tiba-tiba tanpa ada sebab. Tetapi ayat tersebut tetaplah mengandung hikmah. Biasanya berkaitan dengan ayat-ayat akidah. Kedua, ayat yang turun karena adanya suatu peristiwa yang menyebabkannya. Sehingga ayat tersebut menjadi jawaban atas peristiwa tersebut. Pada bagian yang kedua, turunnya al-Qur’an dengan adanya sebab terbagi menjadi dua. 1). adanya peristiwa dikalangan umat muslim sehingga membutuhkan dalil penjelas dari Allah. 2). Adanya pertanyaan tertentu dari umat kepada Nabi, sehingga Allah menurunkan ayat sebagai jawabannya .[13]

Pengetahuan dan pemahaman terhadap asbâb al-nuzûl merupakan hal mutlak yang dibutuhkan bagi seorang penafsir al-Qur’an. Ia dituntut menjelaskan relevansi konteks turunnya suatu ayat yang dapat didialogkan dengan kondisi kekinian. Karenanya, ilmu asbâb al-nuzûl menjadi salah satu syarat yang dimiliki seseorang dalam menafsirkan ayat. Menurut Ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip al-Suyûtî menerangkan bahwa pengetahuan sebab turunnya ayat sangat penting karena membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an, karena mengetahui sebab juga mengetahui akibat.[14]

Membaca Turunnya Teks Dalam Suatu Konteks

Penjelasan diatas setidaknya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa beberapa ayat al-Qur’an diturunkan sebagai jawaban atas realitas manusia. Pada sisi lainnya, turunnya ayat al-Qur’an secara “santun tidak serta merta merombak adat masyarakat Arab saat itu membuat kehadiran Islam lebih diterima.

Dalam memberikan petunjukan dan menetapkan hukum-hukum, al-Qur’an memberi perhatian besar atas keadaan suatu adat –dalam hal ini adat Arab. Perhatian itu tercermin dari petimbangan adat kebiasaan orang dimana ayat turun, serta kondisi orang yang ada didalamnya.[15] Sebuah contoh kesantunan ayat al-Qur’an dalam memberikan ketetapan hukum adalah ayat pengharaman khamr. Masyarakat Arab sejak sebelum turunnya al-Qur’an dikenal sebagai masyarakat yang gemar mabuk.[16] Karenannya, ayat pelarangan khamr tidak hadir secara langsung dalam bentuk “kharm adalah haram”. Melainkan melalui proses gradual atau tadriji (berangsur).

Turunnya ayat pengharaman khamr pun meliputi beberapa tahap. Pertama, sûrah al-Baqarah: 219, “Mereka akan bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah keduanya memiliki kemudharatan yang besar dan memiliki manfaat bagi orang banyak, namun kemudharatannya lebih besar dari manfaatnya”. Kedua, sûrah al-Nisa: 43, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati solat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian tidak tahu apa yang sedang kalian baca”. Ketiga, al-Maidah 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh karena itu jauhilah. Semoga kalian beruntung”

Ayat pertama pengharaman khamr adalah jawaban atas pertanyaan dalam al-Qur’an. Ayat tersebut memberi peringatan dengan menunjukkan kemudharatan khamr.[17] Pada ayat kedua, pelarangan minum khamr saat menjelang solat.[18] Nasr Hamîd mengatakan bahwa masyarakat saat itu begitu doyan minum khamr, bahkan hal itu dilakukan sepangjang hari diwaktu kerja.[19] Baru setelah itu, al-Qur’an memberi ketegasan bahwa khamr adalah bagian dari setan dan perbuatan keji. Proses turun secara tajriji dan “halus” dalam menetapkan suatu hukum dimaknai dengan upaya al-Qur’an menanamkan nilai kesadaran dan keihklasan. Al-Qur’an secara perlahan memutlakkan keharaman khamr.[20]

Selain persoalan khamr, penulis akan menyajikan pandangan ahli tafsir yang melihat konteks pasca turunnya al-Qur’an yakni, ayat tentang hukum potong tangan. Sûrah al-Mâidah: 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...” menegaskan hukuman potong tangan bagi pencuri.  Mengacu pada sebab turunnya ayat, sebetulnya ayat ini menjadi penjelas sûrah al-Nisa: 104.[21]

Berkaitan dengan hukum potong tangan, Wahbah Zuhailî berpendapat bahwa hukuman itu diperlukan demi tegaknya sebuah kemashlahatan. Namun perlu diperhatikan juga kadar barang yang dicuri, sehingga kapan seorang pencuri layak mendapat hukum potong tangan seperti yang diperintahkan Allah pada sûrah di atas. Terdapat hadis yang menyebut berapapun kadar yang di curi, hukum potong tangan mesti perlaku.
عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Terdapat pula hadis lainnya memberi kadar/batasan jika yang dicuri adalah seperempat dinar, maka wajiblah dihukumi potong tangan.[22]
عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً
Tokoh pemikir kontemporer, Fazlur Rahman, seperti dikutip Sibawaih juga memberikan sumbangan pikirannya mengenai hukum potong tangan bagi pencuri. Bagi Rahman, hal penting yang dapat menghindarkan seseorang mencuri adalah jika kebutuhan ekonominya terpenuhi. Ide utama pelarangan pencurian adalah memotong kemampuan pencuri.[23]

Persoalan hukum potong tangan bagi pencuri –khususnya di Indonesia- bisa dibilang jauh dari penerapan, utopi. Pasalnya, Indonesia punya aturan hukum yang mengatur hukuman bagi seorang pencuri (bukan potong tangan). Penulis perlu sajikan pandangan mufassir Indonesia mengenai hal ini, Quraish Shihab. Menurutnya perlu memahami dulu kata السارق (al-sâriq) yang berarti pencuri. Kata tersebut memberi kesan bahwa yang mencuri telah berulangkali mencuri, sehingga wajar dinamai pencuri. Jika demikian, maka seseorang yang baru sekali atau dua kali mencuri belum wajar dimanai pencuri. Karenanya tidak tepat pula jika dikenai sanksi seperti yang tersebut di atas.

Melihat kondisi atau keadaan juga menjadi pertimbangan penerapan hukum ini. Jika ia dalam keadaan terdesak, maka hukuman potong tangan dapat diganti dengan hukuman yang lebih ringan. Sebagian ulama menganggap hukuman ini adalah hukuman yang paling tinggi. Khalifah Umar ibn Khattâb tidak pernah menghukum orang pencuri dengan hukum potong tangan ketika dalam keadaan paceklik atau pada masa krisis.[24] Versi lain menyebut jika khalifah Umar malah mengancam akan memotong seorang tangan seorang majiakan karena dua budaknya mencuri.[25] Akan tetapi, dalam konteks keIndonesiaan saat ini, penafsiran di atas –baik Fazlur Rahman dan Quraish Shihab- perlu ditinjau ulang. Pasalnya, berapa banyak orang yang sudah tercukupi kebutuhan ekonominya atau bahkan lebih tetapi tetap saja mencuri, korupsi.

Syari’at hukum Islam sejatinya bertujuan tercapainya kemashlahatan. Perlu juga diperhatikan apakah kemashlahatan tersebut bersifat individual atau sosial. Jika tujuannya adalah individu, tentunya hal ini menyangkut orang tertentu. Namun, jika kemashlahatan menyangkut kehidupan sosial, hal tersebut perlu dirumuskan secara bersama, atau dikenal dengan syûra. Hasil kesepatannya tersebut menjadi hukum tertinggi.[26] Ayat hukum potong tangan menurut Muqsith Ghazali termasuk kategori ayat-ayat partikular. Mengenai pelegalannya untuk menjadi sebuah aturan resmi, misalnya dalam bernegara, tidak perlu diperdebatkan. Prinsip yang diutamakan sebetulnya adalah hukuman yang menjerakan. “Al-Ibrah bi al-maqâsid al-syar’iyah” bahwa tujuan hukum lebih utama ketimbang hurufnya.[27]

Kesimpulan

Pengetahuan dan pemahaman terhadapa asbâb al-nuzûl al-Qur’an menjadi fardlu ain hukumnya untuk menafsirkan sebuah ayat. Pembahasan singkat mengenai sebab turunnya ayat diatas setidaknya menegaskan penting ilmu tersebut.Tanpa pengetahuan histori yang melandasi turunnya sebuah ayat, maka dipastikan seorang penafsir akan menafsirkan secara despotik. Mengetahui sebab turunnya ayat juga meniscayakan akan pengetahuan terhadap ilmu hadis. Tulisan ini juga menegaskan dakwah “santun” oleh nabi Muhammad dalam dakwah Islamnya menjadikan ia diterima ditengah budaya adat Arab yang mengakar. Muhammad datang dengan “reformasi-kompromi” ajaran Islam dengan ajaran yang dipercayai masyarakat Arab saat itu. Pengetahuan akan hal ini dirasa penting ditengah maraknya sekolompok umat yang dengan penuh emosi menyatakan truth claim nya.


Daftar Pustaka

al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn ibn Abd al-Rahmân, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, Beirut: al-Maktab al-Tsaqâfiyah, 2002
al-Wâhidî, Abû Hasan Alî ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Alî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Maimân, 2005
al-Zarqânî, Muhammad abd al-Azîm, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutb al-Arabî, 1995
al-Zuhailî, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Beirut: Dâr al-Fikr, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991
Abû Zaid, Nasr Hamîd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, Pent Khoiron Nahdhiyin, Yogyakarta: LKiS, 2005
Ghazali, Abdul Muqsith, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam” Makalah disampaikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 4 Juli 2011
Ghazali, Abdul Muqsith. Dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Hitti, K. Philip, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010
Sodikin, Ali, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Sibawaihi, Hermenetika al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Shihab, Umar, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005
Shihab, M. Quraish, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati
Qattân, Mannâ Khalîl, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, Kairo: Maktabah Wahbah, tt



[1] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 142
[2] Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 71
[3] Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an, Pent Khoiron Nahdhiyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 33
[4] Ilmu tentang akhir riwayat hidup manusia; ilmu yang berkaitan dengan kematian manusia
[5] Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an, h. 83-90
[6] Sûrah al-Hujurat: 10
[7] Sûrah Nisâ: 11-14
[8] Antara lain sûrah al-Baqarah: 261; Ali Imrân: 169; al-Nisâ: 78
[9] Sûrah al-Mâidah: 38
[10] Sûrah al-Nûr: 2
[11] Mannâ Khalîl Qattân, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 58
[12] Abdul Muqsith Ghazali, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam” Makalah disampaikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 4 Juli 2011, h. 7
[13] Abû Hasan Alî ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Alî al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, (Riyadh: Dâr al-Maimân, 2005), h. 40
[14] Jalâl al-Dîn ibn Abd al-Rahmân al-Suyûtî, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: al-Maktab al-Tsaqâfiyah, 2002), h. 7
[15] Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 212
[16] Kebiasaan doyan mabuk dan judi masyarakat Arab terekam dari sebuah syair yang berbunyi: “maka jika engkau mencari aku ditempat perkumpulan kaum itu pasti kamu temukan aku, dan jika engkau mencari aku di kedai minuman keras pasti kau temukan. Minumanku minuman keras, aku sibuk bersenang-senang...” Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an, h. 124
[17] Al-Wâhidî mencatat bahwa ayat ini turun saat sahabat Umar ibn Khattâb, Muâdz ibn Jabâl dan seorang dari Anshar datang pada Nabi dan bertanya perihal kharm. Maka turunlah ayat tersebut. al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 186.
[18] Al-Wâhidî mengutip riwayat dari Abû Bakr al-Isfahânî bahwa datang seorang sahabat Nabi bernama Anâs memakan dan meminum apa yang disediakan oleh Abd Rahmân ibn Auf. Setelah itu ia solat dalam keadaan mabuk. Ia lupa membaca sûrah al-Kâfirûn dengan tidak membaca kata “لا” pada ayat “لاأعبدماتعبدون”. al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 288. Lihat juga: Muhammad abd al-Azîm al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutb al-Arabî, 1995), vol 1, h. 90
[19] Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, h. 126
[20] Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, h. 215
[21] al-Wâhidî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, h. 342
[22] Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dâr al-Fikr, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991), vol. 6, hlm 177-182
[23] Sibawaihi, Hermenetika al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 80
[24] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati) hlm 92-94
[25] Nasr Hamîd Abû Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, h. 124
[26] Abdul Muqsith Ghazali. Dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 161
[27] Abdul Muqsith Ghazali, “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam”, h. 5