Jumat, 27 April 2018

Koalisi Pencapresan 2019 dan Konflik Internal PKS*


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Narasi perjalanan partai politik Islam di Indonesia tidak pernah luput dari dinamika konflik internal parpol. Era Orde Lama, konflik internal terjadi di Partai Masyumi dan di era Orde Baru, konflik internal terjadi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Konflik internal parpol Islam juga mewarnai pentas politik nasional di era reformasi. Saat itu, pada 1998-1999 muncul banyak sekali parpol Islam, namun pada saat yang sama, konflik internal juga kerap menghiasi. Bahkan konflik internal parpol pada titik klimaks membuat parpol terfregmentasi dan muncul parpol Islam baru. Konflik internal yang diterjadi di PPP pada 2003 melahirkan parpol baru yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Ciri konflik internal pada dekade pertama adalah perpecahan, dan muncul parpol baru.

Lili Romli memetakan hal-hal yang menyebabkan konflik internal. Pertama, konflik terjadi akibat perebutan kekuasaan di dalam parpol. Sebagai contoh, konflik internal muncul pascapemilihan ketua umum. Biasanya, pihak yang kalah dalam kompetisi pemilihan ketua umum keluar parpol dan mendirikan parpol baru. Kedua, konflik internal lahir akibat perbedaan dukungan koalisi pada saat pancalonan presiden dalam Pemilihan Umum.[1]

Konflik internal akibat wacana ataupun dukungan pencapresan juga melanda Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjelang Pemilu 2019. Pada 13-14 Januari 2018 PKS menggelar Musyawarah Majelis Syuro VI. Musyawarah itu menetapkan sembilan kadernya untuk diusung menjadi capres Sembilan nama-nama capres yang dimunculkan PKS adalah Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al-Jufrie, Tifatul Sembiring, Al-Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera. Sembilan nama ini merupakan hasil penjaringan internal PKS.[2]

Setelah menetapkan capres dari kadernya, PKS mulai mengonsolidasi kekuatan internal untuk meningkatkan elektabilitas partai. Selain itu, DPP PKS juga akan menjajaki kemungkinan koalisi dengan parpol lain karena syarat presidential threshold (ambang batas pencapresan) tak memenuhi syarat.

Nama-nama yang dimunculkan tersebut kemudian menggalang dukungan, baik dari internal parpol maupun masyarakat. Diantara capres yang dimunculkan PKS tersebut, nama Anis Matta cukup menyita perhatian. Pasalnya, mantan Presiden PKS itu cukup masif melakukan sosialisasi melalui pemasangan spanduk bertuliskan “Anis Matta Calon Presiden Indonesia 2019”. Ia bahkan sudah mempunyai relawan bernama Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM).

Di internal PKS sendiri, nama Anis Matta bukan “pemain” baru. Ia dipandang sebagai anak muda yang cerdas sehingga menjadi magnet bagi kader-kader muda PKS. Ia menjadi idola para kader muda. Wawasannya luas dan banyak sekali tulisannya sehingga memberi kesan sebagai seorang “intelektual PKS”. Dengan bahasa memuji, rekan Anis yang menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyebut Anis sebagai seorang pintar yang mampu menyelamatkan PKS di Pemilu 2014.

Akan tetapi, Anis harus menghadapi sengitnya persaingan internal PKS sendiri. Kesuksesan Anis di PKS seperti dikatakan Fahri tidak membuat ia berada dalam zona nyaman ssbagai elit PKS. Sekalipun sukses menjaga suara PKS pada Pemilu 2014, ia “tersingkirkan” dan tidak lagi dipilih menjadi ketua umum PKS. Bergantinya rezim di PKS dari Anis kepada Sohibul Iman berkonsekuensi pada “dibersihkannya” kelompok Anis.

Wacana “pembersihan” kelompok Anis seperti dikemukakan beberapa pengamat terlihat dari upaya PKS mengganti posisi Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR, meski Fahri sendiri menolak dan sampai hari ini tetap menjadi wakil ketua. Selain itu, Fahri juga mencium upaya penyingkiran kelompok Anis dibeberapa daerah, pengurus tingkat DPW dan DPD. DPP PKS, menurut Fahri mengganti ketua pimpinan wilayah yang dianggap “orangnya” Anis secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Ini adalah upaya DPP PKS untuk melumpuhkan kekuatan yang telah digalang Anis jauh sebelum munculnya nama-nama capres PKS.[3]

Pernyataan Fahri yang menyebut DPP PKS membersihkan kelompok Anis memancing reaksi dari elit PKS lainnya. Politisi PKS seperti Nasir Jamil menolak jika DPP PKS disebut membersihkan kelompok Anis. Ia menyebut bahwa pencapresan kader harusnya menjadi titik pijak konsolidasi internal PKS jelang Pemilu, bukan ajang saling sikut antar-elit.[4]

Pencapresan Anis Matta dari PKS kian berat karena DPP PKS membatasi ruang geraknya. Hal ini misalnya terjadi ketika Anis menghadiri deklarasi dukungan pencapresannya di Bandung pada Sabtu 21 April 2018 lalu tidak mendapat dukungan dari internal PKS. Menjelang acara deklarasi, DPW PKS Jawa Barat menghimbau kader PKS melalui surat edaran bernomor 012/D/EDR/AJ-PKS/1439 untuk tidak hadir acara tersebut. Atas surat edaran pelarangan kader itu, Anis menanggapi dingin kebijakan PKS. Ia memahami PKS sedang ingin mengonsolidasikan kekuatan partai menghadapi Pilkada dan tidak berfokus pada pencapresan. Namun fakta yang terjadi, para elit PKS sendiri juga berupaya mendorong kadernya untuk berkompetisi di pilpres sekalipun menjadi cawapres.

Atas sikap PKS terhadap Anis tersebut, Fahri menyebut bahwa elit PKS sedang “dendam kesumat” kepada Anis. Menurut Fahri, elit PKS saat ini telah melupakan jasa Anis yang sudah menyelamatkan partai pascabadai kasus dugaan korupsi yang menimpa mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak. Fahri bahkan menyebut oknum internal PKS yang menjegal pencapresan Anis sebagai orang-orang yang ingin mengubur PKS.[5]

Menurut pengamat politik M. Qodari, sebetulnya pencapresan Anis dari PKS lebih dapat menaikan elektabilitas dari pada kader PKS lainnya. Pasalnya, Anis yang berasal dari Sulawesi Selatan tentu memiliki nilai tawar tersendiri untuk mengambil suara dari luar Jawa daerah Indonesia Timur. Munurut Qodari, PKS yang dikabarkan memilih Ahmad Heryawan akan menyulitkan PKS untuk meraih pemilih luar Jawa karena idealnya paslon capres-cawapres biasanya mempertimbangkan aspek kewilayahan, kombinasi Jawa-Non Jawa.[6]

Dalam hal koalisi pencalonan presiden di pilpres 2019, PKS bermanuver akan berkoalisi dengan Gerindra dan ingin menyodorkan kadernya menjadi cawapres Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. PKS dan Gerindra yang dalam periode pemerintah Joko Widodo menjadi parpol oposisi pemerintah memang dikenal “mesra”. Kuatnya permintaan PKS pada Gerindra untuk menjadi cawapres Prabowo bukan tanpa alasan karena dibeberapa daerah yang menggelar Pilkada 2018, PKS berkoalisi dengan Gerindra dalam mengusung calon kepala daerah seperti: Pilkada Jawa Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Jawa Tengah.[7] Dengan adanya koalisi di Pilkada, PKS dan Gerindra merasa koalisi ini bisa “permanen” hingga Pilpres 2019.

Koalisi yang terbilang solid PKS dengan Gerindra selama ini menjadi pintu masuk PKS untuk menyodorkan kadernya. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera bahkan bermanuver jika Gerindra (Prabowo) tidak mengambil kader PKS sebagai cawapres, maka PKS bisa berubah dukungan dan menjalin koalisi dengan parpol lain. Berdasarkan hasil survei, Prabowo lebih diunggulkan jika berpasangan dengan Anis Baswedan. Pasangan ini oleh beberapa kader PKS ditolak. PKS lebih setuju jika yang diajukan mendampingi Prabowo adalah kader PKS sendiri.[8] Jika PKS mendukung Prabowo tanpa berpasangan dengan kader PKS, hal ini dapat menimbulkan konflik internal karena kecemburuan kader dan non kader. Betapapun, PKS adalah partai kader yang sangat ketat melakukan pembinaan kader, sehingga sangat menghormati proses pengkaderan dan kader-kader potensialnya.

Dalam masa penjajakan koalisi PKS dengan Gerindra, tokoh PKS Nasir Djamil menyebut bahwa partainya ragu berkoalisi dengan Prabowo karena Prabowo belum memastikan untuk maju. Bahkan menurut Nasir, kemampuan finansial (keuangan) Prabowo semakin kurang dan tak memungkinkan dirinya untuk maju. Nasir juga membeberkan bahwa di internal PKS juga muncul dukungan terhadap Gatot Nurmantyo untuk dipasangkan dengan kader PKS.[9]

Dukungan PKS terhadap Jokowi juga sempat beredar. Hal ini ditengarai pertemuan yang dilakukan elit PKS dengan Jokowi dan parpol pendukungnya. Namun, politisi PKS Al Muzzammil Yusuf menolak keras jika PKS akhirnya harus berkoalisi dengan Jokowi. Muzzammil mengakui bahwa tawaran itu disampaikan ketika elit PKS bertemu Jokowi. Bagi Muzzammil, penolakan dukungan kepada Jokowi adalah karena keinginan memunculkan capres alternatif.[10]

Perbedaan dukungan capres dapat menyulut konflik internal dan berpotensi akan terus berjalan hingga Pilpres pada 17 April 2019 nanti. Sangat memungkinkan bahwa kebijakan dukungan pencapresan DPP PKS tidak akan dipatuhi oleh kader-kader PKS karena pengaruh elit PKS yang terbelah. Hal ini akan menjadi kisah terulang pada tahun 2004 lalu. Saat itu, PKS terbelah dalam dukungan pencapresan, sebagian mendukung capres Amin Rais, dan yang lain mendukung capres Wiranto. Saat itu bahkan muncul kabar bahwa dukungan pencapresan PKS diwarnai dengan money politics. Hal ini seperti diakui Yusuf Supendi dalam bukunya “Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elit PKS”.

Seharusnya PKS mengantisipasi terjadinya konflik akibat pemunculan capres internal PKS. Dalam beberapa kasus, hal serupa sering terjadi seperti misalnya di Partai Golkar. Pada Pemilu 2004 Golkar mencalonkan Wiranto dan 2009 Golkar memuculkan capres Yusuf Kalla, tapi di internal Golkar terjadi konflik dan mengakibatkan dukungan ke Wiranto dan Jusuf Kalla terpecah. Keduanya akhirnya tidak terpilih di Pilpres.

Konflik intra-party pada hakikatnya sangat sulit dihindari. Bagi Thomas Mayer, konflik adalah dinamika yang selalu ada dalam kehidupan, termasuk kehidupan parpol.[11] Meski demikian, konflik harus dikelola dengan baik agar tidak merugikan organisasi (parpol). Dan jalan utama penyelesaian adalah dengan musyawarah. Oleh sebab itu, tak ada pilihan lain bagi PKS selain “syura bainahum” untuk menyelesaikan masalah. Konflik internal PKS yang dihembuskan di media hanya akan berakibat buruk pada PKS di Pemilu. Dan, PKS harus kembali pada spirit bagaimana sebuah partai didirikan, yaitu: kesepakatan dan musyawarah.

*) Tulisan ini adalah pengembangan artikel penulis sebelumnya yang telah dimuat di detik.com dengan judul "Pencapresan dan Konflik Internal PKS", dapat diakses: https://news.detik.com/kolom/d-3975631/pencapresan-dan-konflik-internal-pks?_ga=2.217816660.339915259.1524802207-1080089799.1523950082. 

[1] Lili Romli, “Koalisi dan Konflik Internal Partai Politik pada Era Reformasi”, dalam Jurnal Politica, Vol. 8, No. 2, November 2017, 97.
[2] “PKS Tetapkan Sembilan Nama Calon Presiden untuk Pemilu 2019”, https://nasional.kompas.com/read/2018/01/15/14500971/pks-tetapkan-sembilan-nama-calon-presiden-untuk-pemilu-2019, diakses pada 27/4/2018, 10.55 wib
[3] Wawancara pribadi dengan Fahri Hamzah, Kafe Insomniak Tangerang Selatan, 4 April 2018
[4] “Loyalis Anis Guncang PKS, Nasir Djamil: Seharusnya Semua Konsolidasi”, https://news.detik.com/berita/d-3957078/loyalis-anis-guncang-pks-nasir-djamil-seharusnya-semua-konsolidasi, diakses pada 27/4/2018, 11.14 wib.
[5] “Diboikot Elite PKS, Anis Matta Tetap Deklarasi Capres”, dalam Rakyat Merdeka, 23 April 2018, 3. Lihat pula dalam: “PKS Persoalkan Deklarasi Anis Matta”, dalam Koran Tempo, 23 April 2018, 6.
[6] “Qodari: Anis Matta Lebih Menarik Dibanding Tokoh PKS Lainnya”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/04/25/p7pi8l330-qodari-anis-matta-lebih-menarik-dibanding-tokoh-pks-lainnya, diakses pada 27/4/2018, 12.55 wib
[7] “PKS, Gerindra, dan PAN Sepakat Koalisi Pilkada 5 Provinsi, Termasuk Jabar dan Jateng”, https://nasional.kompas.com/read/2017/12/24/22545851/pks-gerindra-dan-pan-sepakat-koalisi-pilkada-5-provinsi-termasuk-jabar-dan, diakses pada 27/4/2018, 11.31 wib.
[8] “Akankah Koalisi PKS-Gerindra Bubar Gara-Gara Sembilan Nama?”, https://www.merdeka.com/politik/akankah-koalisi-pks-gerindra-bubar-gara-gara-sembilan-nama.html,
[9] “Ketika Elite PKS Ragukan Prabowo dan Dukung Gatot”, https://news.detik.com/berita/d-3974662/ketika-elite-pks-ragukan-prabowo-dan-dukung-gatot/komentar, diakses pada 27/4/2018, 12.46 wib.
[10] “PKS Tolak Tawaran Jokowi untuk Bergabung Koalisi Pendukung Pemerintah”, https://nasional.kompas.com/read/2018/04/26/15002281/pks-tolak-tawaran-jokowi-untuk-bergabung-koalisi-pendukung-pemerintah., diakses pada 27/4/2018, 13.19 wib
[11] Thomas Mayer, Kompromi, Jalur Ideal Menuju Demokrasi, (Frederich Ebert Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, 2017), 29

Kamis, 19 April 2018

Kader Partai Politik Islam Berebut Cawapres


Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Kandidat calon Presiden-Wakil Presiden dari partai politik Islam untuk Pemilu 2019 tak mampu bersaing dengan capres-cawapres dari partai “nasionalis”. Pasalnya, dari berbagai survei elektabilitas capres-cawapres, kandidat yang diunggulkan masih dua figur partai nasionalis: Joko Widodo (PDI-Perjuangan) dan Prabowo Subianto (Partai Gerindra).

Menurut Ahmad Muqowam (2011:133) dan juga Abdul Mu’ti (2011:209), keberadaan seorang figur dalam partai politik sangat penting. Selain dapat menjadi sosok pemersatu, adanya figur juga dapat mendongkrak suara dalam Pemilu. Namun patut menjadi catatan, ketergantungan terhadap figur tertentu pada satu sisi juga tidak baik terhadap demokratisasi parpol karena bergantung pada figur membuka ruang praktik oligarki.

Hingga April 2018 atau satu tahun jelang Pemilu, kandidat capres-cawapres yang muncul dari partai Islam antara lain: Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan PKS mengusulkan Sembilan kader mereka sebagai capres maupun cawapres, yaitu: Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al-Jufrie, Tifatul Sembiring, Al-Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.

Nama-nama kader dan tokoh partai Islam semisal Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy (PPP) serta Anis Matta (PKS) termasuk kader dari partai Islam yang cukup agresif berkampanye sebagai kandidat bakal capres maupun cawapres. Namun, kader-kader partai Islam ini sepertinya sulit bersaing dengan Jokowi dan Prabowo. Oleh sebab itu, pertimbangan rasional politik mereka memilih untuk menjadi cawapres Jokowi ataupun Prabowo.

Komunikasi intensif sebagai upaya untuk menduetkan tokoh partai Islam ini baik dengan Jokowi maupun Prabowo mulai dan akan terus dilakukan hingga waktu pendaftaran capres 4 Agustus 2018 nanti. Muhaimin misalnya, secara terang dan tegas menyatakan kesediaannya menjadi cawapres Jokowi. Ia telah merasa nyaman koalisi dengan Jokowi seperti sekarang ini. Tak hanya memasang spanduk, dalam berbagai kesempatan ia menyatakan keyakinannya akan dipinang Jokowi sebagai cawapres. Keinginan Cak Imin –sapaan akrab Muhaiman- adalah hasil permintaan kader PKB serta nasihat kyai-kyai Nahdatul Ulama (NU).

Selain Cak Imin, PKS juga mulai “bermanuver” meminta Prabowo menjadikan kader PKS sebagai cawapresnya. Sama seperti yang dinyatakan Cak Imin perihal kenyamanan berkoalisi dengan Jokowi, PKS juga merasakan kecocokan berkoalisi dengan Prabowo selama 3 tahun belakangan ini. Sebagai partai oposan, PKS dan Gerindra selalu menjadi kemesraan bersama. Kuatnya permintaan PKS pada Gerindra untuk menjadi cawapres Prabowo bukan tanpa alasan. Pasalnya, diberbagai daerah yang menggelar Pilkada 2018, PKS juga berkoalisi dengan Gerindra dalam mengusung calon kepala daerah. Gerindra dan PKS sudah berkoalisi di lima daerah tingkat provinsi di Pilkada 2018 yaitu: Jawa Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Jawa Tengah.

Melihat konfigurasi peta politik jelang Pemilu 2019, kader-kader partai Islam belum menjadi figuran utama sebagai capres di Pilpres. Parpol-parpol Islam hanya mampu memasang target kadernya sebagai calon RI-2, cawapres. Banyak pihak-pihak menyayangkan ketidakmampuan partai Islam memunculkan capres. Pasalnya, jumlah parpol Islam baik yang secara azas mencantumkan Islam maupun partai Islam berbasis massa ormas Islam tidak sedikit. Upaya membentuk poros pencapresan baru di luar Jokowi dan Prabowo yang sempat berkembang ternyata segera layu. Setidaknya, ketidakmampuan menghadirkan capres dari partai Islam menjadi kritik internal partai-partai tersebut.

Meski tak mampu bersaing memunculkan kader dilevel capres, figur atau tokoh kader partai Islam akan sangat menentukan tingkat elektabilitas paslon capres-cawapres nanti. Hal ini disebabkan jumlah pemilih Indonesia masih didominasi beragama Islam. Oleh sebab itu, penulis memprediksi bahwa baik Jokowi maupun Prabowo akan memilih kader dari partai Islam. Duet pasangan “nasionalis-Islam (religious)” akan muncul dalam Pemilu 2019 nanti. Hal ini bukan sesuatu yang baru, beberapa capres-cawapres Pemilu sebelumnya juga berupaya memunculkan pasangan “Nasionalis-Islam” atau “Islam-Nasionalis”. Pada Pemilu 2004 misalnya, muncul pasangan Megawati (nasionalis) dengan Hasyim Muzadi (Islam), Wiranto (Nasionalis) dengan Shalahudin Wahid (Islam), dan Hamzah Haz (Islam) dengan Agum Gumelar (Nasionalis).

Isu-isu keagamaan yang sering dimunculkan akan menjadi pertimbangan bagi kandidat capres untuk mengambil cawapresnya dari tokoh atau kader parpol Islam. Pada Pemilu 2014 serta Pilkada 2017 lalu, kampanye berbasis isu agama masih marak terjadi, dan secara elektoral sangat berpengaruh terhadap pemilih. Hadirnya tokoh dan kader partai Islam dalam pentas Pilpres meskipun sebagai cawapres dinilai mampu mendinginkan suasana panas kampanye yang dipenuhi polarisasi sosial bahkan fitnah yang kejam.