Rabu, 27 November 2013

Dana Optimalisasi dan Kepentingan Oknum DPR

Oleh: Ali Topan DS
Saat ini sangat sulit mendapati citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bersih. Beberapa berita baik di media elektronik dan cetak menyuguhkan sisi negatif seputar DPR. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kasus korupsi; rapat dan sidang anggota DPR yang sepi; atau kalaupun ramai peserta sidang akan mempertontonkan debat-debat yang tak lazim. Hal ini pula yang turut mendorong sikap apatis rakyat dan nothing trust terhadap anggota dewan
Beberapa hari ini, DPR mendapat sorotan tajam media. Hal ini diakibatkan adanya indikasi “bancakan” dana optimalisasi oleh Badan Anggara (Banggar) dengan total 27 triliun. Atas beredarnya kabar tersebut, sejumlah pengamat ramai-ramai mengkritiki. Margarito, pakar hukum tata negara menyatakan bahwa hak budget adalah oleh pemerintah, bukan DPR. DPR hanya menerima usulan, bukan mengusulkan. Wakil KPK, Zulkarnain menduga adanya upaya praktik korupsi yang dilakukan anggota DPR. Kekawatirannya dikarenakan dana ini muncul diakhir tahun. Pertanyaannya adalah untuk lembaga apa dan fungsinya. Sumber yang tak mau menyebut nama menyatakan bahwa partai politik membutuhkan dana menjelang pemuli 2014. Oleh karena itu, mereka melakukan penyimpangan melalui dana optimalisasi demi kas fraksi/partai. (Media Indonesia 27-28 November 2013)
Apapun alasan DPR serta rasionalisasinya, pasti dapat dimentahkan. Terlebih bagi mereka pengamat kebijakan parlemen. Arah disalurkannya dana optimalisasi mudah ditebak. Kepada siapa dan untuk siapa?. Dana optimalisasi tersebut diperuntukkan oleh kementrian/lembaga terkait yang menjadi mitra DPR. Maka peran fraksi sangat mempengaruhi kemana aliran dana tersebut.
Ditinjau dari kaca mata politik, dana optimalisasi yang jumlahnya sangat banyak akan menjadi sasaran empuk sumber dana partai. Terlebih menjelang tahun politik 2014. Dalam mencapai tujuan politik/kekuasaan, terdapat sebuah rumusan yakni: (PM)+D+R=PA. (PM) adalah private motif. Pemberian tanda kurung dimaksudkan tertutup. Private motif dimaksudkan bahwa tujuan-tujuan politik tidak perlu disampaikan secara terbuka “diobral”. Kemudian “D” adalah diplomasi. Dalam politik, diperlukan diplomasi demi tercapainya tujuan-tujuan tertentu. “R” disini adalah raionalisasi. Rasionalisasi dalam terhadap tujuan-tujuan politik menjadi rumusan yang harus dilakukan. Penerapan “R” kepada kawan, lawan dan calon pemilih dengan baik akan membantu tercapainya tujuan politik. Rangkaian dari rumus diatas akan menghasilkan political action. Tercapailah sebuah tujuan politik.
Upaya penggelontoran dana optimalisasi menurut penulis adalah penerapan rumus “D” dan “R” di atas. Pada saat bersamaan, (PM) private motif tidak mungkin disampaikan secara terbuka akan maksud tujuan dana optimalisasi. Bahkan seorang anggota banggar sendiri bungkam saat ditanyai perihal dana optimalisasi. Pada titik ini, siapapun berhak mempertanyakan perihal dana optimalisasi. DPR seharusnya terbuka soal penyaluran dana tersebut. Oknum-oknum DPR yang tak bertanggungjawab seperti sedang melakukan “diplomasi terselubung” guna menyusun penyaluran dana optimalisasi. Berbekal dana optimalisasi, rasionalisasi akan dapat dilakukan khususnya pada para calon pemilih.
Simpulan pembacaan di atas adalah: siapa yang berkepentignan dibalik dana optimalisasi terbaca oleh pengamat parlemem. Lebih dari itu, mereka (DPR) dianggap akan melakukan bagi-bagi “bancakan” dana pada fraksi di DPR. Oleh sebab itu, perlu pengawalan terhadap pembahasan dan pengalokasian dana optimalisasi. Jika dana itu benar untuk kepentingan rakyat seperti pembangunan infrastruktur maka hal ini dapat dikatakan tepat. Tetapi jika hanya untuk kepentingan oknum tertentu, maka lembaga hukum perlu ambil tindakan. (sumber data dan informasi: Media Indonesia dan Metronews.com)



Selasa, 26 November 2013

Akhir “Rame-Rame” Isu Penyadapan (Mencermati Surat Menyurat SBY-Abbott)

Oleh Ali Topan DS
Pasca protes keras yang dilakukan oleh rakyat Indonesia atas aksi penyadapan Australia, SBY akhirnya menyurati PM Australia Tonny Abbott (21/11). Entah apa isi surat SBY tersebut, karena ia tidak merinci apa yang akan disampaikan melalui suratnya. Saat SBY memberikan pidato keterangan pers atas keberatannya terhadap aksi penyadapan Australia, ia “mengancam” akan meninjau kembali hubungan bilateral yang telah disepakati (20/11).
Ekspektasi masyarakat akan isi surat yang dikirim SBY adalah adanya upaya pemutusan kerjasama bilateral kedua negara. Karena pidato yang disampaikan SBY mengarah pada hal tersebut. Tetapi hal itu tidak terbuktikan pasalnya surat balasan Abbott tidak ada kalimat “I am sorry” alias permintaan maaf.
SBY telah menyampaikan apa isi atau subtansi surat yang dikirim oleh Australia. Menurutnya, balasan Abbot sudah seperti yang ia harapkan. Ada tiga poin penting dalam surat balasan Abbott. Pertama, Australia ingin agar hubungan bilateral dengan Indonesia tetap terjaga dengan baik. Kedua, Australia tidak akan mengulangi sesuatu yang dapat merugikan Indonesia pada masa yang akan datang. Ketiga, Australia menyetujui usulan untuk menata kembali hubungan bilateral –termasuk pertukaran intelijen- dan aturan yang disepakati kedua belah pihak negara. SBY kemudian mengutus utusan khusus (Menlu) guna memantau isu-isu yang berkembang pasca penyadapan.
Pokok inti surat balasan Abbott pada SBY menunjukkan dan meyiratkan pesan bahwa posisi Australia amat sangat penting bagi Indonesia. Australia menepatkan Indonesia sebagai mitra dalam hal apapun bagi Indonesia (politik, ekonomi keamanan dan lainnya). Ekspektasi publik terhadap isi surat SBY pun terjawab. Setidaknya ini bisa dicermati dari poin ketiga isi balasan surat Abbott. Poin ketiga di atas menunjukkan ketidakberdayaan SBY jika kehilangan Australia. Kalimat Abbott “Australia menyetujui usulan untuk menata kembali hubungan bilateral –termasuk pertukaran intelijen...” mengindikasikan bahwa SBY lah yang menawarkan perbaikan hubungan pada surat yang ia kirim sebelumnya. Terhadap kontradiksi dengan pidatonya yang menunjukkan pesan “ancaman” bagi Australia.
Seberapa hebatkah Australia di mata Indonesia? Sehingga SBY begitu “sayang” jika kehilangan. Protes rakyat yang berisi pesan “putuskan hubungan dengan Australia” hanya isapan jempol. SBY lebih memilih tetap melakukan kerjasama dengan Australia ketimbang mempertimbangkan aspirasi rakyatnya. Sekali lagi ada apa dengan SBY-Abbott?
Jika surat balasan Abbott sudah seperti yang diharapkan SBY, maka hubungan yang memanas antara SBY-Abbott yang ramai dibicarakan telah berakhir. Tidak ada sesuatu yang “spesial”. Harapan yang ditawarkan adalah perbaikan hubungan. Langkah politik internasional yang diambil SBY meninggalkan tanda tanya besar. Ini adalah bukti ketidakberdayaan dan percaya diri Indonesia dalam membangun bangsa secara mandiri.

Simpulan: Pembacaan di atas adalah bahwa surat balasan Abbott atas surat yang dikirim SBY mengandung subtansi upaya perbaikan hubungan yang lebih baik antara Indonesia-Australia. Isi balasan surat tersebut di atas telah sesuai dengan harapan SBY, bukan rakyat Indonesia yang menuntut permintaan maaf Australia. Selanjutnya, Presiden perlu mencermati isu-isu dalam hubungan bilateral pasca penyadapan. Presiden perlu mengambil peran sebagai pengendali hubungan bilateral agar dapat memutus jika ada pihak –negara yang bermitra- melanggar kesepakatan. (Sumber data informasi: Media Indonesia).

Senin, 25 November 2013

Ical Tersudut Oleh Media (Sebuah Pembacaan Harian Berita Media Indonesia)

Oleh: Ali Topan DS

Beberapa lembaga survei merilis hasil elektabilitas Aburizal Bakrie. Hasilnya pun jauh dari harapan. Ia masih berada di bawah Jokowi dan Prabowo. Demikian hasil salah satu lembaga survei, Roy Morgan Research. Padahal, Ical terbilang paling dini dalam pencalonannya, sejak 2012. Mengapa demikian? Media televisi yang Ical miliki ternyata bukan jaminan meningkatkan elektabilitasnya.
Semakin dekatnya pemilu presiden, para kandidat sudah tidak lagi menyembunyikan private motif pencapresannya. Mereka berlomba-lomba secepatnya meraih simpati konstituen. Cara apapun dilakukan, asal bisa menang. Dihadapan para calon pemilih mereka tak segan obral janji-janji. Atas nama kedaulatan, kesejahteraan, kebersamaan, kemajuan dan banyak lagi janji yang mereka obral dipasar rakyat ini.
Seperti diketahui, para kandidat banyak memanfaatkan media televisi sebagai elemen atau bahkan fasilitas kampanye. Iklan-iklan pencitraan disuguhkan dengan berbagai variasi kegiatan. Seolah-oleh dekat dengan rakyat; bekerja tulus untuk rakyat; peduli dengan penderitaan rakyat; dan mendapat dukungan rakyat. Akan tetapi, apakah yang demikian sudah dapat berjalan sesuai harapan sang kandidat? Tentu tidak seluruhnya berjalan sesuai harapan.
Aburizal Bakrie alias Ical sebagai contoh. Seorang yang dikenal sebagai bos sebuah stasiun televisi tersebut gemar dan gencar beriklan di televisi. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh yang paling sering beriklan dilayar kaca. Namun, harus diakui bahwa gencarnya periklanan yang dilakukan ternyata tidak berbanding dengan elektabilitasnya. Ia bahkan menjadi stigma negatif bagi calon pemilih.
Ical, meski memiliki stasiun televisi (sebagai media pencitraan), pada saat yang sama ia juga dijatuhkan oleh lawannya melalui media, baik televisi maupun cetak. Dalam beberapa pemberitaan sebuah media (Media Indonesia), ia secara beruntun mendapat sorotan dalam bingkai pemberitaan yang terbilang “menyudutkannya”. Pertama, soal elektabilitasnya yang tak kunjung beranjak naik, bahkan sempat turun menjadi sorotan dan sasaran kritik kader Golkar sendiri. Hal ini seperti diungkap oleh Lembaga Klimatologi Politik (LKP) (Media Indonesia 18 November 2013). Pemberitaan tersebut hanya berselang beberapa hari menjelang Rapimnas Partai Golkar. Hal ini dapat diartikan sebagai bola panas Ical. Pasalnya beberapa pengurus daerah Golkar banyak silang pendapat soal kepemimpinan Ical di Golkar.
Kedua, Ical seperti “dihantam” media yang mengungkap keburukan dalam hal manajeman partai. Banyak perbedaan pandangan soal pencapresan Ical yang disampaikan pengurus Golkar di daerah. Pemberitaan media pasca Rapimnas tentu semakin menyiratkan pesan bahwa kader Golkar dan Ical pada posisi yang tidak sejalan. (Media Indonesia 25 November 2013)
Ketiga, hasil survei Roy Morgan Research yang merilis elektabilitas capres yang dilakukan pada bulan Oktober lalu. Adapun hasilnya adalah: Jokowi 37 persen suara, Prabowo 15 persen, Aburizal Bakrie 14 persen, Megawati dan Dahlan Iskan 6 persen dan Jusuf Kalla 5 persen. Ironisnya, judul berita mengenai hasil suevei di atas menggunakan kata-kata yang sangat provokatif. Jelas sangat menyudutkan Ical. (Media Indonesia 25 November 2013).
Hal yang cukup menarik dari dua pemberitaan terakhir di atas adalah letak halaman dimana berita dituliskan. Yakni, berita diletakkan pada halaman lima (5). Jika dikaitkan dengan nomor urut partai, maka nomor halaman itu sama dengan nomor urut partai Golkar pada pemilu 2014, nomor lima.
Kini, Ical bisa dibilang pada posisi “dilema”. Selain ia harus berhadapan pada anggapan masyarakat bahwa ia adalah orang yang paling bersalah soal Lumpur Lapindo, ia juga menghadapi serangan media. Serangan media untuk saat ini secara umum menyorot ketidaksolidan internal Golkar dan “jalan ditempat” nya elektabilitas Ical.
Simpulan: Perang opini melaui media semakin gencar. Pemberitaan positif-negatif kandidat capres banyak didapati pada sebuah media tertentu. Bagi para pemirsa televisi dan pembaca media cetak/elektronik sebaiknya cermat dalam melihat fakta-fakta berita. Bagi Ical secara khusus, sebaiknya fakta pemberitaan seperti ini mendapat respon langsung (klarifikasi). Hal ini sebagai upaya menjaga calon pemilih.


Kamis, 21 November 2013

Respon SBY Terhadap Isu Penyadapan Australia (Sebuah Dilema Kerjasama Bilateral)

Oleh: Ali Topan DS

Hampir satu bulan isu penyadapan Indonesia atas Australia mengemuka (sejak 31 Oktober 2013). Marwah (Harga diri) Pemerintah RI telah dijatuhkan oleh negara lain (Australia). Awalnya hanya tanggapan dingin SBY di twitter sebagai responnya, kemudian disusul pernyataan resmi yang disampaikan di Istana Negara. Respon SBY cukup datar, tidak ada letupan emosi. Hal ini berbeda sekali ketika nama SBY dikaitkan dengan sosok bunda putri. SBY dengan keras membantah perkenalannya dengan sosok bunda putri.
Sebuah media berita Sydney Morning Herald (www.smh.com.au) menyebut bahwa kantor kedutaan besar Australia di Jakarta menjadi markas penyadapan aktivitas komunikasi  di Indonesia. AS bersama lima negara (5 eyes) yakni Australia, Inggris, Kanada dan Selandia Baru menggunakan alat spionase memantau perkembangan negara yang menjadi sasaran sadap. Kegiatan penyadapan oleh badan keamanan AS (NSA) terkuak oleh pengakuan mantan pegawai NSA, Edward Snowden. Ia membeberkan dokumen NSA pada sebuah majalah di Jerman, Der Spiegel. Australia berupaya mengusai sistem informasi beberapa negara untuk kepentingan AS.
Seperti diberitakan, sejak 2009 beberapa pejabat RI menjadi target penyadapan Australia. Mereka yang disadap adalah Presiden SBY, Ibu Negara Kristiani Herawati, Boediono, Jusuf Kalla, Dino Patti Djalal (Juru Bicara Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, Andi Mallarangeng (Juru Bicara Kepresidenan untuk Urusan Dalam Negeri), Hatta Rajasa (Menteri Sekretaris Negara), Sri Mulyani, Widodo AS (Menkopolhukam), Sofyan Djalil (Menteri BUMN).
Demi mencari informasi yang otentik, pemerintah akhirnya memulangkan Duta Besar RI untuk Australia. Hal ini sebagai bentuk protes yang dilayangkan Pemerintah RI. Selain itu diharapkan agar Dubes RI untuk Australia memberikan fakta-fakta rill yang ada saat isu penyadapan ini mengemuka.
SBY akhirnya menggelar konferensi pers menyikapi penyadapan Australia. Ia menyampaikan bahwa pemerintah juga akan meninjau kembali hubungan bilateral yang selama ini terjalin antara kedua negara tersebut. Sementara ini ada 3 (tiga) bentuk hubungan bilateral yang sudah dihentikan, yaitu Kerjasama Informasi Intelijen, Latihan bersama TNI dan Militer Australia (Coordinated Military Operation), Penyelundupan imigran gelap (manusia perahu).
Pada awalnya PM Australia Tony Abbott menolak mengomentari isu penyadapan yang dilakukan oleh Agen Intelijen negaranya. Ia bahkan tetap mengatakan bahwa hubungannya dengan RI baik. Meskipun ia tidak bisa menyembunyikan penyesalan atas beredarnya isu penyadapan dan dipulangkannya Dubes RI. Setelah mendapat informasi bahwa Pemerintah RI akan mengirimkan “Surat”, ia berjanji akan membalas surat tersebut terkait penjelasan isu penyadapan tersebut. Pernyataan Abbott tentu mengundang emosi segenap rakyat Indonesia. Ada apa dibalik hubungan RI-Australia? Sehingga Abbott begitu tenang dan tidak menunjukkan “salah”nya terhadap RI.
Dibawah ini akan dianalisa aksi penyadapan oleh Australia ditinjau dari sudut pandang dari bidang keamanan, politik nasional dan internasional dan ekonomi.
Pertama: Ditinjau dari perspektif keamanan, penyadapan yang dilakukan oleh Australia adalah hal yang lumrah. Hal ini menjadi heboh karena terkuaknya penyadapan tersebut. Dari daftar nama-nama pejabat yang disadap salah satunya adalah Menko Polhukam Tahun 2009 pada saat itu Widodo AS. Sebagaimana diberitakan pada tahun 2007 Pemerintah RI berencana membeli Kapal Selam jenis Kilo dari Rusia (Kompas, 21/11/2013). Sehingga penyadapan Australia dapat dikaitkan bahwa menyadap Menko Polhukam sudah mempresentasikan keinginan panglima TNI dan Kepala Staf AL sebagai pengguna, sekaligus dapat diasumsikan untuk memata-matai kekuatan militer Indonesia.
Kedua: Jika ditinjau dari konstalasi Politik Nasional, Indonesia saat ini tengah menghadapi Pemilu tahun 2014. Tentu ada beberapa kebijakan penting dalam pengambilan keputusan politik. Sedangkan dari kaca mata Politik Internasional, SBY ingin mengambil peran di Dewan Kehormatan PBB. Seperti yang diberitakan, SBY kerap menjalin hubungan bilateral dengan berbagai Negara. Bahkan di akhir masa jabatannya ia juga sering mendapatkan penghargaan Internasional. Jika dikaitkan dengan aksi penyadapan Australia, hal ini dapat diartikan sebagai upaya memata-matai aktivitas SBY.
Ketiga: Ditinjau dari sudut pandang Ekonomi, Australia memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Seperti diketahui, pemerintah RI sangat terlihat “mesra” dengan Negara Cina. Indikasi ini terlihat dari kebijakan ACFTA. Upaya-upaya untuk menggusur dominasi kekuatan Ekonomi Cina dilakukan oleh AS dan sekutu (termasuk Australia). Kaitannya dengan penyadapan ini, Australia seperti tidak ingin kehilangan momen untuk menjadi partner kerjasama di bidang ekonomi dengan Indonesia.

Dilihat dari gesture tubuh, pernyataaan SBY memang tidak disampaikan secara tegas (berapi-api penuh emosi). Gaya tersebut memang menjadi ciri khas SBY. Tetapi pidato yang disampaikan menunjukkan ada semacam ancaman bagi PM Australia jika tidak menghiraukan isu penyadapan. SBY akan meninjau ulang kontrak perjanjian kedua belah pihak Negara. Tampaknya hal ini menjadi sisi positif pengambilan sikap SBY. SBY memperhitungkan secara diplomatis jika ia mengambil sikap terlalu keras. Seperti diketahui, hubungan RI dan Australia banyak terjalin diberbagai bidang (ekonomi, keamanan, pendidikan). Gaya pidato SBY yang lembut juga disikapi secara negatif. Sebagian menganggap SBY ragu dan dilema dalam pengambilan keputusan. Pengamat hukum internasional UI, Hikmahanto Juwana menyarankan agar pemerintah RI segera memulangkan Dubes Australia. Sebagai bentuk protes atas ulah penyadapan Australia. Banyak juga anggota DPR yang terus mendesak agar SBY memutuskan segala macam bentuk kerjasama dengan Australia. 

Senin, 11 November 2013

Poligami-Korupsi dan “Perang” Partai Demokrat-PKS (Analisis Sebuah Pernyataan Sutan Bathoegana)

Oleh: Ali Topan DS
“Mulutmu harimau mu”. Demikian kata pepatah, yang maksudnya adalah agar seseorang hati-hati dalam bertutur kata (membuat pernyataan). Atau, dalam pribahasa lain, bahwa keselamatan orang juga terletak dari keselamatan lidahnya yang berbicara.
Sebuah pernyataan kontroversi dilontarkan oleh politisi partai Demokrat (PD), Sutan Bathoegana. Ia menyatakan pejabat beristri banyak (lebih dari satu/poligami) kerap melakukan prilaku korupsi. Menurutnya, banyak istri banyak kebutuhan, karenanya korupsi menjadi niscaya dilakukan. Pernyataan di atas menuai kritik yang banyak dilancarkan politisi partai lain, khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Diantara politisi PKS yang mengkritik balik Sutan adalah Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nurwahid. Menurutnya, tidak semua yang beristri banyak melakukan korupsi. Bahkan yang beristri satu pun dapat saja melakukan korupsi. Ia menyontohkan jumlah istri kader PD yang tersandung korupsi –Anas, Andi dan Nazarruddin- mereka beristri satu tetapi berurusan dengan KPK. Sementara anggota BK DPR, Ali Machsan membalik pernyataan Sutan, bahwa karena ada uang dan kekuasaan, maka pejabat banyak yang berpoligami. Ia memandang Sutan tidak berdasar secara ilmiah dalam menyatakan sebuah pernyataan.
Sutan memang tidak menyebutkan atau menyontohkan siapa pejabat korup yang istrinya lebih dari satu. Tetapi memiliki tendensi menyudut pihak tertentu. Jika dikaitkan dengan persoalan kasus hukum dan politik saat ini, pernyataan Sutan sepertinya diperuntukkan mantan presiden PKS, Lutfi Hasan Ishak serta rekannya, Ahmad Fatonah. Seperti diketahui, keduanya memiliki istri lebih dari satu.
Penulis membaca –fakta di atas- tersirat pesan adanya “perang” antara PD dan PKS. Sebagaimana diketahui, meski PKS tergabung dalam koalisinya pemerintah SBY jilid II, PKS dikenal “bandel” yakni banyak berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Hal ini pula yang membuat PD geram melihat “kelakuan” PKS. Selain itu, penulis juga melihat pernyataan Sutan sebagai respon atas mengkirnya dua istri LHI saat dipanggil untuk bersaksi di pengadilan. Meskipun waktu pernyataan Sutan dengan berita mengkirnya istri LHI hampir bersamaan.
Penyataan Sutan yang seakan menjustifikasi bahwa prilaku korup adalah dilakukan pejabat yang beristri lebih sari satu menuai banyak kritik. Pernyataan Sutan yang tak berbasis pada hal-hal ilmiah kemudian terbantahkan oleh beberapa kader Demokrat yang beristri satu tetapi terseret skandal korupsi.
Sebaiknya, partai Demokrat menghimbau para kadernya agar tidak mudah memberikan pernyataan kontroversi yang tak berdasar. Banyak pengamat politik yang melihat adanya nothing truth konstituen/publik disebabkan ulah dan pernyataan kadernya yang berkesan “genit”. Tentu, hal tersebut akan menjadi bumerang bagi PD. Kejadian pada Sutan sebetulnya pernah menimpa saat ia menuduh mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang diturunkan karena terlibat korupsi. Sontak kala ini warga nahdiyin marah besar hingga terjadi pengrusakan beberapa kantor PD diberbagai daerah. Berbeda dengan sebelumnya, pernyataan Sutan kali ini menimbulkan reaksi keras dari PKS. (sumber data dan informasi: detik.com dan liputan6.com)

Minggu, 10 November 2013

Kawal Daftar Negatif Investasi (DNI): Waspada Penjualan Aset Negara

Oleh: Ali Topan DS

Sadar atau tidak, saat ini aset negara (nasional) telah banyak dikuasai asing. Tentu saja ini dapat diartikan dengan “penjajahan”. Kebijakan pemerintah yang menguntungkan kepentingan asing ibarat mengerdilkan tuan rumah di dalam rumahnya sendiri. Menurut Rektor Universitas Gajah Mada, Pratikno, sekitar 70 persen aset negara telah dikuasai pihak asing.
Agenda pemerintah merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) menuai perbedaan pendapat. Sebagian berpandapat bahwa DNI dikhawatirkan hanya akan mementingkan investor asing dan akan merugikan kedaulatan ekonomi dalam negeri. Sementara dipihak lain berpandangan bahwa dengan masuknya modal dari investor asing dianggap akan membantu memperbaiki defisit neraca.
Pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan terkait aturan investor. Aturan tersebut diharapkan berpihak untuk kepentingan nasional. Menurut Ahmad Erani, Direktur Institute for Devolepment of Economics and Finance (INDEF) pemerintah sangat perlu akan kehadiran para investor, tetapi harus pula mengedepankan kepentingan nasional dalam hal kebijakan ekonomi. Investor dapat berperan sebagai sumber cadangan devisa. Namun, perlu pengawasan dari pemerintah agar tidak salah pengaturan. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo memberikan pandangan jika modal investor sebaiknya diarahkan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperbaiki transaksi berjalan.
Meski demikian, modal dari investor sebagai cadangan devisa pun menuai kritik. Menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Revrison Baswir, bahwa pemerintah sebetulnya mengalami kepanikan dalam merespon keadaan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari upaya membuka ruang seluas-luasnya bagi investor untuk mendapat cadangan devisa.
Seperti diwacanakan, pemerintah akan membuka lima bidang usaha bagi investor, yakni, pelabuhan, bandar udara, uji kendaraan bermotor, terminal darat dan distribusi film. Pembukaan terhadap bidang di atas akan menambah kompetisi atau persaingan antara pengusaha lokal dan asing. Hanya, pemerintah perlu mengutamakan pengusaha lokal.
Perlu dicermati, mendekati pemilihan umum 2014 mendatang banyak oknum yang punya kepentingan di atas kepentingan (bersifat sesaat dan menyesatkan). Kepentingan itu dapat menjadi sesuatu yang “naif” jika mengabaikan kepentingan rakyat. Kebijakan ekonomi dan politik memang saling memengaruhi. Pemilik modal bisa saja “bermain mata” dengan pengambil kebijakan dalam melanggengkan project nya. Demikian kasus di atas. Perlu mengkritiki segala “gerak-gerik” pemerintah dalam membuat regulasi.


Kesimpulan penulis adalah: Perlu mengawal kebijakan pemerintah dalam membuat regulasi. Terlebih jika hal itu menyangkut aset negara. Negara ini tidak boleh lagi “kecolongan” oleh aturan yang meng-iya-kan aset negara lepas. Pemerintah seharusnya tidak perlu gegabah dengan membuka kran investor guna menjadikannya sebagai cadangan devisa. Modal dari investor memang diperlukan. Tetapi pada tempat yang tepat seperti upaya perekonomian berkelanjutan dengan melakukan perbaikan transaksi berjalan. Tentu saja hal yang paling penting adalah tanggung jawab para pengambil kebijakan. Mereka tidak boleh secara parsial dalam pengambilan keputusan yang menguntungkan segelintir orang dan menafikkan banyak kepentingan (rakyat). (sumber data: Media Indonesia, Kompas.com, Merdeka.com)

Rabu, 06 November 2013

Polisi, Sudahkah Bermitra dengan Masyarakat?

Oleh: Ali Topan DS

Pada 27/10/2013 diberitakan bahwa seorang anggota Brimob M. Syarif Mappa tewas ditangan seorang kenek metromini (bernama Akim) di Pasar Minggu. Keduaanya terlibat pertengkaran hingga akhirnya Akim menusukkan pisau ke bagian dada Syarif. Tidak berselang lama, pada 5/11/2013, seorang anggota Brimob, Briptu Wawan melakukan penembakan terhadap satpam bernama Baharuddin yang sedang berjaga di Ruko Seribu Cengkareng. Penembakan dilakukan karena alasan yang sangat sepele, yakni, lantara Baharuddin tidak hormat saat Wawan melintas depan ruko. Wawan pun marah dan menembaknya seketika.
Rentetan kejadian di atas mengisyaratkan bahwa posisi polisi sebagai mitra masyarakat dalam melakukan pengamanan jauh dari harapan. Polisi menjelma menjadi sesuatu yang ditakuti sekaligus dibenci. Kebencian masyarakat terhadap polisi dapat terjadi karena ada oknum polisi yang berbuat secara despotik terhadap masyarakat.
Kasus terakhir, penembakan satpam Baharuddin, juga menunjukkan lemahnya kerja antara aparat keamanan, yakni satuan pengamanan (satpam) dan polisi. Terkuaknya kasus ini akhirnya membuka “borok” oknum polisi yang kerap mabuk dan minta jatah uang pada satpam di kawasan ruko tersebut. Ini namanya polisi preman, polisi yang jauh dari tanggung jawab. Jika demikian, ini sama halnya dengan oknum preman yang minta jatah uang keamanan dia beberapa titik pusat perdanganan yang ada di Jakarta misalnya.
Beberapa politisi angkat bicara terkait penambakan ini. Pasek, anggota Komisi III yang merupakan mitra Polri menyayangkan kejadian ini. Ia menyarankan agar ada pengawasan atasan saat anggotanya bertugas. Marzuki Ali, Ketua DPR juga menyarankan perlu ada tes kejiwaan secara berkala bagi polisi sebelum diberi senjata. Menurutnya, polisi yang diberi senjata harus amanah dan tidak melakukan penyalagunaan. Sedangkan menurut Kapolres Metro Jakarta Barat, Wawan bisa dijerat 15 tahun penjara karena Pasal 338 subsider Pasal 351 Ayat 3 KUHP.
Berkaca dari dua kejadian di atas, perlu segera memperbaiki citra polisi. Polisi jangan lagi menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan dan dibenci. Sebagai institusi penegak hukum, ia harus menunjukkan wibawa ketegasan, bukan keberingasan.

Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Kejadian penembakan oleh Bribtu Wawan terhadap Satpam Baharuddin merupakan hal yang memalukan institusi polisi. Terlebih hal ini didasarkan atas sesuatu yang sepele. Polisi harus memperbaiki citra, bahwa ia adalah mitra masyarakat, bukan musuh bersama bagi masyarakat. Agar dilakukan pengawasan oleh atasan bagi polisi yang sedang bertugas; Polisi harus menindak tegas Briptu Wawan sebagai akibat dari ulah perbuatannya; Usut tuntas oknum polisi yang mempunyai “wilayah kekuasan” sebagai lahan penghasilan sampingan. Karena hal ini dapat memicu tindakan premanisme polisi. (Sumber data informasi: kompas.com)