Minggu, 27 Oktober 2013

Budaya Menulis Arab Pra-Islam dan Pengaruhnya Terhadap Rasm Mushhaf

Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan

Kajian rasm al-Qur’an bukan sesuatu yang baru bagi akademisi ilmu al-Qur’an. Kalangan ahli ilmu al-Qur’an masa klasik seperti Al-Zarkasyî dalam al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân dan al-Suyûtî dalam al-Itqân Fî Ulûm al-Qur’ân telah menyisipkan kajian rasm al-Qur’an pada bab tersendiri dalam kitabnya. Demikian pula kalangan ahli ilmu al-Qur’an kontemporer, mereka juga banyak membahas dalam karya-karya mereka, seperti Mannâ Khalîl al-Qatthân, Muhammad Abd al-Azîm al-Zarqanî, Nûr al-Dîn Atar[1], Abd al-Qadîr Manshûr[2], Musthafa Diba al-Bughâ dan Muhyî al-Dîn Diba Matawî[3], Abd Allah ibn Yûsuf al-Judai’[4].

Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana tradisi tulis menulis bangsa Arab pra-Islam; pembahasan rasm mushhaf menurut beberapa ahli ulûm al-Qur’an; dan berbagai perdebatan mengenai ke-tawqifi-annya atau tidak. Tulisan ini juga ingin menjawab apakah penulisan mushhaf memiliki keterpengaruhan dengan tradisi tulis menulis Arab pra-Islam? Jika benar demikian, maka kejahiliyaan –tidak bisa membaca dan menulis- yang selalu identik pada bangsa Arab pra-Islam, secara utuh tidak tepat.

Dalam memaparkan tulisan ini, penulis membagi dalam dua anak judul: Tradisi tulis-menulis bangsa arab pra-Islam dan kajian Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’an.

Tradisi Tulis-Menulis Bangsa Arab Pra-Islam

Sebelum datang Islam, masyarakat Arab diidentikan sebagai masyarakat jahiliyah (bodoh). Kejahiliyaan dapat dimaknai dengan tidak memiliki ilmu. Karena Arab pra-Islam dikenal sebagai masyarakat jahl, maka mereka dianggap tidak mampu menulis. Akan tetapi, menurut Eva Nugraha, kata jahiliyah dalam al-Qur’an tidak menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pra-Islam dalam menulis. Dalam beberapa ayat –sûrah al-Mâidah: 50, ali Imrân: 154, al-Ahzâb: 33 dan al-Fath: 26- tidak ada petunjuk khusus bahwa jahiliyah diartikan tidak mampu menulis.[5]

Al-Qur’an memberi penegasan bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat ummî (buta huruf). Hal ini didasarkan pada firman Allah sûrah al-Jumû’ah: 2, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. Bahkan, Nabi sendiri mengatakan bahwa sebenarnya umatnya tidak dapat menulis dan berhitung.[6]

Menurut al-Zarqanî, keadaan buta huruf melekat bagi suku Quraisy. Hanya ada beberapa orang saja yang belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang bernama Harb ibn Umayyah ibn Abd Syâms. Al-Zarqanî mengutip pendapat Abû Amr al-Dâni bahwa Harb belajar menulis dari Abdullah ibn Jad’ân. Diriwayatkan bahwa Jad’ân adalah warga Anbâr. Warga Anbar sendiri belajar menulis dari seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun pengajarnya adalah al-Khaljân ibn al-Mu’mîn, sekertaris Nabi Hûd.[7] Jauh sebelum al-Zarqanî, al-Zarkasî, mengutip riwayat yang menyebutkan jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh Nabi Adam dan Ismail.[8]

Bangsa Arab, khususnya Arab bagian utara dikenal tidak mempunyai budaya tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran Nabi Muhammad, perlahan orang-orang Arab utara mulai mengembangkan budaya tulis. Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra-Islam, yakni tulisan Zabad di sebelah Tenggara Aleppo (521), Harran di Laja (568) dan Umm al-Jimal. Bangsa Arab pra-Islam yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh pada budaya menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat festival bagi para penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas dan ditempel didinding-dinding Ka’bah.[9]

Kegiatan perniagaan sangat identik menjadi profesi masyarakat Arab pra-Islam. Kota Makkah sendiri menjadi pusat perdagangan sekaligus keagamaan penyembah berhala (pagan). Bahkan pada abad ke 6, Mekkah mendapat kekuasaan kegiatan perdagangan. Adanya kegiatan perdagangan mengharuskan padagangnya mahir dalam hib dan tentunya menulis.[10]

Berkaitan dengan penulisan al-Qur’an, A’zami memberi jawaban bagi para orientalis yang meragukan tulisan Kuffi hanya didapati pada abad dua dan tiga hijriyah. Ia menunjukkan bukti-bukti ditemukannya skrip mushhaf Kuffi pada abad sebelumnya. Hal ini dapat dijadikan pijakan bahwa sebelum datang Islam, masyarakat Arab telah mengenal tulisan.[11]

Uraian tersebut diatas mengambarkan bahwa sekalipun masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dikenal Jahiliyah (bodoh), tetapi bukan berarti tidak bisa tulis menulis.

Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’ân

Kajian Rasm Mushhaf berkaitan erat dengan pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an pada masa khalifah Uthmân ibn Affân. Karena penulisan dan penyeragaman al-Qur’an dilakukan pada masa khalifah Uthmân, maka metode penulisannya tersebut disebut sebagai rasm mushhaf Uthmâni. Penamaan rasm mushhaf yang dinisbatkan nama khalifah Uthmân bukanlah atas instruksinya, melainkan para ulama yang memberikan nama tersebut.[12]

Rasm Uthmâni dalam beberapa metode penulisannya banyak berbeda dengan ketentuan asal pengucapan kalimat. Perbedaan penulisan rasm Uthmâni tersebut dianggap mengabaikan ketentuan dan terjadi penyimpangan. Al-Zarqanî mencatat terdapat enam kaidah penulisan rasm Uthmâni, yakni kaidah hadzf (pembuangan), ziyâdah (penambahan), hamzah, badl, washl dan fashl serta kata yang mengandung dua bacaan.[13]

Ringkasan contoh dari kaidah diatas antara lain:
Tulisan Standar
Mulisan Mushhaf
Keterangan
يدعوالإنسان
يدع الإنسان
Menghilangkan waw pada yad’u
سماعون للكذب
سمعون للكذب
Menghilangkan alif pada sammaun
لشئ إني فاعل
لشائ إني فاعل
Tambahan alif pada syai’in
بأيد وإنالموسعون
بأييد وإنالموسعون
Tambahan ya pada aidi
الربا
الربو
Huruf alif diganti waw
أن لن نجمع
ألن نجمع
Menggabungkan an dan lan
أنمايدعون
أن مايدعون
Menggabungkan anna dengan ma
مالك يوم
ملك يوم
mengandung dua bacaan[14]

Menurut al-Zarqanî, terdapat beberapa faedah atas penulisan rams Uthmâni. Pertama, menunjukkan ragam satu kata. Dalam penulisan rasm tersebut jika ada kata yang dapat dibaca dua bacaan atau lebih, maka ditulis dengan bentuk yang memungkinkan untuk baca. Pembacaan dua atau lebih tersebut harus tetap mengacu pada qira’ah para imam yang mutawatir. Sebagai contoh pada ayat (إن هذان لساحران), empat imam qira’ah berbeda dalam membacanya. Sebagai contoh: Qira’ah Nafi’ membaca tasydid nun kata إن, dan takhfif nun kata هذان. Sedangkan Qira’ah Abu Amr membaca tasydid kata إن, dan membaca ya dan takhfif kata هذين.

Kedua, menunjukkan makna yang beragam dengan kaidah tulisan yang jelas. Seperti pemutusan kata أم, pada يكون من أم, serta menyambugan kata أم, pada ayat سويا يمشي أمن. Pemutusan أم pada contoh ayat pertama berarti am muqâtha’ah yang berarti بل .  Sedangkan penyambungan (diidhamkan) pada contoh ayat kedua bukan am muqâtha’ah. Ketiga, menunjukkan harakat asal, sebagaimana kasra dengan ya (contoh: القربي وإيتاء ذي ) dan waw dengan dhamah (دار الفاسقين سا ؤريكم).[15]

Rasm Mushhaf: apakah Tawqifi?

Perdebatan mengenai apakah rasm Uthmâni bersifat tawqifî atau tidak menjadi sorotan para ahli ulûm al-Qur’ân. Jika dipetakan, ada tiga pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, yang mengganggap rasm Uthmâni adalah tawqifî. Alasan pendukung pendapat tersebut didasarkan bahwa rasm merupakan perintah Nabi. Sebagaimana diketahui, Nabi mempunyai katib (sekertaris/penulis) wahyu. Pasca wafatnya Nabi, para katib tetap memelihara tulisan hingga akhirnya ditunjuk oleh khalifah Uthmân sebagai lajnah penulisan ulang mushhaf al-Qur’an pada masanya, yakni Zaid ibn Tsabit.[16]

Kedua, pendapat bahwa rasm mushhaf bukan tawqifî, hanya istilâhî. Pendukung pendapat ini antara Ibn Khaldun. Pendapat Ibn Khaldun dibenarkan oleh Abû Bakr al-Bâqilanî. Menurutnya, Allah tidak menetapkan kewajiban penulisan wahyu dengan rasm tertentu. Selanjutnya pendukung pendapat ini beranggapan bahwa Nabi tidak menyuruh menuliskan rasm jenis tertentu. Rasm Uthmâni dinilai merupakan kesepakatan sahabat yang menuliskan dengan kebiasaan Quraisy. Dasar di atas tersebut yang mereka jadikan alasan bahwa boleh menuliskan mushhaf dangan tulisan kuffiyah (seperti: lam berbentuk seperti kaf, alif ditulis sedikit bengkok)[17]

Ketiga, pendapat yang berupaya mengkompromikan dua pendapat sebelumnya. Pendapat ini beranggapan bahwa penulisan rasm Uthmâni tidak harus dilakukan, terlebih untuk kalangan awam dalam membaca al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan mempermudah bagi pembaca. Tetapi, rasm Uthmâni harus tetap dijaga.[18]

Pada perkembangan selanjutnya, rasm Uthmâni disempurnakan yakni di tambahkan tasykîl dan i’jâm/nuqat. Pemberian titik dan harakat ini dimaksud kemudahan bagi pembacanya. Penyebaran Islam keberbagai daerah alasan penambahan tasykîl dan nuqat tersebut. Hal ini dimaksud menjaga bahasa al-Qur’an. Dalam banyak riwayat, orang pertama yang meletakkan dasar tasykîl dan nuqat adalah Abû Aswâd al-Dhualî (w. 69 H). [19]

Kesimpulan

Tulis-menulis telah terjadi di Arab sebelum datang Islam. Meski menyandang indentitas masyarakat jahl, bukan berarti masyarakat Arab saat itu tidak bisa menulis. Setelah Nabi Muhammad dan Islam datang, budaya menulis semakin digiatkan. Hal ini didasarkan atas kegiatan pencatatan wahyu yang disampaikan Nabi kepada para sahabatnya. Sehingga pada akhirnya mushhaf al-Qur’an di tulis para sahabat pasca wafatnyanya Nabi. Seperti diketahui, al-Qur’an turun dalam bahasa dialek Quraisy. Budaya tulis Quraisy kemudian memberikan implikasi dan pengaruhnya pada penulisan rasm Uthmâni.


[1] Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, (Damaskus: Matba’ah al-Shibâl, 1993), h. 187
[2] Mausû’atu Ulûm al-Qur’ân, (Dâr al-Qalâm al-Arabî, 2002), h. 77
[3] Al-Wâdhih Fî Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr al-Kalâm al-Thaiyib, 1997), h. 97
[4] Muqaddimah al-Asâsiyah Fî Ulûm al-Qur’ân, (Bairut: Markaz al-Buhûs al-Islâmiyah, 2001), h. 148
[5] Eva Nugraha “Konsep al-Nabi al-Ummi dan Implikasinya dalam Penulisan Rasm” Refleksi Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludddin, Vol 12, No 2, 2011, h. 102
[6] Muhammad abd al-Azîm al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutb al-Arabî, 1995), vol 1, h. 297
[7] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân,  vol 1, h. 294. Lihat juga: Muhammad Abû Suhbah, Madkhâl Li Dirâsah al-Qur’ân al-Karîm, (Riyadh: Dâr al-Liwa’, 1987), h. 335
[8] Badruddîn Muhammad ibn Abdu Allah al-Zarkasî, al-Burhân Fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Hadîs, 2006), h. 259
[9] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 116
[10] Ali Sodikin, Antropologi Al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 37
[11] Musthafa A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (Depok: Gema Insani, 2005), h. 142
[12] Mannâ Khalîl Qattân, Mabâhis Fî Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 139
[13] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 300
[14] Contoh-contoh diatas diambil dari: Alimin Mesra dkk, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PSW UIN Jakarta), h. 130
[15] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 306-8
[16] Al-Zarqanî juga mengutip hadis, yakni tatkala Nabi bersabda pada Mu’awiyah: “letakkanlah wadah tinta, miringkan pena, luruskan ba’, renggangkan sin, jangan menulis mim tanpa lubang, perbaikilah tulisan Allah…”, sabda nabi tersebut dianggap sebagai ketentuan/undang-undang penulisan wahyu. al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 310
[17] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 312
[18] al-Zarqânî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 315
[19] A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, h. 151. Pendapat lain juga dikemukakan Al-Zarqanî, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’ân, vol 1, h. 332 dan Mannâ Khalîl  Qattân, Mabâhis Fî Ulûm Al-Qur’ân, h. 143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar