Minggu, 04 Februari 2018

HMI dan Tantangan Radikalisme Agama Mendatang (Refleksi HUT HMI Ke-71)

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta; Kader HMI Cabang Ciputat)

Hari ini, 5 Februari 2018, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-71 tahun. Sebuah usia yang terbilang “matang”, dan hampir sama dengan usia bangsa Indonesia. HMI didirikan oleh beberapa aktivis mahasiswa kala itu di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Dalam perjalanannya, HMI menjelma menjadi organisasi yang banyak memberi kontribusi bagi Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia memberi penghargaan Pahlawan bagi salah satu pendiri HMI, Lafran Pane. Sebuah penghargaan yang memberi makna penting eksistensi HMI di Indonesia.

Meski lahir sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat independen, dalam perkembangannya, HMI terlibat pula dalam politik praktis. HMI oleh Deliar Noer (1987: 57) disebut sebagai organisasi mahasiswa yang memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Pada Pemilu 1955 misalnya, menurut Deliar, banyak kader dan aktivis HMI menjadi penyokong suara Masyumi. Selain itu, HMI juga turut serta dalam “ganyang PKI” di awal hingga pertengahan 1960-an.

Sesaat setelah Partai Masyumi dibubarkan oleh Pemerintahan Orde Lama, dan Masyumi juga tidak diperkenankan berdiri di era Pemerintah Orde Baru Suharto, kader-kader HMI banyak mengembangkan kecakapan politik pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan kini, kader HMI mampir berada pada semua partai politik. Itulah sebabnya HMI dianggap sebagai “Kawah Condrodimuko” calon politisi.

Selain terlibat politik praktis, HMI melahirkan beberapa tokoh intelektual yang banyak memberi sumbangan terhadap Indonesia. Beberapa yang bisa penulis sebut antara lain: Nurcholish Madjid dan Azyumardy Azra dan lainnya. Kultur intelektual yang ditumbuhkembangkan di HMI mampu melahirkan kader-kader politik-intelektual tersebut. Hingga kini, meski pola pengaderan yang dilakukan masih sangat “tradisional”, HMI tetap eksis mencetak kader-kader terbaik.

Di tengah arus globalisasi dalam berbagai aspek, HMI mendapat tantangan yang cukup berat. Karena HMI mencirikan organisasi Islam, maka paling tidak HMI mendapat tantangan dari aspek Islam itu sendiri. Harus diakui, dalam beberapa tahun belakang ini, muncul aksi teror atas nama agama, kelompok yang ingin mengganti ideologi bangsa, serta kelompok literalis (yang malas membaca makna dibalik teks).

Tantangan paling besar saat ini adalah munculnya arus gerakan transnasional yang mulai menjalar ke Indonesia. Pengaruhnya dapat segera dirasakan sepertinya maraknya teror atas nama agama yang dalam dua dasawarsa terakhir kerap terjadi. Bahkan di daerah tertentu, kelompok separatis Islam kian menunjukkan eksistensinya dikhalayak publik.

HMI yang bercirikan Islam inklusif juga mendapat tantanganya dari maraknya pemikiran Islam yang ekslusif (menutup diri dari upaya ijtihad). Kelompok ini umumnya menolak sistem demokrasi dan ingin menegakkan bentuk pemerintahan model khilafah. Tak jarang, kelompok model ini memberikan label kafir pada atribut-atribut demokrasi. Tolok ukur keberislaman model “Arab Minded”, oleh kelompok tersebut coba dikembangkan di Indonesia dan seolah dianggap sebagai model yang purna. Maka tidak heran, atribut-atribut berbau Arab dibentangkan dalam banyak kesempatan.

Maraknya kelompok literalis Islam sebagai efek dari momentum politik belakangan juga harus disikapi serius. Sebagian kelompok melegitimasi pilihan politik dengan dalil agama tanpa mengindahkan kaidah-kaidah tafsir yang seharusnya dipedomani dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Ayat al-Qur’an hanya dipahami pada satu sisi sebagai alat mengkafirkan orang lain sementara ayat lain dinafikan begitu saja. Minimnya pemahaman terhadap kaidah tafsir inilah yang menyebabkan orang tak terkendali ketika berbicara al-Qur’an dihadapan publik. Universalitas al-Qur’an seolah direduksi untuk kepentingan sesaat (politik). Kelompok-kelompok literalis semacam ini seharusnya menjadi titik tembak HMI.

Kini, HMI kembali berada dalam pusaran perdebatan yang mengemuka: formalisasi negara Islam (formalist Islamic state). Kondisi ini menguat terutama akibat munculnya “politik identitas” di dalam kampanye-kampanye Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang. Munculnya kembali politik identitas ini berpotensi memecah integritas Indonesia yang sudah ditakdirkan kebhinekaanya. Tentu saja, kita berharap hadirnya pikiran-pikiran jernih seperti di era Cak Nur dalam menjawab tantangan model saat ini.

Kader HMI saat ini sebetulnya hanya menjadi “intelektual-praktis” melanjutkan estafet pemikiran pendahulunya. Tak perlu repot-repot mencari “tesis” baru tentang Islam dan tantangannya seperti tersebut di atas. Kita hanya butuh meminjam pola pemikiran pendahulu untuk memecahnya problem saat ini, dengan meminjam konsep double movement Fazlur Rahman.


Ke depan, HMI harus mampu men-counter paham-paham radikal yang menjurus pada terorisme; kelompok-kelompok eksklusif yang hendak merubah Indonesia menjadi Khilafah; serta kelompok literalis yang minim budaya membaca. Tentu kita berharap munculnya kader-kader HMI yang mampu menjawab persoalan keumatan dan kebangsaan.