Minggu, 31 Mei 2015

Dalam Republik Kepalsuan (Menyoal Beras Palsu dan Ijazah Palsu)


Oleh: Ali Thaufan DS 

Penghujung bulan Mei 2015 ini, Indonesia dibuat “geger” soal beredarnya dugaan beras palsu dan terungkapnya peredaran ijazah palsu di perguruan tinggi. Masyarakat dibuat gelisah dengan beredarnya beras yang diduga terbuat dari bahan plastik. Tentu saja, memakannya akan menyebabkan “kematian” penulis menyebut pengedar beras palsu sebagai penjahat pembunuh masal. Betapa tidak, beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh jutaan rakyat Indonesia. Jika didalamnya disisipkan “racun”, ini artinya pembunuhan. Menyangkut ijazah palsu yang terkuak, menunjukkan betapa lemahnya sistem pendidikan di negara ini, sehingga ijazah saja dapat dipalsukan dan mudah dibeli. Tulisan ini berangkat dari maraknya pemberitaan seputar beras dan ijazah palsu yang dalam beberapa waktu sempat menghiasi media cetak dan elektronik.

Beberapa waktu lalu, sempat berhembus kabar temuan beras palsu di Kota Bekasi dan Depok. Temuan tersebut menyita perhatian pemerintah. Bagaimana mungkin, beras yang tumbuh dari padi tetapi didalamnya terdapat kandungan plastik yang membahayakan konsumennya. Pemerintah segera membuktikan kebenaran beras plastik tersebut dengan melibatkan beberapa unsur terkait. Hasilnya, beras yang diduga palsu tersebut tak terbukti palsu. Tetapi, ibarat nasi telah “gosong”, kabar beredarnya beras palsu tersebut telah membuat pasar lesu. Ketakutan para pembeli beras menjadi-jadi lantaran pemberitaan beras palsu centre dikabarkan media, terlebih ditelevisi.

Selain beras palsu, ada pula kabar terbongkarnya perguruan tinggi “abal-abal” yang menjual ijazah palsu. Kabar tersebut semakin menghebohkan karena pembeli ijazah palsu tersebut dari kalangan pejabat, bahkan penegak hukum. Jual-beli ijazah merupakan kejahatan akademis yang tidak bisa ditolelir. Kecemburuan tentu saja dirasakan para akademisi yang berjibaku bertahun-tahun merampungkan pendidikannya. Terlebih bagi mereka yang hampir drop out (DO). Wajah pendidikan semakin buram atas kabar tersebut. Hal ini semakin diperparah bahwa ijazah palsu juga banyak dimiliki pejabat yang duduk di pemerintahan, baik dari tingkat desa hingga pusat. Tentu, keadaan tersebut memunculkan pertanyaan, bagaimana proses verifikasi pencalonan pejabat tersebut, jika ijazah palsu saja bisa lolos? Aksi menuntut diungkapnya pejabat berijazah palsu pun menyeruak diberbagai daerah. 

Dua kabar di atas –baik beras dan ijazah palsu- paling tidak dapat menjadi pintu awal membuka borok kepalsuan di banyak sektor negara ini. Sebetulnya, soal kepalsuan di Indonesia bukan hal baru. Banyak sekali produk-produk palsu dan “bajakan” yang beredar dipasaran mulai dari kaset, VCD, pakaian dan sebagainya. Tetapi, entah bagaimana kepalsuan tersebut nyatanya membuat masyarakat tenang (mohon maaf), nyaman-nyaman saja menggunakan produk palsu tersebut. Apa budaya Indonesia hari ini adalah budaya “kepalsuan”? Mulai dari Janji kampanye: palsu, janji penegakan hukum: palsu, janji kesejahteraan: palsu, janji bisnis (investasi): palsu, dan masih banyak lain yang lainnya.

Pertanyaannya kemudian, sampai kapan masyarakat ini dalam kepalsuan? Ini bukan persoalan remah. Juga bukan persoalan yang mudah dibereskan.  Tetapi, negara tidak boleh kalah oleh kepalsuan. Negara juga tidak boleh larut dalam kepalsuan yang selama ini tak terasa karena membudaya serta menjadi “candu” kebersamaan. Masalah ini patut segera diselesaikan, tentu dengan kesadaran bersama. Terkhusus untuk peredaran ijazah palsu, pemerintah harus segera ambil tindakan. Keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena hal ini menyangkut moral dan martabat pemangku jabatan publik.

Jumat, 22 Mei 2015

Menegakkan Hukum di Sektor Migas (Membincang Pembubaran Petral)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada bagian awal tulisan sederhana ini, penulis ingin menyuguhkan pertanyaan yang patut dicermati. Apakah Anda akan mengatakan Indonesia sebagai negara kaya jika minyak dan gas masih impor dari negara lain? Jika pemerintah mengendus adanya “mafia migas” yang merusak tata kelola migas kita, mengapa pemerintah mendiamkan saja, tidak segera menindak? Apakah upaya-upaya menuju ketahanan energi (minyak dan gas) hanya lagu lama, ini dibuktikan dengan ketidakberesan pengelolaan sektor tersebut? Pertanyaan tersebut di atas berangkat dari beberapa fakta berita yang menyinggung kejanggalan tata kelola migas. 

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah di awal masa pemerintahan adalah “beres-beres” pengelolaan migas. Pemerintah membentuk tim khusus dengan nama Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) yang diketuai oleh pakar ekonomi, Faisal Basri. Dengan dibentuknya tim ad hoch tersebut, pemerintah menginginkan agar pengelolaan migas negara dapat ditangani dengan semestinya untuk kepentingan masyarakat banyak. Para pengamat migas pun berharap agar keganjalan pada sektor migas –dalam hal ini dugaan adanya mafia migas- dapat segera terselesaikan.

Setelah bekerja selama beberapa bulan, akhirnya RTKM merampungkan pekerjaan dengan melaporkan hasil temuan di lapangan kepada pemerintah. RTKM menemukan bahwa PT. Pertamina Energy Trading Limited (Petral) –anak usaha Pertamina yang melakukan aktivitas impor minyak- menjalin kerjasama atau bermitra dengan perusahaan yang tidak memiliki “legitimasi” sebagai pengimpor migas seperti Maldives NOC LTD dan NOC PetroVietnam Oil Corporation. Petral membeli minyak dari trader. Padahal, sebelumnya Petral diminta untuk mengimpor langsung pada National Oil Companies (NOC) atau produsen minyak. Hal tersebut tentu sangat merugikan, karena ternyata Pertamina membeli minyak bukan dari produsen utama. Maka tidak mengherankan jika harga yang dipatok melebihi yang semestinya, sehingga harga tersebut berimplikasi pada harga bahan bakar minyak di pasar –yang dikonsumsi masyarakat.

Sadar akan kegiatan Petral yang tidak sesuai aturan, pemerintah atas rekomendasi RTKM membubarkanya. Dalam beberapa tahun silam, upaya pembubaran Petral telah dilakukan. Tetapi hal tersebut tak kunjung tercapai karena ada “tarik-menarik” kepentingan penguasa yang memanfaatkan sektor migas. Dengan dibubarkannya Petral, sebagian pengamat menganggap sebagai langkah awal membuka kedok mafia migas. Tugas dan fungsinya kemudian digantikan oleh Integrated Supply Chain (ISC). Dalam beberapa bulan sebelumnya, Pertamina yang melakukan pengadaan minyak tidak melalui Petral mengklaim ada penghematan sekitar USD 22 juta. Ini pertanda bahwa pengadaan minyak sebelumnya melalui Petral terdapat keganggalan. 

Selanjutnya, RTKM dalam temuannya juga dengan tegas menyatakan bahwa Petral adalah sarang mafia migas. Ini merupakan “tesis-tesis” yang berangkat dari semrawutnya tata kelola migas. Dan, hasil temuan Tim telah di laporkan kepada penegak hukum. Barangkali pernyataan ini yang patut dicermati. Ulah para mafia migas secara sengaja telah merugikan negara. Demikian juga pada stabilitas harga minyak yang “dimainkan” untuk kepentingan oknum tertentu. Hal utama yang mendesak dilakukan adalah audit aset Petral. Selanjutnya, para broker mafia migas harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Memang, ini bukan soal mudah. Menurut Faisal Basri, para mafia migas memiliki koneksi lintas sektor, hukum dan politik. Itulah sebabnya keberadaan mereka –para mafia migas- sulit diendus, terlebih ditindak. Para mafia migas melakukan perampokan uang negara secara sistematis, sangat halus, tanpa suara tapi nyata adanya. 

Kedepan, masyarakat berharap agar pengelolaan migas negara dapat dilakukan secara clean dan clear. Pemerintah tidak boleh “salah lubang” terkait pembubaran Petral. Pengaturan struktur manajeman pengganti Petral –atau yang sekarang ditangani ISC- harus dilakukan dengan se-profesional mungkin. Pemerintah tidak saja cukup menunjuk orang-orang clean untuk mengurus migas, tetapi orang-orang yang bertanggung jawab dan punya dedikasi dan berintegritas terhadap kepentingan negara. Dengan pembenahan pengelolaan sektor migas ini, kita berharap agar energi dapat memberi kesejahteraan semua masyarakat.

Senin, 11 Mei 2015

Janji Usang Kesejahteraan



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Para pakar ekonomi mendefinisikan keberhasilan ekonomi sebuah pemerintah dengan bermacam-macam perbedaan. Indikator keberhasilannya pun terkadang berbeda satu dengan yang lain. Demikian kiranya yang terjadi di Indonesia. Menyikapi paket kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintah untuk mendorong kesejahteraan, banyak alternatif yang menjadi pilihan dan ditawarkan. Namun demikian, kebijakan yang diambil terkadang meleset, dikritik hingga dianggap kebijakan keliru. Inilah suasana perekonomian yang sedang merundung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada semester pertama. Banyak pihak yang meresa tak puas dengan keadaan perekonomian, terutama menyangkut instabilitas harga-harga kebutuhan pokok. Tulisan ini berupaya mencermati semester pertama kerja pemerintah, terutama dibidang ekonomi.

Beberapa lembaga survei seperti Poltracking Indonesia dan Litbang Kompas melakukan survei terhadap kepuasan kinerja  pemerintah terkait kebijakan ekonomi. Hasilnya, responden –yang dalam hal ini penulis anggap sebagai wakil dari masyarakat- menyatakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pemerintah dibidang ekonomi. Pada survei Poltracking, sebanyak 66 persen tidak puas atas kebijakan ekonomi pemerintah. Demikian dengan Litbang Kompas, 79,2 persen responden menyatakan tak puas.

Wajar bila masyarakat menyatakan ketidakpuasannya. Pasalnya, sejak memerintah pada enam bulan pertama, pemerintah banyak mengeluarkan kebijkan ekonomi yang “membingungkan” masyarakat, tidak populer. Dalam konteks ini, penulis menyoroti kebijakan naik-turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang mempunyai implikasi signifikan bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, serta beberapa kebijakan lainnya.

Apapun alasan logis pemerintah dalam menaik dan menurunkan harga BBM bersubsidi tentu menimbulkan pertanyaan tak berkesudahan. Ini diakibatkan penaikan yang dilakukan dalam kurun waktu yang sangat dekat, singkat. Kenaikan dari harga BBM bersubsidi tersebut memberi efek domino pada kenaikan harga kebutuhan bahan pokok lain serta transportasi. 

Janji-janji atasi ketimpangan sosial dan menyejahterakan rakyat yang digaungkan pemerintah tidak cukup menyembuhkan luka akibat kenaikan harga-harga seperti di atas. Pemberian macam-macam kartu sebagai ganti dan solusi yang dapat dicairkan dalam bentuk uang dianggap sebagai kebijakan ngawur. Pemberian tersebut bukan solusi menekan angka kemiskinan, malah justru menambah. Hal ini terkonfirmasi pula dari pernyataan badan pusat statistik (BPS) yang mengungkapkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Memang, jika menggunakan salah satu indikator rakyat miskin yakni penghasalian dibawah 600.000, maka saat ini masih banyak didapati dipelosok negeri. 

Jika ditilik kembali isi dari Nawa Cita yang menjadi cita-cita pemerintah rasanya amat jauh dengan realistas kekinian yang terjadi. Upaya mewujudkan janji kemandirian ekonomi tampaknya menemui keraguan. Ini ekses dari lawatan ke luar negeri Presiden yang kemudian membawa buah tangan banyaknya investor asing yang akan berinvestasi. Jika jumlah mereka tidak dibatasi, maka perlahan tapi pasti penguasaan sentral-sentral usaha akan dikuasai asing. Dan, masyarakat Indonesia akan menjadi buruh di rumah sendiri. Pemerintah wajib mengatur regulasi yang menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat jika harus membuka lebar ruang bagi investor.

Dalam hal ketahanan pangan, pemerintah masih belum mekaksimalkan progam tersebut. Pasalnya impor berbagai kebutuhan bahan pokok tetap sulit dihindari. Alih-alih memaksimalkan potensi petani, pemerintah justru terlibat “kisruh” pupuk bersubsidi. Kinerja pemerintah daerah –khususnya penghasil padi- dianggap lemah. Tidak ada perhatian terkait luas area pesawahan secara kongkrit. Hal ini kemudian menyulitkan distribusi pupuk bagi para petani. Kisruh seputar volume pupuk yang dibutuhkan pada suatu daerah tertentu tak bisa dihindari.

Memang, rasanya kurang elok jika menilai pemerintah gagal karena pemerintah sendiri belum purna dalam tugasnya. Meski demikian hal tersebut tidak lantas menyulutkan para kritikus untuk mengawasi kinerja pemerintah. Kedepan, pemerintah harus kembali pada janji dan komitmen penyejahteraan rakyatnya. Perlu kiranya melakukan kebijakan yang pro-rakyat sehingga mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pemerintah jangan lagi umbar janji. Cukup saat pemilihan presiden lalu. Janji-janji tersebut kini mendesak untuk dilakukan.

Jumat, 08 Mei 2015

Takdir Kesengsaraan TKI



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Saya sangat berkeyakinan saat Anda mendengar berita hukuman mati bagi tenaga kerja Indonesia (TKI), anda akan merasa sedih, kesal dan mungkin juga marah. Betitu pula ketika Anda menyaksikan berita TKI yang mendapat siksa, aniaya serta kekerasa seksual. Ini sangat wajar mengingat TKI tersebut satu darah dengan Anda, darah Indonesia. Saya pernah merasa heran ketika suatu ketika televisi memberitakan kedatangan TKI dari berbagai negara, dan ada beberapa dari mereka yang mengendong anak bayi. Anak tersebut lahir dari hubungan antara si TKI dengan majikan. Inilah wajah “buram” soal potret TKI. Tulisan ini berangkat dari perhatian penulis atas beberapa “kesengsaraan” TKI, serta rencana pemerintah yang akan “stop” pengiriman TKI ke beberapa negara Timur Tengah.

Sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri memaksa sebagian orang berpikir dan mengambil langkah menjadi TKI. Faktor ekonomi cukup mendominasi ketinginan warga Indonesia untuk menjadi pekerja di negeri orang. Meski mereka harus menjadi buruh. Tetapi jika penghasilan mereka dirupiahkan mungkin akan lebih banyak dari buruh dalam negeri. Lebih dari 70 persen TKI di luar negeri berprofesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Mereka berada di bawah kendali majikan.

Suka duka dialami para TKI. Mereka harus rela meninggalkan keluarga di kampung halaman demi rupiah. TKI yang umumnya didominasi kaum perempuan menghadapi tantangan berat di negeri seberang. Memang, menjelang keberangkatan masing-masing mendapat pendidikan intensif untuk mengasah bahasa dan bakat. Tetapi itu sangat singkat sehingga bakat menjadi pekerja dirasa masih minim. Bekal TKI yang paling real mungkin adalah nekad. Saat berada di negeri orang, beberapa TKI mendapatkan “kepuasan” atas pekerjaan yang digeluti. Rumah-rumah mereka di kampung halaman berubah menjadi “gedong” dan anak-anak mereka dapat bersekolah dengan nyaman dan tenang. Tetapi, ada pula TKI yang mendapat “kesengsaraan” karena mendapati boss yang mungkin tidak seperti yang inginkan. Alih-alih mendapat kebahagiaan, mereka harus menghadapi kerasnya hidup di negeri orang. 

Sebuah lembaga yang konsen memerhatikan TKI, Migrant Care ada tahun 2010 pernah merilis data TKI yang dianiaya sebanyak 1.097, dan TKI yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 874. Migrant Care, yang dikutip Kompas.Com juga menyatakan bahwa pada tahun 2015, sebanyak 264 TKI sedang menghadapi hukuman mati. Angka di atas bukan sedikit. Bukan persoalan sepele. Negara ini dipertontonkan dengan luka yang dialami rakyatnya di luar negeri serta nyawa yang segera mereka hembuskan. 

Dalam beberapa kasus yang menimpa TKI, penulis mencermati bahwa hukuman mati yang sedang dihadapi TKI antara lain disebabkan adanya TKI yang diduga terlibat jaringan peredaran narkoba dan terlibat kasus pembunuhan. Kedua kasus ini merupakan kasus yang berat. Para TKI harus berhadapan dengan hukum tembak mati, gantung dan juga pancung. Sulit rasanya membebaskan TKI dari hukuman tersebut. 

Melihat kasus yang membelit para TKI, pemerintah seperti sedang menimbang untuk ambil tindakan. Pemerintah akan menghentikan pengiriman TKI ke beberapa negara seperti: negara-negaraTimur Tengah yaitu Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, UEA, Yaman, dan Yordania. Rencana penyetopan pengiriman TKI mendapat apresiasi, terutama penyetopan ke negara Timteng yang saat ini sedang dirundung konflik multidimensi. Tetapi pemerintah juga perlu memikirkan lapangan kerja dalam negeri. Ini persoalan krusial yang menyulitkan. Menyediakan lapangan kerja saja tidak cukup. Tetapi bagaimana pemerintah memberi lapangan kerja dengan upah yang memuaskan. 

Anda mungkin teringat saat razia pengemis jalanan yang menolak dirazia. Mereka lebih memilih menjadi pengemis ketimbang diberikan pekerjaan menjadi tukang sapu dipinggir jalan oleh pemerintah. Ini artinya betapa sulitnya pemerintah kita menjamin lapangan pekerjaan yang lebih “mengenakkan” pagi para pengemis, terlebih TKI yang mungkin tingkat pendidikannya sudah lebih tinggi. Pemerintah dan para pengusaha dalam negeri perlu memikirkan rentetan peristiwa memilukan yang menimpa TKI. Peristiwa tersebut tidak bisa dilihat dari kacamata hukum saja, tetapi juga menyangkut keadilan sosial.