Kamis, 20 Maret 2014

Menerawang Ekonomi Indonesia Pasca Pilpres 2014: Antara Kedaulatan dan Arus Globalisasi

Oleh: Ali Thaufan DS

Tulisan ini hadir dari pembacaan penulis terhadap dinamika politik-ekonomi yang ramai dibincangkan, terlebih di tahun 2014, tahun Pemilu. Penulis mengamati perdebatan dua kutub yang berseteru akibat kebijakan pemerintah yang dinilai penuh kejanggalan dan bersifat parsial. Masyarakat dibuat kebingungan arah kebijakan politik-ekonomi. Padahal, keduanya saling memiliki keterkaitan yang saling mendukung satu sama lain. Karenanya, pengambilan kebijakan politik yang salah, akan berdampak pada kegagalan pembangunan ekonomi.

Saat ini masyarakat merasakan progam kebijakan menyangkut masalah ekonomi pemerintah SBY-JK dan SBY-Budiono belum cukup berhasil. Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Lansung Tunai Sementara (BLSM) dinilai belum maksimal dalam sumbangsih menyejahterakan rakyat. Selain itu, hasil dari Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) di Bali 2013 lalu disinyalir akan memperparah ekonomi dimasa yang akan datang. Perdagangan bebas diperkirakan akan memperparah posisi Indonesia, karena Indonesia hanya menjadi “pelayan” negara berkepentingan, Amerika dan Cina.

Menjelang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden 2014, masyarakat disodori dengan berbagai macam progam kebijakan ekonomi yang akan datang. Terlebih dari calon presiden yang akan bertarung pada pemilihan presiden. Mereka telah merumuskan langkah strategis yang akan menjadi pilihan guna meningkatkan kualitas ekonomi; meningkatkan mutu penghasilan masyarakat; mengelolah SDA-SDM; dan mengentaskan kemiskinan. Baik partai politik ataupun capres, semuanya mempunyai visi menatap ekonomi mendatang. Sebut saja: Golkar dengan Negara Kesejahteraan 2045; NasDem dengan Reformasi Ekonomi Menuju Kemakmuran dan Kesejahteraan; PDI-P dengan Indonesia Hebat “Kedaulatan Pangan”; Prabowo Subianto dengan Ekonomi Kerakyatan; dan tentu masih banyak lainnya. Konsep dan rumusan kebijakan tersebut merupakan kepedulian melihat kenyataan kebijakan ekonomi saat ini yang dirasa hopeless. Semua sah saja merumuskan kebijakan yang akan datang demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Namun demikian, tugas berat penerapan kebijakan tersebut adalah benturan dengan gelombang globalisasi, terlebih disektor ekonomi. Seperti diketahui, Indonesia telah tergabung dalam beberapa kerjasama bilateral dan multilateral dengan berbagai negara. Sri Hartati mencatat bahwa pada Juli 2011, Indonesia melakukan kerjasama perdagangan bebas (dalam tulisan Sri Hartati disebut FTA) di berbagai sektor hingga 19 kesepakatan. Pada saat bersamaan, Indonesia juga telah mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 serta ASEAN-China (ACFTA) yang aromanya sudah terendus saat ini. Ini artinya, Indonesia nyemplung dalam percaturan perdagangan bebas dunia. Jika pruduksi dalam negeri tidak mampu bersaing, maka bisa dipastikan UKM-UKM akan tergilas laju liberalisasi perdagangan tersebut.

Dalam menanggapi keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas, ada dua kutub berseberangan: Pro dan Kontra. Kutub pendukung pasar bebas yang dianggap “neoliberal” mendukung sepenuhnya dibukanya pasar bebas di Indonesia dengan alasan akan membantu cadangan devisa. Dengan peluang dan untung yang menjanjikan, pemerintah mengambil kebijakan FTA. Kutub lainnya yang kerap menamakan diri pengusung “ekonomi kerakyatan” berdalih bahwa pasar bebas hanya akan menggerogoti aset negara. Negara akan menjadi korban eksploitasi negara lain –sebut saja Amerika dan Cina- dan menjadi pasar penjualan.

Merupakan hal wajar jika berbagai kebijakan diatas menuai pro-kontra. Hal ini akibat dari: sisi pertama, kebijakan dinilai “mlempem” tanpa hasil dan tidak memberi implikasi signifikan dalam pengembangan ekonomi. Sisi kedua, pemerintah tetap optimis bahwa FTA dan paket hasil APEC akan meningkatkan ekonomi Indonesia. Menurut Sri Hartati, perdangan bebas yang diharapkan mampu mengangkat industri dalam negeri ternyata hanya harapan semu. Alih-alih membantu mengembangkan, pasar bebas telah membuat tak berdaya industri regional. Para pengamat ekonomi menyayangkan sikap Indonesia yang terkesan “memaksakan diri” dengan ketidaksiapan dalam partisipasinya di meja ASEAN.

Penulis mencermati dialektika yang sangat menarik antarkedua kutub di atas. Meski memiliki kelebihan, keduanya sama-sama memiliki kelemahan. Pertama kutub “neoliberal”, bahwa sudah menjadi rahasia umum jika kutub tersebut adalah kendaraan negara adidaya Amerika untuk menguasai peta ekonomi dunia. Sehingga tujuan sebagai police world tetap terjaga.

Sebaliknya, perlawanan yang ditunjukkan oleh pengusung “ekonomi kerakyatan” juga masih memiliki celah kelemahan. Saat ini, negara tidak bisa menghindari takdir globalisasi disetiap sektor. Jika kutub “ekonomi kerakyatan” memaksa kemandirian –yang terkenal dengan istilah berdikari- itu artinya Indonesia akan lemah dalam hubungan internasional. Apakah Indonesia telah memiliki SDM yang memadai? Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Hal ini mengingatkan kembali saat Syafruddin Prawiranegara mengkritik kebijakan Sukarno yang akan menerapkan apa yang disebut dengan Nasionalisasi Aset. Syafruddin saat itu keberatan dengan kebijakan Sukarno karena sadar diri bahwa Indonesia dirasa belum mampu mengelola sektor ekonomi secara mandiri. Karenanya, bantuan asing tetap dibutuhnya sebagai penyumbang devisa.


Harapan perbaikan ekonomi untuk mengangkat kesejahteraan rakyat ada dipundak para capres yang sekarang gemar beriklan di televisi. Kemana kebijakan ekonomi Indonesia pasca pilpres mendatang. Jika tekat bulat adalah “kedaulatan” dan kemandirian, maka negara harus menyiapkan infrastruktur pembangunan ekonomi kerakyatan dengan baik. Melakukan kalkulasi secara matang ongkos produksi dan penjualan. Landasannya sudah termaktub dalam UUD 1945. Pengambil kebijakan tinggal melaksanakan amanat UUD tersebut. Namun, jika romantisme pasar bebas yang telah memanjakan masyarakat Indonesia menjadi pilihan, pemerintah harus menyiapkan diplomat ulung untuk tetap menjaga kekayaan negara.

Kamis, 13 Maret 2014

Trend Cemburu Kekinian

Oleh: Ali Thaufan DS

Dalam lirik lagu berjudul “cemburu” karya Dewa, mengisahkan keinginan orang untuk membunuh karena faktor cemburu. Cemburu itu menguras hati. Mungkin, salah satu hal yang menyakitkan bagi seseorang yang menjalin cinta. Karena cemburu, seseorang bisa melakukan tindakan abnormal. Seperti: memberikan ancaman bagi obyek yang membuat cemburu; pertikaian; atau bahkan pembunuhan. Ya, mungkin terdengar lucu, seram dan bahkan mustahil. Tetapi semua itu tidak bisa dikatakan mustahil karena fakta mencatat hal tersebut. Tulisan sederhana ini ingin menyoroti dua kejadian pembunuhan akibat cemburu yang dilakukan oleh seorang remaja. Seperti diketahui, belakangan ini media ramai membincang peristiwa membunuhan gadis bernama Ade Sara dan Mia Nuraeny yang menemui ajalnya ditangan mantan pacar.

Lebih dari sepekan lalu (tepatnya 5 Maret 2014) sesosok mayat perempuan di temukan di pinggir jalan tol oleh petugas derek. Setelah diidentifikasi, diketahui mayat gadis itu bernama Ade Sara Angelina Suroto. Mahasiswi perguruan tingga swasta di Jakarta tersebut berumur 19 tahun. polisi bertindak cepat dan akhirnya menemukan pembunuh gadis malang tersebut. Adalah Hafit dan Assyifa, dua sepasang kekasih yang telah membunuh Ade. Sepekan selanjutnya, Mia Nuraeny, gadis berumur 14 tahun menjadi korban pembunuhan oleh segerombolan orang pada 13 Maret 2014 di kawasan Cilandak. Hasil pemeriksaan terhadap pelaku, diketahui bahwa satu dari gerombolan yang menghabisi Mia adalah mantan pacarnya. Setelah periksaan, diketahui motif kedua pembunuhan di atas adalah karena cemburu. Barangkali, dua kasus di atas adalah sedikit dari kasus serupa yang terjadi.

Pembunuhan ini menyita perhatian pengamat, baik pengamat pendidikan, psikologi atau generasi muda. Prilaku Hafit dan Assyifa yang seolah tak bersalah menyiratkan pesan bahwa mereka mengidap penyakit psikopat. Sebagian lainnya menuding mereka berdua gila. Dari kaca mata kehidupan anak muda, prilaku pembunuhan atas motif cemburu ini seakan melengkapi kasus-kasus pembunuhan lainnya seperti: aksi tawuran, balap liar geng motor dan narkoba.

Kasus di atas merupakan tren cemburu model sekarang. Jika dalam roman-roman percintaan klasik, seseorang yang sedang cemburu kerap mengurung diri meratapi kesedihan, maka itu tidak berlaku di era sekarang. Seorang dengan ringan tangan tega membunuh orang lain karena faktor cemburu. Cemburu yang menjadi bumbu-bumbu percintaan kini menjadi hantu menakutkan yang dapat saja mencabut nyawa seseorang. Seharusnya hal yang berujung maut ini dapat dihindari jika masing-masing yang bersangkutan sadar diri.


Kejadian memilukan pembunuhan di atas menjadi warning bagi setiap orang tua agar terus memberikan pendidikan moral dengan baik pada anaknya. Orang tua harus mengawasi tindak-tanduk sang anak. Meski anak menginjak dewasa, pengawasan terhadapnya tetap sebagai kewajiban. Penyelenggara pendidikan juga perlu mencermati kasus ini. Hal-hal yang berkaitan dengan norma prilaku menjadi pelajaran penting di sekolah. Oleh sebab itu, menanaman nilai dan norma harus dilakukan secara mendalam. Bagi para remaja, kasus pembunuhan ini menjadi pelajaran berharga agar sedapat mungkin mengontrol emosi dan “darah muda” mereka.