Jumat, 21 April 2017

Semangat Kartini dalam Pemilu

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Budaya patriarkhi di Indonesia membuat perempuan selalu ditempatkan di belakang, dan hal ini sudah menjadi pandangan umum. Seiring berjalannya waktu, pandangan umum yang menganggap bahwa perempuan selalu dibelakang laki-laki perlahan mulai terkikis. Peter Carey (2016) dalam Perempuan-Perempuan Perkasa mencatat sejarah perempuan perkasa Indonesia sudah tampil pada panggung publik, sejak sebelum pecahnya perang Jawa. Kini, banyak hadir perempuan sebagai politisi, kepala daerah, pimpinan perusahaan dan sebagainya.

Sejarawan Barat yang banyak menulis tentang Indonesia, M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (2001) menyebut bahwa sosok R.A. Kartini sebagai inspirasi lahirnya gerakan perempuan modern. Kepeduliannya terhadap pendidikan telah membuka wawasan baru “gerakan emansipasi” bagi perempuan zaman itu. Laki-laki dan perempuan harus setara untuk mendapat pendidikan. Hingga kini, Kartini menjadi icon atau simbol kebangkitan perempuan. Setiap tanggal 21 April –hari kelahiran Kartini- perempuan memeringatinya sebagai Hati Kartini.

Secara umum, kondisi perempuan Indonesia masih mengundang keprihatinan. Tekanan budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh bagi ruang gerak perempuan. Ini menyebabkan perempuan tersubordinasi. Nasaruddin Umar (2014), salah satu “muslim feminis” menulis bahwa perempuan terkungkung akibat mitos yang berkembang dan dipercayai, bukan oleh aturan agama. Mitos secara kebanyakan telah menempatkan perempuan pada tempat yang tidak mestinya bahkan cenderung tidak mengenakkan.

Dalam banyak kasus di Indonesia, perempuan kerap menjadi objek kekerasan. Akhir Maret lalu, Badan Statistik Nasional (BPS) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Survei yang dilakukan pada 2016 menunjukkan perempuan sering menjadi objek kekerasan baik fisik maupun non fisik. Satu dari tiga perempuan yang berusia antara 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual. Rilis survei itu juga menyebut bahwa kekerasan seksual perempuan kebanyakan terjadi di perkotaan.

Berbagai kekerasan yang terjadi pada perempuan mendorong lahirnya kebijakan yang tegas terhadap pelaku kekerasan perempuan. Kebijakan tersebut harus didukung dengan adanya pengambil kebijakan yang responsif gender. Oleh sebab itu, keterwakilan perempuan dalam lembaga seperti eksekutif maupun legislatif menjadi sangat penting.

Keterwakilan Perempuan

Affirmative action (kebijakan afirmasi)  perempuan politik menjadi agenda para aktivis perempuan. Berangkat dari minimnya keterwakilan perempuan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, mereka terus mengupayakan agar perempuan berprestasi dan berkualitas dapat duduk di lembaga-lembaga tersebut.

Salah satu kebijakan afirmasi bagi perempuan politik adalah memberikan kuota 30 persen bagi perempuan di dalam penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu), pengurus partai politik dan pencalegan yang diatur dalam Undang-undang. Dalam UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD, dan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, pasal-pasal yang mengatur keterwakilan perempuan dituliskan secara jelas dengan frasa “memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan”.

Upaya kebijakan afirmasi sejak diterapkannya pada UU Pemilu telah menghasilkan keterwakilan perempuan di DPR. Pada Pemilu 2014 lalu, keterwakilan perempuan di DPR mencapai 17,32 persen (97 orang perempuan dari 560 kursi DPR). Angka tersebut lebih kecil dibanding hasil Pemilu pada 2009, keterwakilan perempuan mencapai 18 persen (101 orang dari 560 kursi DPR). Pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan di DPR mencapai 11 persen (61 orang dari 550 kursi DPR). Sedangkan pada Pemilu 1999, keterwakilan hanya sebesar 9,6 persen (48 dari 500 kursi DPR).

Pada ranah eksekutif, Pilkada serentak yang digelar pada 2015 dan 2017 telah melahirkan beberapa kepala daerah perempuan. Sebanyak 123 calon kepala dan wakil kepala daerah perempuan yang mencalonkan diri pada Pilkada 2015 lalu, menghasilkan 35 calon yang terpilih. Bahkan terdapat daerah yang kepala dan wakil kepala daerahnya dipimpin oleh perempuan, Sri Hartini dan Sri Mulyani, yaitu Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Sedangkan pada Pilkada serentak 2017, dari 44 calon kepala dan wakil kepala daerah perempuan, terdapat 13 calon perempuan yang terpilih.

Jika dicermati, keterwalikan perempuan di DPR pasca reformasi menunjukkan tren positif. Demikian juga perempuan di lembaga eksekutif yang jumlahnya terus mengalami peningkatan. Untuk jabatan eksekutif, perempuan Indonesia tentu pernah bangga karena Presiden Indonesia pernah dijabat kaum perempuan, Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Meski menunjukkan angka kenaikan jumlah perempuan baik di legislatif dan eksekutif, tetapi kenaikan itu tidak terlalu signifikan.

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) yang tengah dibahas di DPR juga menjadi kesempatan bagi para aktivis perempuan untuk mengusulkan pasal-pasal sebagai upaya meningkatkan keterwakilan perempuan. Usulan yang terbilang cukup berani dari kelompok aktivis perempuan adalah kuota kursi di legislatif sebesar 30 persen. Artinya, jika ada 560 kursi di DPR, maka 30 persen kursi itu adalah untuk perempuan. Namun demikian, usulan ini tentu tidak mudah diterima banyak pihak.

Usulan lain yang ditawarkan kelompok aktivis perempuan adalah parpol harus menempatkan perempuan pada nomer urut pertama daftar caleg di 30 persen dari total daerah pemilihan (Dapil) seluruh Indonesia. Dengan menempatkan caleg pada nomer urut pertama, akan menjadi peluang keterpilihan caleg tersebut.

Selain menempatkan caleg perempuan di 30 persen Dapil, kelompok perempuan juga mengusulkan sistem zipper murni. Sistem ini adalah menempatkan caleg laki-laki dan perempuan secara “selang-seling”. Artinya jika nomer urut caleg pertama adalah laki-laki, maka nomer urut kedua adalah perempuan, dan begitu seterusnya. Hanya saja, model zipper murni ini harus memperhatikan kemampuan parpol dalam kaderisasi caleg perempuan. Ketersediaan “stok kader” dalam parpol menjadi persoalan tersendiri jika menerapkan sistem ini.

Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan pada Pemilu sangat bergantung pada sistem Pemilu yang akan diterapkan. Jika Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem proporsional tertutup, yaitu memilih nomer urut daftar Caleg, maka penempatan Caleg pada 30 persen jumlah Dapil akan sangat menguntungkan perempuan. Secara otomatis, sistem proporsional tertutup telah menjamin 30 persen kuota perempuan pada lembaga legislatif (DPR) jika pengaturan perempuan ditepatkan nomer urut pertama di 30 persen Dapil disetujui.

Sementara, jika Pemilu menggunakan sistem terbuka, memilih nama caleg, maka pengaturan zipper murni adalah alternatif yang paling kemungkinkan meningkatkan keterwakilan perempuan. Nomer urut pertama bagi Caleg cukup menentukan keterpilihan Caleg yang bersangkutan.

Terlepas dari pengaturan keterwakilan perempuan dalam UU, peran parpol sangat menentukan bagi lahirnya kader-kader perempuan yang berkualitas. Pendidikan politik parpol sangat penting bagi kader perempuan. Parpol harus lebih terbuka terhadap peran penting perempuan dalam politik.

Tingkatkan Kualitas

Aturan kebijakan afirmasi ini harus dimanfaatkan secara baik oleh kaum perempuan. Jangan sampai aturan yang mendukung keterwakilan perempuan tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas perempuan itu sendiri. Keberadaan perempuan pada lembaga legislatif dan eksekutif adalah untuk mendukung kebijakan kesetaraan gender. Jika perempuan tidak dibekali dengan wawasan tentang arti kesetaraan gender, maka upaya pengaturan kuota perempuan di berbagai lembaga akan menjadi “pepesan kosong”.


Belajar dari Kartini adalah kata kunci untuk meningkatkan kualitas perempuan dan keterwakilannya pada lembaga-lembaga negara seperti legislatif dan eksekutif. Kartini telah memberikan pelajaran bagi kita tentang arti kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam banyak hal seperti politik (menjadi politisi), karir, dan pendidikan.

Minggu, 16 April 2017

Teror Terhadap Novel-KPK

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Novel Baswedan bukan penyidik biasa. Ia dikenal pemberani. Mendapat tugas dari Polri menjadi penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel menyidik beberapa kasus korupsi “kakap” antara lain: korupsi Wisma Atlet; suap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mukhtar; hingga korupsi simulator SIM di Polri sendiri. Apa yang ia lakukan di KPK membuat beberapa koleganya di Polri “meradang” terutama saat Novel harus menyidik kasus yang melibatkan beberapa petinggi Polri.

Berbagai tekanan ia terima, mulai dari kriminalisasi penyidik KPK oleh Polri, hingga teror penyiraman air keras  ke wajahnya yang terjadi pada 11 April 2017 pagi hari selepas menunaikan salat subuh di masjid dekat rumahnya. Simpati untuk Novel mengalir deras dari presiden dan wakil presiden hingga seluruh masyarakat yang mendukung KPK menuntaskan kasus berbagai korupsi. Teror ini bukan yang pertama bagi Novel. Cerita teror terhadap KPK sering terjadi terutama saat terjadi penyidikan kasus tertentu.

Harian Kompas mencatat sejak 2008 sudah terjadi sebelas bentuk teror terhadap KPK, yaitu: KPK mendapat ancaman bom saat memeriksa Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tahun 2008; ancaman langsung melalui pesan singkat terhadap Antasari Azhar pada tahun 2009; penahanan pimpinan KPK Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah pada 2009; ancaman pembunuhan kepada Chandra Hamzah dan seorang penyidik KPK Ade Raharja saat menyidik kasus politisi Partai Demokrat Nazaruddin pada tahun 2011; penyidik KPK Dwi Samayo mengalami peristiwa tabrak lari yang mengakibatkan kakinya retak pada 2011; wakil ketua KPK Bambang Wiyoyanto ditangkap Polri atas dugaan kesaksian palsu di sidang MK pada 2015; ketua KPK Abraham Samad ditersangkakan Polri atas kasus pemalsuan dokumen pada 2015; adanya barang yang dicurigai bom di rumah salah satu penyidik KPK Afief Julian Miftach pada 2015; ban mobil penyidik KPK Afief Julian Miftach ditusuk dan disiram air keras pada 2015; Novel Baswedan mengalami peristiwa tabrak lari yang menyebabkan luka-luka pada 2016; dan terakhir penyiraman air keras oleh dua orang tak dikenal ke wajah Novel pada 2017.

Keberadaan KPK like dislike menjadi musuh para koruptor baik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Adanya revisi UU KPK yang sampai hari ini terus digulirkan dianggap sebagai upaya para elit politik untuk meredam dan membatasi kewenangan KPK. Diantara pasal-pasal dalam draf RUU KPK yang paling menonjol sebagai upaya membatasi KPK adalah usia KPK yang dibatasi hanya 12 (dua belas) tahun. Selain itu KPK hanya diberi kewenangan menanggani kasus yang nilai kerugian terhadap negara minimal 50 miliar. Dengan demikian, tentu ada batasan-batasan bagi KPK untuk memberantas korupsi.

Selain menjadi “momok” bagi eksekutif-legislatif, KPK juga kerap berseteru dengan lembaga penegak hukum lain, Polri. Perseteruan KPK-Polri terekam jelas dalam berbagai peristiwa politik-hukum sehingga muncul istilah Cicak VS Buaya. Istilah ini sendiri dimunculkan oleh Kabareskrim Polri saat itu (tahun 2009), Susno Djuaji. Kala itu Susno menyidik kasus Bank Century dan ia merasa teleponnya disadap oleh KPK karena diduga menerima suap dari kasus yang ia tanggani. Saat itu, ia merasa Cicak (yang diasosiasikan KPK) dianggap melawan Buaya (yang diasosiasikan Polri).

Rentetan konflik KPK dan Polri terus bergulir hampir setiap periode kepemimpinan Kapolri dan Ketua KPK yang menjabat. Konflik KPK dan Polri yang belum lama terjadi adalah ketika KPK mentersangkakan Budi Gunawan, calon Kapolri yang pada saat itu sedang menjalani proses fit and prorestest di DPR, dan dinyatakan lolos untuk dilantik presiden. Konflik semakin panjang ketika Polri memberendel para penyidiknya yang bertugas di KPK dan klimaksnya adalah penangkapan komisioner KPK, Bambang Wijayanto dan Abraham Samad. Kita berharap konflik dan perseteruan KPK dengan Polri tidak lagi terjadi. Sebagai lembaga yang punya kepentingan menegakkan hukum, seharusnya kedua lembaga ini saling bersinergi.

Peristiwa penyiraman air keras kepada Novel adalah tindakan brutal, dan tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Kita menanti hasil investigasi yang dilakukan Polri untuk mengungkap pelaku. Siapapun pelakunya, dan dalang di belakang pelaku harus dihukum seberat-beratnya.


Teror penyiraman air keras terhadap Novel memang sangat berkaitan dengan kasus yang sedang ia sidik, korupsi e-KTP. Pasalnya, kasus ini sediri sedang berjalan di KPK dan dianggap melibatkan para elit politik dari berbagai parpol. Atas kejadian yang menimpa Novel ini, KPK dan Polri seharusnya memanfaatkan momentum untuk membuktikan apakah teror Novel dan kasus yang ia tanggani berkorelasi, berkaitan dan sebuah konspirasi. Publik menanti.

Kamis, 06 April 2017

Dewan Perwakilan Daerah yang Mengecewakan

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)

Awal April 2017 di Indonesia ditandai dengan “dagelan”perebutan kekuasaan, kursi ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sidang paripurna DPD pada Senin 3 April diwarnai ribut dan terjadi chaos antar anggota Senator Senayan itu. Ribut sidang paripurna ini menjadi sorotan publik dan bahan “gunjingan akibat tingkat laku oknum senator. Harian Kompas pada 5 April menulis sebuah tajuk dengan judul “Dagelan Tidak Lucu” yang menggambarkan betapa buruknya perilaku yang dipertontongkan oleh anggota DPD yang terlibat keributan.

Ribut DPD ini sangat mengecewakan publik. Pasalnya, keributan antara anggota DPD ini hanya bermula pada silang pendapat mengenai tata tertib DPD yang mengatur masa jabatan ketua DPD. Hasilnya, Oesman Sapta Odang dipilih secara aklamasi sebagai ketua baru DPD dan dilantik oleh pejabat Mahkamah Agung (MA). Meski demikian, terpilihnya Oesman masih menjadi polemik karena pemilihan dan pelantikannya pun tidak memenuhi kuorum anggota DPD yang hadir.

Terdapat ekses buruk bagi lembaga negara lainnya atas keributan yang terjadi di DPD: ketidakpercayaan publik pada lembaga perwakilan. Keributan yang terjadi di DPD ini semakin memperburuk citra para wakil daerah. Sebelumnya, pucuk tertinggi DPD, Irman Gusman juga terjerat kasus suap gula impor. Belakangan, DPD yang mulanya dibentuk sebagai perwakilan daerah perlahan dipenuhi oleh kader-kader partai politik, termasuk Oesman yang menjabat ketua umum Partai Hanura.

Sebagai sebuah lembaga negara, DPD menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan ketiga pada 2001. Pembentukan DPD sejalan dengan agenda reformasi 1998 yang membuka ruang lebar bagi Pemerintah Daerah untuk “berkuasa penuh” atas daerahnya, desentralisasi. Diantara hak DPD adalah: mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah, dan membahas RUU tentang otonomi daerah. Sedangkan fungsi DPD, Markus Gunawan (2008: 123) mencatat sebagai berikut: “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu”.

Kewenangan yang dimiliki DPD memang tidak terlalu besar. Dalam hal pembahasan UU misalnya, DPD hanya terlibat dalam pembahasan dan memberi petimbangan tanpa mengambil keputusan. Saldi Isra dalam kolom opini harian Kompas menyebut DPD dalam “posisi yang serba tanggung dalam disain lembaga perwakilan” (Kompas 5/4/2017).

Persepsi publik terhadap lembaga perwakilan DPR, DPD hingga DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung negatif. Bisa dilihat dari berbagai survei publik. Pada 2008 lalu, Fatimah dan Mail Sukribo (2008: 28) menulis buku DPR Uncensored yang didalamnya memaparkan ketidakpuasa publik terhadap kinerja lembaga DPR. Terbaru, Global Corruption Barometer bahkan menempatkan lembaga DPR termasuk institusi terkorup pada 2016. DPR selalu menjadi “bulan-bulanan” media massa sehingga persepsi buruknya sulit dilepaskan meski ada banyak yang dilakukan DPR demi kebaikan rakyat.

Implikasi ketidakpercayaan ini bisa dilihat paling tidak dari animo publik dan partisipasinya dalam Pemilu. Tidak mengherankan jika dalam gelaran Pemilu terdapat daerah-daerah yang sepi pemilih. Ekspektasi terhadap legislator dan senator tidak berbanding lurus dengan kinerjanya saat duduk di Senayan. 


DPD harus segera menyudahi polemik kepemimpinan dalam lembaga agar publik tak tertawa diperlihatkan perilaku wakilnya. Masing-masing pihak yang berseteru dapat duduk kembali, bermusyawarah menemukan titik temu dan memecah masalah. Mereka harus menghilangkan ego dan gengsi jabatan demi kebaikan bersama. Perlu diingat bahwa rakyat melihat para wakilnya.