Selasa, 29 Maret 2016

Relawan “Menampar” Partai Politik



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, terdapat isu menarik yang menyita perhatian banyak pengamat, terutama politik. Isu tersebut bernama deparpolisasi. Singkatnya, deparpolisasi adalah gerakan menafikan peran partai politik dalam pemilihan umum, dalam konteks ini Pilgub. 

Parpol tidak bisa mengelak atas beberapa realita yang terjadi dalam beberapa tahun ke belakangan. Realita tersebut antara lain adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap parpol. Perilaku elit parpol yang jauh dari harapan publik, dinilai memberi sumbangan besar terhadap menurunnya kepercayaan terhadap parpol. 

Kasus sengketa kepengurusan parpol –seperti yang terjadi pada Partai Golkar dan PPP- membuat masyarakat “jengah”. Kegaduhan parpol kerap membuat publik bingung. Parpol yang seharusnya menjadi penyambung keinginan publik menjelma menjadi sesuatu yang “dibenci” publik. Kondisi ini sangat jauh dari idealnya sebuah parpol. 

Dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu, beberapa kader parpol harus menempuh jalur independen untuk mencalonkan diri. Dan, mereka yang mencalonkan diri dari jalur independen ternyata mendulang kemenangan, sebut saja Neni Moerniaeni (Walikota Bontang) dan Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara). Kedua pemimpin daerah ini punya basis massa dan relawan non partai yang kuat sehingga dapat memenangi Pilkada. Hasil Pilkada ini semakin menguatkan bahwa calon independen –tanpa jalur partai- punya kans untuk memenangi setiap pemilihan (baik Gubernur, Bupati dan Walikota).

Dalam konteks Pilgub Jakarta, kita bisa melihat masifnya gerakan para relawan. Calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) memiliki basis relawan yang begitu kuat. Mereka menamakan dirinya dengan “Teman Ahok”. Sebuah nama komunitas relawan yang “akrab disapa”. Di beberapa pusat keramaian (pusat perbelanjaan), relawan ini bekerja mengumpulkan KTP warga Jakarta untuk menjadi syarat pencalonan Ahok melalui jalur independen. Meski sadar mendapat tantangan dari parpol, mereka tak gentar, bahkan semakin “pede” untuk mengusung Ahok. Kandidat calon Gubernur lainnya, Adhiyaksa Dault pun demikian, pendukungnya menggalang dukungan melalui relawan “Relawan Muda Adhiyaksa” yang disingkat “Ramah”. Sama seperti Teman Ahok, relawan ini menggalang dukungan begitu masif.

Soliditas relawan sangat mungkin melebihi soliditas kader partai. Dalam waktu yang relatif singkat, para relawan baik Teman Ahok dan Ramah, mengklaim telah mengumpulkan ratusan ribu KTP warga DKI sebagai komitmen dan bentuk dukungan. Penulis mencermati situs resmi Teman Ahok, progres pengumpulan KTP begitu cepat. Jika diasumsikan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jakarta adalah delapan juta, maka dengan mengumpulkan 4 juta KTP, berarti “setengah kemenangan” telah diraih.

Satu hal yang penulis perhatikan dari fenomena kegigihan para relawan, adalah tamparan bagi parpol. Keberadaan parpol seakan dinafikan oleh publik. Mereka lebih akrab dengan komunitas relawan. Sifat parpol yang sangat “oligarkis” dan kurang transparan –terutama sumber pendanaan- membuat publik enggan bergabung dengan parpol. Berbeda dengan para relawan yang mengemas kerja mereka secara transparan yang penuh kreativitas. 

Tamparan bagi parpol ini harus disikapi serius para elit parpol. Parpol adalah alat untuk mengusung calon, baik pemimpin daerah dan bahkan Presiden. Ia merupakan instrument penting dalam demokrasi. Tetapi Undang-Undang negara juga mengatur adanya calon independen, tanpa menggunakan kendaraan partai sebagai bagian dari demokrasi. Jika parpol tidak mengimprovisasi kreatifitasnya dalam menjaring massa, masa depan parpol akan tinggal nama dan logo, ditinggal sejarah. Kini, saatnya bagi parpol untuk mengasah kreatifitas. Kemajuan teknologi (internet) dapat digunakan untuk melakukan berbagai inovasi kreatif. Patut diingat, yang kreatif bukan saja karya tangan, tetapi juga cara merebut kekuasaan.

Rabu, 09 Maret 2016

Menegaskan Komitmen Otonomi Daerah




Oleh: Ali Thaufan DS 

Salah satu –diantara banyaknya- yang menjadi tujuan reformasi tahun 1998 adalah merubah paradigma pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Tipologi sentralistik cenderung menjadikan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali. Sedangkan desentralistik, memberikan ruang bagi daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi yang dapat memberi keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi daerah.

Setelah delapan belas tahun reformasi 98 bergulis, kini pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berupaya untuk memberi “keleluasaan” bagi daerah untuk membangun daerah dan desa. Hal tersebut dituangkan dalam konsep Nawa Cita. Implementasi selanjutnya tampak dari besarnya dana transfer daerah dan dana desa pada APBN 2016, yakni sebesar 770,2 triliun. 

Selain itu, rencana pembangunan daerah juga terlihat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desain Besar Pemerintah Daerah (Desartada). Dalam RPP tersebut, pemerintah rencananya –dari 2016 hingga 2025- akan banyak melakukan pemekaran daerah atau membentuk daerah otonomi baru (DOP). Diperkirakan hingga 2015 nanti, akan ada 804 pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (terdiri dari 55 Provinsi, 607 Kabupaten dan 142 Kota). RPP tersebut diprediksi akan segara terwujud. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR RI –dalam hal ini Komisi II- telah membahas bersama.

Upaya pembentukan pemerintahan baru di daerah akan memberikan ruang bagi daerah untuk mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi yang dapat memberi keuntungan –baik secara ekonomi, politik dan sosial- bagi daerah. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah dijelaskan sebagai “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI”.

Data Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri hingga tahun 2015, mencatat sejak tahun 1999 sampai 2014 terdapat 223 Daerah Otonomi Baru (DOB). Banyaknya DOB tersebut menyiratkan pesan bahwa daerah ingin membangun diri sendiri. Seperti diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dengan melaksanakan Otda, setiap daerah memiliki hak diantaranya untuk: “mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah”. 

Namun demikian dalam pelaksanaan Otda kerap kali terjadi penyimpangan-penyimpangan. Ekses dari penyimpangan tersebut tidak hanya dipidanakannya oknum yang melakukan penyimpangan (dala hal ini berurusan dengan hukum), tetapi juga membuat terhambatnya pembangunan daerah. Berbagai permasalahan juga kerap menghambat seperti kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di daerah otonom, pelayanan publik yang jauh dari standar, lesunya minat investor untuk berinvestasi di daerah serta munculnya kekuatan politik yang mendominasi pada daerah tertentu. 

Terkait dengan penyimpangan Otda, Syamsuddin (2006) melihat bahwa Otda masih harus berhadapan dengan berbagai tantangan. Tujuan akhir dari Otda untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat direnggut oleh kepentingan sesaat kelompok tertentu. Otda kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengambil keuntungan. Pengelolaan keuangan daerah otonom juga dinilai belum maksimal. Hal ini seperti diutarakan Mendagri, Tjohjo Kumolo bahwa 58 persen daerah otonom baru tidak mampu meningkatkan PAD-nya. Mereka justru mengandalkan transfer keuangan dari pemerintah pusat. Keadaan yang demikian pada akhirnya membuat pelaksanaan Otda tersendat. Mimpi Otda yang mulanya dimaksud memberi kesejahteraan masyarakat, sirna. 
 
Selain itu menurut Siti Zuhro, kegagalan Otda terjadi akibat rendahnya kualitas pelayanan publik dan lemahnya pengawasan terhadap Otda itu sendiri. Oleh sebab itu, pengawasan dalam pelaksanaan Otda mutlak dibutuhkan. Berbagai penyimpangan Otda seperti tersebut di atas harus menjadi evaluasi para pemangku kepentingan di daerah. 

Jika mengacu pada hak-hak yang dimiliki setiap daerah yang melaksanakan Otda, seperti diamanatkan pada UU di atas, sejatinya pemerintah daerah mendapat hak yang sangat istimewa dalam mengelola daerah melalui Otda. Falsafah yang mendasari Otda adalah keadilan sosial dan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan implementasi dari Pancasila dan amanat UUD 1945 yang menjadi rujukan utama bernegara.
Menurut Smith seperti dikutip Syamsuddin (2006) mengemukakan bahwa Otda setidaknya memiliki tiga tujuan utama bagi pemerintah daerah. Pertama, mendorong partisipasi masyarakat dalam ruang politik daerah, Smith menyebutnya dengan istilah “politic equality”. Kedua, memberi perhatian lebih pada hak-hak yang seharusnya diterima masyarakat. Ketiga, “local responsiveness”, yakni memberi ruang bagi daerah untuk bertanggung jawab terhadap  penyelesaian persoalan yang ada di daerah. Dari uraian di atas terlihat bahwa konsep Otda adalah memberikan ruang terbuka bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi membangun bangsa melalui daerah masing-masing.

Selain memiliki tujuan utama bagi pemerintah daerah, Otda juga memberikan manfaat bagi pemerintah pusat. Melalui Otda, pemerintah pusat dapat terlepas dari berbagai persoalan daerah karena pemerintah daerah turut dalam penyelesaian persoalan tersebut. Otda dapat memberikan kesempatan bagi pusat untuk turut memikirkan persoalan yang lebih besar, berskala global.

Desartada yang menjadi rencana besar pemerintah dalam menata daerah menjadi kesempatan setiap daerah untuk lebih mengembangkan potensi daerah melalui Otda. Namun patut menjadi catatan pula bahwa pemekaran daerah atau pembentukan DOB bukan “asal” mendorong lahirnya daerah baru. Sekiranya perlu dipertimbangkan keuangan, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang akan “menghidupi” daerah terkait. 

Spirit Otda adalah menyejahterakan masyarakat lokal daerah. Khusus di bidang ekonomi, Otda dimaksudkan memberi ruang bagi daerah untuk dapat mengelola hasil kekayaan daerah dan mengoptimalkannya. Tentu saja hal ini dimaksud demi tercapainya kesejahteraan daerah. Kesejahteraan yang ada di daerah-daerah tersebut akan menjadi kesejahteraan bersama bagi Indonesia. 

*) Harian Suara Karya, Jumat 4 Maret 2016