Selasa, 31 Desember 2013

Membaca Indonesia 2013 (Sebuah Catatan Politik Refleksi Akhir Tahun

Oleh: Ali Thaufan DS

Dalam catatan harian penulis, ada banyak peristiwa penting yang terjadi di tahun 2013. Pada berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi dan hukum. Keempatnya sangat bertautan satu sama lain. Kejadian demi kejadian selalu dikaitkan dengan satu bidang yang cukup “seksi”, politik. sebuah misal, kesenjangan sosial sebagai ekses dari kerakusan elit politik negara ini; pengambilan kebijakan seperti naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sangat erat dengan situasi politik –seperti tercermin dalam sidang paripurna DPR; serta penetapan hukum bagi terduga tersangka korupsi juga dianggap berkaitan dengan politik nasional. Wajar jika setiap insan menaruh sinis pada “politik”. Segala peristiwa yang terjadi di negara ini kerap dijawab dengan satu kata, politik. Tetapi yang demikian tidak pada terjadinya sebuah bencana alam, karena hal tersebut merupakan kuasa Tuhan.

Dalam tulisan singkat ini, penulis berusaha secara ekplisit untuk menyoroti berbagai peristiwa dan persoalan politik. Beberapa peristiwa tersebut adalah: peristiwa politik-hukum yang menimpa Anas Urbaningrum; hasil berbagai lembaga survei yang menempatkan nama Joko Widodo diurutan pertama; kemelut internal partai Golkar dalam menghadapi Pemilu Presiden; dan kegagalan partai politik di era reformasi

Peristiwa pertama coba penulis ulas adalah penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi. Penetapan status tersangka Anas Urbaningrum kala itu menjadi topik menarik dalam berbagai pemberitaan media. Keterlibatan Anas dalam dugaan korupsi membuat beberapa petinggi partai Demokrat “gerah”. Mereka kemudian menawarkan opsi-opsi agar Anas mengundurkan diri, karena pada saat itu ia masih menjabat sebagai ketua umum partai. Kegerahan beberapa petinggi secara gamblang disampaikan terlebih saat melihat elektabilitas partai yang terus merosot. Anas tetap pada keyakinan bahwa kemerosotan elektabilitas partai bukan disebabkan oleh kasusnya. Tetapi lebih dari itu, ia menganggap bahwa lemahnya kinerja pemerintah SBY sebagai rumus utama kemerosotan elektabilitas partai. Maklum saja, kabinet SBY diisi oleh kader partai Demokrat dan beberapa partai koalisi.

Kegigihan Anas sebagai ketua umum partai Demokrat mendapat tantangan dari para petinggi partai yang berada di garis SBY. Lalu, muncul istilah “Dinasti Cikeas”. Sebuah dinasti besar yang ingin merebut kursi ketua umum partai yang diduduki Anas. Setelah lama dalam kemelut dan ketidakpastian hukum, Anas pun mendapatkan “gelar”, tersangka KPK. Penetapan Anas sebagai tersangka seperti dirancang sangat sistematis. Hal ini bisa dilihat dari penyataan SBY saat masih di pesawat dari tanah suci yang meninta KPK segera memberi kejelasan status. Selain itu, penjeblosan Luthfi Hasan Ishaq sebagai tersangka KPK juga bisa dipahami sebagai rentetan dari upaya “orang kuat” yang ingin mengiring Anas ke KPK. Bagaimana bisa, menurut penulis penangkapan LHI sekaligus penetapannya sebagai tersangka secara langsung akan memberikan dorongan kepada KPK bahwa ketua partai bukanlah orang yang kebal hukum. Karenanya, hal tersebut juga berlaku dalam menetapkan Anas. Masih banyak lagi agenda “orang kuat” yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai bagian rentetan pembunuhan karakter Anas.

Pasca penetapannya, Anas seperti tak tinggal dia. Beberapa pengamat membaca langkah-langkah Anas. Sehari pasca penetapan sebagai tersangka, ia pun berhenti sebagai ketua umum partai Demokrat. Berhentinya Anas dari jabatan ketua umum tak membuatnya lantas menghilang. Beberapa elit politik lintas partai dan tokoh-tokoh nasional berdatangan membesuk Anas di rumahnya. Eksistensinya sebagai aktor politik tetap mendapat pengakuan. Ia sempat menghadiri acara kampanye calon kepala daerah di Padang; muncul dalam beberapa kesempatan diskusi publik; dan puncaknya, ia mendeklarasikan organisasi masyarakat Perhimpunan pergerakan Indonesia (PPI). Saat ini, dengan PPI-nya, Anas lebih dikenal khalayak ramai. Sebagaian pengamat menilai Anas akan melakukan perlawanan kepada SBY-Demokrat dengan organisasi tersebut. Langkah Anas di tahun mendatang masih menjadi teka-teki. Apa yang akan ia lakukan bersama PPI.

Peristiwa politik 2013 lainnya adalah fenomena kepemimpinan Joko Widodo atau yang akrab dengan panggilan Jokowi. Kehadirannya dari sebagai Gubernur DKI Jakarta tersebut menyita perhatian banyak pihak. Media cetak dan elektronik tak pernah luput memberitaknnya. Gaya blusukan sebagai jurus ampunya dalam menjalankan tugas sebagai orang nomor 1 Jakarta membuat banyak orang terpukau. Gaya sederhana, sedikit bertutur kata, tegas bertindak  dan merakyat menjadi topik menarik dalam berbagai perbincangan.

Langkah real yang dilakukannya sebagai gubernur, membuat banyak calon presiden yang berupaya mendekatinya. Dalam berbagai survei nama Jokowi bahkan unggul diantara capres lainnya yang telah mendeklarasikan diri, sebut saja Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto dan Wiranto. Banyak pengamat yang menyoroti sedikit keberhasilan Jokowi sebagai gubernur Jakarta. Mereka pulalah yang akhirnya menawarkan bahwa Jokowi adalah pemimpin ideal untuk Indonesia. Atau, dengan kata lain, Jokowi adalah capres 2014 yang paling potensial. Jelas, fenomena Jokowi telah mencuri pemerhati politik negeri ini. Meski demikian, ia tak luput dari kritikan dan bahkan “hantaman” lawan-lawan politiknya. Beberapa politisi partai lain tak henti-henti “menjatuhkan” Jokowi. Tetapi ironis. Karena mereka –penghujat Jokowi- justru mendapat hantaman palu godam masyarakat seraca luas. Sebut saja nama seperti: Ruhut Sitompul, Nurhayati assegaf dan Ramadhan Pohan. Ketiganya pernah melontarkan kritik pedas terhadap Jokowi. Alih-alih mendapat jawaban dari Jokowi, ia justru mendapat hujatan dari banyak masyarakat.

Dinamika dan kemelut politik di internal partai Golkar juga menjadi catatan penting penulis. Alasannya, penulis yakin bahwa Golkar adalah partai besar dan berpengalaman. Karenanya, penting untuk mendapat perhatian dan digalih pengalaman-pengalamannya tersebut. Kemelut dalam internal Golkar tentu saja diterjadi dua atau tiga tahun kemarin. Tetapi, jauh sebelumnya, kemelut internal Golkar telah dan bahkan sering terjadi. Politisi Golkar dikenal “kebal” dan tahan banting. Namun, yang menjadi sorotan dalam catatan penulis adalah kemelut pencapresan ketua umum parta Golkar, Aburizal Bakrie (ical), sebagai capres Golkar.

Sejak ditetapkan sebagai capres pada 2012 lalu, Golkar bukan lebih solid. Keretakan para petinggi justru terjadi. Silang pendapat antara Ical dan Akbar Tanjung yang menjabat sebagai ketua dewan pertimbangan sering terjadi. Beberapa pernyataan Akbar mengarah pada evaluasi pencapresan Ical. Alasan Akbar cukup sederhana, ia melihat elektabilitas Ical yang stagnan dan penetapannya sebagai capres yang minim dukungan pengurus Golkar daerah. Ditengah badai yang dihadapi Ical, ia tetap teguh bahwa dia lah capres yang sah dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Pengusik Ical tidak hanya hadir dari faktor  internal Golkar, tetapi juga dari faktor-faktor eksternal. Beberapa kasus yang sembat melilitnya menjadi ganjalan utama Ical dalam pencapresannya. Sebut saja kasus lumpur Lapindo yang begitu erat dengan nama Ical. Kasus yang terus membayangi bak hantu bagi Ical. Sebagai bos sebuah stasiun televisi ternyata bukan menjamin kenaikkan elektabilitasnya. Ia bisa memanfaatkan media kepunyaannya sebagai alat pencitraan. Tatapi pada saat bersamaan, ia juga dijatuhkan oleh berbagai media lawan politiknya. Sungguh berat buat Ical.

Peristiwa terakhir yang menjadi sorotan dalam catatan penulis adalah ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik. Sesungguhnya, partai politk adalah elemen penting dalam menciptakan tatanan demokrasi yang baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi hal ini tidak berlaku di Indonesia. Prilaku tidak senonoh justru ditunjukkan oleh kader politik. Beberapa kader partai politik yang menduduki jabatan pemerintah terlibat dalam berbagai kasus korupsi.

Dagelan memalukan juga kerap ditunjukkan oleh wakil rakyat yang juga kader partai politik di kursi dewan. Dalam setiap pengambilan keputusan selalu terselip kepentingan kolompoknya. Tidak menunjukkan sikap kesatria yang berpihak pada kepentingan rakyatnya. Debat-debat usang mereka –anggota dewan- tunjukkan sebagai warna-warni dinamika politik Indonesia. Atas nama kebebasan, mereka merebut kebebasan rakyat. Rakyat dibuatnya miskin. Rakyat akhirnya hanya emmoh (tak doyan) dengan partai politik, apatis.

Rakyat dibutakan dengan reformasi yang akhirnya membawa Indonesia pada ketidakpastian. Ketidakpastian menuju masyarakat adil dan makmur. Era reformasi ini telah jelas membawa seluruh rakyat Indonesia pada keterpurukan yang paling klimaks. Meninjam istilah Emha Ainun Nadjib, era reformasi telah mengantarkan rakyat Indonesia untuk menikmati tai. Karena terlalu menikmatinya, ia lupa bahwa tai yang dimakan. Demikianlah gambaran reformasi Indonesia yang semakin tak jelas. Reformasi Indonesia hanya bernilai tai lunthung (tai ayam yang masih hangat).

Demikian sedikit catatan penulis atas pembacaan fenomena politik Indonesia 2013. Tentu sangat jauh dari sebuah catatan yang purna. Well, penulis berharap akan ada pemimpin yang lebih baik dari hari kemarin. Pemimpin yang dengan benar menjalankan amanah konstitusi negara Indonesia. Sehingga cita-cita Jayabaya dalam ramalannya tentang Nusantara segera dapat terwujud.


Bogor, 31 Desember 2013.

Minggu, 29 Desember 2013

Pemilu 2014, Perang Antara “Muka Lama” dan “Muka Baru” (Refleksi Akhir Tahun 2013 Menuju 2014)

Oleh: Ali Thaufan DS

Semakin mendekatnya gelaran pemilu legislatif dan presiden, media menyibukkan diri dengan bahasan, analisa hingga iklan terkait pemilu. Berita seputar pemilu menjadi rubrik tersendiri dalam beberapa media baik cetak dan elektronik. Ya, tidak ada yang salah. Media menjadi motor pemberitaan seputar pemilu. Kalaupun media dianggap terkooptasi kepentingan politik, yang terpenting adalah informasi suguhan media. Publik dapat mencerna dan menerimanya.

Salah satu yang menjadi bahasan menarik pemberitaan media adalah wacana calon presiden lama “muka lama” dan calon presiden muda “muka baru”. Singkatnya, capres lama adalah para kontestan capres pada pemilu 2009 atau tokoh nasional lama. Sedangkan capres muda adalah orang-orang yang secara kualitas sudah teruji, dan belum pernah mewarnai pemilu presiden 2009 lalu. Sebagian pengamat politik yang mendukung munculnya capres muda juga “mendefinisikan” bahwa pemimpin daerah yang berprestasi dianggap mampu untuk menjadi pemimpin Indonesia. Diskursus ini muncul karena capres lama dianggap tidak mampu menjawab problematika Indonesia.

Namun, tak seperti semudah membalikkan telapak tangan, capres muda akan mendapat banyak tantangan dan hambatan. Hambatan utama bisa datang dari tradisi partai politik yang terlalu “kaku”. Dalam tradisi partai politik Indonesia, seorang ketua umum partai dapat dinyatakan memegang “tiket nyapres” dari partai. Mengingat salah satu syarat mencalonkan presiden adalah diusung oleh partai politik. Capres muda akan mendapat “diskriminasi politik” dari muka-muka lama. Ia akan terus dikebiri dengan isu-isu kurang pengalaman serta tidak mempunyai hubungan diplomatis dengan luar negeri. Sekedar catatan, siapapun calon presiden Indonesia, ia harus punya restu dari negara tetangga atau bahkan negara adikuasa. Fakta tersebut di atas dapat dilihat dalam konteks perpolitikan Indonesia saat ini.

Kebosanan sebagian pihak atas munculnya capres muka lama kini mendapat jawaban dan dukungan. Dukungan tersebut datang dari berbagai survei yang menginginkan munculnya capres baru. Tentu saja, survei-survei yang menawarkan capres baru akan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat akan kebutuhan pemimpin baru dan muda. Survei terbaru dirilis oleh Lembaga Psikologi Universitas Indonesia, yang menyatakan penolakan terhadap capres muka lama. Nama-nama capres yang tertolak seperti: Prabowo Subianto, Megawati, Aburizal Bakrie, Wiranto dan juga Rhoma Irama.

Penayangan di televisi atas prestasi dan kinerja pemimpin daerah dirasa penting. Terlepas dari anggapan pencitraan, tetapi temuan itu bisa dijadikan fakta lapangan. Prestasi mereka juga dapat membuka mata masyarakat, bahwa Indonesia punya banyak pemimpin berkualitas dari daerah. Dengan demikian, pemilih diarahkan pada pilihan objektif atas pemimpin berprestasi, bukan pemimpin berstatus ketua partai. Beberapa mana baru yang disodorkan oleh Lembaga Psikologi Universitas Indonesia sebagai capres muda adalah: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini dan Anies Baswedan. Nama-nama tersebut punya segudang prestasi dibidang yang digeluti masing-masing


Trend pemilu 2014 medatang adalah perang antara “muka lama” dan “muka baru”. Kenyataan tersebut sulit dilenyapkan. Muka lama merasa berpengalaman dan paling bisa, sehingga tak memberi kesempatan pada muka baru. Hal ini dapat dilihat bahwa calon anggota legislatif pada pemilu 2014, 80 persen adalah anggota legislatif sekarang. Begitu pula para kandidat capres yang muncul, rata-rata mereka muka lama dan ketua/petinggi partai politik. Sepatutnya partai politik harus lebih jeli dalam penetapan capres. Salah satunya adalah mendengarkan aspirasi masyarakat dalam penentuannya. Bukan sekedar perhitungan sebagai ketua umum partai saja dalam penetapan capres. Masyarakat berharap pada pemilu 2014 akan melahirkan pemimpin baru yang memberikan langkah kongkrit dalam penyelesaian problem bangsa.

Nurcholish Madjid, Eksponen dan Inspirator Kader HMI Ciputat (Sebuah Catatan Kader)

Oleh: Ali Thaufan DS

Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur adalah salah satu sosok kader HMI yang namanya pernah melejit dengan gagasan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Karir di HMI ia mulai sejak studi di IAIN Jakarta (sekarang UIN Ciputat). Namanya pun tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat dan PB HMI. Setelah menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago. Dengan konsen di bidang Ilmu Politik dan Filsafat Islam.

Sebagai tokoh pembaharu, Cak Nur tidak lepas dari berbagai kritik dan apresiasi atas gagasannya. Ia selalu terbuka dalam menerima kritik. Hal ini yang menyebabkan pemikirannya terus berkembang. Gagasanya dikenal identik dengan Islam, kemodernan dan keindonesiaan.

Dalam konteks HMI Ciputat, ia pun menjadi inspirator bagi kader. Banyak kajian-kajian yang membahas seputar pemikirannya. Sehingga, mesti secara lahir ia telah meninggal, tetapi pikirannya masih hidup dan dirasakan. Tentu saja sebagai tokoh, ia pun menjadi panutan bagi generasi sesudahnya. Banyak kader yang secara pemikiran sepertinya, selakipun tidak seutuhnya.

Cak Nur yang Kontroversi
Pada 3 Januari 1970, cak nur menyampaikan pidato yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integritas Umat” dalam sebuah acara silaturrahmi organisasi kepemudaan. Isi makalah yang ia sampaikan saat pidato tersebut kemudian mengundang pro dan kontra. Makalah tersebut sengaja ia buat untuk menyampaikan kritiknya kepada umat Islam Indonesia. Menurut penuturan Marwan Sarijdo saat ditanya oleh cak Nur mengenai isi makalah tersebut, Marwan menjawab bahwa kritik yang diberikan oleh Cak Nur cukup “pedas”. Cak nur sengaja memberikan kritikan “pedas” karena ia menganggap bahwa forum dimana ia menyampaikan pidato adalah forum internal. Maka cak nur dapat dengan leluasa memberi dan menyampaikan kritiknya.[1]

Dari makalah yang disampaikan Cak Nur, penulis menggulas mengenai masalah liberalisasi dan sekularisasi. Pengertian liberalisasi yang dimaksudnya ialah proses dimana seseorang melepaskan dari dari nilai-nilai tradisional lama dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Mengenai sekularisasi, Cak Nur tidak bermaksud menyamakannya dengan penerapan sekularisme. Sekularisasi yang ia maksud adalah menduniawikan hal-hal yang bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawiakannya.[2]

Pada saat yang sama –dalam makalah pidato tersebut- ia juga melontarkan statement yang menghebohkan, “Islam Yes, Partai Islam No!”. Pernyataan tersebut didasarkan pada jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus bertambah, namun tidak dibarengi dengan ketertarikan mereka dalam organisasi/partai Islam sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.

Seketika saja setelah pidato tersebut, respon dari berbagai kalangan, terutama cendekiawan Muslim mengemuka. Berbagai reaksi emesional bermunculan atas ide Cak Nur. Menurut Budhy Munawar, lebih dari seratus artikel di surat kabar yang memberi respon terhadap munculnya istilah baru, sekularisasi. Cak Nur kemudian dianggap sekuler, barat oriented, antek Yahudi dan lain-lain.[3]

Kalangan yang kontra dengan ide Cak Nur kemudian memberikan bantahan untuk mengoreksi dan meluruskan pikiran Cak Nur. Antara lain H.M. Rasjidi, melalui buku yang berjudul “Koreksi Terhadap Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi” dan Endang Saifuddin dengan buku yang berjudul “Kritik Atas Faham dan Gerakan ‘Pembaharuan’ Drs. Nurcholish Madjid”. M. Natsir (mantan ketua Masyumi) juga memberikan tanggapan, meskipun tidak secara tertulis. Natsir agaknya ketakutan jika gagasan yang di usung Cak Nur tersebut dikonsumsi oleh generasi muda yang belum banyak belajar Islam, maka akan timbul kesan meremehkan pada mereka.[4]

Terhadap ide dan gagasan Cak Nur di atas, AM. Fatwa juga berkomentar ketika ditanya langsung oleh Cak Nur. “Sejatinya saya tidak mau terlibat, mungkin karena saya selalu berpikir politik praktis dengan manfaat dan mudharatnya pada saat itu. Materinya saya paham untuk kemajuan berpikir. Tetapi bagi saya istilah ‘Sekularisme Islam’ dapat menimbulkan salah paham yang berakibat merusak persatuan umat”. Demikian ungkap AM. Fatwa.[5]

Gagasan cak nur di atas –mengenai Liberalisasi dan Sekularisasi-  juga mengundang reaksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kemudian mengharamkannya pada 2005. Fatwa MUI tentang “SIPILIS” (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), adalah sebagai berikut: pertama, Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud adalah faham yang bertentangan dengan agama Islam. Kedua, umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme. Ketiga, dalam masalah aqidah dan ibadah umat Islam wajib eksklusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan umat agama yang lain.

Menurut MUI, apa yang disebut Liberalisme adalah memahami nash-nash agama –al-Qur’an dan Hadis- menggunakan akal pikiran yang bebas, hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal semata. Sedangkan Sekularisme adalah memisahkan urusan duniawi dari urusan agama. Agama hanya digunakan mengatur hubungan pribadi dengan tuhan, sedangkan hubungan dengan sesama diatur berdasarkan kesepakatan sosial.[6]

Lontaran kritik memang tidak henti-hentinya ditujukan kepada Cak Nur setelah mengusung ide-ide di atas. Sebut saja Adian Husaini, selain mengkritik, aktivis INSIST tersebut juga “mencela” Cak Nur. Bahkan, ia juga merasakan kegembiraan saat mendengar berita meninggalnya Cak Nur. Selain itu, para tokoh yang dianggapnya sebagai “pengikut” Cak Nur tak luput dari kritiknya. Ia juga menyayangkan ucapan duka cita yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena menurutnya itu sangat berlebihan.[7]

Tampak jelas berbeda, bahwa apa yang dimaksud Sekularisme dan Liberalisme oleh Cak Nur dengan pengertian keduanya menurut MUI atau orang yang mengkritiknya. Pengharaman MUI terhadap paham tersebut kemudian mengundang pro-kontra dikalangan cendekiawan Muslim. Buku “Kala Fatwa Jadi Penjara” yang ditulis oleh beberapa kalangan pembaharu Muslim di Indonesia merupakan respon atas fatwa pengharaman MUI terhadap paham SIPILIS.[8] Husein Muhammad, pendiri Fahmina Institute, mengatakan bahwa fatwa tersebut bagaikan penjara dan petaka bagi manusia cerdas.[9]

Membaca pikiran Cak Nur memang bukan perkara mudah, terutama mengenai ide-ide yang kontroversial dan menimbulkan reaksi keras masyarakat. Zainun Kamal pernah menyatakan bahwa ada kesenjangan intelektual, kesenjagan literature bacaan dan perbedaan aspek keilmuan. Mayoritas Muslim di Indonesia telah terkoptasi oleh paham Teologi Asy’ariyah dan Fikih Syafi’iyah. Sehingga Islam dirasa sangat sempit jika dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Sementara Cak Nur menampilkan Islam dengan sangat luas, yakni dengan menampilkan bidang studi Tasawuf, Kalam, Kemodernan, social-politik dan lain sebagainya.[10] Penulis menginferensikan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi, seringkali dipicu perbedaan pembacaan bidang ilmu tertentu. Hal tersebut terjadi atas pemikiran Cak Nur.

HMI Cabang Ciputat Menanti Next Cak Nur
Nama Cak Nur tampaknya terlalu sulit dipisahkan dari HMI Cabang Ciputat dan juga UIN Jakarta. Setelah menamatkan pendidikan di Pondok Gontor ia meneruskan mengembaraan intelektual ke IAIN Jakarta Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab. Di kampus inilah ia mengembangkan karirnya dan melibatkan diri dalam wadah organisasi pengkaderan, HMI. Awalnya, ia memang tidak terlalu aktif dalam organisasi. Bahkan menurut AM. Fatwa, Cak Nur dulunya terkenal pendiam akan tetapi ia seorang yang kutu buku. Lantaran kejeniusannya, ia kemudian muncul sebagai sosok dan ikon intelektual.[11] Setelah menyelesaikan studi di IAIN, ia melanjutkan ke Universitas Chichago mendalami Ilmu Politik dan Filsafat Islam.

Pada 29 Agustus 2005, Cak Nur meninggal dunia. Tentu tidak hanya HMI, bangsa Indonesia pun turut berduka atas kepergian sang guru bangsa. Kepergiannya meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam, terutama bagi para cendekiawan muslim yang menggeluti pemikirannya. Barangkali tidak sedikit orang yang ingin berdiskusi dengan Cak Nur untuk sekedar bertanya secara langsung terhadap ide-ide pembaharuannya, namun kesempatan tersebut tidak didapat.

Terlepas dari suka atau tidak terhadap pemikiran Cak Nur, kader-kader HMI saat ini masih melihatnya sebagai sosok figur tiada duanya. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam Latihan Kader yang tidak lain adalah karangan atau tulisan Cak Nur. Selain itu, penulis masih banyak mendapati beberapa forum diskusi di Ciputat dan beberapa forum lainnya yang mengkritisi sekaligus mengapresiasi pemikiran-pemikiran Cak Nur.

Kebesaran nama Cak Nur sebagai ikon intelektual tampaknya menyeret eksistensi HMI Cabang Ciputat dimata cabang-cabang yang lain. Ditambah lagi beberapa nama tokoh dan cendekiawan yang sering menghiasi layar kaca terlahir dari HMI Cabang Ciputat.[12] Pengakuan inilah yang membuat semakin berat memikul identitas sebagai kader Ciputat. Kader HMI Ciputat seakan berbalut pakaian kebesaran pendahulu mereka.

Disisi lain fakta menunjukkan bahwa dinamika aktivitas pengkaderan di HMI Ciputat sendiri mengalami penurunan. Memang, HMI Cabang Ciputat menjadikan komisariat-komisariat yang terdapat di fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai mitra bagi berlangsungnya proses pengkaderan. Akan tetapi proses pengkaderan tersebut belum mampu berjalan secara maksimal. Secara kuantitas, kader HMI semakin bertambah karena posisi strategis yang berada di lingkungan kampus, namun tidak demikian dengan kualitas kader.

Menurut Djoko Susilo sebagaimana dikutip Eko Arisandi, faktor yang  menyebabkan kemunduran aktivis HMI antara lain adalah, pertama, bahwa kader HMI kurang peka terhadap isu-isu nasional. Kedua, HMI tidak dapat memaksimalkan proses latihan kader sebagai sarana penempaan intelektual.[13] Tampaknya faktor tersebut dapat dibenarkan, meski tidak seutuhnya. Dalam konteks HMI Cabang Ciputat sendiri, khususnya saat ini terlihat kurang peka dengan isu-isu nasional, bahkan kampus sekalipun. Tentu saja ini sangat disayangkan karena dilihat dari letak geografis, HMI Cabang Ciputat bertetangga dengan kampus UIN dan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.

Perihal persoalan proses pengkaderan, Ciputat sesungguhnya telah memikili tradisi tersendiri yang dirasa cukup berhasil dan berbeda dengan cabang-cabang lainnya. Namun, saat ini HMI Cabang Ciputat harus berhadapan dengan pola pikir dan trend mahasiswa era sekarang, khususnya di UIN Jakarta. HMI dirasa kurang “Seksi” depan mata sebagian mahasiswa. Citra HMI antara positif-negatif. Sehingga interest mahasiswa pun berkurang. Ditambah lagi kondisi internal yang berada dalam keterpurukan.

Apakah HMI Cabang Ciputat harus tidur selama tiga abad –layaknya kisah Ashab al-Kahfi- lalu kemudian bangun dengan melihat segenap perubahan? Apakah membutuhkan waktu selama itu?. Sudah saatnya kita kembali melihat, membaca dan memikirkan sejarah indah Ciputat. Sejarah menyatakan bahwa Ciputat telah melahirkan kader-kader yang tidak diragukan lagi kapasitasnya. Setidaknya hal ini yang menjadi inspirasi bagi kader era sekarang guna melanjutkan generasi sebelumnya.



[1] Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 23
[2] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), h. 228-229
[3] Budhy Munawar Rahman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2008), h. 23.
[4] Marwan Saridjo, Cak Nur: di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, h. 30
[5] AM. Fatwa, Cacatan Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, (Ciputat: UIN Jakarta Press), h. 10
[6] Adian Husaini, Nurcholish Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005), h. 98
[7] Adian Husaini, Nurcholish Madjid, Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, h. 45
[8] Buku tersebut ditulis antara lain oleh: Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafi’I Ma’arif, Mustofa Bisri, Djohan Efendi, Dawam Raharjo dll.
[9] Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Mizan, 2011), h. 63
[10] Pemikiran Cak Nur di Mata Cendekiawan, Harian Merdeka 06 Juli 1997, h. 4
[11] AM. Fatwa, Cacatan Awal Berdirinya dan Dinamika Aktivitas HMI Cabang Ciputat, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, h. 8
[12] Sederet nama seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bahtiar Efendy, Burhanuddin Muhtadi, Saiful Mujani dll kerap menjadi narasumber di berbagai acara di televisi.
[13] Eko Arisandi, Setengah Abad HMI Cabang Ciputat Langkah Awal Kader Ciputat Merekam Jejak, dalam Membingkai Perkaderan Intelektual: Setengah Abad HMI Cabang Ciputat, h. 279

Senin, 23 Desember 2013

Prospek Bisnis Pertambangan Batu Bara di Wilayah Sumatera (Sebuah Deskripsi Singkat)

Oleh: Ali Topan DS

Batu bara adalah salah satu kekayaan alam yang sangat banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Diantara manfaatnya adalah sebagai pengganti bahan bakar minyak; bahan baku pembuatan baja/besi; bahan bakar pembangkit listrik dan lain-lain. Bahkan komponen dari batu bara pun juga berguna sebagai bahan dasar pembuatan barang (seperti: zat pelarut, zat pewarna, sabun, dan plastik).

Di Indonesia, kebutuhan manusia akan batu bara semakin mendesak. Hal ini membuat peluang bisnis pertambangan batu bara sangat menjanjikan. Kualitas batu bara di Indonesia yang sangat baik membuat pasar internasional juga melirik bisnis ini. Bisnis pertambangan batu bara memberikan aset sangat besar bagi perusahaan pengelolah kuasa pertambangan (pemilik).

Kekayaan tambang batu bara banyak tersebar di beberapa pulau di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Di wilayah Sumatera, banyak sekali aktivitas perusahaan tambang yang telah beroperasi. Kekayaan tambang batu bara yang sangat menjanjikan di Sumatera antara lain terdapat di Sawahlunto Sumatera Barat, Tanjung Enim Sumatera Selatan dan Rokan Hulu Riau.

Secara umum, salah satu yang menjadi kendala para pelaku bisnis pertambangan batu bara adalah keterbatasan dana pemilik usaha tambang. Guna menjaga kelangsungan bisnisnya, mereka kerap menggandeng mitra usaha tambang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka beranggapan bahwa mencari mitra kerja dimaksudkan untuk terus melakukan improvisasi pada bisnis ini. Hal ini tentu merupakan kesempatan bagi para pemilik modal (baik dalam maupun luar negeri) untuk turut dalam pengembangan usaha dibidang pertambangan.

Bagi seorang investor yang akan menjalankan bisnis tambang batubara, keberadaan dan aktivitas pertambangan sangat penting untuk diketahui dan dipelajari. Hal ini akan menjadi stimulus bagi pemilik modal agar bersedia membangun bisnis tambang batu bara atau menjadi mitra bagi perusahaan yang telah ada. Melakukan pertimbangan secara matang bagi investor mutlak dilakukan. Sehingga langkah dalam menjalankan bisnis tidak salah sehingga berjalan dengan baik.

Secara umum, bisnis pertambangan batu bara sangat berkaitan dengan lingkungan dimana aktivitas tambang tersebut dilakukan. Beberapa aspek yang patut diketahui dan menjadi pertimbangan bagi calon investor adalah: aspek ekonomi dan sosial-politik. Jika disimpulkan, masalah yang muncul pada dua aspek diatas sangat beragam dan kompleks.

Ditinjau dari aspek ekonomi, pada umumnya lokasi pertambangan kerap berada diwilayah yang pendapatan ekonomi penduduknya masih dibawah rata-rata (rendah). Pembukaan industri pertambangan tentu akan berdampak pada ekonomi masyarakat sekitarnya. Selain itu, perusahaan tambang disuatu daerah juga akan mendorong meningkatan pendapatan daerah. Karenannya, pembukaan industri pertambangan di wilayah Sawahlunto Sumatera Barat, Tanjung Enim Sumatera Selatan dan Rokan Hulu Riau akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pemerintah setempat.

Tinjauan aspek sosial-politik menunjukkan bahwa kegiatan perusahaan tambang disuatu wilayah kerap menimbulkan pro-kontra dengan masyarakat setempat. Masalah yang dapat diindentifikasi meliputi: sengketa kekuasaan tanah ulayat (tanah adat); pencemaran limbah tambang terhadap masyarakat; Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sering “mengancam” perusahaan dan lain-lain. Kasus seperti ini kerap mendera perusahaan yang berada di Pulau Sumatra dan pulau lainnya.

Berikut ini akan dipaparkan gambaran singkat kegiatan tambang batu bara yang berada di wilayah Sawahlunto-Sumatera Barat, Tanjung Enim-Sumatera Selatan dan Rokan Hulu-Riau.
Pertama: Kegiatan tambang batu bara diwilayah Sawahlunto Sumatera Barat telah berlangsung sejak 1876. Sejak saat itu banyak investor Belanda yang berinvestasi demi meraup keuntungan dari bisnis tersebut. Mereka membangun infrastruktur demi kelancaran penganggutan hasil tambang. Saat ini, aktivitas tambang batu bara di Sawalunto tetap beroperasi. Pada tahun 2011, lahan tambang mencapai 2.950 hektar. Tambang tersebut dikuasai oleh PT. Bukit Asam Tbk dan PT Time Surya Energy.[1]

Kedua: Kegiatan tambang batubara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman kolonial Belanda, tahun 1919. Penambangan dilakukan secara bertahap, yakni tambang terbuka; tambang bawah tanah pada 1923-1940; serta tambang untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, para pekerja menuntut nasionalisasi perusahaan tersebut. Pada 1950, permerintah saat itu pun mengesahkan tambang tersebut sebagai Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA).

PN. TABA berubah status menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk Pada 1981. Demi pengembangan ketahanan energi nasional, maka pada tahun 1993 pemerintah mendorong pengembangan usaha tambang briket batubara. Sejak 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode “PTBA”.[2]

Ketiga: Menurut Kepada Dinas Tambang dan Energi (Distamben) Kabupaten Rokan Hulu, potensi tambang batubara di Rokan Hulu sangat baik. Pada awal tahun 2013, terdapat empat perusahaan yang melirik untuk melakukan kegiatan tambang batubara. Emapat perusahaan tersebut adalah: PT Budi Indah Mulia Coal yang menggarap 686 hektar dan, PT Multi Kreasi Jaya Perdana juga sudah kantongi izin ekplorasi dengan luas cakupan sekitar 4.303 hektar, PT Riau Multi Investama sendiri sudah produksi di lokasi 197 hektar dan PT Tata Nugraha Bina Manidiri sudah kantongi izin ekplorasi dengan luas cakupan mencapai 4.991 hektar.[3] Data Distamben juga mencatat bahwa sekitar 10.177 hektar areal di Kecamatan Rokan IV Koto berpotensi sebagai tambang biji batubara.[4] Akan tetapi, keberandaan tambang batubara di Rokan Hulu bukan tanpa hambatan. Hambatan yang paling besar adalah infrastruktur yang belum memadai.[5] Artinya, keberadaan industri tambang harus dibarengi dengan kualitas infrastruktur yang memadai.

Paparan mengenai kegiatan tambang di tiga wilayah di Sumatera (Sawahlunto-Sumatera Barat, Tanjung Enim-Sumatera Selatan dan Rokan Hulu-Riau) diharapkan mampu memberi informasi bagi investor. Gambaran tentang kualitas produksi batubara, kondisi perusahaan dan hambatan-hambatan setidaknya menjadi bahan pertimbangan bagi investor.





[2] http://ptba.co.id/id/about/history. diakses pada 3 Desember 2013. 18.03 WIB
[3] http://riauterkini.com/rohul.php?arr=55543. Diakses pada 4 Desember 2013. 09.53 WIB
[4] http://www.riauterkini.com/rohul.php?arr=61051. Diakses pada 4 Desember 2013. 09.57 WIB. Lihat pula informasi pada situs Distamben Rokan Hulu: http://distamben.rokanhulukab.go.id.
[5] http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=1562. Diakses pada 4 Desember 2013. 10.04 WIB

Selasa, 10 Desember 2013

Membaca Anas Urbaningrum (Pembacaan Atas Buku “Janji Kebangsaan Kita: Kumpulan Esai Sosial-Politik Karya Anas Urbaningrum)

Oleh: Ali Topan Ds

Tidak lama setelah saya membeli buku “Janji Kebangsaan Kita: Kumpulan Esai Sosial-Politik Karya Anas Urbaningrum, segera saya menunjukkan kepada beberapa rekan diskusi saya. Ada yang memberi tanggapan positif dan juga negatif. Mereka yang “sinis” beranggapan negatif beralasan bahwa untuk apa membaca buku karya Anas? Sedangkan ia sendiri orang yang sedang bermasalah (terlibat kasus hukum). Bagi saya tanggapan itu tidak menjadi masalah yang berarti. Hal ini tidak akan menyurutkan saya untuk membaca buku karya Cak Anas. Siapapun boleh menilia Cak Anas dengan A,B,C dan seterusnya. Bagi saya sederhana dalam menanggapi. Saya menganalogikan: saat banyak masyarakat Indonesia yang mengutuk paham komunis, tetapi buku-buku “berbau” Marxis ataupun Lenin menjadi santapan bacaan banyak kalangan mahasiswa. Demikian juga saya pikir berlaku saat membaca buku Cak Anas.

Membaca buku Cak Anas di atas, saya merasa sedang mendegarkan tutur bicara, pidato, ceramah atau bahkan nasehatnya. Beberapa pikiran Cak Anas membuat saya seperti mendapat surprice pengetahuan. Saya mencoba menarik kesimpulan atas buku di atas menjadi tiga hal penting yakni: pikiran Cak Anas terkait politik, sosial, keagamaan.

Pada bab pertama buku tersebut, Cak Anas menulis judul “Membangun Kepercayaan”. Ia sepertinya berpesan pada khalayak agar tidak sempit memandang politik. Banyak orang apatis terhadap politik. Cak Anas mengajak pembaca agar menilai politik dari apa manfaat yang lebih besar yang diperoleh, tidak memandang politik sebagai “apa mendapat apa”.

Kegelisahan melihat keadaan politik saat ini kemudia menyentuh Cak Anas untuk turut memberi kontribusi pikirannya. Ia menyodorkan sebuah konsep yang kemudian populer dengan “meritokrasi politik”. Baginya, meritokrasi politik adalah jawaban atas kekhawatiran SBY terhadap politik uang dan figur “dewa” yang kuat di era demokrasi. Meritokrasi politik bagi Cak Anas akan melahirkan pemimpin yang melalui tempaan, bukan ujug-ujug (tiba-tiba) datang. Meritokrasi politik inilah yang menurut saya ujung dari pemikiran politik Cak Anas melihat keadaan politik nasional saat ini.

Jika sebuah negara telah menjalankan sistem politik dengan baik, maka hal ini akan berimplikasi terhadap keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian sebuah negara-bangsa tersebut. Menurut Cak Anas, Indonesia sedang menuju kearah sana. Karenanya, dibutuhkan semangat kebersamaan dan komitmen dalam mewujudkan cita-cita itu.

Terkait isu-isu sosial, Cak Anas menyoroti keadaan genting yang bernah terjadi akibat teror. Ia mendorong kerja ekstra dilakukan pihak berwajib (kepolisian dan intelijen) agar mampu mengusut dan menindak aksi tersebut. Aksi tersebut tentu saja memegaruhi kondisi psikologis banyak orang dan menganggu rasa aman. Isu-isu sosial lainnya yang disinggung Cak Anas adalah voluntarisme. Baginya, sikap saling membatu dan meringankan beban terhadap sesama adalah bagian terciptanya masyarakat demokratis yang ideal. Saya membaca Cak Anas bahwa prinsip “gotong-royong” adalah hal penting dalam berdemokrasi secara sehat.

Satu hal lagi yang menjadi konsen Cak Anas dalam bukunya adalah soal keagamaan. Cak Anas menaruh perhatian lebih terhadap isu agama minor seperti Tionghoa. Melalui tulisan yang berjudul “Imlek Untuk Indonesia”, Cak Anas seakan mengingatkan pembaca, bahwa mereka –etnis Tionghoa- juga menjadi unsur penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melegalkan Tionghoa adalah sesuai dengan semangat kebhinekaan.

Soratan Cak Anas terhadap prilaku kehidupan masyarakat agama Hindu di Bali juga menarik untuk dibaca. Pola hidup yang penuh harmoni dilakukan masyarakat Bali. Dalam pandangan Cak Anas, masyarakat Bali adalah masyarakat yang menghargai perbedaan dan menjadikan perbedaan tersebut menjadi sesuatu budaya yang indah dan bernilai. Mereka –Masyarakat bali- menerapkan apa yang disebut dengan Tri Hita Karana, yakni tiga hal sumber kebahagiaan hidup. Tiga hal tersebut adalah: hubungan yang harmoni antara manusia dengan Tuhan; manusia dengan manusia; dan manusia dengan lingkungannya. Karenanya, Cak Anas menjadikan pola kehidupan Bali sebagai pola kehidupan yang cocok diterapkan dalam konteks keindonesiaan yang plural (kemajemukan budaya yang ada).

Bahasan terkait keagamaan lainnya disinggung Cak Anas berkaitan dengan momen penting hari besar Islam seperti: puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Bagi Cak Anas, puasa adalah meletakkan orang yang mengerjakannya pada titik nol. Titik nol setiap shaim yang melakukan ibadah dengan tidak makan dan minum. Berkaitan dengan tradisi Idul Fitri, Cak Anas menyoroti tradisi mudik yang menjadi fenomena menarik tiap datangnya Idul Fitri. Mengutip pendapat Cak Nur, Cak Anas memaknai mudik tidak sekedar pulang jasmani saja, melainkan juga pulang (kampung) rohani. Kebersamaan bersama keluarga tiada harganya.


Catatan menarik dari buku tersebut adalah pilihan Cak Anas terjun sebagai politisi. Ia tidak menapik bahwa ia terinspirasi oleh konsep Cak Nur dengan “berpolitik dengan gagasan”; Ali Shariati dengan “rausyan fikr” (pemikiran yang tercerahkan); serta Antonio Gramsci dengan “intelektual tradisional-organik”. Cak Anas seolah ingin mengabungkan sikap politik yang didasari pemikiran dan kekuatan intelektual yang baik. Tentulah, siapapun yang membaca buku tersebut akan mempunyai pandangan lain terhadap pembacaan seorang Anas Urbaningrum.