Kamis, 27 Juni 2013

BBM Naik, Bye-bye SBY



Oleh: Ali Topan DS

Rakyat benar-benar “tercekik dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Bahkan, sebelum pengumuman kenaikkan harga BBM bersubsidi, harga-harga barang lainnya seperti sembako sudah mengalami kenaikkan. Kenyataan ini harus diterima masyarakat, terlebih bagi masyarakat miskin.

Sebagai ganti atas kenaikan BBM, pemerintah akan memberikan kompensasi yakni Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Progam pemerintah ini mendapat kritik dari banyak kalangan, pengamat ekonomi, politik dan aktivis mahasiswa. Sebagian beranggapan bahwa BLSM adalah progam yang tidak mendidik serta pembodohan rakyat. Rakyat miskin hanya diberi uang yang jumlahnya tidak sebanding dengan naiknya keperluan sandang pagan.

Sementara banyak pengamat politik dan partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura) serta PKS menganggap bahwa progam BLSM akan mudah terkontaminasi kepentingan politik menjelang pemilu 2014. Mereka beranggapan bahwa bantuan yang diberikan akan dibalut kepentingan partai tertentu. Bahkan BLSM ini nantinya akan dijadikan pencitraan Partai Demokrat yang selama ini mulai ditinggalkan pemilih sebelumnya.

Sebagian kalangan memang menyayangkan BLSM meski pada sisi lainnya rakyat cukup mengharapkan. Rakyat miskin sangat antusias menerima bantuan tersebut, meski kesedihan diraut muka mereka terpancar dari tatapan saat antrian panjang menunggu giliran panggilan.

BLSM banyak dinilai kalangan tidak tepat sasaran. Banyak rakyat yang dianggap kaya, namun ia masih saja mendapatkan jatah BLSM. Hal tersebut sebagaimana terjadi Makasar Sulawesi Selatan. Lain halnya di Makasar, di Subang malah sebanyak 159 rakyat miskin tidak kebagian BLSM. Hal ini dikarenakan data jumlah rakyat miskin yang morat marit. Hal serupa juga terjadi di Bengkulu.

Salah satu lembaga survey, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa 72,33% warga meyakini BLSM tak tepat sasaran, 24,27% yakin tepat sasaran dan 3,4% tidak tahu. Hal tersebut didasarkan bahwa maraknya kasus korupsi yang terjadi di sektor pemerintahan. Tidak salah jika rakyat ketakutan bahwa dana BLSM akan dikorupsi oleh pihak yang tidak bertangggung jawab.

Rakyat juga menilai bahwa Presiden SBY adalah orang paling berjasa terkait progam BLSM. Rakyat miskin merasa dimanjakan dengan uang Rp. 150.000 tersebut. Akan tetapi ia (SBY) dan partai Demokrat juga dituding sebagai pihak yang paling bersalah dengan menaikkan BBM bersubsidi. SBY sebagai Presiden tentu menjadi sasaran dan target untuk dipersalahkan dengan naiknya harga BBM. Rakyat miskin yang tidak tahu-menahu terkait hitungan dan alasan pemerintah dalam menaikkan BBM, akan mudah melampiaskan kekesalannya pada SBY.

Jika ternyata kekesalan dan kebencian rakyat atas naiknya BBM ini ditumpahkan pada sosok SBY dan Demokrat, maka SBY dan Demokrat harus mencari strategi jitu lainnya untuk kembali menarik simpati rakyat. SBY harus membuktikan keadaan ekonomi akan lebih baik pasca naiknya harga BBM ini. Jika tidak, maka “perjudian” yang selama ini ia rancang akan gagal. Rakyat pun akan berkata, bye-bye SBY-Demokrat.

Sisi Lain Kenaikan Harga BBM Bersubsidi


Oleh: Ali Thaufan DS

Disampaikan pada Seminar dengan tema: Pengendalian Subsidi BBM: Mendorong Subsidi Tepat Sasaran dan Tepat Guna demi Kemajuan Bangsa
26 Juni 2013, Fak. Tekhnik Informatika Trisakti

Kenapa BBM Naik?
Undang-undang no 22 pasal 28 ayat 2 tahun 2001 berbunyi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Dasar undang-undang tersebut secara tidak langsung telah merebut sumber daya alam Indonesia. Alasannya, penyerahan harga bahan bakar minyak dan gas telah “dijual” dalam persaingan bebas. Persaingan usaha dalam bentuk penawaran dan permintaan dicatat dengan rapi di New York Mercantile Exchange (NYMEX). Dengan demikian, penentuan harga dari NYMEX lah yang harus diamini bangsa Indonesia.

Memang, UU tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 002/PUU-I/2003. Akan tetapi, PP (no 36 tahun 2004 pasal 27 ayat 1) yang hampir sama muncul kembali dengan redaksi “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Hampir tidak ada perbedaan. Padahal dengan jelas UUD 1945 pasal 33 telah menyebutkan “Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kenyataan dan keadaan tersebut di atas terpaksa harus ditelan pahit-pajit rakyat Indonesia. Bahwa, kenaikan harga BBM diakibatkan harga minyak dunia. Mungkin rakyat terherankan. Konon katanya Indonesia negeri surga dengan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi, harga bahan bakar harus mengikuti pasar internasional.

Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi menuai banyak kontroversi baik pihak yang mendukung atau menolak. Masing-masing memiliki alasan yang menguatkan. Kedua pihak yang mendukung dan menolak berdalih bahwa kenaikkan atau tidak naiknya BBM adalah untuk kepentingan rakyat. Para analis, pengamat dan pakar memprediksi dampak dari kenaikkan BBM. Pihak yang berada dideretan pendukung kenaikan harga berdalih jika BBM tidak naik (harga tetap Rp. 4.500/liter) maka pemerintah harus membayar 126, 59 Triliyun untuk menanggung rugi alias nomboki.

Angka tersebut didasarkan bahwa pemerintah selama ini telah mensubsidi sebesar Rp. 2009,43/liter yang dikalikan pengadaan premium sebanyak 63 miliyar liter/tahun (63 milyar x Rp. 2009,43=Rp. 126,59 trilyun per tahun). Harga premium Rp. 4.500 sebanding dengan harga minyak mentah US$ 69,50/barrel. Sedangkan harga yang berlaku dipasar internasional sebesar US$ 105/barrel. Maka beban yang ditanggung pemerintah setara dengan US$ 35,50/barrel. Jika dikalikan patokan harga yang tidak disubsidi (Rp. 9.000), angka tersebut mencapai Rp. 319.500/barrel. 1 barrel= 158,98729 liter atau dibulatkan menjadi 159 liter.

Sedangkan, pihak yang menolak kenaikan BBM berdalih bahwa selama ini, dengan harga premium Rp. 4.500, pemerintah telah diuntungkan dengan dana sebesar 97,939 Triliyun. Selama ini, pemerintah memerintah Pertamina mengadakan 63 milyar liter premium. Angka tersebut jika dikali dengan harga Premium saat ini (63.000.000.000x4.500) mencapai angka 283,5 triliyun. Maka, jika pemerintah berdalih merugi 126,59 triliyun, itu adalah bentuk kebohongan. Ongkos olah minyak mentah mulai dari pemompaan minyak sampai ke atas muka bumi (lifting), pengilangan sampai menjadi BBM (refining) dan pengangkutan sampai ke pompa-pompa bensin (transporting) hanya berkisar Rp. 500-600/liter . Tidaklah heran jika banyak pakar ekonomi yang mendesak agar menjelaskan kemana selisih uang triliyunan jika harga Premium ngotot  dinaikkan. Perdebatan ini kemudian mengundang kegalauan pemerintah antara menaikkan atau tidak harga BBM. Pemerintah, melalui Presiden SBY melempar perbedatan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Adu Kuat Politisi Senayan soal Kenaikan Harga BBM
Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM tak terelakkan. Di beberapa titik strategis (Gedung DPR/MPR, Istana Negara, Bundaran Hotel Indonesia dan tempat-tempat lainnya) para mahasiswa, buruh dan aktivis LSM menyuarakan aspirasinya, menolak kenaikan harga BBM. Beberapa aksi demonstrasi tersebut berujung bentrok dengan petugas.

Pada saat bersamaan, para wakil rakyat sedang rapat “alot” di dalam gedung DPR. Anggota dewan yang terdiri dari total 560 orang adu argumentasi. Fraksi yang tergabung dalam partai koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB) menyatakan menerima kenaikan harga BBM, kecuali fraksi PKS. Sedangkan kubu oposisi, yaitu Fraksi Partai PDIP, Gerindra, Hanura dengan lantang menolak kenaikan harga BBM.

Iming-iming pemerintah akan memberikan Balsem (bantuan langsung sementara) hanya akan “membodohi” rakyat kecil. Balsem juga dinilai akan sangat sarat nuansa politik, mengingat pemilu 2014 di depan mata. Selain itu, para pengamat juga menyayangkan naiknya harga BBM ini menjelang datangnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Kenaikkan ini tentu saja akan meyulitkan rakyat.

Masing-masing kedua kubu yang mengusung kenaikan atau tidaknya harga BBM memiliki argumen yang sama kuat. Sehingga rapat paripurna pun buntu hasil. Hal tersebut memaksa pengambilan keputusan dengan cara voting. Tentu saja, partai oposisi akan kalah dari partai pengusung kenaikan harga BBM, partai koalisi selain PKS.

Terlepas dari perdebatan kenaikan BBM sebagaimana yang diprediksi oleh para pengamat, rakyat dipertontonkan dengan dagelan politik khas senayan. Fraksi partai pendukung kenaikan BBM dengan jumlah voting 338 suara mengalahkan fraksi “pembela rakyat cilik” yang mengantongi hasil suara voting sebanyak 181. Tontonan sidang yang diwarnai interupsi-interupsi dari perwakilan tiap fraksi yang menyampaikan pandangannya seperti mengelabui dan membodohi rakyat Indonesia. Wong wong cilik tentu hanya terperangah melihat aksi interupsi-interupsi tersebut. Mereka hanya bisa berharap, harga sembako tak melambung tinggi.

Rakyat mungkin menerima naikkan harga BBM, tetapi dengan sangat berat hati. Anggota dewan tidak pernah dapat mendengar langsung bagaimana hati jutaan rakyat Indonesia ngedumel serta nelongso menerima kenyataan pahit kenaikkan harga BBM. Ribuan mahasiswa serta serikat buruh harus tertunduk lesu menerima ketuk palu putusan kenaikan harga BBM setelah berjibaku dengan aparat yang mengamankan jalannya paripurna DPR.

Mengawal Kompensasi Subsidi BBM
Kenaikan harga BBM yang jelas akan menyulitkan rakyat miskin dibalas dengan kompensasi pemberian dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pemberian dana tersebut, menurut para pengamat dinilai amat sarat unsur politik. Waktu pembagian BLSM yang terbilang dekat dengan pemilu merupakan indikasi utama jika progam tersebut sangat mudah dipolitisasi. Bagi pemerintah yang saat ini berkuasa dan membagikan BLSM akan dengan mudah menggunakan pembagian BLSM sebagai alat pencitraan.

Program kompensasi kenaikan harga BBM terdiri atas BLSM Rp 9,32 triliun, bantuan untuk siswa miskin Rp 7,5 triliun, beras untuk rakyat miskin Rp 4,3 triliun, dan program infrastruktur dasar Rp 7,25 triliun. Setalah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, pada sabtu 22/6, pemerintah secara serentak membagikan secara serentak BLSM di 13 Propinsi. Besaran BLSM yang diberikan adalah Rp. 300.000. Warga menyambut dengan antusias pembagian uang “obat sakit hati” atas kenaikan harga premium tersebut. Para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II turut menantau jalannya pembagian dana tersebut.

Meski atusias tinggi tampak diraut muka rakyat penerima BLSM, akan tetapi kesedihan mereka tidak dapat tertutupi. Besaran dana BLSM tentu saja tidak sebanding dengan kenaikan harga sembako saat BBM naik. Bahkan BLSM sendiri banyak dinilai kalangan tidak tepat sasaran. Sebuah lembaga survey, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei bahwa 72,33% warga meyakini BLSM tak tepat sasaran, 24,27% yakin tepat sasaran dan 3,4% tidak tahu. Maraknya kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan menjadi alasan bahwa BLSM tidak akan tepat sasaran. Korupsi tersebut membuat rakyat ragu akan ketepatan pembagian BLSM. Rakyat juga menilai bahwa Presiden SBY adalah orang paling berjasa dan bersalah terkait progam BLSM.

Pemanfaatan dana BBM bersubsidi harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika pemerintah menjanjikan penghematan dana subsidi BBM yang digunakan untuk kepentingan rakyat, maka pemerintah harus menepati janji tersebut. Besaran dana yang telah dialokasikan harus mendapat pengawalan dari pihak terkait serta rakyat. Besaran rupiah kompensasi kenaikan BBM dapat dialokasikan untuk pengadaan infratruktur jalan, transportasi massal atau bahkan pembukaan lapangan kerja. Dengan demikian rakyat tidak hanya berpangku tangan menunggu pembagi BLSM.

Kamis, 20 Juni 2013

Muhammad Husein Al-Dzahabî dan Kategorisasi Penyimpangan Tafsir

Oleh: Ali Topan DS

  1. Biografi Muhammad Husein al-Dzahabî
Muhammad Husain al-Dzahabî lahir di desa Muthûbas pada 19 Oktober 1915. Desa Muthâbas terletak di tepi utara sungai Nil. Sejak kecil al-Dzahabî sudah ditinggal oleh ayahnya. Ia telah hafal al-Qur’an ketika belajar di kampung halamannya.
Karir pendidikan al-Dzahabî dimulai pada Madrasah Dasuqi al-Dîni setara dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Setelah itu ia melanjutkan di Universitas al-Azhar. Di sana ia mulai belajar dengan tokoh-tokoh ulama di zaman itu seperti Muhammad Musthafa al-Marâghi, ‘Isa Manun, Muhammad Zahîd al-Kutsâri, Muhammad Habîb al-Shanqîti, Muhammad Khâdir Husaîn dan lain-lain. Ia mendapat predikat terbaik di fakultas Syari’ah pada tahun 1936 dan predikat terbaik dalam bidang ulûm al-Qur’ân pada 15 Februari 1947. Ia juga pernah mengajar di Universitas al-Azhar Mesir Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Hingga wafatnya pada 03 Juli 1977.[1]
Sebagai pakar di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Dzahabî banyak mengarang beberapa kitab yang berkaitan dengan dengan ulum al-Qur’an dan ulum al-tafsir. Karya-karya tersebut menjadi rujukan bagi akademisi yang menaruh konsen bidang tersebut. Antara lain karya-karya Dzahabi adalah: al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Israiliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîs, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm: Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, Ibn Arabi wa Tafsîr al-Qur’ân, al-Wahy, Muqaddimah fî ulûm al-Qur’ân, Muqaddimah fî ulûm al-Hadîs, Tafsîr Suwar: al-Nisâ’ wa al-Nûr wa al-Ahzâb, Atsaru Iqâmah al-Hudûd fî Istiqrâri al-Mujtama’, Maliyah al-Daulah al-Islâmiyah, Mawqûf al-Islâm min al-Diyânât al-Samawi, Syarh Ahâdîs al-Aqîdah fî al-Shahîhaini, al-Ahwâl al-Syakhshiyah baina Ahlu Sunnah wa al-Ja’fâriyah dan lain-lain.[2]

  1. Ketegorisasi Penyimpangan Tafsir Menurut Husain al-Dzahabî
Perkembangan tafsir telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad. Dalam kurun waktu 14 abad telah banyak menghasilkan ratusan atau bahkan ribuan kitab tafsir dengan corak yang berbeda dari apa yang melatarbelakangi penulisan tafsir oleh mufassirnya.
Keragaman dan heterogenitas penafsiran menjadi sebuah fenomena yang lumrah. Akan tetapi perbedaan tersebut dalam kenyataan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan serta legitimasi kebenaran tafsir. Sehingga, pihak mayoritas yang dekat dan mendapat dukungan atau legitimasi dari sebuah pemerintahan akan memenangkan persaingan tersebut. Objektivitas kebenaran sebuah penafsiran ditentukan oleh sejauh mana ia memberikan dukungan kepada rezim, sebaliknya penafsiran yang jauh serta cenderung bertentangan dengan kemauan penguasa dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
M. Husain al-Dzahabî memaparkan bahwa dengan berbagai sistem, orientasi dan berbagai metode, terdapat banyak distorsi dalam memahami nash-nash Qur’an. Juga banyak deviasi makna yang bukan saja dengan bahasa (Arab) yang benar, tetapi juga menghilangkan keindahan Al-Qur’an itu sendiri, bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam.[3]
Al-Dzahabî menilai bahwa penyimpangan berawal dari pengutipan riwayat dalam menafsirkan al-Qur’an yang tidak disertai sanad. Belum lagi penggunaan rasio yang berlebihan dan menonjolnya mazhab tertentu yang menjadi warna tafsir. Lebih lanjut, al-Dzahabî menyebutkan faktor kesalahan dalam tafsir bil ra’yi. Pertama, mufassir meyakini salah satu makna yang ada dan menggunakan maknanya untuk menerangkan berbagai lafaz al-Qur’an. Kedua, mufassir berusaha menafsirkan berdasarkan makna yang dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan al-Qur’an (konteks).
Dalam buku yang berjudul Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, al-Dzahabî mengulas beberapa penafsiran yang dianggap terdapat penyimpangan. Ia mengklasifikasikan sembilan kategori penyimpangan tafsir, yakni, penyimpangan yang terdapat dalam tafsir para sejarawan, para ahli tata bahasa, orang-orang yang tidak menguasai kaidah bahasa Arab, dalam tafsir mazhab mu’tazilah, mazhab syi’ah (immamiyah itsna ‘Asyariyah), tafsir kalangan Khawarij, tafsir sufi, tafsir ilmuwan dan penafsiran yang dilalukan pembaharu Islam.
Setelah membaca buku tersebut, penulis mendapati beberapa kitab tafsir yang di dalamnya terdapat penyimpangan.[4] Dalam bab ini penulis ingin memberikan contoh penyimpangan penafsiran kalangan ahli sejarah, penafsiran bias mazhab teologi (kelompok Mu’tazilah, Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Khawarij), penafsiran kalangan Sufi, penafsiran mufassir dengan corak ilmi dan penafsiran kalangan pembaharu Muslim. Penulis tidak menunjukkan penyimpangan penafsiran di kalangan ahli bahasa, kerena penafsiran mereka berasal dari kalangan Mu’tazilah, terdapat dalam tafsir karya Zamakhsyari.

1.      Penyimpangan penafsiran oleh kalangan ahli sejarah
Menurut al-Dzahabî penafsiran kalangan ahli sejarah terdapat kerancuan dan menyimpang, yakni penafsiran Ali ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 741 H) dalam Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl atau yang disebut dengan Tafsir al-Khâzin dan Abû Ishâq ibn Ibrâhîm al-Tsa’labî (w. 427 H) dalam al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’rûf  bi Tafsîr al-Tsa’labî.
Al-Qur’an mengandung banyak kisah yang menceritakan kehidupan masa lampau (sebelum Muhammad diutus sebagai rasul). Seperti kisah nabi Musa saat ia mendapat ujian dari Khidir; kisah lahirnya Nabi ‘Isa yang di luar kemampuan akal manusia; serta pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrâhîm dan kisah ashâb al-Kahfi yang benar-benar ajaib (tertidur ratusan tahun). Kisah nabi-nabi terdahulu dan beberapa kisah lain tentu mengandung hikmah tersendiri. Kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak luput periwayatanya yang bersumber dari kisah-kisah isrâiliyyât.[5] Sehingga pro-kontra timbul atas periwayatan tersebut.
Kritik al-Dzahabî ditunjukkan atas penafsiran Tafsir al-Khâzin Sûrah al-Anbiyâ’: 83-84 tentang kisah nabi Ayyûb.
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآَتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.”

Al-Dzahabî memaparkan bahwa penafsiran al-Khâzin dimulai dengan mengutip riwayat Wahab ibn Munabbih yang menceritakan Ayyûb adalah laki-laki asal Romawi bernama lengkap Ayyûb ibn Amos ibn Narîkh ibn Rum ibn Ish ibn Ishâq ibn Ibrahîm. Allah mengangkatnya menjadi Nabi dan melimpahkan rahmatnya berupa harta melimpah. Ia orang yang baik hati, bertaqwa dan menyantuni fakir miskin. Atas kemurahan hati Ayyûb, sehingga iblis-iblis biadab ingin mengodanya. Iblis naik turun langit untuk menawar kepada Allah agar ia dapat mengoda Ayyûb sehingga jatuh imannya.[6]
Selanjutnya Al-Khâzin menceritakan bahwa pada suatu saat iblis mendengar suara malaikat membaca shalawat kepada Ayyûb ketika Allah memuji di hadapan mereka. Iblis merasa benci dan iri. Kemudian ia naik ke langit dan berkata: “Tuhanku, saya melihat Ayyûb sebagai hamba yang engkau berikan nikmat dan harta melimpah. Maka wajar jika ia menyukuri-Mu. Seandainya Engkau menguji dengan menghentikan nikmatmu, tentu dia tidak akan bersyukur lagi dan menyembah-Mu.” Allah menjawab “berangkatlah kamu (iblis) boleh melakukan apa saja terhadap harta Ayyûb”. Kemudian iblis turun ke bumi dan mengumpulkan kolega-koleganya untuk menyusun rencana penghancuran harta Ayyûb.
Al-Khâzin melanjutkan ceritanya, bahwa setelah iblis memusnahkan harta Ayyûb, ternyata ia tidak mampu mengoyahkan imannya. Iblis kembali naik ke atas langit dan memohon kepada Allah untuk diizinkan mengabisi anak Ayyûb. Allah menjawab “Berangkatlah, kamu (iblis) boleh membunuh anaknya.” Sesudah itu, iblis menemui Ayub dan berkata “Seandainya engkau tau penderitaan anak-anakmu dan bagaimana mereka jungkir-balik, dengan darah mengalir dan otak berhamburan, tentu hatimu akan luluh”. Ayyûb pun menangis kemudian mengambil segenggam debu dan dituangkan di atas kepalanya sambil berkata “Seharusnya ibuku tidak melahirkan saya”. Tetapi kemudian Ayyûb bertaubat dan iblis pun terheran-heran.
Iblis belum puas dengan apa yang telah ia lakukan kepada Ayyûb, karena iman Ayyûb tetap tak goyah. Lalu ia kembali meminta kepada Allah agar ia diperbolehkan meminta merusak tubuh Ayyûb. Allah menjawab “Kamu boleh menghancurkan tubuh Ayyûb, akan tetapi kamu tidak dapat menguasai lisan, hati dan akalnya”. Iblis turun lagi ke bumi dan merusak tubuh Ayyûb. Ketika Ayyûb sedang bersujud, iblis meniup kedua lubang hidungnya. Tiupan itu membuat seluruh tubuh Ayyûb terbakar. Badannya pun menjijikkan, bernanah dan bau busuk, sehingga semua orang menjauhi kecuali istrinya. Iblis kembali mengoda Ayyûb memalui istrinya, karena Ayyûb tidak kunjung sembuh, istrinya menawarkan Ayyûb untuk menyembelih kambing bukan karena Allah. Seketika, Ayyûb pun marah dan menyuruh pergi istrinya.[7]
Demikianlah cerita yang terdapat dalam Tafsir al-Khâzin mengenai kisah Nabi Ayyûb yang mendapat cobaan dari Allah. Al-Dzahabî menilai bahwa kisah ini sarat dengan manupulasi. Al-Khâzin merampungkan cerita tanpa memberi komentar terhadap cerita tersebut. Adapun kritik al-Dzahabî atas periwayatan isrâiliyyât lainnya juga terdapat dalam tafsir Tsa’labi.

2.      Penyimpangan penafsiran bias Teologi
Penyimpangan penafsiran bias teologi banyak dilakukan antara lain oleh ulama-ulama Mu’tazilah, Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Khawarij. Sebuah penafsiran tentu tidak terlepas dari apa yang mengitari mufassir (ماحول مفسر) baik disiplin ilmu yang dikuasai, mazhab dan lingkungan ketika menulis tafsir. Kelompok Mu’tazilah akan cenderung menafsirkan dengan karakter ke-mu’tazilah-annya, demikian seterusnya. Penulis mengambil contoh penafsiran yang dilakukan tokoh besar Mu’tazilah, Zamakhsyari dan Abd al-Jabbâr. Dalam menafsirkan al-Qur’an, Zamakhsyari mendukung Mu’tazilah.[8] Menurut al-Dzahabî penyimpangan yang dilakukan oleh Zamakhsyari antara lain terdapat dalam Tafsir al-Kasysyâf Sûrah Nisa: 164
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Al-Dzahabî memaparkan bahwa menurut mereka –kelompok Mu’tazilah- ayat tersebut bertentangan dengan pendapatnya tentang sifat Allah (al-Kalam). Dalam ayat itu terdapat kata masdar taklimâ (تكليما) untuk menguatkan kata kerja kalama (كلّم) dan untuk menghilangkan kemungkinan masuknya arti lain yang sebenarnya. Mereka menyatakan kata kallama (كلّم) berasal dari al-kalimu (الكلم) yang berarti luka (الجرح). Kemudian mereka menafsirkan ayat tersebut “Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan hidup”. Menurut al-Dzahabî, penafsiran ini dilakukan untuk menghindari makna lahiriah yang berbenturan dengan mazhab mereka. Zamakhsyari mengutip pendapat tokoh Mu’tazilah sebelumnya tanpa mengoreksi kebenaran makna.[9]
Selanjutnya al-Dzahabî menyebut penyimpangan penafsiran yang dilakukan Abdul Jabbâr (415 H) dalam kitab tafsirnya, Tanzîl al-Qur’ân an Mathain.[10] Ia menafsirkan Sûrah al-A’râf: 178
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.”

Menurutnya Abd Jabbâr, Ayat di atas menerangkan orang yang mendapat bimbingan Allah untuk menuju Surga dan memperoleh pahala akan mendapatkan petunjuk dunia ini. Sedangkan orang yang tersesat dan mendekati siksa adalah orang yang merugi di dunia ini. Hal ini merupakan perintah untuk mentaati Allah, sebagaimana firmannya: “Barang siapa yang disesatkan Allah tidak akan mendapat bimbingan”.
Menurut al-Dzahabî, ayat ini mereka ta’wilkan sesuai dengan prinsip ajaran mereka, yaitu Allah tidak menciptakan petunjuk dan kesesatan. Bahwa keduanya merupakan hal yang diusahakan oleh manusia sendiri. Al-Dzahabî menyangah mereka dengan firman Allah Sûrah al-Zumar: 62, “Allah menciptakan segala sesuatu”.[11]
Selanjutnya penyimpangan penafsiran oleh orang-orang Syi’ah Imamiyah Isna ‘Asyariyah.[12] Menurut al-Dzahabî, kelompok inilah yang banyak berpengaruh dalam penafsiran di kalangan Syi’ah. Al-Dzahabî memberikan contoh penafsiran dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân karya Sayîd Abdullâh al-Alawî (w. 1242 H) Sûrah al-Mâ’idah: 55
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.

Al-Dzahabi mengutip pendapat Al-Alawî, bahwa ayat ini diturunkan ketika khalifah Ali sedang melakukan rukuk dalam salatnya. Kemudian datang seorang pengemis , lalu Ali menyodorkan jari manisnya dan pengemis itu mengambil cincin dari jari Ali. Al-Alawy menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kepemimpinan Ali.[13]
Sementara al-Bahrânî dalam kitab tafsirnya yang berjudul al-Burhân fî Tafsîr al-Qur’ân mengatakan beberapa orang Yahudi telah masuk Islam, diantaranya Abdullah ibn Salîm, Usaid ibn Tsa’labah, Ibn Yamîn dan Ibn Shuria. Kemudian mereka menemui Nabi dan bertanya: “Wahai Nabi, dulu Musa menunjuk Yusya’ ibn Nûn, lalu siapa yang engkau tunjuk sebagai penggantimu? Siapakah yang akan memimpin kami?. Kemudian turun ayat (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ), dan Nabi bersabda: ‘bangkitlah’. Mereka bangkit dan menuju masjid. Mereka menjumpai pengemis yang baru keluar dari masjid. Nabi bertanya padanya: ‘wahai pengemis, apakah ada seseorang yang memberimu sesuatu?’, pengemis pun menjawab: ‘Iya. Cincin inilah pemberian seseorang kepadaku’. Nabi bertanya lagi siapa yang memberimu?’, pengemis itu menjawab: ‘Orang laki-laki yang sedang salat’. Lalu Nabi bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana ia memberimu?, pengemis menjawab: ‘Dalam keadaan ruku’. Nabi bertakbir, kemudian bersabda: Ali adalah pemimpinmu setelah aku meninggal…”[14] kemudian turun ayat 56 dari Sûrah al-Mâ’idah.
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Contoh selanjutnya dari kalangan Syi’a adalah penafsiran Ibrâhîm ibn Furât al-Kûfî terhadap firman Allah Sûrah al-Nabâ’: 1-3
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ * عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ * الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya. Tentang berita yang besar. Yang mereka perselisihkan tentang ini”

Sebagaimana yang dikutip al-Dzahabî, dalam menafsirkan ayat tersebut al-Kûfî menyebutkan sebuah hadis yang artinya:
Diriwayatkan dari Abî Hamzah al-Tsulami, dia berkata: saya bertanya kepada Abû Ja’far tentang firman Allah (dalam Q.,s 78:1-3), “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita besar yang mereka perselisihkan”. Dia menjawab: “Ali ibn Abî Thâlib berkata kepada para sahabat, ‘Akulah berita besar yang diperselihsihkan semua bangsa tersebut. Demi Allah, bagi Allah tidak ada berita besar yang lebih hebat selain berita tentang saya. Demi Allah, tidak ada ayat yang hebat, kecuali ayat tentang saya”.[15]
Contoh penafsiran Syi’ah Imamiyah Isna ‘Asyâriyah lainnya terdapat dalam tafsir yang konon ditulis oleh Hasan al-‘Askârî terhadap Sûrah al-Baqarah: 163
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Al-Askâri mengatakan “al-Rahîm berarti maha pemurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangan Syi’ah keluarga Nabi Muhammad. Allah memperkenankan mereka untuk melakukan taqiyah. Mereka memperlihatkan kesetiaan mereka kepada para kekasih Allah, siap melawan musuh-musuh-Nya bila mereka telah mampu dan bersikap diam bila mereka masih lemah.” Demikian seperti yang dikutip al-Dzahabî.[16]
Contoh lainya dari penafsiran Syi’ah Imamiyah Isna Asyariyah yang cukup aneh adalah penafsiran yang dilakukan Maula Abdul Latief al-Kazarânî dalam Buku Mir’atu al-Anwâr wa Misykatu al-Asrâr. Ia menafsirkan Q.,s Maryam: 10
كهيعص
(kaf) adalah nama perang Karbala( كربلاء). (ha) hancurnya keluarga Nabi (هلك العترة). (ya) Yazîd yang dimurkai Allah karena menganiaya Huseîn. (ain) adalah rasa haus (عطش) yang dialami Huseîn. Sedangkan (shad) adalah kesabaran(صبر). Menurut al-Dzahabî, penafsiran kalangan Syi’ah ini memiliki motif-motif untuk mendukung pahamnya. Seperti prinsip ajaran taqiyah yang  dianut mereka.[17]
Penyimpangan penafsiran juga terdapat dari kalangan Khawarij. Istilah Khawarij dipergunakan untuk menyebut kalangan kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan imam, baik pada masa sahabat, para khulafa al-râsyidîn, tabi’in dan imamah sepanjang masa.[18]
Al-Dzahabî mengutip penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad ibn Yûsuf Ithfisy al-Ibâdhî (w. 1332 H) dalam karya tafsir yang berjudul Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd. Al-Dzahabî memberikan contoh penyimpangan penafsiran terhadap Sûrah Nûr: 55
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi…”

Ibâdhi mengatakan seperti yang dikutip al-Dzahabî: “Orang-orang yang berbeda paham dengan kita (Khawarij) meriwayatkan dari Dhahâk, bahwa orang-orang yang beriman adalah Abû Bakar, Umar, Utsmân dan Alî. Dan bahwa kedudukan sebagai khalifah diberikan kepada empat sahabat tersebut. Saya akan menunjukkan hadis yang menyatakan bahwa Utsmân dan Ali tidak berhak atas khalifah. Pada masa pemerintahan Abû Bakar, Umar, Utsmân dan Ali serta khalifah sesudahnya terjadi penaklukan besar. Memang Islam memungkinkan para pemeluknya untuk melakukan hal itu. Tetapi tidak menunjukkan kebenaran Utsmân dan Ali. Meski keduanya menduduki jabatan khalifah atas dukungan Nabi dan para sahabatnya, namun ketika meninggal dunia keduanya telah berubah sikap, karenanya keduanya celaka. Sebagaimana dinyatakan dalam beberapa hadis, bahwa keduanya terkena fitnah”.[19]
Di akhir ayat yang berbunyi
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”

Ibâdhî menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengingkari nikmat Allah adalah Utsmân ibn Affan. Orang-orang telah memberi kepercayaan padanya, namun ia mengkhianati kepercayaan tersebut.
Contoh penyimpangan penafsiran yang dilakukan Ibâdhi lainnya adalah ketika menafsirkan Sûrah al-Syurâ: 23
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
Katakanlah: Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan…”

Ibâdhi menyatakan: “mencintai keluarga Nabi, yaitu anggota keluarga yang tidak berubah sikap seperti Fâtimah, Hamzah, Abbâs dan putranya adalah wajib”. Kemudia Ibâdhi mengatakan “Yang dimaksud keluarga Nabi yang tidak berubah sikap adalah selain Ali dan semacamnya”
Menurut al-Dzahabî, kitab tafsir Hamaya al-Zâd ilâ al-Ma’âd  karya Ibâdhi tersebut sangat sarat dengan unsur kebencian terhadap khalifah Utsmân dan Ali. Mereka banyak memalsukan hadis yang menyudutkan Utsmân dan Ali sekedar untuk memperkuat sektenya. Keutamaan atas Utsmân dan Ali mereka –kelompok Khawarij- sangkal dan kepatuhan mereka terhadap Allah mereka ingkari.[20]

3.      Penyimpangan Penafsiran dalam tafsir Sufi
Dikalangan Sufi, ada beberapa keganjalan penafsiran yang diutarakan al-Dzahabî. Diantaranya penafsiran yang dilakukan Ibn Arabi terhadap Sûrah al-Baqarah: 163
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa…
Al-Dzahabî mengutip penafsiran Ibn Arabi yang mengatakan: “Dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum Muslimin bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sebenarnya orang tersebut sama dengan menyembah Allah juga. Ingatlah ketika mereka mengatakan: ‘Sebenarnya kami menyembah benda-benda ini hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah’. Kemudian Allah berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik dengan perantaraan benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, adalah sama. Karena itu, kamu semua tidak berbeda dalam pengakuan terhadap Tuhan Yang Esa”.[21]
Contoh lain dari penafsiran Ibn Arabi terhadap Sûrah al-Muzammil: 8-9
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا * رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.

Perihal ayat di atas, Ibn Arabi menyatakan bahwa tuhan yang disembah manusia adalah manusia itu sendiri. Maka kita harus mengenali diri kita sendiri dan jangan melupakan, agar Allah tidak melupakan. Mengenai ayat (رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ), Ibn Arabi mengartikan “Tuhan yang menampakkan cahaya-Nya kepadamu dan menerbitkannya melalui cakrawala keberadaanmu, dan Tuhan yang bersembunyi dalam dirimu dengan membenamkan cahaya-Nya di dalam dan terhalang oleh dirimu”.
Contoh penafsiran Ibn Arabi lain adalah terhadap Sûrah al-Rahmân: 19-20
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ  * بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ  
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing
Ia menyatakan: “Yang dimaksud dengan dua lautan (مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ) adalah dua lautan besar yang bersifat fisik, yakni lautan garam yang pahit dan lautan jiwa (ruh) yang tawar dan menyegarkan. (يَلْتَقِيَانِ) berarti keduanya bertemu dalam wujud manusia. Sedangkan batas yang di maksud Allah adalah (بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ) nafsu hewani yang tidak ada dalam jiwa yang jernih dan tubuh yang bugar…”[22].
Kalangan sufi memang mendasarkan hasil penafsirannya pada hadis Nabi yang menerangkan bahwa al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin. Menurut mereka, para ulama yang hanya melihat teks al-Qur’an hanya dapat memahami makna lahirnya saja. Sementara makna batin hanya akan diketahui oleh orang-orang yang bersih hati dan jiwanya. Maka orang itulah yang hanya akan mengetahui secara ‘aîn al-yaqîn –keyakinan yang diperoleh setelah melakukan pengamatan dan pengindraan- makna (batin) yang tidak dapat ditangkan secara ilm al-yaqîn –keyakinan yang diperoleh setelah menguji kebenaran dan keabsahan dalil yang mendukunya- oleh orang yang melihat al-Qur’an yang terbatas pada teks saja.
Bagi al-Dzahabî, makna lahir adalah makna yang dimengerti oleh orang yang mengerti bahasa Arab. Ia berpendapat bahwa semua makna dari segi kebahasaan (Arab) termasuk kategori makna lahir. Maka untuk mengetahui makna lahir tidak diperlukan banyak syarat selain penguasaan terhadap bahasa Arab. Berbeda dengan makna lahir, makna batin merupakan apa yang dimaksud dan dituju oleh Allah dibalik lafaz-lafaz dan susunan kalimat bahasa Arab. Sehingga untuk mengetahui maknanya diperlukan syarat tertentu. Selain penguasaan terhadap bahasa Arab, diperlukan pula ketajaman penglihatan dan kejernihan pikiran sebagai akibat dari pancaran cahaya Ilahi yang masuk dalam hati seseorang.[23]
Contoh lainnya dari kalangan sufi adalah penafsiran Abdurrahman al-Salmi terhadap Sûrah al-Baqarah: 1 yang berbunyi (الم). Menurutnya huruf alif adalah alif al-Wahdaniyah (keesaan), huruf lam berarti lam al-lutfi (kelembutan) dan huruf mim adalah mim mulki (kerajaan). Pengertiannya, siapa yang dapat menemukan Allah secara hakikat dengan jalan memutuskan hubungan-hubungan dan keinginan yang bersifat duniawi. Menurutnya, kalimat alif-lam-mim mempunyai makna alif berarti cucilah batinmu. Lam berarti anggota tubuhmu dan mim berbuatlah bersama Allah untuk merubah sifat-sifatmu.
Menurut al-Dzahabî, penafsiran ini tentu sulit diterima. Terlebih pandangan kalangan sufi yang menyatakan bahwa huruf-huruf potongan fawâtih al-suwar (pembuka surat) selalu mengandung makna ghaib, mengandung ilmu pengetahuan dan penyingkap rahasia.[24]

4.      Penyimpangan Penafsiran dalam tafsir corak ilmi
Munculnya tafsir dengan basis ilmu pengetahuan memang begitu menonjol dan menjadi “trend tafsir” abad modern. Akan tetapi kemunculan penafsiran yang erat pertaliannya dengan ilmu pengetahuan tidak dimulai abad itu, jauh pada abad-abad pertengahan pun telah muncul. Ulama zaman dahulu dan sekarang berpendapat bahwa dalam al-Qur’an tidak terkandung ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga menyangkut ilmu-ilmu duniawi. Sebagai konsekuensinya, segala sesuatu yang terjadi dari hal-hal yang bersifat kealaman dicarikan dalil dari nash-nash al-Qur’an.
Menurut al-Dzahabî, al-Ghazâli adalah orang yang gencar mewacanakan pengkajian Islam bercorak ilmiah. Al-Ghazâli kemudian merangkum keterangan mengenai cabang-cabang ilmu agama secara menyeluruh yang berkaitan dengan al-Qur’an.[25]
Menurut al-Dzahabî, diantara penyimpangan penafsiran kalangan ilmuwan adalah penafsiran Tanthâwi Jauharî terhadap Sûrah al-Baqarah: 61
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik

Al-Dzahabî menyoroti penafsiran Thantâwi dalam menjelaskan beberapa macam teori kedokteran modern yang telah mapan dan menyebutkan beberapa metode pengobatan yang dipakai pakar kedokteran Eropa. Menurut Thantâwi, metode inilah yang dimaksud dalam al-Qur’an. Sebab dalam ayat tersebut seakan-akan Allah menyatakan bahwa “kehidupan Badui dengan mengkonsumsi makanan manna dan salwa, dengan menghirup udara bersih dan kehidupan bebas itu lebih baik dari pada kehidupan kota yang keras. Makanan sudah tercampur dengan dengan bumbu masak, daging dan berbagai macam makanan serta kekejaman para penguasa”.[26]
Contoh penyimpangan penafsiran Tanthâwi menurut al-Dzahabî juga terdapat ketika menafsiri Sûrah al-Baqarah: 67
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.’ Mereka berkata: ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?’ Musa menjawab: ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil’”
Al-Dzahabî memaparkan penjelasan Thantâwi yang diawali dengan menunjukkan keajaiban-keajaiban dalam al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan cara memanggil ruh. Menurutnya ilmu memanggil ruh pertama kali muncul di Amerika, kemudian di Eropa. Ia mengatakan: “Ayat ini berisi kisah-kisah hidup kembalinya Uzair berikut keledainya, burung dan kisah Nabi Ibrâhîm, serta kisah orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dalam rangka menghindari bahaya wabah (Tha’ûn) yang kemudian meninggal tetapi dihidupkan kembali oleh Allah. Dan karena Allah mengetahui bahwa kita tidak mampu menghidupkan kembali manusia setelah mati. Maka sebelum menjelaskan tiga kisah di atas Allah menunjukkan bagaimana cara memanggil ruh-ruh dalam cerita sapi betina”.
Lebih lanjut Thantâwi menjelaskan bahwa jika kita tidak mampu memanggil arwah-arwah itu, maka kita bertanya pada ahlinya. Namun orang yang memanggil arwah harus bersih hatinya, tulus dan mengikuti petunjuk Nabi dan Rasul, seperti ‘Uzair, Ibrâhîm dan Musa. Karena mereka orang yang memiliki keluhuran jiwa, maka mereka dapat melihat arwah dengan mata kepala mereka. Dan Allah menyeru pada Nabi mu untuk mencontoh hal yang demikian.[27]
Kemudian al-Dzahabî menanggapi penafsiran tersebut dengan memberi komentar: “Saya tidak ragu mengatakan bahwa penafsiran semacam ini benar-benar keluar dari maksud al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan pada Nabi Muhammad bukan untuk dijadikan rujukan ilmu kedokteran, Matematika, Kimia, ilmu alam, ruh dan lain-lain. Tetapi lebih dari itu, bahwa al-Qur’an turun sebagai pemberi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari kegelapan menuju ke alam yang terang”

5.      Penyimpangan penafsiran kalangan pembaharu
Al-Dzahabî menyebutkan dua tokoh pembaharu, pertama Abû Zaid al-Damanhuri sedangkan yang kedua tidak disebutkan namanya. Dalam hal ini penulis juga tidak menemukan definisi terhadap istilah pembaharu menurut al-Dzahabî. Al-Dzahabî memaparkan penyimpangan yang dilakukan kalangan pembaharu dalam sebuah artikel berjudul al-Tasyrî’ al-Misri wa Silâtuh bi al-Fiqh al-Islâmi mengenai ayat hukum potong tangan bagi pencuri dalam Sûrah al-Mâ’idah: 39
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Penulis artikel tersebut menyebutkan bahwa kata (فَاقْطَعُوا ) fi’il amar (kata kerja perintah) yang terdapat pada ayat hukum potong tangan dipahami dan diartikan sebagai sebuah kebolehan. Penulis artikel tersebut mencoba melakukan ijtihad, bahwa kata perintah yang terdapat dalam ayat tersebut diartikan seperti seperti kata perintah yang terdapat dalam Sûrah al-A’raf: 31
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ...
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu…”
Menurutnya potong tangan itu bukanlah hukuman wajib yang tidak boleh diganti dengan hukuman keras lainnya dalam kondisi dan tempat tertentu. Kedudukannya tidak berbeda dari sesuatu yang mubah, yang tunduk pada hukum pemerintah. Demikian halnya dengan hukuman rajam dan jild bagi pelaku perzinahan. Hukum rajam tidak diakui oleh ulama Khawarij, karena tidak ada nash yang menyebutkannya. Lalu ia mengatakan: “Bukankan dengan cari ini saya telah menghilangkan hambatan penerapan hukum Islam, tanpa membatalkan nash dan menghilangkan hukumnya?. Saya hanya memberi alternatif elastisitas hukum Islam sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu”.[28]
Menurut al-Dzahabî penulis artikel tersebut telah lancang dalam memahami dan membicarakan hukum Islam. Bahwa ayat yang menggunakan kata kerja fil amar menerangkan hukum potong tangan dan tidak bisa ditawar lagi hukumnya sebagai kewajiban. Allah pasti menetapkan hukuman dalam bentuk amar, bukan bentuk lainnya.[29]
Contoh penyimpangan penafsiran lainya dari kalangan pembaharu Islam yang disoroti al-Dzahabî adalah Abû Zaid al-Damanhuri dalam kitab al-Hidâyah wa al-Irfân fi Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Ia menafsirkan Sûrah Âli ‘Imrân: 49
...أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآَيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“…Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.”
Damanhuri mengatakan “lafaz (كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ) berbentuk burung merupakan tamsil atas keluarnya manusia dari kegelapan menuju cahaya ilmu. Lafaz (الْأَكْمَهَ) menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya tamsil bagi orang yang tidak memiliki pandangan hidup. Lafaz (وَالْأَبْرَصَ) berpenyakit sopak tamsil bagi orang yang berlimang dalam perbuatan yang mengotori fitrahnya. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah Nabi Isa menyembuhkan penyakit jasmani dengan perangkat medis, atau menyembuhkan penyakit rohani dengan bimbingan agama? sedangkan lafaz (فِي بُيُوتِكُمْ) di rumahmu berarti Nabi Isa mengajarimu mengatur rumah”. Demikian seperti yang dikutip al-Dzahabî.[30] Lebih lanjut, Damanhuri menegasnya penafsiran di atas dengan menafsirkan firman Allah Sûrah al-Mâ’idah: 110
وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي
“… Dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku…”

Mengenai ayat tersebut ia mengatakan: “Dari ayat ini kita mengetahui bahwa Nabi Isa adalah Nabi yang diutus Allah kepada Bani Israil untuk menyembuhkan jiwa mereka dan menghidupkan hati mereka yang telah mati. Karena itu tanda-tanda kenabian justru tampak pada tingkah lakunya dan petunjukknya”. Lebih lanjut Damanhuri menyatakan: “bahwa ‘Isa juga hidup dan mati seperti nabi-nabi lainya sebagai manusia bisa.”
Penafsiran Damanhuri lainnya terhadap firman Allah Sûrah al-Anbiyâ’: 79
وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ
“… Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya”
Al-Dzahabî mengutip penafsiran Damanhuri ketika mengartikan kata (يُسَبِّحْنَ). Menurutnya kata tersebut berarti tambang-tambang yang tersimpan di bawah gunung yang dulu ditaklukkan oleh Daud kemudian dijadikan sebagai peralatan perang. Sedangkan lafaz (الطَّيْرَ) adalah semua binatang bersayap dan jenis kendaraan yang berjalan cepat seperti kuda, pesawat, kereta api.
Menurut al-Dzahabî, semua penafsiran Damanhuri tersebut telah menodai tanda-tanda kebesaran Allah yang diberikan kepada para Nabi sebagai mu’jizat. Ia juga mengatakan banyak sekali mu’jizat-mu’jizat Nabi yang disebut dalam al-Qur’an justru terjadi sekarang melalui tangan-tangan terampil orang Eropa.[31]
Dari uraian al-Dzahabî di atas, penulis “membaca” bahwa penafsiran tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Terlepas penafsiran itu dianggap menyimpang atau tidak. Kecenderungan mufassir sangat didominasi dengan kepentingan paham mazhab, kondisi pada saat penulisan tafsir dan ilmu yang menjadi keahliannya. Seperti penafsiran yang dilakukan kalangan Mu’tazilah dengan penalaran rasionya; Khawarij yang menebar benci terhadap Utsman dan Ali; Syi’ah ekstrem yang berlebihan mengangkat Ali; kalangan sufi yang mengedepankan hasil intuisinya; ilmuwan yang mengaitkan ilmu kealaman dengan dalil al-Qur’an dan kalangan pembaharu yang mencoba mengkonstruksi ulang penafsiran sesuai dengan zamannya.





[1] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 5.
[2] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 7.
[3] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. ix.
[4] Kitab-kitab tafsir yang terdapat penafsiran menyimpang menurut Dzahabi. Kalangan Sejarawan: al-Kasyfu al-Bayân al-Ma’ruf  bi Tafsîr al-Tsa’labî, Lubâbu al-Ta’wîl fi Ma’îni Tanzîl (Tafsir al-Khazin). Ahli Bahasa: al-Muhârrarul Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-Azîz (karya Zamakysyari). Kalangan Mu’tazilah: Al-Kasysyâf an Haqâ’iq at Tanzîl wa Uyûni al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl (karya Zamakysyari). Kalangan Syiah: Tafsîr al-Qur’ân (karya Sayyid Abdullah al-Alawî (w. 1188 H),  Al-Burhân fî Tafsîr al-Qur’ân (karya al-Bahrânî (w. 1107 H), Penafsiran Ibrâhîm ibn Furât al-Kûfî (Ulama Syi’ah abad 13 H) dalam Q.,s 78:1-3, Penafsiran al-Thabâri (w. 538 H) dalam Q.,s 33:33, Al-Shâfi (karya Muhsîn al-Kasyfî) dalam Q.,s 2:55-56, Penafsiran Hasan al-Askarî. Dalam Q.,s 2:163, Buku Mir’atu al-Anwâr wa Misykatu al-Asrâr (karya Maula Abdul Latief al-Kazarâni) dalam Q.,s 19:1). Kalangan Khawarij: Buku Syahru Nahjîl Balâghah (karya Ibn Abî al-Hadîd) dalam Q., s 6:97, Tafsîr Hamayan al-Zâd ila al-Ma’âd (karya Muhammad ibn Yusuf Ithfisy al-Ibâdhi. w. 1332 H). Kalangan Sufi: Futuha al-Makiyyah dan Tafsîr al-Mansûb (Karya Ibn Arabi),  Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm (karya Sahl al-Tustûry), Haqâiqut al-Tafsîr (karya Abdurrahman al-Salmi) dalam Q.,s 2:1). Kalangan Ilmuwan: Buku Al-Islâm wa Thibubul Hadis (karya Dr. Abdul Aziz Ismail) dalam Q.,s 2:22, Jawâhiru fî Tafsîr al-Qur’ân (Thanthawi Jauhari) dalam Q.,s 2:66. Lihat juga 2:67, Penafsiran al-Suyuti yang dikutip dari Abû Fadl al-Marisi. Lihat Q.,s 77:30). Kalangan Pembaharu: Penafsiran dalam sebuah artikel mingguan al-Siyâsah yang terbit di Mesir pada 20 Feb 1937. Yang berjudul “Al-Tasyri’ Misri wa Shilatuhu bi al-Fiqh” tentang ayat hukum potong tangan. Dzahabi tidak menyebut nama penulisnya.  Al-Hidâyah wa al-Irfân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân (karya Abû Zaid al-Damanhuri) dalam Q.,s 3:49)
[5] Kisah isrâiliyyât adalah berita-berita yang diceritakan Ahli kitab yang masuk Islam. Lihat Al-Manna al-Khallil Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, pent Muzakris AS. (Bogor: Lintera AntarNusa. 1992), h. 487.
[6] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 32. Lihat Abû Hasan Alî ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Umar al-Syaihi, al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Fikr, tt), vol. 3, h. 268.
[7] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 32-36. Lihat al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, vol. 3, h. 269.
[8] Ali Akhmadi, Pemikiran Kalam Zamakhsyari dalam al-Kasysyâf, (Disertasi Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 337.
[9] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, hlm 58. Lihat penafsiran ayat: al-Kasysyâf, vol. 2, h. 179.
[10] Menurut Machasin, buku ini berisi penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap lemah bagi lawan-lawan Mu’tazilah. Buku ini juga berisi argumen untuk mempertahankan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Machasin, al-Qadi Abd Jabbar, Mutasyabih al-Qur’an dan Dalil Rasionalitas, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 23.
[11] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 59-60.
[12] Syi’ah Imamiyah Isna ‘Asyariyah adalah kelompok yang berpendapat bahwa Musa al-Kazim telah meninggal, imamah berpindah pada putranya Ali Ridha. Kemudian digantikan oleh Muhammad al-Taqi al Jawad, Ali ibn Muhammad al-Naqi, Hasan al-Askari, Muhammad Qaim al-Muntazar. Nama terakhir menjadi imam yang kedua belas, karena itulah kelompok ini dinamakan Imam Dua Belas. Lihat, al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dan Sejarah Umat Manusia, (Surabaya: PT Bina Ilmu), h. 148.
[13] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 2, h. 165.
[14] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 65-66.
[15] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 74
[16] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 2, h. 83.
[17] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 76.
[18] al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dan Sejarah Umat Manusia, h. 101.
[19] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 87
[20] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 89-90
[21] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 96
[22] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 98.
[23] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 99-100.
[24] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 106.
[25] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 109-110. Lihat Abû Hamid al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-‘Ulûm, 1990), h. 35-36.
[26] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 118. Lihat Tanthâwi Jauhari, Jawâhir fî Tafsîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), vol. 1, h. 75-83
[27] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 120.
[28] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 127
[29] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 127.
[30] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 130.
[31] al-Dzahabî, Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr, h. 129-132.