Senin, 27 Januari 2014

Somasi dan Runtuhnya Wibawa SBY (Legacy Akhir Pemerintahan SBY)

Oleh: Ali Thaufan DS

Saat kasus penyadapan Australia kepada Indonesia, saya (penulis) membuat catatan kecil tentang “keruntuhan wibawa” negara Indonesia. Catatan itu penulis himpun dari berbagai sumber media cetak maupun elektronik. Satu kesimpulan yang penulis nyatakan, bahwa negara Indonesia kini tidak lagi berwibawa dihadapan negara lain; negara Indonesia “dilecehkan”; serta pemerintah lambat dalam mengambil keputusan.

Kini, giliran kepala negara Indonesia, Presiden SBY yang mengalami “keruntuhan wibawa”. Diakhir pemerintahannya, ia harus menerima sikap banyak orang terkait kinerja yang tidak memuaskan. Terlepas dari banyaknya penghargaan baik dalam maupun luar negeri, SBY dinilai gagal dalam banyak hal, terutama menyangkut problematika bangsa. Dalam catatan ini, penulis mencatat ada beberapa hal yang menurut penulis telah meruntuhkan wibawa seorang SBY. Penulis mengamati pemberitaan seputar SBY dari awal 2013 hingga 2014.

Hal yang dapat dinilai sebagai indikasi runtuhnya wibawa seorang presiden SBY adalah: Pertama, SBY kembali mengambil tapuk kepemimpinan di partai yang dibesarkan, Partai Demokrat. Kemelut internal partai Demokrat saat dipimpin Anas Urbaningrum sangat keras. Elit partai saling “sikut” terkait merosotnya elektabilitas partai. Hal ini disebabkan beberapa kader dan bahkan sang Ketua Umum Demokrat terjerat kasus korupsi. Dengan dalih ini, SBY kemudian “melempar” Anas ke KPK dan mengambil alih kepemimpinan partai. Tentu saja, peristiwa ini sangat sarat unsur politik. SBY pun terkesan “serakah” jabatan partainya. Selain sebagai ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, ia pun kini sebagai ketua umum partai.

Kedua, adalah aksi penolakan Ruhut Sitompul sebagai ketua komisi III DPR RI. Penolakan atas diusulkannya Ruhut sebagai ketua komisi gencar disuarakan oleh anggota komisi III. Keberatan dan kritik disampaikan pada Ruhut jika ia menjadi ketua komisi. Ya, keputusan mengganti Pasek Gede Suardika dengan Ruhut adalah keputusan Demokrat. Tentu saja keputusan itu didasarkan atas pertimbangan SBY sebagai ketua umum partai dengan ketua fraksi Demokrat DPR. Tetapi, keputusan SBY dan fraksi ditolak mentah-mentah oleh anggota komisi. Hal ini dapat dinilai sebagai keputusan SBY yang tidak diindahkan lagi. Maka, kesimpulan yang terbangun adalah SBY tak lagi berwibawa dihadapan anggota komisi III.

Ketiga adalah pernyataan emosional SBY saat dituduh Lutfi Hasan Ishaq (LHI) sebagai orang yang kenal dengan Bunda Putri. SBY menunjukkan marahnya. Sebelumnya, LHI mengungkap nama Bunda Putri dalam sidang kasus suap impor daging sapi. Lutfi mengungkap hubungan SBY-Bunda Putri. Menurut LHI, Bunda Putri punya hubungan spesial dengan SBY, termasuk pengetahuan soal rencana reshuffle kabinet SBY. SBY yang dikenal santun bicara sontak marah. Dalam konferensi pers, ia menantang LHI untuk membuktikan pengakuannya tersebut. “Seribu persen saya ndak tau bunda putri”, begitulah tanggapan SBY. Sayangnya, KPK kemudian tidak mendalami siapa sosok Bunda Putri. Muncul dugaan Bunda Putri sengaja disembunyikan. Atas pernyataan emosional tersebut, SBY telah menurunkan wibawanya. Seharusnya, ia membuktikan ketidak-kenalannya dengan Bunda Putri secara hukum.

Keempat, runtuhnya wibawa SBY dalam catatan penulis adalah seputar somasi yang dilakukan oleh pengacara yang ditunjuk SBY untuk “lawan” yang mengkritiknya. SBY menunjuk pengacara Otto Hasibuan untuk menuntaskan secara hukum berbagai miring yang dialamatkan pada dirinya. Soal somasi yang dilakukan pengacara SBY menjadi topik menarik berbagai media. Seperti diketahui, beberapa orang yang tersomasi antara lain: Sri Mulyono (aktivis Pergerakan Perhimpunan Indonesia); Fahri Hamzah (politisi PKS) dan Rizal Ramli (Mantan Menteri Perekonomian)

Ketiga orang di atas tidak tinggal diam atas somasi yang dialamatkan padanya. Sri Mulyono disomasi akibat tulisannya yang provokatif, bahwa Ibas dan SBY juga harus diperikasa KPK karena dianggap terlibat kasus Hambalang. Atas somasinya yang ditujukan pada Sri, ia malah menantang SBY agar membuat tulisan jawaban guna menandingi tulisan Sri. Fahri Hamzah pun demikian. Ia memang terkenal “banyak omong” mendesak agar KPK memeriksa Ibas karena keterkaitannya dalam kasus Hambalang.

Somasi selanjutnya diperuntukan pada Rizal Ramli. Mantan menteri perekonomian tersebut melontarkan pernyataan bahwa jabatan Wapres Budiono adalah gratifikasi dari kasus Century. Tentu saja, pernyataan itu amat kontroversial. Tetapi somasi pengacara SBY balik ditantang oleh Rizal. Ia menghimpun 200 pengacara untuk mengadapi somasi tersebut. Rizal berdalih bahwa penyataannya tersebut adalah bagian dari kebebesan berpendapat. Karena pendapatannya di somasi pengacara SBY, maka Rizal pun menggalang dukungan 200 pengacara melawan kekuatan anti demokrasi. Perlawanan Rizal ini jelas-jelas meruntuhkan wibawa presiden SBY. Pengacara bentukannya seakan dibuat tak berdaya dengan perlawanan 200 pengacara Rizal.

Tim kuasa hukum yang dibentuk SBY bahkan memunculkan spekulasi dan anggapan bahwa SBY pasang tameng guna menghadapi berbagai tuduhan pasca lengsernya nanti. Sejak saat ini ia mempersiapkan pengacara untuk melindungi dari berbagai tuduhan hukum atas dirinya dan keluarga. Menurut penulis, tentu saja anggapan ini sangat subjektif jika.


Keempat catatan penulis di atas adalah sedikit dari banyaknya wibawa SBY yang runtuh. Berbagai fenomena terkait dengan SBY yang dianggap meruntuhkan wibawanya tentu masih banyak. Tergantung penilaian orang lain yang melihatnya. Perlawanan Anas pada SBY juga dianggap sebagai runtuhnya wibawa SBY; demo dengan mencoret-coret muka SBY bisa dinilai sebagai indikasi runtuhnya wibawa SBY; dan pernyataan-pernyataan bernada keluhan juga bagian dari runtuhnya wibawa SBY.

Kamis, 23 Januari 2014

Demokrasi Buta Amerika (Pembacaan Atas Buku “Operasi Gelap CIA”)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada penghujung akhir 2013 lalu, pembicaraan tentang CIA (Central Intelligence Agency) ramai dibicarakan. Ya, hal ini lantaran diungkapnya dokumen CIA oleh mantan staff CIA sendiri, Edward Snowden. Dalam dokumen tersebut, Snowden membeberkan upaya Amerika menguasai dunia. Melalui aksi penyadapan, Amerika dan sekutu –yang tergabung dalam five eyes- menyadap beberapa negara.

Tulisan ini merupakan pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak Terjang CIA Menguasai Dunia” yang ditulis A. Zaenurrofik. Sebetulnya, buku ini bukan lah buku baru. Buku dengan tebal 187 halaman itu diterbitkan Penerbit Garasi pada tahun 2008. Tetapi, membincang CIA menurut saya masih sangat relevan.

Pada kata pengantar buku, Zaenurrofik mengungkapkan sejarah panjang CIA dalam “mengobok-obok” demokrasi yang sejatinya di suarakan oleh Amerika sendiri –yang notebene negara yang melahirkan CIA. Badan inteligen Amerika tersebut telah melakukan banyak melakukan intervensi dibeberapa negara demokrasi agar tunduk pada sang negara adikuasa Amerika. Bahkan, upaya penggulingan rezim atau kudeta kerap menjadi agenda CIA di beberapa negara.

CIA berawal dari Office of Strategic Service (OSS) yang pada perang dunia II –dibawah pemerintah Presiden Franklin D. Roosevelt- melakukan kegiatan mengatur strategi perang. Roosevelt menunjuk William J. Donovan sebagai koordinator utama OSS. Pasca perang dunia II, Amerika menyadari perlunya badan intelijen khusus yang memberi informasi penting baik dalam maupun luar negeri. Karena siapa yang ingin menguasai dunia, maka harus menguasai informasi. Pada bab pertama, Zaenurrofik menjelaskan bahwa motif utama CIA melakukan invansi militer ke berbagai negara adalah demi kepentingan bisnis. CIA juga menyebarkan agen ke berbagai negara guna mendekati para konglomerat untuk mencapai tujuan utamanya, sebuah bisnis. 

Para agen tersebut tersebar di berbagai negara dan berdomisili disana. Mereka menggali informasi seputar kondisi politik dan bisnis negara tersebut. Informasi yang sangat mencengangkan adalah, bahwa CIA selalu bermain dibelakang huru-hara politik dinegara-negara lain. Dengan kata lain, CIA kerap menjadi dalang terjadinya perang saudara di berbagai negara. CIA menghabisi sosialis dan komunis demi langgengnya misi menguasai dunia yang menjadi master plan Amerika. Setiap negara yang menjadi musuh Amerika akan menjadi target sasaran untuk dihancurkan. Kemudian mereka memasang pemimpin sebagai “boneka” untuk kelancaran eksploitasi sumber daya alam negara tersebut.

Pada bab dua, Zaenurrofik mengulas tentang negara-negara yang digulingkan CIA. Dalam catatan William Blum, seperti dikutip Zaenurrofik, CIA telah 71 kali mencoba mengintervensi berbagai negara dan berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah negara tersebut. Indonesia pun termasuk dalam target CIA. Hal itu terjadi pada 1957 dan 1965. Maka tidak heran jika banyak asumsi bermunculan bahwa kudeta Sukarno adalah buah keberhasilan CIA. Melalui Suharto, CIA menggulingkan Sukarno secara sistematis. Isu yang mereka angkat adalah kebiadaban komunisme.

Uraian mengenai kepalsuan demokrasi yang digembar-gemborkan Amerika menjadi suguhan menarik di bab tiga. Zaenurrofik mengungkap kemunafikan Amerika yang menyuarakan demokrasi. Sesungguhnya, demokrasi yang mereka suarakan sangat bertolak belakang dengan aksi yang mereka lakukan. Pada bab ini, Zaenurrofik membeberkan lembaga keuangan yang telah dikuasai CIA, seperti WTO, IMF dan bank dunia. Dengan kekuatan sumber dana yang sangat besar, CIA tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk melancarkan misinya, liberalisasi berbagai sektor. Data yang disuguhkan Zaenurrofik, menunjukkan bahwa CIA telah memberikan bantuan dana keberbagai LSM di Indonesia untuk menyuarakan “liberalisme”. Selanjutnya pada empat, Zaenurrofik memaparkan keterlibatan CIA dalam gonjang-ganjing politik di Pakistan.

Kritik dan hujatan pada CIA tersaji pada bab lima. Zaenurrofik mengurai kegagalan misi CIA kerap menimbulkan gejolak internal mereka sendiri. CIA, meski merupakan produk Amerika, namun ia banyak dihujat oleh masyarakat Amerika sendiri. Ulah CIA yang sering mendistorsi fakta informasi menyulut kemarahan baik pihak luar dan dalam Amerika. Noam Chomsky –seperti dikatakan Zaenurrofik sebagai orang waras Amerika- sebagai pemikir Amerika, banyak menghujat kebodohan CIA karena kerap menghadirkan propaganda media. CIA telah “gila” karena mendistorsi fakta, serta mengada-ada proyek nuklir Irak. Karena kegilaan CIA, Amerika melakukan kebodohan dengan menyerang dan menghancurkan Irak. Lantas, inikah yang disebut sebagai demokrasi?

Pada bab terakir (enam), Zaenurrofik mengulas kembali keterlibatan CIA dalam menggulingkan Sukarno. Sukarno yang dikenal sebagai “kiri-komunis” membuat benci CIA. Terlebih saat Sukarno keluar dari PBB dan mencoba membuat blok baru. Dengan menggunakan PRRI/permesta, CIA menjadikan mereka sebagai alat untuk membuat kerusuhan dalam negeri. Puncaknya adalah G30S/PKI, CIA mengendalikan peristiwa tersebut.


Pembacaan atas buku “Operasi Gelap CIA; Sepak Terjang CIA Menguasai Dunia” membuat mata penulis (saya) terbuka atas berbagai kebiadaban negara yang disebut sebagai adikuasa. Negara yang oleh sebagian orang dijadikan model ideal demokrasi. Wajar, jika informasi dalam buku ini membuat banyak orang semakin anti-Amerika. Melaui pembacaan ini pula, penulis untuk sementara berkesimpulan, bahwa  demokrasi Amerika adalah demokrasi "buta"; ada beberapa LSM di Indonesia menjadi “antek” dan boneka Amerika; beberapa konglomerat di Indonesia adalah agen-agen CIA; serta kegaduhan politik dalam negeri, bukan tidak mungkin ada intervensi CIA.

Selasa, 14 Januari 2014

Harmoni Islam dan Sains

Oleh: Ali Thaufan DS

Fakta memprihatinkan dari hasil survei yang dilakukan Abdul Salam, seorang ilmuwan muslim asal Amerika, bahwa negara muslim sangat tertinggal dalam bidang sains.[i] Kenyataan ini harus diterima oleh para ilmuwan muslim di penjuru dunia. Ketertinggalan tersebut diakibatkan minimnya perhatian negara muslim pada kemajuan sains teknologi. Fakta demikian bisa saja terjadi sebagai eskes dari perdebatan panjang antara agama dan sains dikalangan sarjana muslim.

Diskursus mengenai perpaduan antara agama dan sains menjadi perbincangan menarik bagi kalangan sarjana lintas agama, termasuk sarjana muslim. Keraguan muncul karena upaya perpaduan antara agama dan sains hanya utopi belaka. Tetapi pada saat yang sama, optimisme muncul bahwa agama dan ilmu pengetahuan mampu dipadukan dan diselaraskan. Atas perdebatan ini, muncul anggapan bahwa sains ingin menundukkan agama dihadapannya. Begitu juga agama, ingin menundukkan sains.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan tercatat bahwa agama pernah melakukan “pengekangan” terhadap ilmu atau sains. Sejarah tersebut tidak mungkin bisa dihapuskan dari tradisi kesejarahan umat Kristiani. Saat itu, Galileo mendobrak pemahaman Gereja yang kukuh dengan pendirian bahwa bumi adalah pusat tata surya. Galileo dengan penemuannya menyatakan bahwa matahari lah yang menjadi pusat tata surya.

Upaya perpaduan sains dan agama yang diserukan oleh sarjana muslim memang memberi sumbangsih pengetahuan baru. Munculnya istilah “integrasi keilmuan”, “islamisasi ilmu”, “dewesternisasi ilmu” atau bahkan “naturalisasi” adalah buah dari diskursus agama dan sains dikalangan sarjana muslim. Beberapa sarjana muslim semisal Naquib al-Attas dan Ismail Faruqi, tak henti-henti dalam kampanye menyelaraskan agama dan sains.[ii]

Berkaitan dengan perdebatan antara agama dan sains, telah banyak penulis yang menaruh konsen bidang tersebut. Menurut Ian G. Barbour sebagaimana dikutip Hujair Sanaky, dalam menjelaskan hubungan agama dan sains ia membagi menjadi empat pendekatan. Yakni: konflik, perpisahan, dialog dan integritas. Dalam penjelasan hubungan agama dan sains dengan empat pendekatan tersebut, Barbour sepertinya menaruh optimisme akan adanya perpaduan agama dan sains dengan memadukan (integritas) keduanya. Meski ia tidak menafikan adanya pertentangan.[iii] Optimisme lahir dari Barbour jika keduanya –antara agama dan ilmu- disatukan melalui sistem filsafat.

Selain Barbour, pandangan terhadap agama dan sains juga dikemukakan oleh John F. Haugth. Bagi Haugth, pendekatan agama dan sains dapat dilihat dari empat pendekatan, yakni: pendekatan konflik, kontras, kontak dan konfirmasi. Tidak jauh perbeda dengan Barbour, pendekatan konfirmasi ala Haugth juga optimis terhadap integrasi agama dan sains. Pendekatan konflik sebagai satu tipologi Haugth, menyimpulkan bahwa agama dan sains tidak akan pernah bisa dipadukan. Bagi Haugth, ilmu atau sains menguji kebenaran berdasarkan empirisisme, sedangkan agama berlandaskan keyakinan atau dogma teologis. Tetapi, pada tipologi pendekatan konfirmasi, Haugth meninginkan adanya “simbiosis mutualisme” antara agama dan sains. Temuan-temuan sains diharapkan menguatkan teologis. Sedangkan agama diharapkan mendukung kemajuan sains.[iv]

Jika melihat sejarah ke belakang, Islam sebenarnya sangat memberikan perhatian pada ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbasiyah, perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat besar. Hal ini dikuatkan dengan dibangunnya Bait al-Hikmah sebagai tempat para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa Fatimiyah. Seorang menteri bahkan rela membayar dan memberi kesejahteraan bagi para ilmuwan agar terus mengembangkan temuan-temuan saintifiknya.[v]

Kitab suci al-Qur’an mengisyaratkan agar melakukan penelitian terhadap alam semesta ciptaan Tuhan. Tidak ditemukan dalam al-Qur’an ayat-ayat yang membatasi untuk menemukan temuan-temuan sains terbaru. Tetapi, menurut Quraish Shihab, tidak dibenarkan oleh para ilmuwan menggunakan al-Qur’an untuk melegitimasi temuan-temuannya. Hal itu merupakan bagian menjaga relevansi al-Qur’an. Karena sifat ilmu pengetahuan adalah dapat “diruntuhkan”, maka jika hal tersebut disandarkan pada al-Qur’an, berarti kebenaran al-Qur’an pun dapat diruntuhkan. Hal demikian ini yang dilarang.[vi]

Kesimpulan uraian di atas adalah, bahwa Islam sejalan dengan semangat pengembangan sains. Spirit al-Qur’an adalah mendorong agar umat Islam senantiasa “membaca” ciptaan-ciptaan Tuhan, sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Negara-negara muslim perlu meningkatkan perhatiannya di bidang sains dan teknologi. Mendorong agar tercipta ilmuwan-ilmuwan muslim seperti era keemasan Abbasiyah. Kemajuan zaman yang terus bergulir meniscayakan manusia pada kebutuhan pada agama dan temuan sains.


[i] Muhammad Wayong, “Sinergi Agama dan Sains: Suatu Paradigma Menuju Era Globalisasi Pendidikan”, Jurnal Lentera Pendidikan, Edisi 10, No 2, Desember 2007, h. 130
[ii] Abdul Ghaffar, “Sains dan Agama, Bertengkar atau Berkawan?”. Diunduh dari situs: kotasantri.com. 14 Januari 2014.
[iii] Hujair sanaky, Makalah “Integrasi Sains dan Agama”, disampaikan pada mata kuliah Agama, Budaya dan sains, Progam Doktor S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[iv] Hujair sanaky, Makalah “Integrasi Sains dan Agama”
[v] Edwin Syarif, “Pergulatan Sains dan Agama”, Jurnal Refleksi, Vol. XII, No. 1, 2010, h. 113
[vi] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, (Bandung: PT Mizan Putaka, 2013), h. 59

Senin, 13 Januari 2014

Menggugat Hadis Misogini (Pembacaan atas Buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih” karya Ahmad Fudhaili)

Oleh: Ali Thaufan DS

Upaya memahami pesan agama baik yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis terus dilakukan sarjana muslim. Hal ini merupakan tuntutan zaman dan kemajuan teknologi yang berkembang begitu cepat. Pada saat bersamaan, sarjana muslim berupaya mendobrak pemahaman “kaku” ulama klasik dalam memahami al-Qur’an dan Hadis. Demikian, apa yang dilakukan Ahmad Fudhaili dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih”. Melalui kritik matn, ia mengkritik pandangan dan pemahaman misogini hadis Nabi.

Term “hadis misogini” menjadi kajian yang menarik bagi pengiat hadis dan juga kalangan “Muslim feminis”. Secara bahasa, misogini dipahami sebagai pandangan “sebelah mata” terhadap perempuan. Dengan demikian, hadis misogini yang dimaksud oleh Fudhaili adalah semua perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan Nabi yang dan mempunyai konotasi pemahaman kebencian pada perempuan. Misonigi yang dimaksud Fudhaili bukanlah kebencian Nabi terhadap perempuan, mengingat hal itu tidak mungkin dilakukan seorang Nabi. Hanya saja, pemahaman yang tidak utuh seseorang terhadap hadis Nabi menyebabkan “salah kaprah” sehingga memunculkan stereotip bahwa Nabi membenci perempuan. Ironisnya, hal ini “diamini” oleh sebagian kalangan umat Islam sendiri. Sehingga perempuan dianggapnya selalu berada dibawah laki-laki.

Dalam sejarah panjang dunia ini, misogini lahir dari mitologi-mitologi agama. Khususnya berkaitan dengan penciptaan. Hampir semua agama sebelum Islam datang, pesan pendeskritan perempuan ditemukan dalam kitab suci agama mereka. Sebagai contoh pada tradisi agama Majusi, penciptaan laki-laki mendahului perempuan. Setelah perempuan diciptakan, ia hanya dianggap sebagai “pemuas” laki-laki. Seperti halnya Majusi, agama Zoroaster pun demikian. Dalam pandangan keagamaannya, perempuan diibaratkan sebagai ladang. Siapa saja bisa menanam didalamnya. Perempuan disewakan pada laki-laki lain sekalipun mereka telah bersuami. Bagi mereka, hal demikian adalah bentuk solidaritas. Demikian juga dalam pandangan Kristen yang merendahkan posisi perempuan. Agama tersebut menyampaikan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.

Selain pandangan keagamaan, terdapat beberapa orang yang memiliki pandangan bahwa perempuan hanya sebagai “penggoda” laki-laki. Diantara adalah Agustine, Origen dan Tertullian. Ketiga tokoh tersebut secara senonoh menganggap perempuan sebagai makhluk rendah tidak punya harga diri. Perempuan kerap disamakan dengan barang kepemilikan. Bahkan, Tertullian menganggap perempuan sebagai aktor diturunkannya Adam dari surga. Hal ini lantaran Hawa menggoda Adam untuk memakan buah terlarang di Surga. Sehingga Adam mendapat hukuman.

Dalam bukunya, Fudhaili menyajikan beberapa hadis yang bernada misogini. Hadis tersebut secara harfiah dianggap menyudutkan perempuan, seperti: kaum perempuan dianggap sebagai ahli neraka; perempuan sebagai penyebab putusnya salat; perempuan pembawa kesialan; penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok; perempuan dilarang menjadi pemimpin; serta perempuan sebagai pelayan suaminya. Tentu saja, penyudutan perempuan seperti tersebut diatas adalah fakta mencengangkan bagi aktivis feminisme. Terlebih hal itu berdasarkan hadis Nabi. Jika hadis tersebut hanya dipahami secara tekstual, maka akan muncul pandangan bahwa Islam sebagai agama yang mendiskritkan perempuan.

Fudhaili menggunakan kritik matn hadis dan pendekatan hermeneutik dalam membaca ulang hadis-hadis yang secara teks bernada menyudutkan perempuan. Upaya yang dilakukan oleh Fudhaili terbilang cukup berani karena kitab yang menjadi objek penelitiannya adalah Sahih Bukhari. Seperti diketahui, kitab tersebut dianggap paling otoritatif di bidang hadis.

Sebagai contoh, dalam menanggapi hadis yang secara teks bernada bahwa perempuan adalah ahli neraka, Fudhaili memberi jawaban yang jelas sesuai konteks. Riwayat hadis tersebut menceritakan saat Nabi hendak pergi salat idul fitri, Nabi melewati tempat para perempuan berkumpul. Nabi lalu berkata “Wahai perempuan, bersedekahlah, sesungguhnya aku diperlihatkan bahwa kalian adalah mayoritas penghuni neraka”. Saat perempuan balik bertanya terkait apa yang menyebabkannya masuk neraka, Nabi berkata “Kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami”.

Menurut Fudhaili, hadis tersebut tidak dimaksudnya merendahkan perempuan sebagai makhluk Tuhan. Nabi memberi pelajaran dan peringatan pada perempuan yang pada saat itu mulai berani melawan suami. Konteks hadis tersebut adalah saat perempuan kalangan Muhajirin mulai berani terhadap suaminya. Umar ibn Khattab sempat “gerang” dibuat ulah perempuan saat itu. Bahkan Nabi sendiri juga mengalami, namun Nabi mentolelir sikap istri-istrinya tersebut. Peristiwa itu adalah buah dari pergaulan perempuan dari kalangan Muhajirin dengan Ansor. Fudhaili menyatakan bahwa hadis tersebut bersifat temporal, sesuai pada saat hadis tersebut diucapkan Nabi.

Contoh lain dari hadis bernada misogini adalah hadis yang menyebutkan bahwa penyebab terputusnya salat adalah, Anjing, himar dan perempuan. Secara tekstual, hadis ini tentu saja menyudutkan perempuan karena dianggap sebagai biang terputusnya salat. Dalam melihat hadis tersebut, Fudhaili menampilkan hadis-hadis lain yang saling berkaitan. Ia menggunakan metode tarjih dan takwil. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang dimaksud bukankah memutuskan atau membatalkan salat, tetapi mengurangi kekhusu’an salat.

Selain hadis diatas, Fudhaili juga mengkritisi hadis yang secara teks melarang kepemimpinan perempuan. Ia menampilkan secara utuh serta penjelasan setting historis (asbab wurud al-hadis). Bahwa hadis tersebut adalah informasi dan sumpah Nabi pada Kisra yang telah merobek-robek surat dari Nabi. Ketika Nabi mendengar bahwa Kisra tersebut dalam kekalutan sehingga mengakat putrinya sebagai raja, Nabi pun mengatakan bahwa akan ada kehancuran bangsa yang dipimpin perempuan. Mengabaikan kepemimpinan perempuan tentu tidak sejalan dengan misi al-Qur’an yang sangat egaliter.

Bagi Fudhaili, istilah “hadis misogini” sebetulnya tidak ada. Tetapi ia tidak menafikan pandangan dan pemahaman misogini dalam hadis. Hal ini sangat berkaitan dari cara pandang seseorang dalam melihat hadis. Secara tegas Fudhaili mengkritik pandangan Fatimah Mernisi yang terlampau “sinis” terhadap hadis yang dinilainya misogini. Bahkan ia menyayangkan Imam Bukhari yang membukukan hadis-hadis bernada misogini. Menurutnya, hadis-hadis misogini harus dihilangkan dari literatur Islam. Kritik terhadap Fatimah Mernisi inilah yang menurut penulis sebagai kelebihan isi buku Fudhaili.


Dalam buku “Perempuan di lembaran Suci: Kritik atas Hadis-hadis Sahih”, Fudhaili telah menampilkan upaya kesetaraan gender berlandaskan pada nash-nash hadis. Ia menampilkan hadis yang terkesan misogini dengan memberi penjelasan fakta sejarah, dalil al-Qur’an dan mengkomparasikan dengan matn hadis lainnya. Atas penjelasannya, ia mengantarkan pembaca pada pemahaman hadis secara utuh. Menghindarkan pada anggapan Islam sebagai agama yang menyudutkan perempuan. Dikalangan akademisi, buku ini menjadi pelengkap “Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an” karya Nasaruddin Umar. Bagi penulis, buku Fudhaili telah memberi sumbangan pada upaya kesetaraan gender. Ia menjunjung posisi perempuan.

Selasa, 07 Januari 2014

Raja Survei itu Bernama Joko Widodo (Catatan Hasil Survei Elektabilitas Calon Presiden Harian Kompas)

Oleh: Ali Thaufan DS

Untuk ketiga kalinya, Harian Kompas merilis hasil survei. Survei terakhir yang dirilis pada 8 Januari 2014 ini memberi sumbangan informasi elektabilitas calon presiden. Selain Kompas, banyak lagi survei lainnya yang dilakukan oleh bebeberapa lembaga survei.
Survei Kompas yang terakhir ini mengukuhkan “adidaya” mutlak Joko Widodo dalam survei elektabilitas capres. Ia mencatat namanya sebagai capres yang tidak hanya akan dipilih oleh kader PDIP, tetapi juga kader partai lainnya. Tentu saja, pesona Jokowi dalam menjalankan tugas sebagai Gubernur Jakarta menjadi daya pikat responden.
Hasil survei Kompas kali ini memberi “aba-aba” bagi Prabowo Subianto, capres yang diusung partai Gerindra. Sejak resmi didaulat sebagai capres Gerindra, ia dianggap mampu menyaingi Jokowi dalam survei elektabilitas. Tetapi, pada survei terakhir ini, elektabilitasnya justru menurun. Berbeda dengan Aburizal Bakri, capres tunggal Golkar. Tren positif ia tunjukkan, ia mengalami penaikan elektabilitas dari tahun 2012 lalu.
Sementara itu, perkembangan signifikan terjadi pada Wiranto, ia mengalami penaikan secara pesat pada survei Kompas yang terakhir ini. Sejak mendeklarasikan maju menjadi capres bersama konglomerat Hari Tanoe, Wiranto punya porsi besar tampil di media televisi. Kekuatan media menarik elektabilitas Wiranto. Berbeda dengan kandidat capres “muka lama” yakni Megawati dan Jusuf Kalla, keduanya malah mengalami penurunan.
Berikut Hasil survei elektabilitas yang dilakukan Harian Kompas pada Desember 2012: Jokowi 17,7 persen, Prabowo 13,3 persen, Jusuf Kalla 6,7 persen, Aburizal Bakrie 5,9 persen, Wiranto 1,6 persen. Sedangankan pada Desember 2013 adalah: Jokowi 43,5 persen, Prabowo 11 persen, Aburizal Bakrie 9,2 persen, Wiranto 6,3 persen, Megawati 6,1 persen, Jusuf Kalla 3,1 persen
Mencermati waktu pemilihan umum, tampaknya amat susah bagi kandidat capres untuk dapat mengungguli elektabilitas Jokowi. Terlebih, kinerja baik yang ditunjukkan oleh Jokowi semakin riil. Masyarakat perlahan mulai membaca bahwa selama ini Jokowi bukan sekedar pencitraan belaka, tetapi etos kerja. Pencitraan memang dibutuhkan oleh siapapun yang akan tampil dalam pemilu caleg dan capres. Tetapi, tidak cukup hanya itu –pencitraan- karena masyarakat butuh bukti nyata sebuah kinerja.
Melihat fanomena kepemimpinan Jokowi yang memikat hati banyak rakyat telah menyulut kedengkian lawan politiknya. Bagai Pandawa yang selalu mendapat usikan Kurawa dalam kitab epos Mahabhrata. Ya, Jokowi tidak selalu mulus dalam menjalani hari-harinya memimpin Jakarta. Ia terus “dikebiri” oleh musuh-musuh politiknya. Tetapi, rakyat banyak terlanjur mencinta, justru rakyat balik mengkritik pada lawan Jokowi tersebut. Sang lawan Jokowi pun “berapologi” bahwa kandidat capresnya bukan jago survei elektabilitas.

Kini, Jokowi terlanjur menjadi buah bibir yang manis bagi masyarakat. Ia terlanjur dicintai oleh banyak orang. Meski tak kalah banyak juga pembencinya. Ia diramalkan oleh sebagian ahli Jawa kuno sebagai Satria Piningit dari Solo. Kesatria yang datang menjawab sumpah-sumpah Prabu Jayabaya. Jalan masih panjang bagi Jokowi. Ia harus terus membuktikan diri sebagai model pemimpin ideal.

Senin, 06 Januari 2014

Kontroversi Kenaikan Harga Elpiji (Sebuah Catatan Berita Media)

Oleh: Ali Thaufan DS

Kejadian teroris di Ciputat yang terjadi tepat pada malam tahun baru menigggalkan keresahan masyarakat akan kondisi keamanan. Masyarakat dihantui ancaman dan gangguan teror. Pasca kejadian itu, Awal tahun 2014 ini masyarakat diresahkan kembali dengan naiknya harga tabung gas elpiji 12 kg. Kenaikan tersebut menicu kenaikan kebutuhan bahan lainnya, terutama makanan. Pemerintah awalnya berkilah bahwa kenaikan itu dapat mengurangi beban negara. Elpiji 12 kg bukan lah subsidi negara, negara hanya mensubsidi tabung gas ukuran 3 kg.
Pemerintah menaikan harga tabung elpiji 12 kg berkisar Rp 3.959/kg nya.  Berarti harga tabung gas elpiji 12 kg sebesar Rp 135 ribu. Kenaikan harga tersebut dirasa membebani masyarakat pengguna tabung ukuran 12. Diasumsikan masyarakat akan memilih menggunakan tabung ukuran 3 kg yang disubsidi. Hal ini dinilai justru akan membebani tanggungan negara. Karenanya, Presiden dan Dirut Pertamina melakukan konsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk merevisi kenaikan harga.
Harga yang semula Rp 3.959/kg atau Rp 135 ribu/tabung ukuran 12 kg direvisi menjadi Rp 83 ribu/tabung. Hal ini berarti kenaikan elpiji 12 kg sebesar Rp 1.000/kg dari sebelumnya. Revisi harga akan diberlakukan mulai 7 Januari. Tentu saja, revisi tersebut telah merugikan sebagian konsumen atau bahkan agen elpiji yang terlanjur membeli elpiji 12 kg dengan harga sebelumnya, Rp 135 ribu.
Menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio ada unsur politisasi dan politik pencitraan terkait penurunan atau revisi harga elpiji. Presiden SBY dinilai melakukan pencitraan dalam merevisi harga elpiji 12 kg. Sebagaian lainnya menilai pemerintah “plin-plan” soal keputusan naiknya harga elpiji. Menteri BUMN Dahlan Iskan mengakui bahwa ia adalah orang yang paling salah atas kisrus kenaikkan harga elpiji ini. Pemerintah ceroboh karena menaikkan tanpa ada koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Meski demikian, Dirut Pertamina tetap mengklaim bahwa pihaknya merugi Rp 5,4 triliun dengan kenaikkan Rp 1.000/kg.

Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Pemerintah mengambil kebijakan tanpa ada koordinasi dengan pihak terkait dalam hal penaikan harga elpiji 12 kg. Setiap kebijakan pemerintah baik menaikan harga atau menurunkan harga kerap dianggap sebagai kebijakan politis dan pencitraan. Pemerintah seharusnya memberi putusan yang strategis dalam mengambil kebijakan publik seperti penaikan harga elpiji. Pemerintah seharusnya mensosialisasikan dan merasionalisasikan rencana kenaikan harga elpiji

Rabu, 01 Januari 2014

Bayang-bayang Teroris (Catatan Atas Penangkapan Teroris di Ciputat)

Oleh: Ali Thaufan DS
Tertangkap dan dihukum matinya gembong teroris seperti Amrozi, Imam Samudra dan lainnya ternyata tidak menyurutkan keberadaan teroris. Eksistensi mereka semakin tampak. Aksi-aksi para teroris tentu sangat meresahkan masyarakat. Beberapa peristiwa teror terakhir, justru kerap dilakukan ditempat umum dengan menjadikan polisi sebagai target sasaran. Hal ini mengindikasikan negara dalam keadaan tidak aman. Data badan nasional penganggulangan terorisme (BNPT) menunjukkan jumlah kasus teror selama 2011 sebanyak 10 kasus; pada 2012 sebanyak 14 kasus; dan pada 2013 sebanyak 12. Total jumlah kasus tersebut telah memakan 260 korban terduga teroris (Media Indonesia 02/01/2014).
Ditengah suka cita menyambut pergantian tahun baru, masyarakat dikejutkan berita aksi penggerebekan dan penembakan oknum terduga teroris (31/12/2013). Baku tembak oleh aparat polisi beriringan dengan suara petasan warga yang mereka menyalakan. Di Ciputat, sebuah kecamatan perbatasan antara Jakarta dan Banten, peristiwa tersebut terjadi. Tercatat dua kali sejak 2011-2013, pengerebekan terhadap terduga teror terjadi di wilayah yang terkenal karena keberadaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Penembakan oleh aparat polisi tersebut menewaskan enam anggota yang diduga teroris. Keenam anggota teroris tersebut merupakan satu kelompok dengan pelaku kasus penembakan anggota polisi di Cirendeu, Cilandak, Pondok Aren dan pencurian uang di ATM BRI Tangerang. Jaringan kelompok teroris tidak berdiri sendiri. Menurut Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), jaringan teroris memiliki ikatan “sel” satu dengan yang lain dan saling mengkoneksi (Hendropriyono:2009). Demikian juga seperti terjadi pada kelompok teroris yang tertambak di Ciputat. Hasil penyelidikan polisi menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki jaringan dengan kelompok fa’i Abu Umar dan Abu Roban pimpinan Mujahid Indonesia Barat (MIB).
Pasca tertembaknya oknum terduga teroris tersebut, polisi mengungkap akan ada tindakan teror yang akan terjadi kedepan. Pasalnya, terungkap sebuah blue print oknum teroris Ciputat. Mereka telah menargetkan beberapa tempat pengeboman. Sejumlah tempat yang talah mereka targetkan adalah wihara-wihara. Seperti diketahui, sebelumnya telah terjadi pengeboman di Wihara Ekayana.
Keberadaan kelompok teroris ditopang dengan kekuatan dana yang cukup besar. Akan sangat mustahil jika aksi mereka tanpa dukungan dana. Dana tersebut digunakan sebagai pengadaan persenjataan dan operasional aksi. Selain itu, dalam tradisi teroris, kesejahteraan baik keluarga dan pelaku telah terjamin. Hal ini oleh banyak pengamat teror dijadikan daya tarik dalam merekrut anggota baru.
Terkait aksi teror, Yasraf Amir Piliang mencatat bahwa aksi teror tidak lebih sekedar “simulasi teror”. Tidak ada terorisme sejati (true terrorrist). Aksi teror merupakan artifisial dari kekuatan yang berapa dibalikknya. Ia diciptakan sebagai permainan realitas, psikologi massa, opini kepentingan pihak tertentu (Piliang:2011). Segudang kepentingan dan tujuan berada dibalik kejahatan teror, seperti kepentingan politik; penguasaan ekonomi, pemaksaan ideologi serta ketidakpuasan terhadap relitas real menjadi faktor aksi kejahatan tersebut.
Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Negara Indonesia dalam bayang-banyang teroris. Artinya, negara dalam kondisi tidak aman. Jaringan kelompok teroris masih mempunyai akar di Indonesia. Menjelang pemilu 2014 ini, tentu negara dalam keadaan ketidakpastian diberbagai lini seperti politik, ekonomi dan keamanan, karenanya perlu adanya penangganan aksi teror. Negara harus menjamin terciptanya kondisi aman tersebut. Upaya pencegahan aksi teror harus selalu digalakkan. Pentingnya upaya deradikalisasi paham-paham yang menyimpang dari mainstream.