Selasa, 18 Oktober 2016

Dua Tahun Joko Widodo (Sebuah Refleksi)



Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
 
20 Oktober 2014 lalu, Joko Widodo secara resmi dilantik sebagai Presiden RI ke-7 bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Ia menjadi harapan baru Indonesia. Majalah terkemuka Amerika, Time menerbitkan edisi untuk menyambut pelantikan Jokowi dengan gambar fotonya dan bertulis “a new hope”. 

Diawal pemerintahannya, Jokowi mendapat kendala yang sangat berarti, minimnya dukungan parlemen. Partai pendukung pemerintah dibuat keok dalam beberapa momentum penentuan pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan. Kondisi ini seperti menjadi momok yang digambarkan oleh Robert Elgie (2001) dalam Divided Goverment in Comparative Perspective, bahwa minimnya dukungan parlemen adalah hal menakutkan bagi pemerintah presidensial. Perlahan tapi pasti, pemerintah mampu merontokkan dominasi kekuatan partai oposisi di parlemen. Jokowi pun akhirnya mendapat dukungan lebih. Dukungan lebih ternyata juga menyulitkannya. Pasalnya, ia harus membagi kursi menteri untuk partai-partai yang baru bergabung.

Harapan baru seperti tertuang dalam Time dengan tulisan “a new hope” tak berbanding lurus dengan realita. Tak lama memimpin, muncul “meme” dengan tulisan “a new hopeless”, menggambarkan kekecewaan dan kegagalan Jokowi. Meme ini ditengarai adanya indikasi pembiaran konflik KPK-Polri serta penangkapan beberapa komisioner KPK. Melihat pelemahan KPK, publik kecewa.

Jokowi menangkap pesan kekecewaan publik dengan baik. Segera ia berbenah dibanyak sektor. Di sektor hukum misalnya, Pemerintah Jokowi mencoba berbenah dengan menegakan hukum. Ia mengambil kebijakan dengan menghukum mati terpidana penyalahgunaan narkoba meski harus menuai protes keras dari beberapa aktivis HAM dan juga negara tetangga. Kebijakan tersebut harus diakui meningkatkan popularitasnya. Kepuasan publik di sektor hukum pun meningkat.

Terkait dengan kondisi ekonomi, pemerintah memang punya tantangan besar. Selain karena faktor eksternal (ekonomi global) yang memengaruhi ekonomi dalam negeri, pemerintah harus dihadapkan pada kenyataan sulitnya membuka lapangan kerja dan terus meningkatnya jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya jumlah penduduk miskin dari 27,7 juta pada tahun 2014, meningkat pada 2015 menjadi 28,5 juta.[1] Di tengah ketidakpastian ekonomi, pemerintah melakukan banyak upaya dengan menerbitkan paket kebijakan ekonomi hingga beberapa kali. Salah satu yang menjadi tujuan adalah kemudahan investasi untuk membuka lapangan kerja.

Kondisi politik pasca bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan disusul Golkar semakin memantapkan kekuatan partai pendukung pemerintah di parlemen. Pembahasan RAPBNP TA 2016 relatif lancar. Posisi Jokowi juga semakin “nyaman” setelah Golkar secara resmi mendukung pencapresannya di 2019 nanti. Meski keputusan Golkar dinilai terlalu dini, tetapi hal ini menjadi amunisi Jokowi untuk memuluskan programnya di parlemen.

Gonjang-ganjing di Kabinet Kerja yang kerap muncul segera mendapat respon Jokowi. Beberapa menteri yang dianggap kerap membuat “gaduh” ia copot. Posisi penting dalam kabinet ia percayakan pada sosok profesional seperti, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, dan Ignatius Jonan sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Jabatan strategis yang diduduki dari profesional tersebut sekaligus menjawab tudingan Jokowi sebagai “boneka partai”.

Dua tahun pemimpin Indonesia bukan hal mudah bagi Jokowi. Ia menyadari banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah, dan belum diselesaikan. Bagi Jokowi, pembangunan infrastruktur masih menjadi prioritas ke depan. Pemerataan pembangunan mulai dari pinggiran dan wilayah-wilayah perbatasan juga menjadi perhatian. Pemerintah membantah bahwa rencana pemotongan anggaran akan mengganggu pembangunan yang sedang berjalan. Dalam berbagai kesempatan ditegaskan bahwa pemotongan hanya pada belanja operasional pegawai, bukan belanja modal. (Kompas 17/10/2016).

Menjelang genap dua tahun kepemimpinan Jokowi, publik berkeyakinan bahwa jalannya pemerintahan saat ini lebih baik. Dalam enam bulan terakhir, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan meningkatnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Namun demikian, hasil survei ini tidak bisa dijadikan legitimasi keberhasilan Pemerintah Jokowi. Berbagai masalah lintas sektor tidak bisa dinafikan.

Menuju tiga tahun Pemerintah Jokowi, publik berharap agar pemerintah memenuhi kontrak politik mereka dengan rakyat, seperti yang disampaikan pada saat kampanye. Janji kampanye jelas terekam dalam memori publik, dan sewaktu-waktu dapat menagihnya.



[1] “Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2013-2016”, https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119, diakses pada 18/10/2016.

Selasa, 11 Oktober 2016

Menyoal Dana dan Kaderisasi Parpol



Oleh: Ali Thaufan DS (Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, dan Alumnus Progam Magister UIN Jakarta)
 
Wacana penambahan dana untuk partai politik dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kembali mengemuka. Komisi II DPR RI dan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) telah membahasnya dalam Rapat Kerja, Senin (3/10) lalu. Sebagian masyarakat pun menanggapi negatif penambahan dana suntikan untuk parpol tersebut. Terlebih kondisi ekonomi yang dalam ketidakpastian karena adanya pemangkasan anggaran dibanyak sektor. Pandangan mereka terhadap parpol masih cenderung negatif.

Maurice Deverger (1981) menyatakan bahwa tujuan partai politik tidak lain hanya untuk meraih kekuasaan dan kepentingan. Parpol akan selalu berusaha menguasai “eksekutif-Legislatif” serta mempengaruhi kebijakan pemerintah demi kepentinganya. Lalu, benarkah demikian? Di tengah usulan parpol untuk meminta tambahan dana, wajar jika masyarakat membenarkan pandangan Deverger tersebut.

Pendanaan parpol oleh negara memiliki payung hukum, yaitu Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, yang kemudian direvisi dengan PP No. 83 tahun 2012. Dalam PP tersebut parpol diberikan dana berbasarkan perolehan suara. Satu suara dihargai sebesar Rp. 108, yang kemudian dikalikan dengan perolehan suara pada Pemilu sebelumnya berdasarkan penghitungan KPU. Jumlah tersebut dinilai terlalu kecil sehingga parpol dalam banyak kegiatan (baik harian maupun kegiatan tertentu seperti Pemilu dan Pilkada) harus mencari sumber pendanaan lain.

Pendanaan parpol kerap menjadi sorotan manakala parpol dihadapkan pada minimnya bantuan dari negara dan besarnya kebutuhan operasional, terutama saat menghadapi Pemilu. Ada gap yang cukup besar antara pendapatan dan pengeluaran uang parpol. Pada akhirnya, untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar tersebut, “gotong-royong” memikul dana parpol menjadi kewajiban kader parpol. Sumbangan kader menjadi solusi utama menambal kekurangan.

Pendanaan parpol oleh negara sejatinya dimaksud untuk melakukan pendidikan politik kader parpol. PP No. 83 tahun 2012 pasal 9 bahkan mensyaratkan agar minimal 60 persen dana yang diberikan negara digunakan untuk melakukan fungsi pendidikan politik bagi kader parpol. “Bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen)”. Hal ini pula yang mengundang polemik saat DPR berencana membuat sekolah politik bagi anggota DPR, karena anggota DPR yang merupakan kader parpol seharusnya mendapat pendidikan politik internal parpol.

Batuan anggaran negara kepada parpol memang dirasa sangat penting. Tentu saja dengan bantuan keuangan tersebut, parpol di Indonesia dapat bertransformasi menjadi parpol yang modern dan berkualitas. Pendanaan parpol juga dianggap dapat meminimalisasi perilaku koruptif kader. Di negara-negara maju penganut sistem demokrasi, dana parpol memang disediakan oleh negara.

Perlu diingat, bahwa parpol juga dituntut untuk menjaga tranparansi dan akuntabel terhadap pendanaan atau keuangannya. Parpol diwajibkan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab penggunaan dana negara. Pada saat bersamaan harus ada kesadara parpol untuk pengelolaan keuangan yang lebih sehat.

Owen Podger (2016) menyampaikan bahwa akuntabilitas dan transparansi parpol di Indonesia harus segera dimulai. Hal ini dapat dimulai dari momentum parpol saat menghadapi Pilkada. Penyelenggara Pemilu (KPU) harus mengaudit keuangan parpol. Dengan transparansi tersebut, masyarakat akan bersimpati, dan merubah pandangan parpol yang elitis dan ekslusif.

Pendanaan parpol dan kaderisasi yang dimaksudkan seperti tidak berjalan seiringan. Contoh kecil dari hal ini adalah pencalonan pada Pilkada DKI Jakarta. Seluruh calon gubernur bukan berasal dari kader parpol, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah mantan kader partai Golkar dan Gerindra, Anis Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono pun tak pernah mengenyam kerasnya pendidikan sebagai kader parpol.

Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, artibut relawan pendukung pasangan calon justru lebih mendominasi ketimbang atribut parpol. Gerakan dan mobilisasi relawan jauh lebih masif, terstruktur, terukur, dan sistematis. Publik justru lebih senang calonnya hadir bukan dari parpol. Hal ini terbukti pada saat Ahok resmi diusung parpol, beberapa relawan yang mendukungnya pun menarik dukungan terhadapnya. Ini bisa dimaknai sebagai “tamparan relawan kepada parpol”.

Pendanaan parpol bukan soal setuju atau tidak, tetapi ini adalah amanat peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan. Untuk itu diperlukan keseriusan parpol dalam mengelola keuangan. Pengawasan pendanaan dan transparansi keuangan tetap bisa dilakukan oleh lembaga negara (BKP, PPATK, KPK) juga masyarakat partisan parpol. Oleh sebab itu, tidak perlu ada lagi kekhawatiran terhadap pendanaan parpol oleh negara. Parpol yang melakukan penyimpangan pengelolaan keuangan pada akhirnya akan mendapat “hukum masyarakat”.

Dengan pendanaan dari negara tersebut, parpol punya kewajiban untuk melakukan kaderisasi sesuai dengan AD/ART parpol yang bersangkutan. Pemerintah bisa saja merumuskan aturan sanksi bagi parpol yang gagal mengkader. Indikator kegagalan tersebut bisa ditetapkan dengan sederhana, misalnya, menghentikan bantuan pendanaan bagi parpol atau gabungan parpol yang tidak mengusung calon dalam pilkada, dan tidak melakukan pendidikan politik kader maupun rekrutmen kader. 

Komitmen pendanaan sesuai PP memberikan konsekuensi komitmen kaderisasi bagi parpol. Dengan dana tersebut parpol dapat leluasa melakukan pengkaderan dan menjalankan fungsi pendidikan politik. Parpol harus merumuskan pendidikan politik yang lebih menarik bagi kadernya. Pendidikan politik juga harus bersifat inovatif tanpa mengurangi substansi muatan materi seperti ditentukan dalam peraturan yang berlaku.

*) Suara Karya, 6 Oktober 2016

Duka Garut, Duka Indonesia



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Selasa 20 September 2016 menjadi hari penuh duka bagi warga Garut. Banjir bandang yang datang malam hari menjadi bencana yang tak terlupa seumur hidup bagi mereka yang selamat dari amukan luapan air sungai Cimauk. Kesedihan Garut seketika menjadi kesedihan Indonesia setelah media memberitakan bencana yang menelan puluhan korban jiwa tersebut.

Banjir tak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga korban disektor ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Puluhan sekolah dikabarkan rusak. Akibat kerusakan infrastruktur, aktivitas ekonomi warga praktis terhenti. Banjir juga merusak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Slamet, dan ditaksir mengalami kerugian hingga miliaran rupiah. 

Banjir di kota yang berjuluk Swiss van Java tersebut menjadi penanda rawannya bencana di Indonesia, terlebih saat musim hujan. Jika keseimbangan alam tidak dijaga, banjir yang sama diperkirakan akan kerap terjadi. Pemerintah Kabupaten Garut menyadari bahwa hutan di selatan Garut terus tergerus, mengalami penyempitan. Oknum tak bertanggung jawab mengunduli kawasan hutan yang seharusnya menjadi cadangan air tersebut.

Sebelum bencana banjir bandang ini, beberapa peristiwa banjir tercatat di Garut. Nyoto Santoso mencatat pada tahun 2011 terjadi banjir di daerah aliran sungai Cimauk yang menghanyutkan tiga rumah. Banjir yang sama terjadi kembali pada 2014 dengan merendam 720 rumah warga. Akibatnya, 35 unit rumah mengalami kerusakan. Banjir tersebut juga menjadi bencana bagi hewan ternak penduduk seperti, ikan, sapi dan kambing.

Sebagian pihak menuding banjir tersebut akibat penggundulan hutan dan penebangan liar yang tidak diikuti dengan reboisasi. Keserakahan manusia membuahkan bencana. Peneliti dari Universitas Gaja Mada (UGM) menyimpulkan bahwa bencana ini bukan semata karena faktor alam, tetapi adanya alih fungsi lahan yang tidak diikuti dengan kajian komprehensif. Banyak pihak prihatin akibat hutan gundul yang menjadi biang bencana banjir ini. Aparat penegak hukum mendapat tuntutan untuk mengungkap kasus penebangan liar dan menindak tegas pelakunya. 

Kini Garut menanggung beban berat. Revitalisasi pasca banjir bukan perkara mudah. Butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi infrastruktur yang rusak. Secara psikis, kondisi korban Garut masih diliputi trauma mendalam, terutama anak-anak. 

Pemerintah Garut mengaku kini kesulitan keuangan. Sebelum banjir, Pemkab Garut sudah meminjam dana di bank untuk menutup defisit sebesar Rp. 324 miliar. Tentu saja beban kian berat pasca banjir. Pemkab harus memberi jaminan warga korban banjir sebesar Rp. 10.000 per orang dalam satu hari selama enam bulan. Jika ditotal, Pemkab harus menyediakan dana sebesar Rp. 4,5 miliar. (Kompas 30/9/2016).

Untuk menangani korban banjir ini, Pemkab tidak bisa menyelesaikan sendiri. Pemerintah pusat harus “menginvervensi”. Diperlukan sinergi antarkementerian dan lembaga negara. Untuk menanganan kerusakan infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Penataan ulang tata ruang kota juga harus dilakukan untuk memetakan daerah pemukiman, ruang terbuka hijau, dan kawasan hutan. Penegakan hukum bagi oknum yang melalukan penebangan liar hutan di Garut juga harus ditindak tegas sebagai imbalan dari ulahnya. Dengan semangat kebersamaan, penanganan korban Banjir Garut dapat segera diselesaikan.

Menyoal Mental Pemalsu



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Sepanjang tahun 2016 ini, masyarakat Indonesia digegerkan dengan peredaran barang dan produk palsu. Tentu, hal ini menjadi sesuatu paling menakutkan. Ironisnya, para pemalsu tetap saja melakukan tindakan keji, hanya demi meraup keuntungan dari bisnis palsu yang dijalankan. Penyakit “keserakahan” membuat orang meraih banyak hal dengan menghalalkan segala cara. Dalam keadaan sedemikian rupa, tidak ada pilihan lain bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas pelaku pemalsuan barang dan produk.

Harian Kompas (9/9/2016) membeberkan beberapa pemalsuan yang terjadi sepanjang tahun 2016. Pemalsuan itu terjadi diberbagai sektor seperti: pendidikan, kesehatan, pertanian dan pangan, serta dokumen kependudukan. Pada sektor pendidikan, tercatat terjadinya pemalsuan ijazah strata I yang melibatkan Muhammad Rifai, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Kasus ini sungguh memalukan karena melibatkan seorang mantan anggota Dewan.

Di sektor pertanian, kasus pemalsuan pupuk palsu terjadi di Sukabumi Jawa Barat. Aparat kepolisian sindikat kejahatan ini. Untuk sektor pertanian, ini bukan kali pertama. Pada tahun 2015 lalu, masyarakat juga diresahkan dengan beredarnya beras palsu di pasaran. Beras yang menjadi konsumsi (makanan) utama masyarakat seketika saja menjadi hantu yang menakutkan. 

Pemalsuan juga terjadi pada dokumen kependudukan. Pada bulan Agustus Polisi menemukan 159 pelaku kejahatan yang menggunakan KTP elektronik palsu. Terungkapnya penjahat dengan KTP palsu ibarat membuka buruknya sistem perekaman data kependudukan. Petugas pembuatan KTP seakan dikelabuhi oleh para pelaku kejahatan. Patut dicurigai, adanya oknum petugas pembuatan KTP yang “bermain” dengan orang-orang tak bertanggung jawab dalam pembuatan KTP. Terungkapnya kasus KTP palsu ini menambah kesal masyarakat yang sudah sangat kesulitan membuat KTP, dan kini justru dipalsukan. Kasus pemalsuan dokumen ini juga terjadi di Maluku. Ratusan orang dikabarkan menerima surat keputusan penerimaan calon PNS, tetapi sayangnya surat itu palsu!

Kasus yang mungkin paling menghebohkan di tahun 2016 adalah pemalsuan di sektor kesehatan. Tercatat terdapat empat kasus pemalsuan. Pertama, jamu palsu yang beredar di Bogor Jawa Barat pada Februari. Setelah terungkap, badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) akhirnya menutup pabrik jamu palsu tersebut. Kedua, terungkapnya vaksin palsu yang Juli. Dari informasi yang penulis himpun, vaksin palsu ini menyebar dibeberapa daerah, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah (meliputi: Semarang dan Yogyakarta), dan Sumatera Utara (Medan). Ketiga, terungkapnya peredaran obat ilegal di Tangerang Banten. Keempat, beredarnya kartu BPJS Kesehatan palsu di Jakarta dan Cimahi Jawa Barat.

Pemalsuan produk di sektor kesehatan ini sangat mengganggu psikis masyarakat. Pamalsuan vaksin misalnya, telah membuat ketakukan ibu-ibu yang akan melakukan imunisasi anak-anaknya. Pemalsuan vaksin ini sama halnya dengan meracuni anak-anak generasi bangsa. Motif pelaku tidak lain hanya karena faktor ekonomi. 

Maraknya kasus pemalsuan menunjukan “kehinaan” mental pelaku. Ini tidak boleh dibiarkan. Alasan kebutuhan ekonomi tidak dapat dibenarkan jika kemudian menjadi dalih utama melakukan kejahatan. Negara harus tegas terhadap tindakan jahat tersebut. masyarakat tidak ingin generasi bangsa dirusak oleh produk palsu.