Jumat, 25 Mei 2018

Konflik Dengan Gus Dur dan Pergerakan PKB: Batu Sandungan Cak Imin


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Muhaimin Iskandar (akrab dipanggil Cak Imin), Ketua Umum Dewan Pempinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) gencar melakukan sosialisasi untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden. Namun, pada saat yang sama, muncul gerakan yang dapat menurunkan elektabilitasnya, yaitu Pergerakan Pemuda Kemahasiswaan Bersatu (Pergerakan-PKB). Gerakan ini menggunakan nama singkatan yang mirip dengan “PKB”. Memunculkan kesan bahwa PKB tidak solid.

Menjelang Pemilihan Presiden 2019, beberapa ketua umum partai politik menjajaki kemungkinan koalisi pencapresan. Mereka juga memasang spanduk capres dan cawapres dalam rangka sosialisasi meski belum memasuki masa kampanye. Pada partai berbasis pemilih muslim, muncul beberapa nama seperti Cak Imin (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy (PPP). Diantara ketiga nama tersebut, Cak Imin relatif unggul dalam berbagai survei. Keunggulan Cak Imin bisa dipastikan karena PKB memiliki basis pemilih dari masyarakat Nahdliyin (sebutan bagi masyarakat Nahdatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia). Cak Imin membuat gagasan Sudurisme, sebuah gagasan untuk menggabungkan ide-ide Sukarno yang nasionalis dan Gus Dur yang memiliki konsep “Pribumi Islam” (Lihat dalam Detik X Investigasi “Sudurisme dan Konflik Cak Imin Vs Gus Dur”).

Meski mendapat dukungan dari sebagian masyarakat NU, pada saat yang sama, Cak Imin juga mendapat penolakan dan tidak diterima oleh sebagian masyarakat NU, terutama dari NU Gusdurian (kelompok masyarakat NU pecinta dan pengagum Gus Dur). Hal ini disebabkan konflik antara Gus Dur dengan Cak Imin pada 2007. Puncak dari konflik ini, Gus Dur akhirnya tersingkir dari PKB (Firman Noor:2016).

Luka hati pecinta Gus Dur kepada Cak Imin tak mereda. Mereka menolak pencalonan Cak Imin untuk menjadi cawapres. Sejak konflik itu, berbagai upaya dilakukan kubu Cak Imin untuk bisa kembali “merangkul” keluarga Gus Dur dan para pengagumnya. Salah satu pengurus PKB, Daniel Johan mengungkapkan bahwa konflik Gus Dur dan Cak Imin pada 2007 adalah penggemblengan Gus Dur kepada anak-anak muda di PKB saat itu. Menurut Daniel, Gus Dur tidak pernah marah kepada Cak Imin.

Pernyataan Daniel tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan pihak keluarga Gus Dur. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Allisa Wahid, putri Gus Dur menceritakan kepada publik bagaimana sebetulnya perasaan Gus Dur saat dikudeta Cak Imin dari PKB: Gus Dur sakit hati kepada mereka yang telah dibawa masuk ke politik (PKB). “Sebagai orang yang blak-blakan, (saya) mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada ‘musuh-musuh’ politiknya, respons Bapak saat itu amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.” demikian kata Allisa. Konflik Gus Dur dengan Cak Imin bisa menyulitkan langkah Cak Imin untuk menuju kursi capres atau cawapres.

Selain konflik dengan Gusdurian, langkah Cak Imin terganjang kasus “Kardus Durian” kasus yang sering dikaitkan dengan Cak Imin. Istilah Kardus Durian merujuk pada pada peristiwa ditemukannya kardus durian berisi uang 1,5 miliar di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 25 Agustus 2011. Uang ini diduga sebagai gratifikasi PT. Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor sebuah proyek. Saat itu, Cak Imin sedang menjabat sebagai menteri. Peristiwa inilah yang membuat Cak Imin terseret atau “diseret-seret” dalam kasus tersebut.

Dua pokok masalah di atas menjadi batu sandungan bagi Cak Imin menuju jalan cawapres 2019. Cak Imin harus melakukan konsolidasi kepada keluarga Gus Dur dan Gusdurian karena betapapun, mereka adalah pemilih potensial. Isu keterlibatan Cak Imin dalam kasus Kardus Durian juga harus ditanggapi serius oleh Cak Imin. Pasalnya, seseorang yang dikait-kaitkan dengan kasus korupsi, sekalipun tak terbukti, cukup membuat jatuh moralitas, dalam konteks Cak Imin, elektabilitasnya bisa menurun.

Kamis, 24 Mei 2018

Masa Depan “Buram” Partai Idaman


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Partai Islam Damai dan Aman (Idaman) telah dinyatakan tidak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilihan Umum 2019. Tidak berselang lama setelah putusan tersebut, Ketua Umum Partai Idaman “Raja Dangdut” Rhoma Irama menyatakan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Bergabunganya Partai Idaman ke PAN dideklarasikan di Kuningan Jakarta pada Sabtu 12 Mei 2018.

Salah satu ciri negara demokrasi adalah memberi keleluasaan warga negara berserikat membentuk partai politik. Inilah yang terjadi di Indonesia sesaat pascakemerdekaan. Kemudian pada era Presiden Suharto, parpol dibatasi. Pada tahun 1973, partai-partai berasas Islam difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai nasionalis di fusikan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan kemudian dibentuk Golongan Karya sebagai wadah kendaraan politik pemerintah.

Setelah era Presiden Suharto usai pada 1998, Indonesia memasuki babak baru berdemokrasi. Kebebasan berpolitik diberlakukan kembali. Sontak, saat itu segera lahir partai-partai politik baru dan partai-partai yang dulu telah ada sebelum fusi muncul kembali. Pada Pemilu 1999, diikuti sebanyak 48 parpol; Pemilu 2004 sebanyak 24 parpol; Pemilu 2009 sebanyak 44 parpol, Pemilu 2014 sebanyak 12 parpol tingkat nasional ditambah 3 partai lokal Aceh; dan pada Pemilu 2019 nanti diikuti sebanyak 16 parpol tingkat nasional dan 4 partai lokal Aceh.

Reformasi yang melahirkan banyak parpol ternyata diwarnai ketidakpercayaan publik pada parpol-parpol. Dalam berbagai survei, parpol dianggap sebagai lembaga politik yang korup. Meski demikian, partisipasi masyarakat masih terbilang tinggi dalam beberapa Pemilu pascareformasi. Pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi pemilih sebanyak 92,74 persen; Pemilu 2004 sebanyak 84,07 persen; Pemilu 2009 sebanyak 77,99 persen; dan Pemilu 2014 sebanyak 75,11 persen (Litbang Kompas, 2016:20).

Di tengah ketidakpercayaan masyarakat pada parpol, ternyata tidak menyurutkan minat beberapa elit politik untuk membentuk parpol. Jumlah parpol peserta Pemilu mengalami pasang surut, naik dan turun. Menjelang Pemilu 2019, muncul 4 parpol baru yang lolos verifikasi KPU. Sebelumnya, KPU telah menyatakan 13 parpol tidak lolos verifikasi antara lain Partai Idaman, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Ketiga parpol tersebut mengajukan banding, dan kemudian dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 2019 kecuali Partai Idaman. Keputusan ini menjadi “cambuk menyakitkan” bagi Raja Dangdut Rhoma Irama yang memimpin Partai Idaman.

Keputusan ini menandai bahwa Partai Idaman tidak dapat mengikuti Pemilu 2019. Akan tetapi, nafsu berpolitik Rhoma Irama tidak surut. Ia kemudian membawa gerbong Partai Idaman untuk bergabung dengan PAN. Untuk menghadapi Pemilu 2019, kader-kader Partai Idaman difasilitasi untuk pencalegan melalui PAN dan dibuatkan kartu keanggotaan PAN. Keputusan Partai Idaman bergabung dengan PAN dalam pencalegan secara otomatis membuat gugur status keanggotaan kader-kader Partai Idaman. Hal ini merujuk pada Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik pasal 16 huruf c yang menyatakan “Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila menjadi anggota Partai Politik lain”.

Kiprah Rhoma Irama di politik Indonesia bukan kali ini saja (bersama Partai Idaman). Pada Pemilu 2014 Rhoma bergabung dengan PKB, dan menawarkan diri menjadi capres. Ambisi Rhoma terjun ke politik dan ingin menjadi capres sebetulnya banyak disayangkan para pecinta lagu Bung Haji (sebutan Rhoma). Pasalnya, Rhoma dinilai lebih pas menjadi Raja Dangdut dari pada Raja Indonesia (Presiden RI).

Kepiawaian berpolitik Rhoma tidak secakap dalam bermain dangdut. Jalan politik yang ditempuh lebih banyak mengundang kontroversi. Yang terakhir adalah membawa Partai Idaman bergabung di PAN. Dengan beralasan bahwa Partai Idaman dan PAN memiliki kesamaan platform adalah hal konyol. Jika memang memiliki kesamaan, seharusnya Rhoma tak perlu “repot-repot” mendirikan Partai Idaman karena Rhoma bisa bergabung dengan PAN sejak dulu. Alasan kesamaan platform dalam menentukan pilihan politik terkadang di luar kendali logika.

Dengan bergabungnya kader-kader Partai Idaman ke PAN, otomatis menggugurkan status keanggotaan mereka sebagai kader Partai Idaman. Hal ini tentu membuat buram masa depan Partai Idaman, sebuah parpol yang baru dibentuk pada 14 Oktober 2015 itu. Sebelum berkompetisi di Pemilu, Partai Idaman telah gagal melewati ujian syarat dari KPU dan kini justru bergabung dengan partai lain yang seharusnya menjadi kompetitor. Sungguh Terlalu.  

Konflik Internal PPP dan Lahirnya “PPP Khittah”


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Sebagai partai politik Islam “tertua”, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah merasakan manis-pahit politik Indonesia. Berbagai tekanan dan intervensi oleh rezim Orde Baru hingga konflik internal, adalah narasi yang tak terpisahkan bagi PPP. Campur tangan Orba saat berkuasa, membuat PPP terkungkung dan tak mampu bergerak progresif (Haris, 1991:8). Setelah berakhir Orba, PPP dihadapkan pada munculnya banyak parpol Islam, dan konflik internal yang menggerogoti tubuh PPP. Kini, setelah dua dekade pascareformasi, PPP tetap berkutat dengan konflik internal yang seolah tak berkesudahan.

Pada dekade pertama reformasi, PPP terpecah, sebagian kelompok tetap bernaung di PPP dan sebagian lain bergabung di Partai Persatuan (PP). PP didirikan pada 3 Januari 1999 dan diketuai mantan Ketua Umum PPP, Jaelani Naro. Berdirinya PP tentu memecah suara PPP di Pemilu 1999. PP di bawah Jaelani Naro tak mampu bersaing dengan PPP yang saat itu diketuai Hamzah Haz. Pada Pemilu 1999, PP mendapat 1 kursi di parlemen. Selanjutnya PP tidak pernah muncul lagi dalam kontes Pemilu (Litbang Kompas, 2016:417).

Selanjutnya, PPP juga dihadapkan pada konflik hebat yang membuatnya pecah dan melahirkan parpol baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 2003. Saat itu, ketua umum Hamzah Haz ingin menunda pelaksanaan Muktamar V. Keinginannya itu ditolak oleh beberapa elit PPP yang dimotori Zainuddin MZ. Mereka menghimpun kekuatan untuk mendesak Hamzah agar melaksanakan Muktamar sesuai aturan. Akhirnya dari konflik ini adalah munculnya PPP Reformasi yang pada perkembangannya berubah menjadi PBR. Munculnya PBR juga memecah suara PPP dalam Pemilu 2004. Saat itu, PPP sendiri memperoleh 58 kursi parlemen. Sedangkan PBR mendapat 14 kursi (Effendy, 2006:116).

Pada dekade kedua reformasi, konflik PPP seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari jalannya roda partai berlambang Ka’bah tersebut. Ka’bah yang menjadi simbol persatuan umum Islam tak mampu menjadi semangat kader-kader PPP untuk tertap bersatu di “Rumah Besar Umat Islam” itu. Konflik muncul dikarenakan perbedaan pendapat dalam dukung-mendukung pasangan calon presiden.

Di era kepemimpinan Suryadharma Ali, ia membawa PPP bergabung dalam koalisi mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Akan tetapi, keputusan Surya tidak diterima pengurus lain, karena pengurus lain memberikan dukungan kepada Joko Widodo. Buntut konflik ini terus berlanjut hingga PPP mengalami fase terburuk, yaitu dualisme kepengurusan. Konflik dualisme ini membuat konsolidasi PPP terhambat dalam menghadapi Pilkada serentak 2015, 2017 hingga 2018 karena ada beberapa pengurus wilayah (DPW) yang tidak sependapat dengan keputusan DPP PPP dalam penentuan koalisi di Pilkada.

Konflik internal PPP, juga mengakibatkan adanya beberapa kader yang berpindah partai. Mereka yang berpindah dikarenakan kecewa dengan konflik yang berkepanjangan. Perilaku elit yang terkesan memburu kekuasaan (ketua umum) membuat kader hilang kepercayaan. Semangat PPP menjadi wadah saluran aspirasi umat Islam tampaknya sulit terwujud dalam kondisi internal yang terus berkonflik.

Dalam kasus konflik antara Romahurmuzy dan Djan Faridz, kader senior, Dimyati Natakusumah yang juga Sekjend PPP kubu Djan memutuskan keluar PPP dan bergabung ke PKS. Bahkan Dimyati yang masih menjabat sebagai Anggota DPR RI Fraksi PPP tersebut sudah dikenalkan di lingkungan PKS sebagai bakal caleg dari PKS. Dimyati mengakui bahwa ia bergabung dengan PKS karena memiliki visi dan misi seperti PPP di era Orba. Ia juga tidak menutupi bahwa alasan ia keluar dari PPP karena sudah lelah menghadapi konflik internal selama empat tahun.

Salah satu tokoh PPP di Aceh, Muhammad Yus juga memutuskan hengkang dari PPP. Alasan utama keputusannya adalah karena konflik internal yang tak kunjung selesai. Yus yang telah bergabung dengan PPP sejak tahun 1990 akhirnya bergabung ke Partai Bulan Bintang (PBB). Tokoh PPP lain yang keluar adalah Ahmad Yani. Calon kandidat Ketua Umum PPP pada Muktamar VII (2011) ini juga memutuskan bergabung ke PBB dan mengklaim mampu membawa dua juta suara.

Kader PPP yang kecewa dengan dualisme membentuk kubu baru bernama “PPP Khittah” yang dideklarasikan pada 4 Mei 2018 di Yogyakarta dan diketuai oleh Tamam Achda. PPP Khittah merupakan poros baru yang berupaya mengembalikan PPP pada shirat al-mustaqim (jalan lurus). PPP Khittah juga menegaskan bahwa mereka tetap menjadi bagian dari PPP hasil fusi parpol Islam sebelumnya, Nahdatul Ulama, Parmusi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (Perti).

PPP Khittah menginginkan islah antara kubu Romy dan Djan Faridz dan menuntut keduanya bertaubat. Kubu PPP Khittah juga menyampaikan kekecewaan mereka atas kebijakan DPP PPP seperti mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pigub DKI Jakarta 2017. Bagi PPP Khittah, mendukung “penista agama” hukumnya adalah “haram”. Selain itu, PPP Khittah juga kecewa terhadap keputusan DPP PPP yang mendukung disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Masyarakat (Ormas) menjadi undang-undang. Perppu ini dinilai mencederai kebebasan umat Islam dalam berorganisasi.

Setelah mendeklarasikan diri, PPP Khittah membuka kemungkinan untuk bergabung dengan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra, PKS dan PAN. Unsur kesamaan pandangan politik memang menjadi alasan bagi PPP Khittah untuk bergabung dengan Gerindra dan koalisinya. PPP Khittah juga menegaskan bahwa putusan ini bukan karena pragmatisme politik.

Munculnya gerakan PPP Khittah ini, ditanggapi dingin oleh Ketua Umum PPP, Romy. Menurutnya, keputusan membentuk PPP Khittah adalah bentuk dukungan terhadap Joko Widodo untuk kembali mencalonkan diri di Pilpres 2019. Romy menganalogikan PPP Khittah sebagai wajah PPP berdasarkan unsur fusi, dan semua tokoh unsur fusi telah memberikan dukungan kepada Joko Widodo.

Fenomena kader “loncat partai” menjelang Pemilu 2019 menunjukkan bahwa ideologi parpol tak mampu menjadi pemersatu jika terjadi konflik internal parpol. Bergabung atau keluarnya kader parpol tertentu sangat bergantung pada patron yang diikuti di dalam sebuah parpol. Hal ini semakin menunjukkan bahwa oligarki parpol masih sangat dominan di Indonesia. Seseorang bisa bergabung ke parpol tertentu bukan atas dasar ideologi parpol, melainkan atas kesamaan visi misi figur tertentu.

Penyelesaian konflik internal yang dialami kader-kader dengan cara “loncat partai” seperti yang terjadi di PPP bukan tradisi yang baik dalam menegakkan demokratisasi parpol. Menurut Wilhelm Hofmiester-Karsten Grabow (2011:51), kondisi ini sangat membahayakan masa depan parpol karena memungkinkan setiap kader yang tidak puas akan berpindah parpol. Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, melalui forum formal seperti rapat pengurus dan melalui mekanisme Mahkamah Partai. Kedua, penyelesaikan dapat dilakukan dengan pendekatan non formal seperti mediasi dan kompromi.

Munculnya PPP Khittah sekalipun bukan menjelma menjadi parpol baru, patut diwaspadai PPP. Demikian halnya dengan klaim dan pernyataan terbuka yang dikeluarkan kader PPP yang loncat partai, bahwa ia akan membawa massa PPP, juga menjadi warning bagi PPP. Gerakan ini tentu menganggu PPP dalam upaya konsolidasi pemenangan Pemilu. Jika tidak diantisipasi, suara PPP akan tergerus dan kemungkinan terburuk tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen).