Jumat, 17 Juni 2011

REINTERPRETASI PENYIMPANGAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN (Studi atas teori kritik M. Husain al-Dzahabi dalam penafsiran al-Qur’an)

Pendahuluan
Saat ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok lain “tersesat” baik secara teologis maupun praktis. Terlebih apabila stereotip didasarkan karena perbedaan penafsiran dalam al-Qur’an (Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl, Tafsir al-Kasysyaf dan tafsir al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân).
Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tak perlu diragukan lagi, yang dipandang para ulama memiliki kebenaran yang mutlak.[1] Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia  berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[2] Hal ini yang menjadikannya memiliki nilai-nilai yang bersifat universal, dimana setiap manusia mendapat hikmah dan pelajaran darinya.
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Oleh sebab itu, ia selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Beberapa metode tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Qur’an.[3]
Secara historis, usaha-usaha untuk menginterpretasi Al-Qur’an telah  ada sejak masa Nabi, hal ini ditandai dengan adanya  beberapa sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang beberapa lafadz dan makna dalam ayat al-Qur’an yang tidak di mengerti, mengingat Nabi adalah sosok central yang menjadi rujukan umat,[4] dengan kata lain beliau adalah seorang Nabi sekaligus mufassir utama al-Qur’an, Sebagaimana firman Allah swt. Q.,s/ al-Nahl: 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan ilmu  tafsir sejak 14 abad silam telah banyak menghasilkan berbagai macam kitab-kitab tafsir yang ditulis baik ulama klasik maupun kontemporer. Kenyataan ini tentunya harus  diakui sebagai kekayaan khazanah ilmiah yang begitu berharga. Ratusan atau bahkan ribuan kitab tafsir membahas serta mencoba untuk mengupas kandungan dan  makna yang terkandung dalam  al-Qur’an.
Keragaman dan heterogenitas penafsiran menjadi sebuah fenomena yang lumrah, tetapi perbedaan tersebut dalam kenyataan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan serta memperoleh melegitimasi kebenaran tafsir, sehingga pada akhirnya, pihak-pihak yang dekat dan mendapat dukungan atau legitimasi dari sebuah  pemerintahan akan memenangkan persaingan tersebut, oleh sebab itu objektivitas kebenaran  sebuah penafsiran ditentukan oleh sejauh mana ia memberikan dukungan kepada rezim, sebaliknya penafsiran-penafsiran yang  jauh serta cenderung bertentangan dengan kemauan penguasa dianggap sebagai sebuah penyimpangan penafsiran. Nasr Hamid Abu Zaid menambahkan, bahwa dalam era sekarang, pemikiran keagamaan tunduk pada nafsu penguasa, peran ahli fiqh berubah dari mementingkan kepentingan umum menjadi peran melegitimasi dan memperhatikan kepentingan kelas-kelas penguasa.[5]
Muhammad Husein al-Dzahabi, seorang pakar dalam bidang ilmu tafsir, memaparkan bahwa dengan berbagai sistem, orientasi dan berbagai metode, terdapat banyak distorsi dalam memahami nash-nash Qur’an. Juga banyak deviasi makna yang bukan saja dengan bahasa (Arab) yang benar, tetapi juga menghilangkan keindahan Al-Qur’an itu sendiri, bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam.[6] Dalam hal ini penulis berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan Dzahabi mengeluarkan statement yang demikian. Karena dalam bukunya yang berjudul Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, ia banyak melakukan kritik-kritik beberapa kitab tafsir. Lebih dari sekedar mengkritik ia juga menganggap tafsir itu menyimpang “sesat”. Kritik tersebut sebagai kelanjutan dari ketidaksamaan penafsiran baik Dzahabi dengan mufassir, atau dengan mayoritas mufassir umumnya
Upaya untuk menyelaraskan al-Qur’an dengan zaman menjadi tuntutan Muslim. Sehingga aka nada harmonisasi antara keduanya. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, dan seluruh ajaran Islam telah termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Tidak menutup kemungkinan pada era yang akan datang akan terus bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai metode dan corak penafsiran yang berbeda.
Metode Tafsir: Garis Kebebasan dan Pembatasan Penafsiran
Segala sesuatu (amal perbuatan) yang diperintahkan Allah, seluruhnya terkandung dalam al-Qur’an. Jika diperhatihan serta dihayati, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk merenungkan dan berpikir terhadap ayat-ayat Allah. Serta melarang sekedar mengikuti tradisi lama tanpa dasar. Inilah barangkali yang mendorong setiap manusia untuk berpikir, menggunakan akal pikiran untuk memahami sebuah realitas dan ayat-ayat Allah (al-Qur’an).
Setiap hasil perenungan dan pemikiran seseorang tidak hanya dipengaruhi dari kecerdasannya saja, tetapi juga disiplin ilmu yang ia tekuni dan keadaan sosial-politik yang terjadi. Maka pemikiran seseorang akan berbeda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan ilmu yang menjadi bidang keahlian dan keadaan yang mengitarinya. Setiap Muslim yang membaca al-Qur’an pasti ingin mendapatkan makna yang terkandung didalamnya. Dan cara yang efektif adalah dengan membaca serta memahami kitab-kitab tafsir. Pembacaan dan pemahaman tersebut tentulah berbeda-beda, karena masing-masing kitab tafsir tersebut memiliki metode dan corak yang berbeda. Dari sini, seseorang tidak ada yang menghalangi untuk membaca dan kemudian memahami al-Qur’an. Karena itu sudah diperintahkan al-Qur’an sendiri. Ini merupakan konsekuensi logis dari perintah di atas. Sehingga perbedaan pendapat atas pemahaman dan penafsiran pun harus kita terima selama itu masih dilakukan dengan penuh tanggung jawab.[7]
Menurut Ibn Abbas sebagaimana diriwayatkan al-Tsauri, ia menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian, pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, yang dapat dimengerti oleh semua orang. Ketiga, yang dimengerti oleh orang tertentu saja (ulama). Keempat, hanya Allah yang mengetahui.[8]
Apa yang dinyatakan oleh Ibn Abbas di atas mengandaikan bahwa di tengah-tengah kebebasan yang penuh tanggung jawab, setiap Muslim yang memahami atau bahkan menafsiri al-Qur’an juga ada batasan-batasannya. Atas dasar ini, para ulama menetapkan persyaratan bagi mufassir,  diantaranya adalah, memiliki akidah yang benar; bersih dari hawa nafsu; terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, jika tidak didapati maka menafsirkan dengan hadis, kemudian dengan penjelasan sahabat dan tabi’in; memiliki pengetahuan bahasa Arab; memiliki pengetahuan ilmu-ilmu al-Qur’an; dan memiliki pemahaman yang cermat.[9]
Para ulama klasik telah banyak membicarakan tentang ilmu-ilmu yang menjadi perangkat untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu: ilmu Bahasa, ilm Nahwu, ilm Sharaf, ilm Balagha -yang mencakup ma’ani, bayan, badi’-, ilm Qirâ’at, ilm Ushûluddîn, ilm Ushul al-fiqh, ilm Asbâb al-Nuzul, ilm Naskh wa Mansûkh dan ilm Mauhabah.[10] Singkatnya, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an harus memiliki pengetahuan serta menguasai kaidah-kaidah ulum al-Qur’an. Disamping itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut penafsiran yang dilakukan para mufassir, khususnya dalam tiga bidang yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.[11]
Seorang penafsir al-Qur’an memiliki tugas yang amat berat. Karena yang ia tafsirkan bukanlah kata atau kalimat-kalimat manusia, melainkan Kalamullah. Maka, bagi seorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an untuk menguasai dengan baik kaidah tersebut di atas. Karena tidak bisa dibayangkan jika setiap orang mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa pengetahuan yang baik, maka yang terjadi adalah kerancuan-kerancuan.[12]
Menyikapi Fenomena Perbedaan dan Penyimpangan Tafsir al-Qur’an
al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Namun apa yang terkandung didalamnya juga menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Hal ini terbukti dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru pada sekalian manusia “Wahai manusia”. Menurut penulis, kalimat ini mengandaikan bahwa setiap orang (seluruh manusia) akan senantiasa mendapat petunjuk, peringatan, pengetahuan yang kesemuanya bersumber dari al-Qur’an. Petunjuk, peringatan dan juga pengetahuan itu akan didapati dengan membaca dan merenungkannya isi al-Qur’an. Hasil pembacaan dan perenungan atas al-Qur’an dari sekian banyak manusia ini tentu tidaklah sama. Pesan yang ditangkap dari al-Qur’an berbeda-beda. Tidak hanya agama lain yang memandang perbedaan, namun antara umat Islam sendiri juga terdapat banyak perbedaan-perbedaan dari pembacaan yang kemudian menjadi pemahaman.
Perbedaan menafsirkan al-Qur’an sudah muncul sejak awal perkembangan Islam (abad pertama, kedua dan ketiga). Kitab-kitab tafsir yang muncul pada waktu itu mengacu pada inti kandungan al-Qur’an. Tidak ada perhatian khusus tentang ilmu Nahwu, I’rab dan tidak ada pula kajian mengenai lafazh, susunan kalimat, majaz, itnab. Apa yang dilakukan para mufassir pada masa itu adalah tidak lepas dari perkembangan ilmiah tentang tafsir pada masa itu. Kemudian kondisi yang demikian berubah pada masa-masa berikutnya. Semakin bertambah dan meluasnya interaksi umat Islam dengan non Muslim (perluasan daerah), maka para mufassir memerlukan ilmu tentang bahasa yang telah dibukukan sebagai perangkat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an.[13]
Kitab-kitab tafsir dengan berbagai ilmu penopangnya –cabang ilmu interdisipliner yang menjadi perangkat dalam tafsir- akan terus berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu ilmu pengetahuan modern dan perkembangan kualitas keilmuan para mufassir.
Perbedaan-perbedaan penafsiran sejak awal perkembangan Islam hingga sekarang harus dipahami sebagai usaha positif para mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Namun pada kenyataannya, banyak kalangan Muslim yang memberikan klaim-klaim benar atau salah terhadap kitab-kitab tafsir. Sebagian kelompok mengatakan bahwa “tafsir fulan” adalah benar, sedangkan yang lain salah dan menyimpang. Atau dalam bahasa yang “ekstrem” mereka mengatakan “tafsir sesat”.
            Adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam meyakini sesungguhnya ajaran yang tertulis dalam kitab sucinya adalah kebenaran yang bersifat absolute dan harus diyakini secara utuh. Namun hal tersebut menjadi sebuah masalah tatkala suatu penafsiran terhadap kitab suci dikatakan menyimpang dan keluar dari koridor ketentuan. Bahkan banyak pengkaji yang secara despotik melakukan kritik atas penafsiran yang sudah kanonik, tanpa mengetahui kaidah ilmu tafsir. Inilah yang kemudian mendorong justifikasi-justifikasi yang bersifat parsial.
            Dalam teori sosiologi, penyimpangan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma sosial. Melalui norma-norma sosiallah masyarakat mendefinisikan penyimpangan, dan karenanya penyimpangan muncul dari perspektif masyarakat. Akan tetapi keliru pula untuk melihat penyimpangan semata-mata sebagai ketidakpatuhan terhadap norma-norma. Boleh jadi, orang yang dikatakan sebagai penyimpang adalah mereka yang memilih standar bagi dirinya sendiri yang berbeda dengan standar orang lain.[14]
            Jika kita tarik dalam wilayah penafsiran, penyimpangan tafsir adalah sebuah upaya penafsiran terhadap nash al-Qur’an yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma penafsiran para mufassir pada umumnya. Namun penyimpangan-penyimpangan yang dituduhkan kepada seorang mufassir tertentu tidak menentukan ia (mufassir) tersebut menyimpang bagi dirinya sendiri atau bahkan orang lain.
            M. Anwar Syarifuddin, dosen Ulum al-Qur’an Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menjelaskan bahwa kata “penyimpangan” pada hakekatnya cenderung provokatif, mengandaikan pembacanya untuk menjadi seorang juri yang memiliki otoritas dalam menetapkan sebagian tafsir sebagai objek “yang benar” dan sebaliknya. Kenyataan ini didasarkan pada realita, bahwa paham keagamaan yang diikuti kelompok mayoritas dalam hal ini “ahlu sunnah” diposisikan sebagai pemegang otoritas “kebenaran” atas nama jumhur ulama yang mempunyai kesamaan pendapat. Dari sinilah, jumhur ulama diberikan hak untuk menetapkan prinsip-prinsip standar yang menjadi ukuran “ortodoksi”, akibatnya, pandangan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh mereka dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”.[15]
            Sebagaimana yang penulis singgung di atas, bahwa perbedaan atas penafsiran tidak dapat terelakkan. Ini tidak lepas dari konteks pada masa sekarang. Ketika banyak hal yang tidak terjadi pada masa Nabi, dan hal itu terjadi pada masa sekarang, maka perlu menafsiri ulang kitab-kitab tafsir yang telah ada.
Husain al-Dzahabi, melalui karyanya Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm: Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, memaparkan beberapa kekeliruan dan penyimpangan para mufassir. Hal ini terkesan menghakimi, karena beberapa kitab tafsir (Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl, Tafsir al-Kasysyaf dan Tafsir al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân) ia anggap menyimpang. Namun kitab-kitab tafsir tersebut banyak menjadi rujukan para mufassir sesudahnya,[16] dan sudah semestinya jika kitab tafsir itu dianggapnya menyimpang dan menyesatkan maka ia tidak layak berada di rak-rak perpustakaan karena nantinya dapat membahayakan pada pembacanya. Namun, kitab-kitab tersebut masih terdapat di beberapa perpustakaan pesantren, perguruan tinggi dan perpustakaan umum.
            Ada beberapa poin yang ingin penulis garis bawahi mengenai penjelasan buku Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân tentang penyimpangan. Dimana pada bab penyimpangan tafsir kalangan pembaharu,[17] Dzahabi memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan kalangan pembaharu mengenai ayat hukum potong tangan bagi pencuri dalam Q,.s al-Maidah: 39
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Barangkali penulis juga sepakat atas sanggahan Dzahabi terhadap sebuah artikel berjudul al-Tasyri al-Misri wa Silatuhu bi al-Fiqh al-Islami,[18] dimana penulis artikel tersebut menyebutkan bahwa kata (فَاقْطَعُوا ) fi’il amar (kata kerja perintah) yang terdapat pada ayat hukum potong tangan dipahami dan diartikan sebagai sebuah kebolehan. Hal ini akan menjadi keganjalan.
Dalam menyikapi masalah hukum potong tangan ini, penulis mengacu pada kitab-kitab tafsir kontemporer dan beberapa riwayat. Sebagaimana menurut Wahbah Zuhaili, bahwa hukum potong tangan mesti ditegakkan demi tercapainya kemaslahatan. Namun perlu diperhatikan juga kadar barang yang dicuri, sehingga kapan seorang pencuri layak mendapat hukum potong tangan sebagaimana yang diperintahkan Allah pada surat di atas. Karena banyak hadis yang menyebutkan batasan/kadar barang yang dicuri, sehingga si pencuri harus dihukum potong tangan.[19] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim
عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Hadis di atas menyebutkan bahwa sedikit atau banyak barang yang dicuri, hukum potong tangan harus ditegakkan. Sedangkan dalam riwayat yang lain menyebutkan hukum potong tangan berlaku bagi pencuri yang telah mencuri pada batasan seperempat dinar atau tiga dirham.
عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً
            Sementara menurut Quraish Shihab, perlu memahami dulu kata السارق as-sâriq/pencuri, kata tersebut memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali mencuri, sehingga wajar dinamai pencuri. Jika dipahami demikian, maka seseorang yang baru sekali atau dua kali mencuri belum wajar dimanai pencuri, dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai sanksi yang disebut pada ayat ini. Lebih lanjut Quraish menjelaskan bahwa perlu dilihat juga keadaan si pencuri pada saat melakukan pencurian. Jika ia dalam keadaan terdesak seperti keadaan pada musim-musim paceklik, maka hukuman potong tangan dapat diganti dengan hukuman yang lebih ringan. Karena apa yang dijelaskan ayat ini dipahami sebagian ulama sebagai hukuman yang paling tinggi. Sahabat Umar juga tidak pernah menghukum orang pencuri dengan hukum potong tangan ketika dalam keadaan paceklik atau pada masa krisis.[20] Dan perlu penulis tegaskan bahwa bukan hukuman atas pencuri yang dihilangkan, melainkan adanya keringanan.
            Selain penafsiran dikalangan pembaharu yang dianggap oleh Dzahabi menunjukkan banyak penyimpangan, penafsiran kalangan sejarahwan pun juga demikian. Ia menilai bahwa kisah-kisah israiliyat yang dikutip oleh Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Tsa’labi dalam bukunya al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân banyak terdapat penyimpangan. Yang demikian juga terdapat dalam Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl karya Alaudin Abdul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Umar ibn Khalil al-Syaihi al-Baghdadi atau yang terkenal dengan sebutan al-Khazin.
            Penyimpangan kedua mufassir tersebut didasarkan pada jumlah kisah israiliyat sangat banyak yang mereka kutip, sehingga berpengaruh amat jelek terhadap tafsir. Dzahabi juga memaparkan bahwa terdapat disorientasi dalam pengutipan kisah-kisah israiliyat, hal ini tidak seperti apa yang dilakukan para sahabat ketika mengutip kisah-kisah tersebut. Yakni para sahabat senantiasa memperhatikan batas kebolehan yang ditentukan Nabi.[21]
            Setidaknya dalam menyikapi kisah israiliyat agar tidak mempercayai sepenuhnya dan menganggapnya bohong belaka. Sebagaimana sabda Nabi “Jangan kamu percaya sepenuhnya informasi dari ahlu kitab, dan jangan pula menyalahkan mereka. Tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah dan apa yang diwahyukan kepada kami.”[22] Dalam penjelasan akhirnya, Dzahabi menginginkan adanya kitab tafsir yang benar-benar bersih dari kisah israiliyat yang mengandung kebohongan. Pernyataan Dzahabi barangkali perlu dikaji ulang, yakni tentang status kisah israiliyat dalam penafsiran al-Qur’an. Bahwa tidak semua kisah-kisah israiliyat adalah kebohongan begitu juga sebaliknya. Apa yang tertera dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an (injil dan taurat) juga terdapat dalam al-Qur’an. Karenanya, al-Qur’an disebut kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya.
Penutup
            Beragam kitab tafsir telah ada pada masa sekarang. Dengan berbagai metode dan corak yang digunakan para mufassirnya. Heterogenitas ini meniscayakan adanya perbedaan dalam kitab-kitab tersebut. Respon sarjana Muslim atas keragaman pun juga bermacam-macam. Kritik dan saran saling melengkapi. Dzahabi barangkali satu dari sekian banyak ahli tafsir yang menyikapi masalah keragaman ini. Maka, diperlukan sikap saling terbuka, menghargai dan tidak saling menjatuhkan.
            Teori kerangka yang digunakan Dzahabi juga tidak semua dapat dibenarkan dan disalahkan. Namun dapat terlihat bahwa adanya cita-cita untuk memunculkan tafsir yang dapat diterima setiap golongan. Bagaimanapun juga mufassir yang dianggap meyimpang oleh Dzahabi telah berusaha (ijtihad) untuk menjelaskan serta mengungkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Sehingga karya tersebut patut mendapat apresiasi, yakni dalam bentuk kritik kontruktif sehingga kekayaan ilmiah tetap terjaga dan berkembang.
Wallahu a’lam bi shawab


Daftar Pustaka
Al-Syirbashi. Ahmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Pustaka Firdaus. 1994
Al-Aridl. Ali Hasan. Târikh Ilm Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn. pent Ahmad Arkom. Jakarta: Raja Grafindo Persada 1994
Al-Zarkasy. Badruddin Muhammad ibn Abdullah. al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dar al-Hadis. 2006
Baljon, J,M,S. Tafsir Qur’an Muslim Modern. Pen.t A. Ni’amullah Mu’iz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Departemen Agama RI. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2002
Al-Barry. Dahlan. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arkola. 1994
Al-Banna, Gamal. Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern. Pent. Novriantoni Kahar. Jakarta: Qisthi Press, 2004
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005.
____________. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an. Pent. Hamim Ilyas-Machnun Husain. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993
____________. Israiliyat Dalam Tafsir dan Hadis. Pent. Didin Hafidhuddin. Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Hamid, Nasr Abu Zaid. Mafhûm al-Nash Dirasah fi Ulûm al-Qur’ân. Pent. Khoiran Nahdliyyin, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005
Al-Qaththan. Manna al-Khallil. Mabahis fi Ulum al-Qur’an. pent Muzakris AS. Bogor: Lintera AntarNusa. 1992
Razak, Yusran. Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994
____________. Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Shihab, Umar, MA. Kontekstualitas Al-Qur’an, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani 2003
Ushama, Thameem, Methodologies of the Qur’anic Exegesis Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Kajian Kritis Objektif & Komprehensif, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000)
Zuhaili. Wahbah. Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Beirut-Libanon: Dâr al-Fikri. dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr. 1991 M/1411 H


[1] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm1
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 172
[3] Prof. Dr. Umar Shihab, MA, Kontekstualitas Al-Qur’an, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2003), hlm 3
[4] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Hadîs, Kairo, 2005), hlm. 46-7
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash Dirasah fi Ulûm al-Qur’ân, pent Khoiran Nahdliyyin, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 304
         [6] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, Pent Hamim Ilyas-Machnun Husain. (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993), hlm. ix
[7] M. Quraish Shihab, hlm 76
[8] Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasy, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006) hml 426-7
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fi Ulûm al-Qur’ân, pent Muzakris AS, (Bogor: Lintera AntarNusa, 1992), hlm 457
[10] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Pustaka Firdaus, 1994) hlm 25
[11] M. Quraish Shihab, hlm 80
[12] Ahmad al-Syirbashi, hlm 23-30
[13] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, pent Ahmad Arkom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hml 23
[14] Dr. Yusran Razak, MA, Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama) hlm. 204-5
         [15]http://muslihfatnyhoni.blogspot.com/2009/12/penyimpangan-dalam-tafsir.html. diunduh pada 22 Desember 2010
[16] Hal ini banyak diakui para mufassir, seperti apa yang dikemukakan Wahbah Zuhaili dalam muqaddimah kitab tafsirnya “Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj”. Ia banyak merujuk pada beberapa kitab tafsir sebelumnya, diantaranya adalah tafsir al-Kasysaf karya Zamakhsyari. Ia banyak mengutip dari sisi-sisi kebahasaan Zamakhsyari.
[17] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, hlm 125
[18] Artikel mingguan al-Siyasah yang terbit pada 20 Februari 1937, halaman 6. Namun Dzahabi tidak menyebutkan nama penulis artikel tersebut.
[19] Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikri, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991 M/1411 H ) Juz 6, hlm 177-182
[20] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati) hlm 92-94
[21] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, hlm 21-37
[22] Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000) hlm 36. Lihat Sahih Bukhari, bab Ma Yajuzu min Tafsir al-Taurat wa Ghairaha. No 7103

Jumat, 10 Juni 2011

Membangun Kesalehan Sosial dalam Masyarakat Plural

 “Bang kesalehan sosial itu maksudnya apa? Kan ibadah amal soleh urusan masing-masing”. Tanya seorang teman pada saya ketika melihat spanduk besar yang berisikan info lomba penulisan karya ilmiah dengan judul “Membangun Kesalehan Sosial dalam Masyarakat Plural. “kesalehan sosial itu adalah kesalehan yang terbentuk dari kesalehan setiap individu yang ada dalam sebuah masyarakat, itu menurut saya, anda juga boleh berbeda.” Demikian jawab saya.

Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki kekayaan berlimpah. Kemajemukan masyarakat, ragam budaya, agama dan bahasa tentu menjadi sebuah “kekayaan” yang harus tetap dijaga. Para pendiri negara ini (founding father) sudah mampersiapkan bagaimana Indonesia menyongsong sebuah kemajuan dengan bekal kemajemukan masyarakatnya. Adalah Bhinneka Tunggal Ika, kalimat yang tertulis pada lambang negara Indonesia -burung Garuda- yang berarti meskipun negara ini terdiri dari berbagai suku, bangsa, bahasa dll, akan tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah kemajuan, terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan. Atau bagi yang sempat berusaha memahami lebih mendalam, ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat, karena hakikat dan tujuan semuannya itu satu dan sama, yakni berbakti kepada Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama makhluk.[1]
Untuk mengelolah keragaman budaya, agama dan sebagainya yang terdapat di Indonesia tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan sebuah konsep yang barangkali dapat menyelesaikan problem dalam keberagaman tersebut. Maka “pluralisme” menjadi sangat penting. Pluralisme dalam hal diartikan sebagai pandangan yang positif terhadap keragaman, disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelolah keragaman itu secara damai dan berkeadilan.[2]
Kesuksesan sebuah negara tidak mungkin mampu dilakukan oleh satu dan dua orang saja atau presiden dan para menterinya, melainkan semua kekuatan lapisan masyarakat pun ikut serta berpartisipasi untuk menyukseskan cita-cita negara. Peran individu-individu dalam masyarakat menjadi sangat penting guna menunjang terwujudnya kemajuan masyarakat itu sendiri. Kumpulan individu yang baik dan mempunyai kamauan serta komitmen untuk membangun masyarakat berperadaban (civil soceity), tentu akan mewujudkan masyarakat yang berperadaban pula. Yang pada akhirnya sebuah negara impian itu pun dapat terbentuk dari tatanan masyarakat berperadaban.
Berkaitan dengan kehidupan bernegara dan beragama, maka bagi setiap individu terikat dengan ikatan sosial yang menjadi aturan baik dalam praktik bernegara maupun beragama. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tentu terdapat norma yang mengaturnya. Norma adalah peraturan-peraturan yang diharapkan agar setiap manusia mematuhinya dalam hubungan dengan orang lain.[3] Norma-norma itulah yang kemudian memberi kebebasan sekaligus membatasi kebebasan setiap individu dalam melakukan tindakan-tindakan. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa kebebasan individu yang dapat melanggar kebebasan individu yang lain. Maka sikap toleran, saling menghargai serta terbuka di tengah perbedaan-perbedaan harus ditegakkan demi tercapainya cita-cita bersama.
Tindakan-tindakan yang dilakukan setiap individu yang penulis maksud disini adalah amalan-amalan atau perbuatan yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga amalan atau perbuatan itu berdampak pada tatanan kehidupan sosial. Ada dua kategori perbuatan tersebut. Pertama, perbuatan baik dan kedua perbuatan buruk. Dalam agama Islam perbuatan yang pertama dikenal atau sering disebut dengan menggunakan kata ‘amal sâlih, atau dalam bentuk plural al-A’mâl al-Sâlihâh. Sedangkan perbuatan buruk disebut al-‘Amâl al-Saiyi’ah. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang pasti mendapat balasan, baik di dunia maupun akhirat. Sebagai contoh ketika seseorang melakukan pencurian, ia akan mendapat hukuman dari aparat hukum dan mendapat siksaan kelak di akhirat nanti.
Implikasi dari perbuatan baik amal saleh individu dalam kehidupan bermasyarakat tentu akan memberi dampak pada kabaikan bersama, atau dalam konsep islam dikenal dengan istilah maslahah ummat. Untuk mewujudkannya dalam sebuah masyarakat haruslah atas dasar kesadaran individu dalam masyarakat tersebut. Sehingga amal saleh yang dilakukan oleh setiap individu melahirkan kesalihan bersama atau kesalihan masyarakat. Kesalihan atas dasar ketundukan pada Tuhan merupakan hasil keberimanan, yang tentu dilakukan atas dasar kesadaran.[4] Keberhasilan seorang individu dalam melakukan perbuatan atau tindakan yang baik, sesuai dengan norma agama dan negara akan menepatkan dirinya sebagai prototip dalam membangun kesalehan sosial.
Pluralitas Masyarakat Indonesia dan Cita-cita Islam
Bangsa Indonesia sadar atau tidak telah mengalami perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informatika telah membuka kesadaran baru umat manusia terhadap wilayah dan dimensi kehidupan. Ruang hidup manusia tidak lagi terbatas di bumi tempat ia hidup dan telah menetap, tapi mulai menjangkau ruang angkasa dan segala macam planet dan galaksi. Ruang ini menjadi semakin terbuka lebar melalui teknologi informasi melalui sistem televisi dan teknologi komputer yang mempertemukan pola hidup wilayah kutub dengan salju abadi dan padang sahara. Dengan mudahnya akses informasi di dunia modern ini, dengan menggunakan perangkat komputer, orang seakan menjelajah bentangan dunia ini.
Tradisi keagamaan dari suatu agama mulai bersentuhan dengan tradisi keagamaan lainnya, dengan segala bentuk perbedaan, pertentangan dan dan terkadang saling menghakimi. Hal ini mendorong kesadaran baru akan keagamaan dan peradaban multikultural dari berbagai ragam kebangsaan, nasionalitas dan etnis. Doktrin klasik keagamaan yang bersifat kanonik dan dianggap sudah purna pun ditafsiri ulang. Misi penyelamatan yang ada di semua agama mulai ditafsir ulang menjadi lebih manusiawi dan inklusif yang tentu di atas dasar spiritualisme.
Hampir semua agama memiliki kepercayaan puncak yang dikenal sebagai iman terhadap Sang Maha Pencipta segala realitas yang disebut Tuhan. Tuhan dilukiskan sebagai maha kuasa atas segala sesuatu, bebas dari segala ketentuan dan keterbatasan ilmiah, karena Dia lah yang menciptakan segala ketentuan ilmiah tersebut. Ajaran Tuhan dalam agama-Nya yang diturunkan kepada manusia melalui beragam media sesuai kepercayaan setiap agama memiliki fungsi utama yaitu keselamatan manusia di dunia dan nanti sesudah kematian. [5]
Ajaran inti Islam sebagai agama adalah doktrin kepada ketauhidan. Tauhid berarti mengesakan sesuatu, sehingga hanya ada satu Yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan. Sikap berserah diri pada Tuhan secara inheren mengandung berbagai konsekuensi, salah satunya adalah bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak. Pengakuan ini merupakan kelanjutan logis hakikat konsep ketuhanan. Yaitu wujud Tuhan adalah wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.[6]
Islam sebagai agama berbeda dengan Indonesia sebagai sebuah negara. Sebagai sebuah negara kesatuan, Indonesia terdiri dari berbagai bangsa, suku, budaya, dan bahkan agama. Segala bentuk di tengah masyarakat yang plural di Indonesia menjadi sebuah kajian menarik. Banyak para indonesianis yang tertarik dengan melakukan penelitian atas keragaman budaya Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya tidak hanya ragam budaya yang memikat hati para peneliti, melainkan keragaman Islam sebagai agama mayoritas Indonesia.
Dalam konteks keindonesiaan ini, meski bangsa kita berasaskan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda tetapi tetap satu, namun beberapa fakta yang terjadi telah menyadarkan masyarakat bahwa perbedaan dalam masyarakat sosial membuat pecah belah. Tidak sedikit tindakan kekerasan terjadi atas nama agama dan suku. Munculnya ormas-ormas Islam dengan berbagai gerakannya, juga terkadang meresahkan masyarakat. Karena banyak dari tindakan mereka mengacu pada prinsip “paling benar sendiri”. Tindakan tersebut dapat menimbulkan kerugian, selain dalam tubuh ormas itu sendiri juga merugikan masyarakat umum lainnya serta mengancam integritas bangsa.
Menumbuhkan integrasi nasional adalah merupakan cita-cita bangsa. Namun hal itu tidak terjadi begitu saja, dalam arti tanpa gangguan dan ancaman sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Integritas nasional harus didukung dengan kekuatan masyarakat. Karena integritas nasional meniscayakan adanya masyarakat yang kuat. Masyarakat yang kuat tersebut membutuhkan wadah yang mengatur dan mengarahkan pada arah integritas nasional, maka muncullah organisasi kemasyarakatan. Sebagai harapan dan tulang punggung masyarakat, organisasi kemasyarakatan mempunyai posisi strategis dalam mendinamisasi kekuatan masyarakat yang pada akhirnya menguatkan integritas nasional.[7]
Munculnya organisasi kemasyarakatan tidak dapat dinafikan dari panggung sejarah bangsa Indonesia. Beragam basis yang menjadi warna organisasi tersebut, termasuk organisasi Islam. Keberadaan organisasi-organisasi Islam di Indonesia setidaknya merepresentasikan keadaan Islam itu sendiri. Sejak berdirinya Indonesia sebagai sebuah Negara, atau bahkan jauh sebelumnya, sebagian dari organisasi tersebut telah muncul. Lebih dari sekedar muncul, peran organisasi Islam melalui gerakan yang dilancarkan melalui para tokoh-tokohnya, ikut memberi sumbangan berarti bagai kemerdekaan negara ini. Organisasi-organisasi tersebut tentu mengusung sebuah konsep untuk kemajuan. Dalam pentas sejarah Indonesia, kemunculan organisasi Islam juga menjadi awal gerakan-gerakan pembaharuan.
Sebagai kekuatan yang terorganisir, ormas Islam secara teoritis memiliki beberapa kekuatan. Organisasi kemasyarakatan Islam memiliki keabsahan eksistensial dan moral. Eksistensi ormas Islam mempunyai legitimasi teologis, sosiologis dan politis. Di samping itu, ormas Islam merupakan potensi-potensi pembangunan. Penguatan potensi-potensi tersebut dapat menjadi pilar bagi pengembangan sistem kenegaraan dalam kerangka politik berdasarkan asas Negara.
Harus diakui bahwa kemunculan beberapa ormas-ormas Islam di Indonesia turut mendorong cita-cita bangsa. Pengabdian terhadap masyarakat banyak mewarnai gerakan organisasi tersebut. Perhatian terhadap masalah kemiskinan dan mutu pendidikan yang masih tertinggal terus menjadi sorotan utama. Pemberian bantuan bagi kaum dhuafa dan bagi pelajar berprestasi adalah bukti kongkrit sumbangsih mereka dalam upaya memajukan bangsa. Dengan kata lain, munculnya ormas-ormas Islam juga menjadi gerakan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki peran penting untuk pembangunan bangsa. Umat Islam Indonesia boleh dikatakan menduduki posisi centre dalam tatanan masyarakat. Pengaruh dari sekian banyak ajaran kebaikan agama teraplikasikan dalam masyarakat sosial, sehingga Islam tidak selalu diidentikan dengan kekerasan, namun juga menebar kedamaian, sumber kemajuan dan pengetahuan. Hal ini selaras dengan misi Islam sebagai agama pembawa perdamaian dan mampu menjawab tantangan zaman. Di tengah masyarakat yang sangat beragam, diharapkan organisasi-organisasi Islam menjadi pondasi untuk kemajuan bangsa di era mendatang. Sehingga terwujud masyarakat adil makmur sejahtera, karena selain menjadi cita-cita bangsa, hal tersebut juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
al-Qur’an Sebagai Basis Kesalehan
Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an adalah kita suci yang merupakan pegangan utama untuk seluruh insan. Didalamnya tersurat dan tersirat berbagai pedoman, inspirasi, isyarat dan basis ilmu pengetahuan. Sejarah umat manusia sebelumnya dan berbagai keteladanan, banyak diukir dalam al-Qur’an.[8] Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tak perlu diragukan lagi, yang dipandang para ulama memiliki kebenaran yang mutlak.[9] Hingga muncul beberapa anggapan bahwa al-Qur’an adalah “konstitusi” yang patut diterapkan dalam praktik kehidupan dimanapun dan kapanpun. Sebagai kitab suci yang diperuntukkan sekalian umat manusia, tentunya al-Qur’an menggunakan ungkapan-ungkapan dan bahasa global. Penjelasan secara terperinci akan didapati dalam Hadis atau Sunnah Rasul. Ini sesuai dengan fungsi Hadis sebagai bayân atas al-Qur’an.
Al-Qur’an memberi petunjuk tentang segala sesuatu yang dikehendaki Tuhan, diantaranya adalah tujuan Tuhan penciptaan manusia dan sekalian makhluk. Tujuan penciptaan makhluk bagi Tuhan adalah untuk beribadah kepada-Nya, atau dalam redaksi lain dapat diartikan  “agar mereka (makhluk) melakukan ibadah kepadaKu (Tuhan)”.[10] Ibadah dalam terminologi Islam adalah kepatuhan kepada Tuhan yang didorong oleh rasa kekaguman dan ketakutan. Maka tahap paling awal dari ibadah adalah kepatuhan kepada Allah yang didorong akan rasa kagum dan takut kepada-Nya. Tetapi apabila ibadah itu sudah berkembang kualitasnya, artinya ibadah bukan sekedar rasa kagum dan takut semata, ibadah memiliki muatan-muatan. Muatan tersebut akan berkualitas jika terkacup aspek kekaguman, keikhlasan, kepatuhan, pengharapan dan sekaligus kecintaan. Kekaguman kepada Tuhan karena kekagumannya, kenikmatan dan kekuasaan-Nya; keikhlasan yang mendalam; rasa kepatuhan; ketakutan kepada Tuhan jika meninggalkan ibadah tersebut; pengharapan akan ridho-Nya; dan kecintaan pada Tuhan.[11]
Aplikasi dari konsep ibadah adalah dengan melakukan perbuatan amal saleh. Terdapat banyak kata amal saleh dalam al-Qur’an, yang didahului dengan kata iman kepada Allah. Hal ini tentunya menegaskan bahwa perbuatan amal saleh harus diawali dengan iman sepenuhnya kepada Tuhan. Sehingga keimanan seseorang terhadap Tuhan yang diiringi dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik memberikan kebahagiaan tersendiri bagi yang melakukannya. Tuhan akan memberikan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.[12] Tuhan juga menjanjikan bagi hambanya yang beriman dan beramal saleh dengan menjadikannya berkuasa dimuka bumi.[13]
Baik iman dan ibadah memiliki hubungan erat, karena akan memberi efek ketakwaan bagi yang mengerjakan. Iman adalah potensi ruhani, sedangkan takwa adalah prestasi ruhani. Agar iman dapat mencapai prestasi ruhani, diperlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari beberapa macam kegiatan. Dalam istilah al-Qur’an dirumuskan dengan kalimat ‘Âmilu al-Sâlihâh, yakni amal-amal salih sebagai mana yang tersebut diatas. Jika seseorang ingin menjadi orang yang beriman dan bertakwa, disamping harus memiliki keimanan yang baik juga diharuskan mengaktualisasikan iman tersebut dengan amal saleh. Sehingga prestasi ruhani atau ketakwaan dapat tercapai. Dengan kata lain, ketakwaan tidak akan didapat begitu saja tanpa ada proses aktualisasi dengan amal saleh atau ibadah.[14]
Anjuran agar setiap mukmin senantiasa meningkatkan ketakwaannya kepada Allah tertera dalam beberapa ayat al-Qur’an. Karena Allah akan senantiasa melimpahkan rahmat dan selalu memberi cahaya petunjuk serta memberi pengampunan dosa bagi hambanya yang bertakwa dan mengimani para rasulnya. Dengan senantiasa bertakwa kepada Tuhan, maka Dia akan menghapus dosa-dosa serta memberi pahala yang berlipat.[15] Ayat tentang perintah takwa tersebut dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan konteks. Beberapa diantaranya mengandaikan perintah Tuhan Allah agar menjauhi segala bentuk kemungkaran. Seperti perintah menjauhi riba dan agar selalu bertakwa.[16]
Secara filosofis takwa mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ontologis, artinya melalui ketakwaan seseorang diarahkan pada suatu keyakinan yang benar, yakni pandangan terhadap kewujudan yang Maha Kuasa, yakni Tuhan yang mencipta. Ini adalah konsep ontologi yang paling mendasar. Jika seseorang telah memiliki keyakinan, perasaan dan kesadaran akan wujud ini (Tuhan Yang Maha Kuasa) maka tidak saja ia ada, tetapi keberadaannya memiliki hubungan fungsional antara wujud satu dengan lainnya. Sakalipun wujud Tuhan tidak dapat diindera, namun harus kita yakini bahwa Dia mendominasi segala bentuk kegiatan manusia.
Kedua, ketakwaan menyentuh atau menyangkut dimensi epistemolog, yakni masalah yang berkaitan dengan konsep keilmuan. Orang yang memiliki kualitas ketakwaan memadai menyadari betul bahwa sebetulnya dia ada dalam proyeksi maha besar Tuhan. Semua sumber pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki setiap orang pada dasarnya berasal dari Tuhan. Pengetahuan yang ada pada diri seseorang adalah sebagian kecil dari pengetahuan maha besar Tuhan.
Ada anggapan yang kurang tepat atau bahkan kesalahan persepsi dalam memandang pemberian ilmu Tuhan kepada manusia. Di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan pada era globalisasi ini, orang cenderung memandang bahwa ilmu hanya didapatkan dari adanya proses belajar mengajar. Secara normal, ilmu pengetahuan diperoleh dari proses belajar mengajar. Padahal untuk memperoleh ilmu dari belajar adalah satu instrumen dari kemampuan seseorang. Karena sumber pengetahuan berasal dari Tuhan, maka Tuhan dapat saja memberikan ilmu pada seseorang tanpa melalui medium belajar mengajar. Cara yang demikian dalam filsafat Islam terkenal dengan istilah faidh (emanasi) dari Tuhan kepada manusia, sedangkan dalam ilmu Tasawuf disebut tajaliyât, pelimpahan atau pemancaran ilmu Tuhan kepada manusia.
Dimensi ketiga filosofis dari takwa adalah, ketakwaan berkaitan erat dengan dimensi aksiologis, sistem nilai. Dalam agama Islam terdapat sistem nilai yang menjadi tuntunan semua Muslim menyangkut mana yang benar dan mana yang salah, baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, halal dan haram. Kesadaran aksiologis membuat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang muttaqin tidak sekedar “Apa yang harus dilakukan?”, tetapi juga “Apa sebaiknya dan semestinya untuk dilakukan?”. Kalau orang teknikalis atau rasionalis akan memberikan pertanyaan mengacu pada “Apa yang bisa dilakukan?”, maka orang-orang muttaqin tidak cukup berhenti pada apa yang harus dilakukan, tetapi mencari “Apa yang baik untuk dilakukan?”.
Terdapat perbedaan mendasar antara pertanyaan orang-orang muttaqin dengan orang yang kadar ketakwaannya lemah atau tidak memadai. Kesadaran aksiologis ini juga menyebabkan perbedaan dalam tingkat implikasi atau kesimpulan. Bagi orang yang mengacu pada prinsip kerja “Apa yang bisa dilakukan?”, ia akan mencapai hal yang bersifat teknis, temporal, sementara dan berjangka pendek, serta hanya akan berhenti pada titik tersebut. Bukan mustahil bahwa implikasi itu mengarahkan pada hal-hal negatif seperti semberono, ketidakpedulian, semau gue, menjilat, korup, kolusi, nepotisme dan menghalalkan segala cara. Maka bisa dimengerti kalau waktu bekerja akan dijalani dengan santai dan tanpa perencanaan.
Sedangkan orang-orang yang bertakwa akan memiliki sikap kehati-hatian, berorientasi jangka panjang, penuh muatan nilai, menghitung plus-minusnya serta memiliki kepedulian terhadap orang lain. Karena orang tersebut menyadari bahwa setiap perbuatannya tidak hanya dilihat benar menurut dirinya sendiri, tetapi baik menurut orang lain dan sah menurut ajaran Tuhan. Dari gambaran di atas jelas ada benang merah antara iman, ibadah dan ketakwaan. Iman sebagai potensi rohani apabila diaktualisasikan dengan ibadah atau amal saleh akan mencapi prestasi rohani yang dinamakan takwa. Prestasi ini bisa diperoleh tergantung kualitas aktualisasi maupun kualitas potensi yang dimiliki seseorang. [17]
Dalam melaksanakan ibadah amal saleh guna mencapai sebuah ketakwaan dituntut adanya keikhlasan dan kemurnian pengabdian pada Tuhan. Tuhan tidak menyuruh hambanya beribadah kepadanya kecuali tanpa kemurnian dan ketaatan kepada-Nya.[18] Amal saleh yang dikerjakan secara ikhlas akan mendatangkan pertolongan-pertolongan Tuhan yang tak disangka. Dalam pelaksanaannya juga tidak ada batasan atau waktu tertentu. Tuhan menyeru umat manusia untuk senantiasa mengerjakan amalan-amalan saleh kepadanya hingga datang padanya sesuatu yang diyakini (ajal). Jadi, tidak ada batasan waktu dalam mengerjakan amal saleh, melainkan batasannya adalah mati.[19]
Dalam agama Islam dianjurkan ibadah dilakukan dengan motivasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menjaga kemurnian keikhlasan dan agar jarak hubungan manusia dengan Tuhan menjadi semakin dekat. Sebab kedekatan hubungan dengan Tuhan akan membawa manfaat-manfaat yang tidak terduga dan dapat mengantarkan manusia tersebut pada kesuksesan. Seperti kata-kata dalam syair Arab “Khusnu ‘alâqatika billah akbaru awâmili najâhika” (hubungan baik kamu dengan Tuhan, adalah factor terbesar dalam kesuksesan). Ibadah yang dimotivasi dengan keikhlasan akan menghasilkan nilai yang tinggi. Artinya, ibadah dengan nilai yang tinggi tersebut dapat dijadikan sebuah jaminan oleh manusia ketika sedang mengalami kesulitan, yakni dengan mengadu pada sang Tuhan. Atau dalam bahasa bisnis, ibadah amal saleh dengan nilai tinggi tersebut dapat digunakan untuk melakukan negosiasi dengan Tuhan.
Ada sebuah Hadis yang menceritakan kisah tiga orang yang terkurung dalam gua, atau atau kisah yang popular dengan sebutan ashâb al-Ghâr (penghuni gua). Nabi bercerita dahulu ada tiga orang yang sedang keluar dari rumah untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Di tengah perjalanan, lantaran merasa kelelehan mereka beristirahat di dalam gua. Pada saat mereka tengah beristirahat tiba-tiba berhembus badai angin topan dan hujan. Sehingga menggelindingkan batu-batu besar di mulut gua yang menyebabkan pintu gua tersebut tertutup. Menyadari darinya dalam keadaan bahaya, mereka bertiga berusaha mendorong batu tersebut tetapi sia-sia. Dalam keadaan hampir putus asa, mereka mengadu pada Tuhan meski mereka ragu apakah Tuhan akan memberikan pertolongan.
Ketiga orang tersebut bersepakat menggunakan perantara amal-amal mereka yang paling baik untuk memohon kepada Tuhan. Orang pertama memilih diantara amalannya yang paling bagus adalah bakti pada orang tuanya. “Ya Allah Engkau tahu keadan saya dalam keadaan kesulitan, tetapi saya tetap memohon kepadaMu karena saya merasa ada kebaikan yang pernah saya kerjakan. Saya adalah orang yang selama ini berbakti pada orang tua. Saya, anak dan istri saya tidak makan atau minum lebih dahulu dari pada orang tuaku. Suatu saat sewaktu kami keluar rumah untuk mencari kayu di hutan kemudian menjualnya ke pasar, kami pulang terlambat,. Saya menanak nasi dan memasak air untuk memberi makan orang tuaku, tetapi mereka tertidur. Saya tidak berani membangunkan mereka. Anak-anak saya lapar dan menangis, tetapi karena kebiasaan saya tidak pernah mendahulukan anak dari orang tua, saya biarkan anak saya menangis menunggu sampai orang tua saya bangun. Begitu lama, sampai anak saya tertidur baru kemudian orang tua saya bangun. Saya sangat senang karena dapat mempertahankan kebiasaan untuk tetap mendahulukan kepentingan orang tua dari pada kepentingan keluargaku”. Orang itu melanjutkan permohonannya, “Tuhan, kalau memang perbuatan saya yang demikian itu baik, dengan penuh keikhlasan dan Engkau terima, saya mohon padaMu, keluarkanlah saya dari kesulitan ini”. Ternyata batu yang menutup pintu gua itu bergeser. Tetapi ketiga orang itu belum dapat keluar.
Giliran orang kedua yang mengingat-ingat barangkali amalan yang dianggap paling baik yang ia lakukan dengan ikhlas. Setelah berpikir sejenak, orang tersebut berkata, “Tuhan, saya pernah punya saudara sepupu perempuan yang saya cintai. Suatu saat ketika paceklik melanda desa, sepupu saya tersebut datang untuk meminta pertolongan. Saya berpikir ini adalah saat yang paling tepat untuk menyatakan keinginan saya. Saya bersedia membantunya asalkan ia –perempuan sepupunya- bersedia memenuhi nafsu birahiku. Karena dalam keadaan sangat terjepit dan orang tuanya sakit, sepupu perempuan itu bersedia melayaniku walaupun dalam keadaan terpaksa. Dalam keadaan yang kritis, sepupu perempuan itu masih sempat mengingatkan saya dengan perkataan, ‘Kamu jangan merusak sesuatu yang belum hakmu. Takutlah pada Allah, jangan takut pada saya’. Perkataan sepupu perempuan itu menyentuh hati saya sehingga saya mengurungkan niat jelek saya. Tapi bantuan yang sudah saya beri padanya tidak saya ambil kembali. Perempuan itu kemudian pulang”. Setelah mengadu kepada Tuhan, orang kedua ini melanjutkan doanya, “Ya Tuhan, kalau saya mampu menahan nafsu itu karena semata-mata takut kepadaMu dan Engkau terima, tolong keluarkan kami dari gua ini”. Batu yang menutup gua itu pun bergeser sedikit. Namun mereka pun belum bisa keluar.
Kini giliran orang ketiga yang bermunajat kepada Tuhan. “Ya Allah, saya dulu adalah seorang kaya yang memiliki banyak karyawan. Seluruh karyawan saya penuhi upahnya. Akan tetapi ada seorang karyawan yang belum sempat saya bayar karena ia pergi meninggalkan tempat kerja tanpa pamit. Setelah beberapa tahun uang karyawan itu saya kembangkan untuk membeli ternak dan mendapat keuntungan yang sangat banyak. Suatu saat ia kembali menemuiku untuk meminta uang upahnya tadi. Saya katakan bahwa semua ternak yang ada di kandang adalah milikmu. Awalnya dia sempat tersinggung lantaran niatnya adalah mengambil upahnya yang belum terbayar. Setelah saya yakin bahwa seluruh ternak itu bermula dari upah yang saya kembangkan, akhirnya dia menerima. Saya lepaskan seluruh yang memang haknya itu karena ajaranMu. Saya sekarang dalam keadaan terperangkap di dalam gua. Jika amalku itu ikhlas dan Engkau terima, tolonglah kami agar bisa keluar dari gua ini”. Lalu batu-batu itu menggelinding dan membuka mulut gua. Akhirnya mereka pun keluar dengan selamat.[20]
Cara yang ditempuh tiga orang tersebut adalah dengan memohon kepada Tuhan melalui perantara amal salih yang ia kerjakan, atau disebut dengan tawassul bi al-‘amâl al-sâlihâh. Dan cara ini juga banyak digunakan orang-orang dalam bermunajat kepada Tuhan dengan amalan-amalan saleh sebagai wasîlah. Hadis di atas memberikan pelajaran bahwa amal yang dilakukan dengan penuh keikhlasan sebagai amal yang bermutu dan diakui oleh Tuhan akan menjadi aset berarti bagi seorang Mukmin.[21]
Setiap Mukmin tentu saja mendambakan kebahagiaan tidak hanya bahagia di dunia tetapi juga di akhirat. Namun hal itu harus dicapai tidak dengan mengandalkan doa tetapi dituntut dengan usaha sungguh-sungguh dalam kehidupan di dunia ini yaitu dengan beramal saleh. Dihadapan Allah, siapa saja yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun wanita dan ketika mengerjakan dalam keadaan beriman, maka Allah akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan membalas kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang mereka kerjakan.[22] Allah juga menjelaskan, barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.[23]
Tuntunan amal saleh telah termaktub dalam al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang menjadi bagian dari rukun iman, maka wajib mengimaninya serta mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya. Karena al-Qur’an menjadi basis sentral kesalihan tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh umat manusia.
Dari Kesalehan Individu Menuju Kesalehan Sosial
Salah satu ajaran Islam adalah mendidik umat manusia melakukan amal saleh yang dilandasi iman kepada Tuhan. Menurut Guntur, sebagimana yang dikutip Mohammad Sobary, kesalehan sangat berkaitan erat dengan ibadah. Kemudian ia menjelaskan lagi bahwa ada dua macam kesalehan, yaitu kesalehan ritualistik dan kesalehan sosial. Lebih lanjut Guntur menjelaskan bahwa kesalehan ritualistik adalah menampakkan diri dalam bentuk mengingat Allah, salat lima waktu dan berpuasa. Sedangkan kesalehan sosial semua jenis kebajikan yang ditunjukkan pada manusia, misalnya bekerja demi mendapatkan nafkah untuk anak dan istri.[24]
Sebagaimana yang penulis utarakan diawal, bahwa amal saleh adalah segala bentuk perbuatan atau amalan-amalan yang baik, yang dikerjakan oleh setiap individu manusia dengan didasari keberimanan (bertauhid) kepada Tuhan. Maka, kesalehan individu akan memberi dampak pada kesalehan sosial. Karena perbuatan individu yang didasari dengan bertauhid itu akan terefleksikan dalam perilaku sosial.[25]
Segala bentuk amal ibadah dalam setiap agama diyakini memberikan efek positif bagi yang mengerjakannya. Salat sebagai salah satu bentuk amal ibadah agama Islam, dan menjadi sarana komunikasi hamba dengan Tuhannya. Salat merupakan tiangnya agama (al-Salâtu ‘Imâdu al-Dîn).[26] Seorang Muslim wajib mengerjakan salat sejak usia baligh. Salat juga diharapkan menjadi pencegah bagi seseorang yang berbuat kemungkaran.[27] Sehingga praktik salat yang dilakukan lima kali sehari bagi orang Muslim memberi efek positif dalam masyarakat, karena ia mendorong pencegahan perbuatan mungkar jika dikerjakan dengan kesungguhan dan ikhlas kepada Tuhan.
Puasa sebagai sebagai bentuk ibadah juga mempunyai nilai yang sama. Karena puasa juga dapat menjadi penangkal, sesuai dengan maknanya imsâku (menahan). Maka dengan demikian puasa menjadi penahan dan penangkal ancaman, desakan hawa nafsu dan motif-motif negatif. Puasa yang dikerjakan umat Islam digarisbawahi al-Qur’an sebagai “Tujuan untuk memperoleh ketakwaan.[28] Diantara manfaat sosial puasa adalah membiasakan umat Islam teratur, cinta keadilan bersatu, membentuk perasan kasih sayang dan melatih untuk amanah.[29] Selain itu puasa juga memberi manfaat bagi kesehatan seseorang.
Demikian juga dengan zakat dan sadekah yang menjadi amalan saleh ajaran agama Islam. Tuhan telah memerintahkan umat Islam mengerjakan salat dan mengeluarkan sebagian hartanya sebagai zakat.[30] Zakat dan juga sedekah berfungsi mensucikan hati dan membersihkan harta. Karena dengan hati yang bersih dan suci, seseorang dapat terhindar dari sifat tamak, dengki, kikir dan sombong.[31] Jika seorang Muslim sadar akan manfaat zakat dan sedekah dan menunaikannya, maka setidaknya zakat dan sedekah itu akan membantu terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Disyariatkannya zakat juga untuk membatasi pembengkakan kekayaan ditangan orang-orang kaya dan para pedagang, agar harta tidak beredar dikalangan tertentu atau hanya dinikmati kalangan orang kaya saja.[32]
Apa yang penulis sebut diatas adalah bagian kecil dari bermacam-macam bentuk amal saleh dalam Islam. Segala bentuk amal saleh dalam Islam baik yang tertulis dalam al-Qur’an ataupun Hadis, kesemuanya memberikan dampak yang baik (good impact) dalam kehidupan sehari-hari. Mengerjakan ibadah atau amal saleh juga harus dibarengi dengan keberimanan kepada Tuhan dan benar-benar ikhlas mengerjakan karena-Nya. Jika setiap Muslim berusaha mengerjakan amal saleh dalam kehidupan sehari-hari, maka ia secara tidak langsung juga berusaha menciptakan kehidupan sosial yang saleh juga. Kehidupan sosial yang baik akan mendorong kemajuan bangsa pada arah yang lebih baik. Dan itu semua di mulai dari kesadaran diri dengan mengamalkan amal saleh. Meskipun berada dalam kemajemukan bangsa ini, individu-individu saleh mendorong terbentuknya masyarakat saleh, dan masyarakat-masyarakat soleh itu juga mendorong  terbentuknya negara yang saleh pula.

Wallahu a’lam bi shawab
Puri Intan-Ciputat, 03 Rajab 1432 H


[1] Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm 97
[2] Mujibburrahman, MengIndonesiakan Islam, Representasi dan ideologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hlm 43
[3] Yusran Razak, (ed), Sosiologi Sebuah Pengantar, Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama) hlm 144
[4] Abdul Munir Mulkan, Kesalehan Multikultural: BerIslam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005) hlm 7
[5] Abdul Munir Mulkan, hlm 39
[6] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat, 2005) hlm 4
[7] Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2002) hlm 117
[8] TH. Thalhas-Hasan Basri, Spektrum Saintifika al-Qur’an, (Jakarta: Dian Ariesta, 2001) hlm vii
[9] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm1
[10] Q.,s al-Dzariyat: 56
[11] Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta: Listafariska Putra, 2000), hlm 1
[12] Q.,s al-Ra’d: 29
[13] Q.,s Nur: 55
[14] Muhammad Thalhah Hasan, hlm 21
[15] Q.,s Thalaq: 5. Lihat juga Q.,s al-Hadid: 28
[16] Q.,s al-Imran: 130
[17] Muhammad Thalhah Hasan, hlm 35-9
[18] Q.,s al-Baiyinah: 5
[19] Muhammad Thalhah Hasan, hlm 19
[20] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jâmi’ al-Sahih, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), Juz 2, no 2102, hlm 771. Penulis mengutip penjelasan hadis dari kitab al-Jami’ al-Sahihain al-Bukhari wa Muslim karya Muhammad bin Futuh al-Hamidi, bab al-Muttafiq ‘alaihi min Musnad Abdullah bin Umar, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Nasr, 2002), juz 2 hlm 120. Penulis juga mengutip penjelasan hadis di atas dari Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, hlm 61-4.
[21] Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, hlm 64
[22] Q.,s al-Nahl: 97,
[23] Q.,s al-Kahfi: 110
[24] Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Askara, 2007) hml 133
[25] Yusran Razak, (ed), hlm 144
[26] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, pent. Fadhil Bahri, Lc, (Jakarta: Darul Falah, 2007) hlm. 299
[27] Q., al-Ankabut: 45
[28] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 307
[29] Wahbah Zuhali, al-Fiqh al-Islâmî wa ‘Adilatuhu, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1984) juz 2, hlm 567
[30] Q.,s Maryam: 55
[31] Q.,s Taubah: 103
[32] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, hlm. 396