Senin, 28 Oktober 2013

“Dosa” SBY di Sektor Pertanian

Oleh: Ali Topan DS

Menjelang akhir kepemimpinan SBY, ia banyak dinilai banyak tidak menepati janjinya. Salah satunya adalah janji untuk perluasan lahan pertanian. Seperti diketahui, saat ini pemerintah sedang mengupayakan swasembada pangan di 2014. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan pokok pangan dalam negeri terpenuhi. Tentu saja yang paling utama adalah terhindar dari importasi bahan pangan. Namun diakui, kendala swasembada adalah menyempitnya lahan pertanian.
Pakar pertanian IPB, Prof Dwi Andreas Santosa menyampaikan janji SBY yang tidak ia penuhi terkait sektor pertanian. SBY sebelumnya berjanji akan meningkatkan lahan pertanian dari dari 7,9 juta hektar menjadi 15 juta hektar. Alih-alih meningkat, justru lahan pertanian mengalami penyempitan dari 7,9 menjadi 7,3. Menurut Dwi, pemerintah selalu mengimpor bahan pangan sebagai solusi atas kebuntuan ketersediaan pangan. Padahal, ketergantungan ini sangat merugikan para petani. Masih banyak lahan pertanian yang dapat digarap sehingga memberi sumbangan atas keterbatasan ketersediaan pangan. Persoalan mendasar terletak pada banyaknya lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan non tani.
Wilayah Karawang yang dianggap sebagi lumbung padi tak luput dari penyempitan lahan tani. Data Pemda Karawang menyatakan bahwa pada tahun 1989-2007 terjadi penyusutan lahan tani seluas 135,6 hektar pertahun. Rencana pembangunan pelabuhan di Cilamaya guna menopang pelabuhan Tanjung Priuk juga menjadi ancama tersendiri bagi pertanian Karawang.
Tidak ingin disalahkan, jubir presiden bidang ekonomi dan pembangunan, Rizal Halim, membantah jika SBY dianggap tidak perhatian terhadap pertanian. Saat ini SBY sebetulnya berkomitmen meningkatkan sektor pertanian dengan membuat regulasi. Tetapi banyak masyarakat sendiri yang melanggarnya. Harus diakui bahwa persoalan perluasan lahan tani bukanlah urusan mudah. Terlebih jika perluasan lahan tersebut dilakukan di luar pulau Jawa. Banyak tantangan dan hambatan untuk melakukannya. Seperti hal nya pembebasan tanah yang dianggap warisan leluhur.
Sementara itu, disaat kesulitan upaya swasembada pangan  melanda Indonesia, Australia ingin menawarkan kerjasama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Kedubes RI untuk Australia menyatakan akan ada beberapa perusahaan swasta yang berinvestasi di sana guna mendukung ketersediaan pangan.
Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa: Lahan pertanian mengalami penyempitan. Tentu saja ini merupakan “dosa” atas ingkar janjinya SBY. Hal ini dapat dibuktikan kurangnya perhatian pemerintah serta kebijakan impor pangan yang dilakukan. Jika penyempitan lahan tani terus dibiarkan bertambah, maka swasembada pangan yang dicita-citakan tidak akan terwujud. Pemerintah SBY diakhir masa kepemimpinannya perlu segera mewujudnya perluasan lahan pertanian sebagai janjinya. Hal ini tentu saja selain mendorong ketahan pangan, juga akan berimplikasi baik bagi para petani. Tawaran dari Australia perlu dicermati, karena bisa saja akan berdampak buruk bagi Indonesia. Misalnya, ada kepentingan tertentu yang mencari keuntungan. Selain itu, dapat pula tawaran Australia hanya sekedar “pemanis” untuk mengobati sakit hati Indonesia pasca isu penyadapan SBY yang mereka lakukan. (Data dan fakta bersumber dari Kompas.com).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar