Rabu, 31 Agustus 2016

Optimisme RAPBN 2017 (Catatan atas Kebijakan Pemerintah)



Optimisme RAPBN 2017 (Catatan atas Kebijakan Pemerintah)

Oleh: Ali Thaufan DS

Penyusunan dan pembahasan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) TA 2017 diiringi dengan rencana kebijakan pemerintah yang akan pemotong (istilah lain yang digunakan: penghematan) belanja kementerian/lembaga dan dana transfer ke daerah dan dana desa di APBNP 2016 yang akan dilakukan September-Desember. 

Seperti disampaikan, pemerintah akan memotong anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp. 64 triliun dan dana transfer ke daerah sebesar Rp. 70 triliun. Hal itu menyebabkan adanya sedikit kecemasan –atau bahkan keputusasaan- dengan target-target yang akan ditetapkan oleh pemerintah di 2017. Muncul pertanyaan: untuk apa menargetkan pendapatan dan belanja pemerintah terlalu optimis jika akhirnya dipotong dikemudian hari?

Sri Mulyani yang belum lama ini diangkat menjadi Menteri Keuangan segera melakukan kebijakan “mengagetkan”, yaitu pemotongan anggaran. Ia pun menegaskan bahwa pemotongan dilakukan karena ada pemborosan, seperti perjalanan dinas kementerian/lembaga. Oleh sebab itu, ia menilai bahwa APBN perlu disusun secara hati-hati, kredibel, bijak dan berkelanjutan. Sadar akan kondisi ekonomi global yang kerap tak menentu, perempuan yang pernah mendapat penghargaan menteri keuangan terbaik itu tetap penuh optimis menatap ekonomi Indonesia 2017.

Tulisan ini mencoba “menganotasi” dan mengomentari RAPBN 2017 dan pandangan pemerintah terhadap ekonomi 2017. Basis utama RAPBN 2017 tentu saja pengalaman APBN sebelumnya dan Peraturan Presiden tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) No 45 tahun 2016. Penulis menggarisbawahi terdapat beberapa isu krusial yang dibincangkan dalam pembahasan RAPBN 2017, yaitu: target penerimaan pajak, belanja pemerintah, penyerapan anggaran, dan keuangan daerah.

Penerimaan pajak menjadi hal yang patut diperhatikan, pasalnya penetapan yang terlalu tinggi bisa menimbulkan resiko besar terhadap kebijakan fiskal negara. Pemerintah menyampaikan jika hal tersebut akan menyebabkan: pertama, memicu membengkaknya belanja negara. Tentunya hal ini bisa menjadi “petaka” manakala target penerimaan pajak tidak tercapai, pendanaan proyek kekurangan anggaran dan menyebabkan terhenti proyek tersebut. Biasanya untuk pembiayaan akhirnya pemerintah terpaksa berhutang. Kedua, pelaku usaha akan menemui ketidakpastian ekonomi. Ketiga, kepercayaan pasar akan menurun.

Untuk mengatasi resiko di atas, pemerintah akan mengkonsolidasikan kebijakan fiskal pada 2017 dengan melakukan pemberian stimulus fiskal secara terukur, berkualitas, menjaga daya tahan fiskal, serta menjaganya dari defisit. Namun, pemerintah untuk sementara telah memastikan bahwa APBN 2017 akan mengalami defisit sebesar Rp. 332 triliun (2,41 %) dari pendapatan domestik bruto (PDB). Seperti tertera dalam RAPBN 2017, pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp. 1.737,6 triliun, sedangkan belanja negara ditargetkan mencapai sebesar Rp. 2.070,5 triliun. (RAPBN Beserta Nota Keuangan 2017).

Terkait dengan gagalnya penerimaan pajak dari yang ditargetkan, pemerintah punya pengalaman mundurnya Dirjen Pajak Kemenkeu akhir 2015 lalu. Hal ini membuktikan bahwa penerimaan yang dipatok pemerintah adalah tanggung jawab besar untuk mencapainya. Pajak menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Melesetnya target penerimaan jelas berpangaruh pada banyak hal. Agar target tercapai, pemerintah akan melakukan kebijakan misalnya, memudahkan layanan perpajakan, penagihan akan diefektifkan, akses informasi pajak dimudahkan, serta kampanye kepada masyarakat untuk sadar dan taat pajak. 

Mencermati pernyataan pemerintah, ada indikasi tidak tercapainya target pajak. Pemerintah juga terkesan “was-was” untuk mencapai target. Tetapi kegigihan dan optimisme pemerintah pada saat bersamaan juga ditunjukan. Kemenkeu bahkan secara intens memonitoring kantor-kantor pajak diseluruh daerah untuk memastikan tercapainya penerimaan pajak.

Dalam hal belanja negara, beberapa kritik sering ditujukan kepada pemerintah karena menganggap melakukan belanja tanpa perencanaan yang baik. Tantangan ke depan adalah saat terjadi pemotongan anggaran, maka tidak ada pilihan lain selain benar-benar melakukan efisiensi dan penghematan tetapi tak mengganggu program prioritas. Belanja pemerintah yang tetap sasaran menjadi penyumbang bagi tercapainya target pertumbuhan ekonomi nasional.

Selanjutnya, terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah diminta untuk mengenjot penyerapan anggaran. Pemerintah menawarkan strategis seperti dipercepatnya waktu dan proses lelang, daftar isian pelaksanaan anggaran APBN, serta pencairan anggaran di awal tahun anggaran. 

Untuk memonitoring keuangan daerah, pemerintah pusat mendesak agar Pemda penetapkan APBD tepat waktu dan secara berkala (setiap bulan) melaporkan penerimaan dan kondisi uang daerah. Laporan berkala tersebut akan menjadi basis bagi pemerintah pusat untuk membantu mengendalikan penyerapan anggaran daerah, rasionalisasi penyaluran dana bagi hasil (DBH) dan sebagian dana alokasi umum (DAU).

Pemerintah menyadari bahwa pada tahun-tahun sebelumnya penyaluran DBH terdapat kekurangan dan proses penyaluran yang membutuhkan evaluasi. Untuk itu pemerintah akan mempercepat dana kurang bayar bagi daerah yang belum dibayarkan; membuat formula penghitungan yang lebih matang; dan menghitung akurasi. Sementara dana alokasi khusus (DAK) akan lebih difokuskan untuk daerah-daerah tertinggal dan perbatasan.

Pembangunan yang direncanakan dalam RKP pemerintah mencakup berbagai berdimensi, pembangunan manusia dan masyarakat; pembangunan sektor unggulan; pemerataan kewilayahan; pembangunan hukum dan hankam; serta pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang dikembangkan berbasis pada kerja sama antarkementerian dan lembaga. Sinergi kementerian lebih diutamakan, sehingga tidak terjadi timpang tindih progam. 

Simpulan
APBN 2017 menjadi harapan bagi Indonesia untuk memperbaiki nasib ekonomi yang belum kunjung memenuhi harapan. Melalui perencanaan yang baik dan matang, APBN 2017 akan menjadi sinyal perbaikan ekonomi bangsa. Rancana pencapaian terget, belanja efektif, dan pengelolaan keuangan yang baik harus diwujudkan dengan kerja nyata. Masyarakat menanti.

Komitmen Kelautan Nasional



Komitmen Kelautan Nasional[1]
 
Oleh: Ali Thaufan DS 
 
Komitmen kuat Presiden Joko Widodo untuk membangun kelautan Indonesia disampaikan saat pelantikanya 2014 lalu. Ia mengatakan “Jalasveva Jayamahe”, yang artinya di laut kita jaya. Salah satu konsep untuk memperkuat kelautan Indonesia adalah membangun “Tol Laut” untuk mengefektifkan transportasi barang antarpulau. Selain itu, pemerintah juga menambah anggaran Alutsista TNI, termasuk TNI-AL untuk memperkuat wilayah kelautan Indonesia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia yang dijabat Susi Pudjiastuti membuat “gebrakan” dalam beberapa kesempatan. Salah satu kebijakan populisnya adalah penenggelaman kapal-kapal negara tetangga yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia. Kebijakan Susi mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Keberaniannya menindak tegas pelaku pencurian ikat merupakan menerjemahan dari kedaulatan Indonesia di laut.

Wacana penguatan kelautan belum sepenuhnya berjalan baik. Meski kebijakan tegas diterapkan bagi pencuri ikan, kasus tersebut tetap saja terjadi. Pencurian ikan di laut Indonesia menyumbang kerugian besar bagi negara. Data lembaga riset Fisheries Resourses Laboratory menunjukkan bahwa kerugian dari pencurian ikan di laut Arafura mencapai sekitar Rp. 520 triliun selama satu dekade hingga tahun 2014. Perkiraan kerugian juga disampaikan organisasi pangan PBB, yang pada tahun 2001 memperkirakan bahwa pencurian ikan di Indonesia telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30 triliun.

Tempo merilis wilayah laut Indonesia yang rawan menjadi sasaran empuk pencuri ikan dan besaran tangkapan pencurian ikan sebagai berikut:  Selat Malaka diperkirakan 509,1 ton; Laut Natuna 567,8 ton; Laut Sulawesi 255,4 ton; Laut Maluku 498,3 ton; Laut Banda 456,3 ton; Laut Arafura 445,5 ton; Teluk Cenderawasi 138,1 ton; Laut Nusa Tenggara bagian Selatan 500,6 ton; Teluk Bone 621,2 ton; Laut Jawa 866,4 ton; Selat Sunda 576,6 ton.(Koran Tempo 22/6/2016).

Kemarahan Pemerintah Indonesia atas kasus pencurian ikan akhirnya memuncak ketika TNI-AL menangkap beberapa kapal milik pelaut Cina yang berada di perairan Natuna. Cina yang mengklaim memiliki zona penangkapan ikan tradisional di Natuna. Tetapi, Indonesia tegas menyatakan bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik Indonesia, dan Cina telah mengakui wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia sejak 1996.

Selain kasus pencurian ikan di wilayah perairan, Indonesia juga kerap dibayangi dengan kapal-kapal Indonesia yang dibajak oleh oknum yang mengaku anggota terorisme kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Peristiwa pencurian ikan dan pembajakan menunjukkan lemahnya keamanan wilayah kelautan Indonesia. 

Besar dan luasnya wilayah laut Indonesia menyimpan banyak kekayaan alam. Di laut, selain ada ikan, juga ada mutiara, minyak dan sebagainya. Hal inilah yang mengundang oknum untuk melakukan kejahatan di laut.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa masa kejayaan di laut pernah diraih para pendahulu negeri ini. Kejayaan kelautan Indonesia bahwa diakui para peneliti londo yang konsen menulis sejarah Indonesia. Nama-nama seperti Denys Lombard, Bernard Vlekke, juga pendahulunya Thomas Raffles mencatat kejayaan nenek moyang Indonesia di laut.

Denys Lombard misalnya, mengulas bagaimana kejayaan di laut dan bagaimana Islam masuk melalui pesisir utara laut Jawa. Denys menyajikan dimensi kemajuan “Islam di Indonesia”. Islam dan pelaut Indonesia tempo dulu seperti sulit dipisahkan. Di Indonesia, Denys menyebut pernah ada kejayaan laut, menggambarkan kekuatan pelaut kita seperti: orang Mawken dari Kepulauan Mergui, dan juga orang Danjia dari Guangdong. Melalui mereka, Islam menyebar dari Barat ke Timur. 

Denys juga memberi catatan dan bantahan, bahwa pelaut ulung hanya berasal dari luar Jawa. Hal itu tidaklah tepat. Masyarakat Jawa yang diasosiasikan sebagai masyarakat yang “takut laut” karena mitos laut Kidul tidaklah benar sepenuhnya. Tidak berbeda dengan pelaut luar Jawa (seperti: Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Ambon dll), pelaut Jawa juga menorehkan sejarah kebesaran maritim. Bahkan, kapal-kapal dari pesisir utara laut Jawa dibuat dengan ukuran yang besar (untuk ukuran saat itu) dan mampu mengarungi luas samudera. 

Sekali lagi Denys tak sungkan menyebut: Islam menyebar melalui pelaut. Bahkan ia menyebut orang laut sebagai “penggerak Islam Jawa”. Meski, tentu bukan pelaut saja yang menjadi faktor utama penyebaran Islam di Indonesia.

Thomas Raffles dalam The History of Java juga mengungkapkan kejayaan pelaut-pelaut Indonesia. Berbeda dengan Denys, Thomas “mendikotomi” orang Jawa sebagai kaum agraris, dan orang bugis sebagai pelaut. Dan, Thomas tidak bisa memungkiri bahwa bangsa Indonesia pernah memiliki kekuatan besar di laut.

Kekuatan laut Indonesia dulu, seperti disinggung penulis di atas juga memberi sumbangan bagi berjalannya roda perekonomian. Berton-ton barang seperti rempah-rempah hilir mudik dari satu pulau ke pulau lain. Kekuatan laut juga dimulai sejak di sungai-sungai. Masyarakat menggunakannya sebagai transportasi perdagangan.

Menjaga laut Indonesia tidak cukup hanya dengan membaca sejarah kebesaran kekuatan kelautan tempo dulu. Generasi sekarang butuh kesadaran, pertama, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang juga bertumpu pada kekayaan laut, bukan tanah semata. Tanah dan air tidak bisa dipisahkan. Itulah mengapa kata “Tanah Air” menjadi bait pertama dalam lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Tidak hanya itu, kata “Tanah Air” juga menjadi lagu-lagu lain, yang diajarkan di Sekolah Dasar (SD). Kesadaran sejak dini akan kekayaan laut akan menumbuhkan semangat menjaga laut kita.

Kedua, komitmen pemerintah telah diucapkan dalam sumpah untuk membangun kekuatan laut yang hebat. Ini jangan sekedar janji. Implementasi dari janji harus diwujudkan melalui progam prioritas dan dukungan anggaran yang dikucurkan. Semangat membangun laut kita, jangan tertulis di atas kertas saja. Ada banyak pesisir diberbagai pulau yang menyimpan potensi ekonomi kreatif, pariwisata, dan ini semua butuh kemauan serta kerja nyata dari pemerintah untuk membangun kelautan kita.


[1] Suara Karya, 9 Agustus 2016

Mengenang Cak Nur (Memperingati Haul Cak Nur ke-11)



Oleh: Ali Thaufan DS*
 
29 Agustus 2005 silam, Nurcholis Madjid (atau yang akrab disapa Cak Nur) pergi untuk selamanya. Kepergiannya meninggalkan kesedihan banyak kalangan, akdemisi, kalangan intelektual, hingga politisi sekalipun. Cak Nur banyak memberikan inspirasi bagi banyak kalangan, terutama kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bagi HMI, Cak Nur adalah intelektual yang meletakkan nilai dasar ideologi organisasi tersebut dengan menulis Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Tulisan ini hadir untuk memperingati Haul Cak Nur yang ke-11.

Perjalanan pemikiran Cak Nur tentang Islam, Indonesia, dan dunia modern menorehkan banyak sekali catatan. Pikiran dan gagasan Cak Nur menjadi bahan bincang dan cibiran beberapa pihak. Gagasanya tentang liberalisasi dan sekularisasi yang dia sampaikan dalam makalahnya pada tahun 1970 mengundang pro dan kontra. Bagi Cak Nur, liberalisasi ialah proses seseorang melepaskan dari dari nilai-nilai tradisional lama dan mencari nilai-nilai yang berorientasi pada masa depan. Sedangkan sekularisasinya Cak Nur tidak ada kaitannya dengan penerapan sekularisme. Sekularisasi yang dimaksud adalah menduniawikan hal-hal yang bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawiakannya. (Madjid: 2008).

Tak hanya itu, Cak Nur juga melontarkan pernyataan yang sangat kontroverial: “Islam yes, Partai Islam No”. Kalimat singkat yang menohok, dan penulis yakin Cak Nur tidak sedang “iseng” melontarkannya. Ia punya pemikiran panjang atas apa yang disampaikan. Baginya Kalimat itu muncul saat ia melihat jumlah umat Islam yang secara kuantitas terus bertambah, akan tetapi tidak diiringi dengan ketertarikan mereka dalam organisasi/partai Islam sebagai tempat dan wadah menyalurkan ide-ide Islam.
 
Sontak saja Cak Nur menjadi pusat cibiran banyak kalangan. Budhy Munawar (Budhy: 2008) menyebut lebih dari seratus artikel menanggapi pernyataan Cak Nur itu. Kritik bukan saja datang dari orang yang berseberangan pandangan dengan Cak Nur, tetapi juga datang dari sahabat-sahabat terdekatnya.

Para pembaca pemikiran Cak Nur sering larut dalam topik-topik yang “seksi”, mengundang kontroversi. Perlu dicatat dan ditekankan, pikiran Cak Nur tidak berhenti disitu saja. Ada banyak pemikirannya tentang makna terdalam dari iman, tasawuf, dan keindonesiaan. Dalam hal keimanan, Cak Nur memaparkan bahwa itu adalah fitra manusia. Ia menekannya pentingnya ketahuhidan hanya kepada Allah yang esa, serta melepaskan diri dari menuhankan diri sendiri dan makhluk lainnya.

Kehidupan religius Cak Nur juga jarang sekali dibincangkan orang. Dilingkungan akademis, isu-isu liberalisasi, sekularisasi, dan pluralisme lebih sering dikaji ketimpang mengkaji kehidupan si pemilik gagasan. Dalam sebuah seminar beberapa tahun lalu, penulis mendengar langsung kehidupan pribadi Cak Nur dari orang-orang terdekatnya, Wahyuni Nafis dan Kautsar Azhari Noor. Bagi Nafis, Cak Nur merupakan sosok yang “tidak gila jabatan”. Saat orang-orang terdekat Cak Nur mengadu, dan meminta “proyek” kepadanya karena Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, bukannya Cak Nur memberikan, tetapi justru kesal dengan orang yang memintanya tersebut. Cak Nur, menurut Nafis tidak menyangka jika orang sekelilingnya hanya berpikir materi “proyek”. Lain dengan Nafis, dimata Kautsar, Cak Nur adalah sosok mengedepankan kesederhanaan. Namanya yang melejit dibelantara pemikiran keislaman dan keindonesiaan justru membuatnya lebih tawadhu, ramah kepada siapapun yang mengajaknya berdiskusi. 

Sebagai tokoh reformasi, Cak Nur juga ada dalam hati politisi. Sebut saja politisi Partai Golkar seperti Idrus Marham dan Ade Komaruddin yang sering kali menukil pernyataan Cak Nur dalam suatu pidato atau sambutan. Penulis dalam suatu kesempatan mendengar langsung saat Marham membeberkan alasan Cak Nur yang tidak jadi “nyapres” di tahun 2004 lalu melalui Konvensi Partai Golkar. Cak Nur mengendus adanya praktik politik yang jauh dari ideal, “politik uang”. Itulah sebabnya Cak Nur merasa keberatan, dan ia tetap memilih dengan idealisme politiknya yakni dengan tidak mencalonkan diri.

Cak Nur yang mengundurkan diri dari pencalonannya pun mengundang kontroversi. Sebagian menganggap bahwa Cak Nur tidak konsisten dalam membangun demokrasi di Indonesia. Sebagain lain justru memberi apresiasi kepadanya karena Cak Nur tetap berpegang teguh pada politik ideal. Ini merupakan konsekuensi seorang tokoh besar dalam setiap pengambilan keputusan, selalu ada pro dan kontra.

Pada bagian akhir tulisan singkat ini, penulis sampaikan doa agar Cak Nur tenang di sisi yang Tuhan sang maha pengampun. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok intelektual karismatik tersebut: kedalaman berpikir, komitmennya terhadap ilmu, dan kemauan kuat membangun Indonesia. Nilai-nilai luhur juga bisa dicontoh dari Cak Nur: kesederhanaan, dan sikap rendah hati.

*) Penulis adalah Alumni Progam Magister UIN Jakarta