Rabu, 09 September 2015

Bayang-Bayang Kebakaran (Catatan Tentang Kebakaran yang Melanda Indonesia)

Oleh: Ali Thaufan DS

Bencana kekeringan yang melanda Indonesia sekitar Mei hingga Agustus belum kunjung selesai. Dibeberapa daerah masyarakat masih merasakan kekeringan tersebut, kesulitan air bersih hingga gagal panen masih menjadi menghantui. Belum sembuh luka akibat kekeringan, kini Indonesia sedang gawat kebakaran. Beberapa pulau terdapat titik rawan kebakaran hutan, terutama Kalimantan dan Sumatera. Titik rawan kebakaran pun tak pelak menyebabkan kebakaran hutan. Dan, asap kebakaran pun menjadi musibah dan bencana masyarakat luas. Dugaan berberapa pihak, kebakaran hutan dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Tulisan ini mencermati fenomena kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Indonesia seperti diberitakan banyak media. Pemerintah terus berupaya untuk melakukan aksi cepat pemadaman kebakaran tersebut.

Kebakaran hutan yang terjadi pada September 2015 kali ini diperkiran cukup parah dari sebelumnya. Beberapa titik api yang diduga menjadi sumber kebarakan terus bertambah. Pada 4 September, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat titik panas (api) yang menimbulkan asap di Kalimantan sebanyak 61 titik dan Sumatera sebanyak 95 titik. (Kompas 5/9/2015). Jumlah tersebut bukannya berkurang, tetapi terus bertambah. Pada 7 September sebuah satelit mendeteksi jumlah titik api di Sumatera, yakni sebanyak 1.036 titik. Jumlah tersebut mayoritas terdapat di Sumatera bagian selatan, sebanyak 599 titik. (Kompas 8/9/2015)

Kebakaran hutan yang semakin meluas diberbagai daerah tersebut berdampak dalam berbagai sektor. Pada sektor ekonomi, kebakaran hutan mengurangi kunjungan para wisatawan karna penerbangan mengalami gangguan asap. Di sektor pendidikan, kebakaran yang terjadi diberbagai daerah menyebabkan asap kabut tebal. Akibatnya, sekolah didaerah bencana kebakarab pun diliburkan. Asap akibat kebakaran menjadi masalah tersendiri bagi sektor kesehatan. Harian Kompas mencatat, akibat asap kebakaran hutan sebanyak 6.762 mengalami infeksi saluran pernapasan. Masker yang dibagikan diberbagai daerah guna mengantisipasi warga menghirup asap dan udara yang tidak sehat dirasa belum cukup. Sementara pada sektor lingkungan hidup, asap akibat kebakaran membuat kualitas udara menjadi buruk. Hutan pun mengalami kerusakan. (Kompas 5/9/2015).

Pemerintah daerah dan pusat bekerja keras mengatasi kebakaran ini. Berbagai upaya pemadaman dilakukan baik oleh petugas pemadam kebakaran, Polisi, TNI serta masyarakat. Namun upaya pemadaman tersebut bersifat reaktif. Pemerintah lebih fokus pada penangganan ketimbang pencegahan. Akibatnya, pemadaman api baik melalui darat dan udara tidak berarti maksimal. Hal ini terbukti dengan terus menyebarnya api dan bertambahnya titik api.

Kebakaran hutan kali ini salah satunya diakibatkan ulah tangan manusia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah, terutama sikap kepada para oknum pembakar yang biadab. Fajri Alihar, peneliti bidang ekologi manusia LIPI dalam kolom Opini harian Kompas menyoroti lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembakaran hutan yang dilakukan individu maupun kelompok. Terdapat beberapa perusahaan yang diduga sengaja membakar lahan untuk pembebasan. Menurutnya, pembakaran hutan menyebabkan masyarakat menderita sakit. Selain itu, pembakaran hutan sama halnya dengan merusak lingkungan hidup. Kepunahan ekosistem tidak dapat dihindari akibat pembahakan hutan. Ini artinya pembakar telah melakukan tindakan yang membuat sengsara masyarakat banyak, dan pembakar hutan adalah pelaku kejahatan luar biasa. (Kompas 8/9/2015).


Kedepan, pemerintah perlu merumuskan penanggulangan kebakaran hutan mulai dari penangkalan (preemtif), pencegahan (preventif) dan tindakan (represif). Hal ini tentunya harus didukung dengan optimalisasi penegakan hukum oleh aparat hukum. Negara tidak boleh kalah dari oknum nakal yang melakukan aksi pembakaran hutan. Terpenting dari itu semua adalah kesadaran kolektif seluruh masyarakat akan kelestarian lingkungan. Hutan yang ditanami pohon hari ini adalah investasi kita bagi generasi mendatang. Membakar hutan sama artinya meninggalkan warisan “kehancuran bumi” untuk anak cucu. 

Sabtu, 05 September 2015

PAN Melompat (Membaca Keputusan PAN Bergabung dengan KIH)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Gajat politik Indonesia –pada awal September 2015 ini- diramaikan atas keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pendukung pemerintah. Sebelumnya, PAN tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang menjadi “oposisi” dan penyeimbang pemerintah. Keputusan PAN terbilang mengejutkan karena KMP dikenal cukup solid. Tulisan ini membincang keputusan PAN yang “melompat” ke KIH dan berbagai perdebatan atas keputusan PAN tersebut.

Dalam politik terdapat adagium “tidak ada musuh abadi”. Artinya, semua bisa bermusuhan dalam suatu waktu, tetapi pada waktu yang lain dapat menjadi mitra. Begitulah yang terbaca dari keputusan PAN. Di bawah nahkoda Zulkifli Hasan –yang terpilih sebagai ketua umum PAN pada Mei 2015 lalu- PAN merubah peta koalisi. Sebelumya tergabung dalam KMP, lalu kemudian berpaling dan bergabung dalam KIH. Aroma bargabung PAN ke KIH memang dipredikasi oleh sebagaian pemerhati politik Indonesia. Pasalnya pasca terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum baru menggantikan Hatta Rajasa, beberapa safari politik dilakukan, termasuk menbuka komunikasi dengan partai yang tergabung dalam KIH. 

Keputusan PAN bergabung dalam KIH menuai berbagai kritik. Sebagian menyayangkan keputusan tersebut karena dinilai akan membuat lemah pengawasan terhadap pemerintah, seperti yang saat ini dilakukan KMP. Unsur penting dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia mensyaratkan adanya pengawasan yang dilakukan oleh “oposisi”. Hal ini terjadi seperti pada pemerintahan sebelumnya, pasca reformasi 1998. Bergabungnya PAN kepada pemerintah didasarkan pada keinginan PAN yang ingin berkontribusi lebih terhadap bangsanya ini melalui kebijakan pemerintah. Kita tidak bisa sewenang-wenang menganggap PAN “mengkhianati” KMP. Keputusan PAN adalah keputusan politik, sangat dinamis dan bisa berubah setiap saat. Demikian juga partai lain yang tergabung dalam KMP, bisa saja mereka bargabung dengan KIH, sebagai partai pendukung pemerintah.

Terdapat beberapa hal yang penulis baca dari melompatnya PAN dari KMP ke KIH. Pertama, menegaskan bahwa politik merupakan “tipu-tipu”. Mengapa demikian? Pada suatu kesempatan (waktu) partai politik terlihat berbeda pendapat, berdebat dan bahkan “bermusuhan”. Tetapi pada waktu lain, mereka bersatu. Penulis menggunakan term “tipu-tipu” sebagai gambaran “anekdot”, sebuah kebijakan semu yang kerap diambil para elit partai politik, baik melalui pemerintah atau anggota dewan.

Kedua, menegaskan bahwa politik selalu diwarnai dengan kesetiaan dan sebaliknya. Mungkin, bagi para fans KMP, keputusan PAN bergabung dengan KIH adalah sebuah penghianatan terhadap KMP. Keputusan PAN sama artinya mencopot pondasi bangunan bernama KMP. Tetapi pada saat yang sama, kita bisa melihat kesetiaan partai lain yang tetap tergabung dalam KMP. Artinya, politik bukan soal pragmatisme semata, tetapi juga kesetiaan (setia berada diluar pemerintah).

Ketiga, keputusan PAN bisa dimaknai dengan akan adanya tukar menukar jatah pembantu presiden (menteri). Sangat mungkin dengan bergabungnya PAN, presiden akan memberikan jatah kursi menteri, meski entah kapan hal tersebut terealisasi. Namun demikian, terlalu terburu-buru jika kita menyimpulkan bahwa PAN tergoda “iming-iming” jatah menteri.

Keputusan PAN sepertinya menjadi sesuatu yang final. Tetapi, dinamika politik akan bisa saja berubah. Di parlemen, tidak ada jaminan PAN akan selalu “satu suara” dengan pemerintah. Pengalaman dinamika parleman telah menunjukkan bahwa tidak semua partai pendukung pemerintah selalu “satu suara” untuk sebuah keputusan.

Rabu, 02 September 2015

Mimpi Buruk Para “Pengangguran” (Menyoal Kehadiran Pekerja Asing)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada tanggal 11-12 Agustus 2015 lalu, penulis sempat membaca berita ramainya pameran Job Fair di Senayan Jakarta. Saat melewati jalan sekita kawasan Senayan, penulis memerhatikan betul keramain tersebut. Ratusan ribu orang silih berganti mengantri, berusaha melamar pekerjaan di stand perusahaan yang tergelar di kawasan tersebut. Beragam latar belakang pendidikan mereka, mulai lulus SMP hingga perguruan tinggi. Semua antusias dengan acara Job Fair. Suasana ramai tersebut jelas menunjukkan betapa banyaknya masyarakat yang “ngaggur” tidak atau belum punya pekerjaan.

Pekerjaan yang sesuai tentu menjadi dambaan setiap orang. Orientasi utama bekerja bukan sekedar mencari pengalaman, tetapi juga uang. Tidak jarang, orang melakukan suap-menyuap demi mendapat sebuah pekerjaan. Dan, ini lazim terjadi dibanyak institusi. Kini, persaingan mendapat pekerjaan semakin berat saja. Kehadiran pekerja berkewarganegaraan asing membuat persaingan pencari pekerjaan semakin kompetitif. Tulisan ini hadir dari pembacaan mengenai perdebatan kehadiran pekerja asing di Indonesia yang kian banyak. Tentu saja ini menjadi mimpi buruk para pengangguran yang sudah sulit mencari pekerjaan, ditambah pula persaingan yang ketat.

Di pusat kota Jakarta, penulis kerap kali melihat bule-bule berjalan dipinggir jalan. Mereka bukan tamu yang sedang berlibur, tetapi karyawan di perusahaan yang berkantor di pusat Jakarta. Pada suatu kesempatan saat penulis berkunjung ke sebuah apartemen seorang rekan di bilangan Kuningan Jakarta Selatan, penulis melihat banyak sekali penghuni apartemen yang berkewarganegaraan “Londo”. Menurut rekan penulis, mereka juga karyawan bawahan di beberapa perusahaan di Jakarta. Dulu, pemandangan seperti itu –melihat orang bule-bule- merupakan hal yang jarang. Kini sudah bukan hal aneh lagi. Orang asing tersebut bukan direktur, manajer atau kepala bagian di perusahaannya, mereka juga karyawan biasa. Keberadaan pekerja asing bukan saja di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain seperti Buleleng (Bali), Lebak (Banten) dan Manokwari (Papua).

Indonesia yang “unik” ini ternyata menjadi destinasi tersendiri bagi para pekerja asing. Majalah Tempo mencatat ada sebanyak 16.328 orang pekerja asal Cina, 10.838 asal Jepang, 8.172 asal Korea Selatan, 4.981 asal India, 4.022 Malaysia, 2.658 asal Amerika Serikat, 1.002 asal Thailand, 2.664 asal Australia, 2.670 asal Filipina, 2.227 asal Inggris dan 13.200 berasal dari berbagai negara. Tempo juga mencatat bahwa pekerja asing tersebut sebanyak 36.702 orang bekerja di sektor perdagangan dan jasa; 24.041 di sektor industri; dan 8.019 di sektor pertanian. (Majalah Tempo 6/9/2015).

Kebijakan pemerintah yang membiarkan orang asing bekerja di Indonesia menuai berbagai kritik. Sebagian berpendapat bahwa tenaga kerja asing hanya boleh menduduki jabatan strategis di sebuah perusahaan dengan keahlian khusus. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 247 Tahun 2011. Tenaga kerja asing kini tak lagi duduk dikursi nyaman. Mereka juga bekerja dilapangan seperti kuli angkat besi, penggali tanah, tukang sapu, tukang potong rumput dan sebagainya.


Negara perlu hadir menyikapi fenomena ini. Desakan agar pemerintah mengeluarkan aturan baru perihal pekerja asing terus disuarakan. Bagi penulis, pekerja asing mungkin dibutuhkan pada sektor tertentu. Tetapi perlu pula melihat angka pengangguran rakyat Indonesia yang kian meningkat. Negara harus membuat aturan jelas untuk mengatur jumlah dan kualitas pekerja asing disebuah perusahaan. Tidak elok jika sebuah perusahaan memerkerjakan pekerja asing, tetapi warga disekitar lokasi perusahaan masih banyak yang nganggur tak punya kerja. Hal tersebut sangat mungkin memicu konflik akibat kecemburuan sosial. Namun begitu, menyalahkan pekerja asing saja tidak bijak rasanya. Pekerja lokal juga perlu membekali diri dengan keterampilan yang handal. Kedepan, tantangan generasi penerus bangsa ini semakin berat. Globalisasi telah menggulirkan aturan yang kian kompleks. Generasi penerus dituntut untuk mampu bertarung, seperti dalam hal urusan mencari pekerjaan.