Rabu, 30 Desember 2015

Pilkada Serentak, Is Not Konflik Serentak

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada 9 Desember tahun 2015, Indonesia akan mencatat sejarah baru Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar serentak. Sebanyak 269 daerah akan menggelar pesta demokrasi, memilih kepala daerah baru. Di jalan, foto dan spanduk para kandidat calon pemimpin daerah tersebut berderet menghias –meski kadang terlihat menganggu. Harapan besar ada dipundak para pemimpin baru tersebut. Akankah mereka dapat memenuhi harapan rakyatnya? Sementara, bayang-bayang konflik akibat Pilkada terus menghantui. Ini diakibatkan pengalaman penyelenggaraan Pilkada yang selalu melahirkan konflik, kerusuhan. Tulisan ini hadir mencermati persiapan gelaran Pilkada, serta potensi konflik yang ditimbulkannya.

Melalui berbagai sumber media –baik cetak dan elektronik- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memetakan kerawanan dan potensi yang akan terjadi pada Pilkada nanti. Kerawanan tersebut meliputi: kerawanan dari aspek akurasi data pemilih; aspek perlengkapan pemungutan suara; aspek pemberian uang (politik uang); aspek keterlibatan penyelenggara negara; dan aspek kepatuhan terhadap tata cara pemungutan dan penghitungan. Kementerian Dalam Negeri juga melakukan pemetaan yang sama. Konflik Pilkada diperkirakan akibat dari ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil (PNS), adanya politik uang, primodialisme, dan lain sebagainya.

Pemetaan potensi konflik ini maklum adanya. Menjelang Pilkada, beberapa pelanggaran kerap didapati. Bawaslu membagi pelanggaran tersebut dalam tiga jenis, yaitu: pelanggaran administratif, pelanggaran pidana, dan pelanggaran etika. Hal yang paling menjadi sorotan oleh Bawaslu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada 2 Desember, Bawaslu menyampaikan terdapat 31 pelanggaran yang dilakukan ASN diberbagai daerah. Pelanggaran yang dilakukan ASN ini cukup disayangkan, karena mencederai netralitas yang harusnya dijunjung tinggi oleh ASN.

Berkaitan dengan konflik atau kerusuhan Pilkada, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pada sejak tahun 2005 hingga 2013, Kemendagri mencatat ada 59 korban jiwa akibat kerusuhan pasca Pilkada. Selain korban jiwa, juga terdapat korban luka, pengerusakan rumah, hingga pengerusakan kantor fasilitas publik. Potensi konflik pada Pilkada kali ini dapat dipastikan akan meningkat karena pelaksanaan Pilkada yang dilangsungkan secara serentak.
Indikasi konflik dan kerusuhan yang akan terjadi pada Pilkada setidaknya dapat tercermin dari beberapa kerusuhan yang terjadi sebelumnya. Dari data yang penulis himpun pada tahun 2015, beberapa kantor KPU mengalami perusakan antara lain: Kantor KPU Kota Mataram; Manggarai Barat, Kabupaten Halmahera Timur. Bahkan, kerusuhan di kantor KPU pun memakan korban, Komisioner KPU di Kabupaten Kapahiang Bengkulu misalnya, ditikam dan dikeroyok massa sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Beberapa data perihal peta konflik di Pilkada 2015, serta catatan konflik yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya patut mendapat perhatian serius bagi masyarakat. Kita tentu tidak menginginkan Pilkada serentak menjadi ajang konflik serentak. Penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU, perlu mengoptimalkan kerja untuk menekan potensi konflik Pilkada. Aparat pengaman (Kepolisian) juga harus jeli melihat “aroma” konflik yang akan terjadi, sehingga mampu meredam potensi tersebut. Pada kandidat yang sudah melakukan “Ikrar Pemilu Damai” harus berani meredam emosi massanya. Dan tentu saja, bagi para pemilih yang menggunakan haknya, harus fair menerima hasil Pilkada tanpa harus melakukan kerusuhan yang merugikan.


Kita berharap Pilkada serentak menjadi momentum perubahan bagi daerah dengan memilih pemimpin baru. Proses-proses Pilkada yang dilakukan dengan baik dan sesuai prosedur, akan menghasilkan Pilkada yang baik pula. Dengan demikian, pemimpin yang dilahirkan adalah pemimpin yang berkualitas. 

Arogansi Prajurit TNI

Oleh: Ali Thaufan DS

Kemeriahan Hari Ulang Tahun (HUT) Tentara Nasional Indonesia (TNI) begitu menggema. Pada 5 Oktober 2015 ini, TNI memperingati dirgahayunya yang ke-70. Berbagai spanduk ucapan selamat HUT TNI terpampang dibanyak tempat, terutama ruas jalan. Diantara banyak spanduk, terdapat spanduk bertuliskan “Bersama Rakyat, TNI Kuat”. Spanduk ini menyiratkan pesan bahwa TNI-Rakyat adalah mitra. Namun, tak sampai sebulan dari peringatan tersebut, kehormatan TNI tercoreng akibat ulah oknumnya. Salah satu anggota TNI terlibat perselisihan dengan warga di jalan, hingga akhirnya menembak warga tersebut hingga tewas. Tulisan ini mengulas arogansi anggota TNI sehingga kerap kali merugikan rakyat dan mencoreng citra TNI itu sendiri.

Tukang ojek bernama Marsin Sarmani alias Japra tewas di jalan pada 3 November 2015. Ia tewas ditangang oknum TNI Kostrad setelah terlibat perselisihan di jalan. Mulanya oknum TNI tersebut tak terima dengan ulah Japra yang “ugal-ugalan” di jalan hingga akhirnya ia ditembak dari jarak dekat. Perilaku oknum TNI ini menyedot perhatian banyak pihak. Emosinya sebagai seorang yang memegang senjata sulit dikendalikan.

Kejadian semisal di atas bukan kali ini terjadi. Berdasarkan data yang penulis kumpulkan, pada tahun 2015, sudah terjadi dua kali peristiwa yang sama. Pada 22 Agustus 2015, TNI sempat dikabarkan bentrok dengan warga di Kebumen Jawa Tengah. Peristiwa bentrok TNI-warga ini disebabkan sengketa tanah. Tak berselang lama, pada 28 Agustus 2015 kejadian yang sama juga terjadi di Mimika Papua. Dua anggota TNI mengalami pengeroyokan yang dilakukan warga.

Pada tahun-tahun sebelumnya pun terjadi beberapa peristiwa seperti penyerbuan TNI ke penjara LP Cebongan, pada 23 Maret 2013. Oknum TNI memberondong tembakan ke arah tahanan yang menyebabkan beberapa tahanan tewas. Tahanan yang tewas tersebut adalah seorang yang diketahui membunuh oknum TNI. Diduga, apa yang dilakukan oknum TNI dengan menyerbu LP Cebongan tersebut adalah sebagai tindakan balas dendam. Pada Juli 2012 juga pernah terjadi bentrok TNI-warga. Peristiwa tersebut terjadi di Malang akibat sengketa lahan.

Terkait peristiwa terakhir –penembakan Japra- yang terjadi di Cibinong, Panglima TNI menyampaikan maafnya atas tindakan prajuritnya. Ia menyebut bahwa TNI pasti memberi sanksi kepada anggotanya tersebut. Atas peristiwa ini, TNI memberi warning keras bagi anggotanya yang memegang senjata.

Penembakan yang dilakukan oknum TNI telah benar-benar melukai hati rakyat. Apapun motif yang melatarbelakangi oknum tersebut, tindakan main hakim sendiri dengan menggunakan senjata tidak dibenarkan. Tindakan tersebut membuat rakyat semakin takut terhadap TNI. Ada kekhawatiran bahwa tindakan TNI tersebut bisa berujung pada arogansi TNI yang lebih liar terhadap masyarakat sipil. Atas peristiwa ini pula, sebagian pengamat mendesak agar dilakukan revisi undang-undang Pengadilan Militer. Mereka beranggapan pengadilan militer tak pernah transparan dalam mengadili anggotanya. Pengadilan militer dianggap sulit diakses oleh sipil.


Tentu saja, ke depan, kita tidak ingin lagi kejadian ini terulang lagi. Betapun, TNI dan masyarakat adalah mitra. Keduanya punya tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara. Slogan “Bersama Rakyat, TNI Kuat” jangan hanya menjadi tulisan mati. Ia harus dibunyikan dan ditanamkan dalam jiwa prajurit. 

Rabu, 28 Oktober 2015

Pak Jokowi, Asap dan Balutan Media



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Ada yang beda Oktober 2015 kali ini dengan Oktober tahun-tahun sebelumnya. Kebakaran hutan dan lahan gambut –yang terjadi bahkan sebelum Oktober- mengakibatkan asap yang mengotori langit-langit Indonesia. Seperti diberitakan banyak media, pantauan satelit memotret betapa kotornya udara di sebagian wilayah Indonesia, utamanya Kalimantan dan Sumatera. Kabut asap akibat oknum bejat yang sengaja membakar hutan dan lahan tersebut mengakibatkan bencana skala nasional –meski pemerintah tak menyebut bencana asap ini dengan status bencana nasional. 

Bencana asap mengundang keprihatinan banyak pihak, elemen masyarakat, dan tentu saja Presiden Joko Widodo. Berbagai upaya pemadaman dengan menggunakan perangkat negara telah dilakukan. Bahkan, Presiden pun langsung meninjau beberapa lokasi kebakaran. Berbagai komentar bermunculan saat Presiden turun langsung meninjau lokasi kebakaran, dari positif hingga negatif. Tulisan ini berupaya mencermati –atau sekedar mendeskripsikan saja- kerja Presiden Jokowi yang meninjau lokasi kebakaran, serta balutan media yang mengemasnya dalam sebuah berita. Beberapa langkah yang diambil Jokowi dalam penyelesaian kebakaran hutan (bencana asap) menjadi kontroversi manakala media membuntuti. Ia dianggap membangun citra positif semata. 

Kebakaran hutan dan asap yang diakibatkannya menjadi pukulan hebat masyarakat Indonesia, khususnya yang terpapar asap. Betapa tidak, aktivitas warga terganggu, beberapa sekolah diliburkan, serta rumah sakit kebanjiran pasien infeksi pernapasan akibat asap. Duka kabut asap memuncak ketika korban mulai berjatuhan. Semua orang berteriak “dimana negara?”, dan “apa peran negara dalam mengatasi kebakaran dan bencana asap ini”. Bagi penulis, tidak bijak rasanya menyalahkan negara semata. Pasalnya, negara tak pernah menghendaki pembakaran hutan dan lahan. Tetapi oknum-oknum bejat dalam negara inilah yang sengaja membakar. Maka pantas kiranya kita membuat pernyataan: “untuk apa bersusah payah memadamkan api, bukankah kebakaran hutan tersebut memang disengaja (sengaja dibakar)?”.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan meninjau langsung lokasi kebakaran. Berbagai arahan dan instruksi diberikan pada para pembantunya (Menteri, TNI, Kapolri dan badan-badan negara yang terkait) untuk sesegera mungkin mengakhiri kebakaran hutan secara serentak ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa presiden bekerja guna memadamkan api dan bencana asap.

Aksi Jokowi dalam upayanya memadamkan kebakaran hutan tak ayal menjadi sorotan media. Berbagai hasil jepretan wartawan dan pengambilan gambar fotografer menjadi hiasan media di tengah duka yang dialami para korban terpapar asap. Blusukan Jokowi dalam upayanya memadamkan api menjadi buah bibir banyak pihak, sebagian menduga sebagai keprihatinan Jokowi, dan sebagian lain menganggap sebagai pencitraan politik semata. Di era demokrasi seperti ini, media memang punya peran sebagai kontrol negara. Melalui media, masyarakat dapat melakukan kontrol kerja presiden dalam mengatasi bencana asap. Namun perlu diperhatikan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi kebalikannya, media mendapat kontrol penguasa. Keterbukaan media menjadi peluang bagi para penguasa negara untuk membangun citranya sesuai yang diinginkan.

Upaya yang dilakukan Presiden Jokowi dalam menangani kebakaran hutan dan asap memang patut diaspresiasi. Kemasan media dalam memberitakan aksi Jokowi cukup kreatif. Hal ini menjadi daya pikat –mengundang beragam komentar- dari pembaca. Terlepas dari komentar positif ataupun negatif, pemberitaan tersebut menjadi poin penting bagi citra presiden Jokowi.

Senin, 19 Oktober 2015

Bela Negara, Jangan Salah Sasaran

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada pertengahan Oktober 2015 masyarakat Indonesia disuguhi dengan wacana atau perdebatan mengenai progam “Bela Negara” yang diprogamkan pemerintah melalui Kementerian Pertahanan. Penulis sendiri mencermati mengapa progam tersebut bernama Bela Negara, dan bukan Bela Tanah Air? Dikabarkan, progam ini menyasar kalangan muda berusia dibawah 25 tahun agar memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme. Namun demikian, progam bela negara ini bukan tidak penting bagi warga usia lanjut –katakanlah usia 40 ke atas. Terlebih bagi mereka para pejabat negara. Tulisan ini hadir mencermati perdebatan pro dan kontra terkait progam tersebut.

Isu tentang progam Bela Negara sebetulnya bukan kali pertama muncul. Sebelumnya pemerintah pernah menyatakan akan menggalakkan progam “Wajib Militer” guna membantu pertahanan negara. Dibeberapa negara seperti Singapura, Rusia dan Korea Selatan, progam Wajib Militer telah dilakukan. Dugaan penulis, pemerintah Indonesia memprogamkan Bela Negara adalah untuk meniru dan memodifikasi apa yang dilakukan negara-negara tersebut di atas.

Progam Bela Negara pada tahap awal rencananya akan membentuk sekitar 4.500 kader Pembina Bela Negara yang nantinya akan mengabdi di 45 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Mereka akan menjadi cikal bakal lahirnya kader-kader Bela Negara selanjutnya. Pemerintah akan menggelar progam tersebut hingga tahun 2025 dengan target sebanyak 100 juta rakyat Indonesia menjadi kader Bela Negara. Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan menyebutkan bahwa materi Bela Negara meliputi: Pemahaman empat pilar negara; sistem pertahanan semesta; serta pengenalan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) TNI. Bela Negara dimaksud bukan semata angkat senjata, tetapi juga penanaman nasionalisme dan cinta Tanah Air. Tentu saja progam tersebut sangat “mulia” mengingat upaya Kemenhan untuk mengajak rakyat Indonesia mengenal, mencintai dan mengaja NKRI.

Namun demikian, langkah pemerintah melalui Kemenhan tersebut dinilai berlebihan. Terlebih, payung hukum yang memayungi belum ada. Selain itu, banyak pihak mempertanyakan alokasi anggaran yang akan digunakan untuk progam Bela Negara. Di negara republik seperti Indonesia ini, segala keputusan pemerintah yang tidak didasari Undang-Undang akan bermasalah dikemudian hari. Oleh karenanya, berbagai pihak yang berkepentingan terus mendesak agar progam Bela Negara memiliki Undang-Undang sebagai payung hukum.

Terlepas dari pro dan kontra, penulis memposisikan diri, dan secara penuh mendukung progam Bela Negara ini. Tetapi, progam ini jangan hanya menyasar generasi muda, yang tua pun perlu mendapat progam ini, terlebih para pejabat negara. Mereka yang seharusnya terlebih dahulu mendapat “doktrin” Bela Negara. Mengutip apa yang disampaikan Syafi’i Ma’arif, bahwa progam Bela Negara tidak akan berarti apa-apa tanpa keteladanan pemimpin negara ini.

Jika negara ini ingin bersungguh-sungguh dan serius dalam Bela Negara, maka seluruh komponen bangsa harus terlibat, mulai dari rakyat kecil hingga Presiden. Para pejabat negara dan pengambil keputusan wajib hukumnya untuk memahami secara utuh empat pilar negara yang menjadi materi Bela Negara. Bela Negara harus menjadi arus utama pemikiran mereka. Hal ini akan mendorong munculnya nasionalisme kolektif. Ini semua dimaksud agar aset-aset negara tak mudah digadai kepada pihak Asing. Sungguh tidak bijak rasanya jika anak-anak muda berjibaku menanamkan Bela Negara, tetapi pada saat yang sama, para pejabat dengan mudah “menjual” aset bangsa.

Selasa, 13 Oktober 2015

“Mengkepret” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Oleh: Ali Thaufan DS

Bulan Oktober tahun 2015 ini sepertinya kembali menjadi bulan ujian bagi komisi pemberantasan korupsi (KPK). Beberapa anggota DPR mengajukan untuk merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan revisi tersebut dinilai bukan menguatkan KPK, tetapi justru sebaliknya. Seketika saja mereka yang mengusulkan revisi mendapat tantangan dari masyarakat luas. Kepiawaian berargumen para pengusul revisi UU KPK membuat wacana revisi UU tersebut semakin menarik. Pro dan kontra tak bisa dihindarkan. Lalu, bagaimana masa depan KPK ditengah pro-kontra tersebut? Akankah ia tetap ada, atau sekedar ada tapi tak bernyawa? Tulisan ini berangkat dari pembacaan berbagai berita seputar rencana revisi UU KPK yang dinilai akan melemahkan tugas dan fungsi KPK yang selama ini menjadi “Singa Garang” pengejar koruptor. Penulis memilih diksi “mengekpret” karena “kepret” dalam dunia persilatan mengandung makna menyerang. Penulis mencoba mengadopsi kata tersebut konteks apa yang menimpa KPK saat ini, KPK sedang diserang dan dilemahkan.

Berdasarkan data-data yang penulis himpun, upaya-upaya pelemahan KPK bukan terjadi saat ini saja. Pada tahun 2014 “kegagahan” KPK sempat dikoyak dengan rencana revisi UU Tipikor, revisi UU KUHP dan KUHAP, serta pemangkasan anggaran. Saat itu –pada tahun 2014- salah satu ketua KPK bahkan melampiaskan kekecewaaanya terhadap pemerintah karena upaya-upaya pelemahan yang terus dialami KPK. Selain itu, “kriminalisasi” pimpinan KPK adalah bukti nyata bagaimana lembaga ini hendak digembosi –tentu saja terlepas dari kepentingan politik. Meski keadaan menghimpit KPK, atas dukungan masyarakat luas KPK tetap bertahan dengan tugasnya sebagai pemberantas korupsi.

Kini batu ujian dihadapi kembali oleh KPK. Pada 1 Oktober 2015 enam fraksi partai politik di DPR mengusulkan revisi UU KPK, yaitu: fraksi PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PPP dan Hanura. Sekitar 45 anggota dari keenam fraksi tersebut menyuarakan perlunya revisi KPK. Majalah Tempo mencatat terdapat beberapa poin penting dalam draf revisi UU. Diantaranya adalah: UU saat ini pada pasal 4 berbunyi “KPK dibentuk untuk pemberantasan korupsi”, draf revisi berbunyi KPK dibentuk untuk pencegahan korupsi. Terkait masa kerja pada UU saat ini tidak menerangkan tidak adanya pembatan usia KPK, sedangkan draf revisi menyebut KPK dibentuk untuk masa 12 tahun (pasal 5 dan 73).

Selain dua poin di atas, terdapat pasal yang juga hendak direvisi yakni menyangkut penyadapan yang dilakukan KPK. Pada UU saat ini KPK diberikan ruang penyadapan dan merekam. Sedangkan pada draf revisi disebutkan bahwa “Penyadapan dan merekam pembicaraan dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri” (pasal 14 ayat 1 butir a). Selain ketiga hal di atas, masih banyak lagi pasal-pasal dalam draf revisi UU yang dianggap akan melemahkan KPK. (Majalah Tempo 12-18/10/2015). Draf rencana revisi UU tersebut sontak mendapat kecaman dari banyak pihak. Para pengamat korupsi beramai-ramai “mengutuk” DPR yang berupaya dan diduga akan “membunuh” KPK.

Berkaitan dengan pasal di atas, penulis tertarik mencermati pasal yang hendak membatasi usia KPK selama 12 tahun. Pasal tersebut bagi penulis bisa dimaknai secara “positif” sekaligus “negatif”. Dilihat dari sisi positifnya, usia 12 tahun KPK menghendaki bahwa korupsi hanya berlaku (hanya ada) dalam 12 tahun kedepan. Selebihnya tidak ada lagi korupsi. Artinya, KPK berhasil pemberantas korupsi dan mencegahnya. Dan, jika pada era mendatang terjadi korupsi, penanganannya dapat ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sedangkan dilihat dari sisi negatif, ada upaya pemotongan usia KPK. Berhasil ataupun tidaknya dalam pemberantasan korupsi selama 12 tahun mendatang, KPK harus bubar. Ini sah-sah saja mengingat KPK adalah lembaga ad hoc. Tetapi apakah bangsa ini akan membiarkan maling dan koruptor bebas melakukan kejahatan? Tentu saja tidak. Disinilah usia 12 tahun KPK sangat menentukan.


Memang, diakui atau tidak, keberadaan KPK sebagai pemberantas korupsi antara di puji, diuji dan dicaci. Keberadaan KPK dipuji tatkala berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi; KPK diuji tatkala harus menangkap petinggi negara; dan KPK dicaci tatkala tebang pilih dalam penindakan kasusu korupsi. Untuk poin yang terakhir, penulis kira hal itu sudah menjadi rahasia umum. Badai yang sedang dihadapi KPK saat ini sejatinya dapat menjadi titik pijak KPK untuk terus meningkatkan kinerjanya.

Senin, 05 Oktober 2015

Pembenahan Penyelenggaraan Haji (Menanti Kebijakan Politik Pemerintah Indonesia)


Oleh: Ali Thaufan DS
 
Bulan September 2015 ini sepertinya menjadi bulan duka bagi para stakeholder penyelenggara haji. Paling tidak hal ini penulis dasarkan pada beberapa hal yakni: diungkapnya “mafia-mafia” haji dalam sidang mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; musibah jatuhnya crane pembangunan masjid Haram; dan aksi dorong-mendorong jamaah di Mina yang menyebabkan lebih dari 700 jamaah tewas –beberapa sumber menyebut lebih dari 1.000 jamaah

Tulisan ini hadir sebagai refleksi musibah yang terjadi selama pelaksanaan ibadah haji di tahun 2015 ini. Musibah tersebut menyebabkan korban jiwa dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Peristiwa tersebut menuntut pemerintah untuk membenahi sektor internal penyelenggaraan, serta memberi rekomendasi pemerintah Arab Saudi bagi terlaksananya penyelenggaraan ibadah haji yang baik.

Meningkatnya jumlah jamaah haji setiap tahunnya menuntut pembangunan fasilitas ibadah haji yang lebih besar, salah satunya pembangunan masjid Haram. Pada saat yang bersamaan –waktu pembangunan- cuaca buruk melanda negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Badai pasir kerap terjadi. Dan, badai tersebut merobohkan salah satu crane pembangunan tersebut. Beberapa jamaah pun menjadi korban, 11 jamaah haji Indonesia menjadi korban meninggal dunia. Dalam investigasi kasus robohnya crane, ternyata crane roboh bukan semata karena cuaca, tetapi juga kesalahan kontraktor pembangunan yang tidak mengindahkan aturan. Robohnya crane pembangunan tersebut menyisakan tanda tanya, mengapa terjadi kelalaian dan kecerobohan dalam pembangunan masjid Haram sehingga terjadi korban jiwa?

Peristiwa yang tidak kalah memilukan terjadi pada pelaksanaan ibadah haji 2015 ini adalah saat para jamaah melakukan prosesi lempar jumrah. Ratusan –sebagaian lain menyebut hingga seribuan- korban berjatuhan akibat berdesak-desakan. Sampai penulis menuliskan catatan ini jumlah korban asal Indonesia sebanyak 41 jiwa. Jumlah tersebut diperkirakan masih bertambah mengingat banyaknya jamaah asal Indonesia yang belum ditemukan pasca insiden Mina.

Berbagai spekulasi muncul akibat musibah tersebut. Petugas keamanan yang berada di lapangan tidak tanggap melihat potensi kecelakaan. Membeludaknya jumlah jamaah tidak dibarengi dengan antisipasi jumlah petugas pengamanan. Bahkan beberapa pihak menuding musibah ini akibat kelalaian panitia –dalam hal ini pemerintah Arab Saudi. Penulis tidak ingin terjerumus saling tuding, tetapi yang pasti peristiwa tersebut telah menorehkan tinta buramnya penyelenggaraan haji.

Sebagai catatan, jatuhnya korban jiwa akibat kecelakaan dalam pelaksanaan ibadah haji kali ini bukan hal pertama. Beberapa tahun sebelumnya juga pernah terjadi tragedi yang memakan banyak korban. Data yang penulis himpun dari berbagai sumber mencatat, pada tahun 1990 terjadi tragedi terowongan Mina, jamaah berdesakan dan saling injak. Peristiwa tersebut menyebabkan 1.426 jamaah meninggal. Pada tahun 1997, kebakaran melanda tenda jamaah haji. Musibah tersebut menewaskan sebanyak 340 jamaah dan sekitar 1.500 lainnya luka-luka. Pada tahun 1998, musibah pada 1990 seperti terulang kembali. Saat itu di Mina jamaah saling berdesak dan menyebabkan 180 jamaah meninggal. Selanjutnya pada tahun 2004, sebanyak 251 jamaah meninggal akibat berdesakan saat lempar jumrah.

Musibah yang terjadi kali ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia dalam pembenahan internal penyelenggaraan haji, sekaligus dapat memberi masukan bagi Arab Saudi. Dalam kasus musibah Mina, pemerintah meminta hasil investigasi kepada Arab Saudi terkait musibah tersebut. Setidaknya hasil investigasi tersebut dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan masih musim mendatang, agar musibah yang sama tidak terulang kembali. Terkhusus dugaan adanya “mafia haji” aparat penegak hukum harus mengusut tuntas dugaan tersebut.

Salim “Kancil” dan Kejamnya Tambang



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Nama Salim –yang akrab dengan sebutan Kancil- seketika mendunia. Ia menjadi pahlawan lingkungan hidup saat di desanya terjadi tambang pasir ilegal yang merugikan banyak orang, terutama petani. Perjuangan Salim akhirnya berakhir setelah ia dibunuh sekelompok orang yang pro dengan aktivitas tambang pasir  ilegal. Jasad Salim telah tiada, tetapi semangatnya akan melahirkan “Salim-Salim” lainnya. Tulisan ini hadir mengulas peristiwa kejamnya pembunuhan terhadap Salim –yang mengaja kampung halamannya dari kerusakan lingkungan. Aparat penegak hukum turut pula menjadi sorotan setelah muncul dugaan ada pembiaran upaya pembunuhan Salim.

Selok Awar-Awar merupakan sebuah desa di Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Di desa tersebut terdapat kekayaan alam berupa pasir hasil muntahan Gunung Semeru. Kekayaan alam tersebut tentu saja menjadi berkah bagi warga desa. Walhi Jawa Timur memaparkan bahwa aktivitas tambang pasir  di desa tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh sebab itu tambang tersebut menjadi “primadona” yang hendak meraup untung, meski dengan cara haram sekalipun. Keserakahan beberapa pihak membuat kekayaan alam justru menjadi bencana. (Majalah Tempo edisi 5-11 Oktober).

Aktivitas tambang pasir di desa tersebut bermula dari janji kepala desa, Hariyono, yang akan membuka tempat wisata pantai. Tetapi kenyataan yang terjadi jauh dari bayangan warga desa, warga melihat aktivitas tambang pasir dilokasi yang sebelumnya akan dibangun tempat wisata. Keberadaan tambang pasir ilegal tersebut menjadi bencana bagi sebagian petani karena lahan pertanian mengalami kerusakan. Aktivitas truk pengangkut pasir yang bolak balik juga membuat jalan rusak.

Ingkar janji kepala desa membuat geram sebagian warganya. Mereka kemudian menuntut agar tambang pasir ilegal dihentikan. Beberapa warga yang peduli lingkungan serta mengalami kerugian lahan pertaniannya menggalang dukungan mendesak penutupan aktivitas tambang. Dibentuklah forum masyarakat peduli pesisir (FKMPP) Selok Awar-Awar. Keberadaan FKMPP tersebut ternyata melahirkan pro dan kontra. Sebagian warga mendukung penghentian aktivitas tambang pasir liar, tetapi sebagian lainnya justru menolak penghentian tambang tersebut. Diduga, warga yang menolak penghentian aktivitas tambang pasir merasa terancam pendapatan penghidupannya. Dan, mereka diuntungkan dengan backing kepala desa.

Aktor utama FKMMP antara lain Tosan dan Salim terus mendesak agar tambang liar segera dihentikan. Dukungan warga pelan dan pasti terus mengalir. Tetapi pada saat yang sama, pihak-pihak yang mendukung tambang terus mengintimidasi mereka. Ancaman pembunuhan pun kerap dirasakan para penggerak FKMMP. Mereka pun melaporkan ancaman tersebut tetapi tak digubris pihak aparat hukum (Polisi). Sabtu 26 September 2015 adalah hari pilu bagi FKMMP. Dua penggerak mereka harus menjadi sasaran kemarahan pihak yang mendukung tambang liar. Salim dianiaya secara kejam dan akhirnya tewas. Sementara Tosan yang dianiaya dengan cara yang kejam akhirnya selamat.

Peristiwa pembunuhan Salim membuka mata keprihatinan banyak pihak. Ia aktivis yang menjunjung tinggi tegaknya hukum tambang dan menjaga lingkungan. Namun, ia menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang serakah dibalik untung besar tambang pasir liar. Pembunuhan Salim dan penganiayaan Tosan menyisakan kesan pelayanan yang diberikan Polisi jauh dari harapan. Mereka yang melaporkan ancaman pembunuhan justru diabaikan begitu saja. Hal tersebut pula yang memunculkan dugaan keterlibatan aparat Polisi dalam melindungi keberadaan tambang liar. Kita berharap agar pihak yang melakukan pembunuhan tersebut mendapat hukuman yang setimpal.

Rabu, 09 September 2015

Bayang-Bayang Kebakaran (Catatan Tentang Kebakaran yang Melanda Indonesia)

Oleh: Ali Thaufan DS

Bencana kekeringan yang melanda Indonesia sekitar Mei hingga Agustus belum kunjung selesai. Dibeberapa daerah masyarakat masih merasakan kekeringan tersebut, kesulitan air bersih hingga gagal panen masih menjadi menghantui. Belum sembuh luka akibat kekeringan, kini Indonesia sedang gawat kebakaran. Beberapa pulau terdapat titik rawan kebakaran hutan, terutama Kalimantan dan Sumatera. Titik rawan kebakaran pun tak pelak menyebabkan kebakaran hutan. Dan, asap kebakaran pun menjadi musibah dan bencana masyarakat luas. Dugaan berberapa pihak, kebakaran hutan dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Tulisan ini mencermati fenomena kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Indonesia seperti diberitakan banyak media. Pemerintah terus berupaya untuk melakukan aksi cepat pemadaman kebakaran tersebut.

Kebakaran hutan yang terjadi pada September 2015 kali ini diperkiran cukup parah dari sebelumnya. Beberapa titik api yang diduga menjadi sumber kebarakan terus bertambah. Pada 4 September, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat titik panas (api) yang menimbulkan asap di Kalimantan sebanyak 61 titik dan Sumatera sebanyak 95 titik. (Kompas 5/9/2015). Jumlah tersebut bukannya berkurang, tetapi terus bertambah. Pada 7 September sebuah satelit mendeteksi jumlah titik api di Sumatera, yakni sebanyak 1.036 titik. Jumlah tersebut mayoritas terdapat di Sumatera bagian selatan, sebanyak 599 titik. (Kompas 8/9/2015)

Kebakaran hutan yang semakin meluas diberbagai daerah tersebut berdampak dalam berbagai sektor. Pada sektor ekonomi, kebakaran hutan mengurangi kunjungan para wisatawan karna penerbangan mengalami gangguan asap. Di sektor pendidikan, kebakaran yang terjadi diberbagai daerah menyebabkan asap kabut tebal. Akibatnya, sekolah didaerah bencana kebakarab pun diliburkan. Asap akibat kebakaran menjadi masalah tersendiri bagi sektor kesehatan. Harian Kompas mencatat, akibat asap kebakaran hutan sebanyak 6.762 mengalami infeksi saluran pernapasan. Masker yang dibagikan diberbagai daerah guna mengantisipasi warga menghirup asap dan udara yang tidak sehat dirasa belum cukup. Sementara pada sektor lingkungan hidup, asap akibat kebakaran membuat kualitas udara menjadi buruk. Hutan pun mengalami kerusakan. (Kompas 5/9/2015).

Pemerintah daerah dan pusat bekerja keras mengatasi kebakaran ini. Berbagai upaya pemadaman dilakukan baik oleh petugas pemadam kebakaran, Polisi, TNI serta masyarakat. Namun upaya pemadaman tersebut bersifat reaktif. Pemerintah lebih fokus pada penangganan ketimbang pencegahan. Akibatnya, pemadaman api baik melalui darat dan udara tidak berarti maksimal. Hal ini terbukti dengan terus menyebarnya api dan bertambahnya titik api.

Kebakaran hutan kali ini salah satunya diakibatkan ulah tangan manusia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah, terutama sikap kepada para oknum pembakar yang biadab. Fajri Alihar, peneliti bidang ekologi manusia LIPI dalam kolom Opini harian Kompas menyoroti lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembakaran hutan yang dilakukan individu maupun kelompok. Terdapat beberapa perusahaan yang diduga sengaja membakar lahan untuk pembebasan. Menurutnya, pembakaran hutan menyebabkan masyarakat menderita sakit. Selain itu, pembakaran hutan sama halnya dengan merusak lingkungan hidup. Kepunahan ekosistem tidak dapat dihindari akibat pembahakan hutan. Ini artinya pembakar telah melakukan tindakan yang membuat sengsara masyarakat banyak, dan pembakar hutan adalah pelaku kejahatan luar biasa. (Kompas 8/9/2015).


Kedepan, pemerintah perlu merumuskan penanggulangan kebakaran hutan mulai dari penangkalan (preemtif), pencegahan (preventif) dan tindakan (represif). Hal ini tentunya harus didukung dengan optimalisasi penegakan hukum oleh aparat hukum. Negara tidak boleh kalah dari oknum nakal yang melakukan aksi pembakaran hutan. Terpenting dari itu semua adalah kesadaran kolektif seluruh masyarakat akan kelestarian lingkungan. Hutan yang ditanami pohon hari ini adalah investasi kita bagi generasi mendatang. Membakar hutan sama artinya meninggalkan warisan “kehancuran bumi” untuk anak cucu.