Rabu, 28 September 2011

Sejarah Pengumpulan Teks al-Qur’an dalam Bahasan W. M. Watt


Pendahuluan
Literatur yang membahas mengenai ulum al-Qur’an (seputar ilmu al-Qur’an) tidak hanya ditulis oleh sarjana Muslim saja, tidak sedikit sarjana non Muslim pun tertarik untuk mengkajinya, atau mereka yang sering disebut orientalis. Salah satu yang menjadi kajian menarik yang ditulis oleh para orientalis adalah seputar sejarah al-Qur’an. Reaksi yang dihasilkan dari karya para orientalis pun sangat beragam, ada yang menolak, namun tidak sedikit yang “menerima” dengan pertimbangan sebagai hasil karya penelitian akademis.
Adalah Syamsuddin Arif dalam karyanya “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” yang membeberkan keberatannya atas tulisan-tulisan orientalis terhadap studi keIslaman. Menurutnya ketidaklayakan hasil karya sebagian orientalis adalah ketika mereka mempertanyakan otentitas al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam. Lebih lanjut Syamsuddin juga menyebut sikap anti-Islam yang ditujukan pada sebagain kalangan orientalis, sehingga mereka “menyerang” al-Qur’an dan mempertanyakan kenabian Muhammad. Nama-nama seperti Gotthelf Bergstraser, Otto Pretzl dan Arthur Jeffery dianggap telah melakukan usaha-usaha untuk mengubah mushaf Usmani.[1] Namun dalam kajian kesejarahan al-Qur’an hal ini bisa saja dijadikan sebuah kajian akademik. Kritik serta teorinya yang digunakan pun bisa runtuh.
Tidak semua kalangan orientalis memiliki misi untuk menyerang Islam melalui kajian kritis terhadap al-Qur’an. Karena mereka juga meneliti dalam rangka kajian akademis. Sehingga, bagi penulis, tidak perlu ada kecemasan yang berlebihan dalam merespon tulisan dan hasil karya orientalis. Kritik yang mereka ajukan juga sangat terbuka untuk dikritik kembali. Dalam tulisan ini penulis berusaha menghadirkan pandangan William Mongomery Watt terhadap sejarah pengumpulan al-Qur’an serta tawaran-tawaran kritik yang ia ajukan. Kemudian pandangan kesejarahan al-Qur’an sarjana lainnya seperti Mutafa A’azami dan Taufik Adnan Amal.
Sekilas Tentang W. M. Watt
William Montgomery Watt lahir 14 Maret 1909 di Ceres, Fife, Skotlandia. Ia adalah seorang pakar studi-studi keIslaman dari Britania Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat.
Montgomery Watt adalah seorang profesor studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, College de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen. Dalam hal kerohanian, Watt adalah pendeta pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme[2] “Iona Community” di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai Orientalis Terakhir”. Montgomery Watt meninggal di Edinburgh pada tanggal 24 Oktober 2006, pada usia 97 tahun.[3]
Pengumpulan Teks al-Qur’an Perspektif W. M. Watt
Buku yang berjudul “Bell’s Introduction to The Qur’an”, sebenarnya merupakan karya Ricarh Bell. Namun Watt memandang ada beberapa hal yang harus disempurkan atas karya tersebut. Dalam pengantar buku tersebut, Watt menegaskan bahwa buku tersebut adalah karya Bell. Dalam beberapa alinea, Watt tidak melakukan perubahan. Tetapi terkadang ia tidak segan-segan melakukan kritik pandangan-pandangan Bell secara terus terang.[4]
Menurut W. M Watt dalam bukunya tersebut, sejarah pengumpulan mushaf al-Qur’an dimulai sejak masa khalifah Abu Bakar kemudian dikodifikasi ulang pada masa Utsman. Pengumpulan tersebut berawal ketika terjadi perang Yamamah yaitu perang riddah. Banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Sehingga sahabat Umar mengusulkan agar segera dilakukan pengumpulan al-Qur’an karena kekhawatiran akan lebih banyak lagi penghafal al-Qur’an yang gugur sedangkan al-Quran belum dibukukan. Abu Bakar sempat ragu atas usul Umar tersebut, karena tidak ada wewenang dari Nabi. Namun pada akhirnya ia pun menyetujui usulan Umar dan meminta Zaid bin Tsabit untuk menjadi panitia penulisan, karena ia salah satu juru tulis “sekertaris” Nabi. Setelah proses penulisan selesai, Zaid menyerahkan pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar meninggal diserahkan pada Umar dan ketika Umar meninggal diserahkan pada putrinya, Hafsah, yakni janda Nabi.
Watt menyoroti bahwa cerita di atas dapat dikritik atas dasar beberapa alasan. Pertama, bahwa sampai Nabi wafat tidak catatan sah mengenai wahyu. Lebih lanjut Watt juga mengemukakan bahwa ada beberapa versi mengenai gagasan mengumpulan Qur’an, apakah dimulai pada masa Abu Bakar atau Umar. Kemudian, dengan mengutip pendapat Freidrich Schawally, Watt juga menyinggung bahwa para korban yang gugur dalam perang Yamamah adalah orang yang baru beriman (baru masuk Islam) bukan para huffadz. Kedua, pengumpulan al-Qur’an secara formal dan absah. Hal itu didasarkan bahwa Qur’an yang berada diberbagai daerah juga dianggap absah. Ketiga, Watt juga meragukan bahwa suhuf yang berada ditangan Hafsah adalah salinan resmi hasil revisi/pengumpulan Zaid, karena jika demikian, hal ini mustahil bila suhuf tersebut berpindah ke tangan orang lain di luar kepemilikan resmi, meskipun Hafsah adalah putri khalifah. Dari poin-poin kritik yang ditawarkan Watt, ia memberi ulasan bahwa tidak ada kegiatan pengumpulan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar.[5] Pendapat lain yang disebutkan Leone Caentani pun juga demikian. Ia menganggap bahwa hadith yang menerangkan pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah upaya untuk menjustifikasi pengumpulan mushaf yang dilakukan Utsman.[6]
Kritik yang ditawarkan Watt tentu tidak dapat dibenarkan secara langsung. Karena banyak perbedaan pendapat akan hal tersebut, seperti yang dikemukakan M.M. A’zami. Sarjana Muslim yang konsen terhadap sejarah al-Qur’an. A’zami mengemukakan bahwa bahwa pasca pengumpulan mushaf selesai, Abu Bakar menyimpan suhuf tersebut sebagai arsip Negara di bawah pengawasannya. Tentunya suhuf tersebut menjadi dokumen Negara, bukan perorangan, Hafsah. Mengenai kegiatan pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar yang menjadi keraguan Watt pun juga berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh A’zami. Bahwa Abu Bakar lah yang memberi instruksi pada Zaid, agar jika ada yang hendak pengumpulkan mushaf maka ia harus membawa dua saksi. Karena hal ini akan menjamin keotentitasan al-Qur’an.[7] Maka jelaslah bahwa kegiatan pengumpulan mushaf dimulai pada masa khalifah Abu Bakar.
Sementara Taufik Adnan Amal, salah seorang yang juga menulis tentang sejarah al-Qur’an (Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an) memberikan beberapa perbedaan pendapat mengenai siapa khalifah yang pertama mengumpulkan al-Qur’an. Tentu, berbeda dengan M.M. A’zami.Taufik memaparkan pendapat yang menyebut bahwa khalifah Ali lah yang pertama kali melakukan kegiatan pengumpulan al-Qur’an, hal tersebut didasarkan atas kedekatan Ali dengan Nabi. Meskipun sahabat lainnya juga demikian. Taufik mengutip riwayat al-Zanjani bahwa suatu ketika Nabi berkata pada Ali, “Hai Ali, al-Qur’an berada di belakang tempat tidurku, di atas suhuf. Ambil dan kumpulkanlah, jangan disia-siakan  seperti orang Yahudi yang menyia-nyikan Taurat”. Perintah Nabi inilah yang kemudian membuat Ali tidak keluar rumah ketika Nabi wafat. Ketika orang-orang sedang disibukkan memilih khalifah pengganti, Ali menghabiskan waktu mengumpulkan mushaf. Tatakala Abu Bakar terpilih dan dibaiat menjadi khalifah, barulah Ali keluar seraya menunjukkan kepada para sahabat al-Qur’an yang sudah ia kumpulkan.
Selain itu, Taufik juga menampilkan berbagai pendapat bahwa yang menggagas sekaligus mengumpulkan al-Qur’an adalah klalifah Umar. Dimana ketika Umar mengekspresikan kegelisahannya tatkala mendengar korban jatuh pada perang Yamamah dengan mengucapa innalillahi wa inna ilai rajiun. Maka Umar segera mengumpulkan al-Qur’an.[8] Inilah yang menjadi pijakan pendapat bahwa khalifah Umar lah yang mengumpulkan al-Qur’an pertama kali.
Pendekatan W. M. Watt dalam Ulasan Sejarah al-Qur’an
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka secara tidak langsung memberikan metode pendekatan baru dalam setiap disiplin ilmu. Demikian juga yang terdapat dalam kajian seputar ilmu al-Qur’an dan tafsir. Terdapat berbagai pendekatan dalam kajiannya.
Penulis melihat bahwa Watt menggunakan pendekatan sosio-historis dalam menjelaskan sejarah awal pengumpulan mushaf. Dengan melihat keadaan yang menyebabkan dilakukannya kegiatan pengumpulan dan dengan melihat proses sejarah panjang, Watt berusaha menghadirkan kajian kritis terhadap sejarah pengumpulan mushaf.
Penutup
Menurut penulis, pandangan Watt terhadap sejarah pengumpulan al-Qur’an serta kritik yang ia tawarkan tidak terlalu menyimpang dari mainstream pendapat mayoritas. Riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar lah pengumpulan mushaf  mulai dilakukan merupakan riwayat mayoritas. Al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan menampilkan beberapa hadis yang menceritakan ketika Abu Bakar meminta Zaid mengumpulkan mushaf al-Qur’an.[9] Keragu-raguan yang dimunculkan Watt mengenai penggagas pengumpulan mushaf juga terjawab oleh karya-karya yang muncul setelahnya. M. M. A’zami memberikan banyak riwayat penguat, bahwa pengumpulan mushaf di mulai pada masa Abu Bakar.[10]
Uraian Watt mengenai sejarah pengumpulan mushaf al-Qur’an tentu memberi wawasan baru bagi pegiat kajian ulum al-Qur’an. Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengemuka dan anggapan “miring” terhadap kajian keIslaman yang dilakukan kalangan orientalis, tentunya kajian mereka membuka mata pembaca dalam memahami teks-teks keagamaan.
Dalam menyikapinya, sebagaimana yang telah penulis mamaparkan di dalam pendahuluan, Tidak semua kalangan orientalis memiliki misi untuk menyerang Islam melalui kajian kritis terhadap al-Qur’an. Sehingga, bagi penulis tidak perlu ada kecemasan yang berlebihan dalam merespon tulisan dan hasil karya orientalis. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan doktrin mayoritas-minoritas, pembaca dapat memilih pendapat yang lebih mutawatir.


[1] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008). Hlm 5-7
[2] Gerakan yang menuju kepada persatuan seluruh umat Kristen serta gereja-gereja mereka, melalui organisasi internasional antarsekte yang bekerjasama tentang soal-soal keagamaan yang mengenai kepentingan bersama.
[4] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’an, (Edinburgh University Press, 1970). Hlm v
[5] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’an, Hlm 40-1
[6] Adnin Armas, Metode Bibel Dalam Studi al-Qur’an Kajian Kritis, (Depok: Depok: Gema Insani, 2005). Hlm 86-7
[7] Muhammad Mustafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi, (Depok: Gema Insani, 2005). Hlm 84-6
[8] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001). Hlm 134-143
[9] Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasy, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006) hml 164
[10] Muhammad Mustafa al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi, Hlm 87

Senin, 26 September 2011

Cambuk Demokrasi: Analisis atas Pembekuan BEM-U UIN Jakarta


Kran demokrasi terbuka lebar pasca reformasi yang dimotori mahasiswa tahun 1998. Perubahan pun terjadi pada tatanan pemerintahan Negara ini, setelah dominasi tirani menguasai. Harapan baru muncul untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa. Perubahan tersebut meniscayakan adanya tranparasi dalam berbagai aspek menyangkut kelembagaan Negara. Kebebasan mulai menemukan tempatnya yang kokoh dan tinggi. Orang dapat berekspresi dimedia baik cetak maupun elektronik.
Pada saat bersamaan, gelombang globalisasi terus mengalir dengan kencang. Tanpa sadar, bangsa ini sedang menghadapi tantangan global pula. Tua, muda bahkan anak-anak sedang menghadapi mimpi trend globalisasi yang ada didepan mata. Mahasiswa yang berada dalam posisi centre menjadi pemikul tanggung jawab besar ini. Tuntutan demi tuntutan pun menumpuk di pundak mahasiswa.
Dalam menghadapi persaingan global, tentu saja dibutuhkan sarana yang dapat menunjang kemajuan pendidikan. Jika mengandalkan meja kuliah, mustahil dapat melahirkan mahasiswa kompeten. Bisa saja kompeten dibidangnya, namun buta pada bidang lainnya. Organisasi kemahasiswaanlah yang tentu berperan menciptakan generasi unggul mahasiswa. Hal ini terbukti bahwa tidak sedikit mahasiswa yang dulunya punya peran aktif dalam berorganisasi dapat melakukan lompatan-lompatan prestasi.
Di kampus UIN Jakarta, kegiatan organisasi di kampus cukup banyak. Tidak hanya organisasi intra kampus, tetapi juga ekstra. Tentu saja hal ini menjadi sarana pembelajaran dan “character building” bagi mahasiswa selain bangku kuliah. Keterkaitan antara organisasi intra-ekstra kampus terlihat kental, terbukti dengan sinergi yang dilakukan ketika mengadakan sebuah event. Contoh kecilnya, jika ada organisasi ekstra yang mempunyai hajatan acara, maka intra yang menfasilitasinya.
Pada satu tahun periode terakhir ini, agaknya ada hambatan bagi sebagian organisasi intra. Terutama yang terdapat di fakultas (sebut saja fakultas UF). Organisasi intra “SG” yang digadang-gadang sebagai organisasi miniatur Negara serta sarana pembelajaran berdemokrasi nyaris tidak mendapat tempat di fakultas, dengan berbagai alasan yang dikemukakan oleh elit fakultas tersebut. Hal ini tentu saja menjadi cambuk bagi proses latihan demokrasi yang dijalankan mahasiswa. Apakah elit tersebut sudah merasa bosan dengan praktik demokrasi yang tidak sedikit mengumbar kebabasan dan merebut kebebasan orang lain?, praktik demokrasi yang tidak tepat? atau ada intrik-intrik politik dibalik semua itu?.
Menyikapi hal di atas perlu menggunakan akal sehat. Mahasiwa tidak boleh gegabah dalam merespon realita ini. Penulis memaknai, bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan cambuk bagi idealisme organisasi. Penulis melihat bahwa tidak sedikit terjadi pergeseran dari idealisme ke pragmatisme. Organisasi ekstra yang melalukan recruitment anggota hanya dijadikan alat politik untuk pemenangan Pemilu Raya kampus. Hal ini jelas sudah mencederai idealisme organisasi tersebut, karena organisasi yang ada bukan organisasi politik, melainkan organisasi pengkaderan, pergerakan dll.
Tampaknya , kita perlu sejenak berpikir “bagi aktivis organisasi”. Apakah kita telah benar-benar menjadikan organisasi kita sebagai sarana pembentukan dan pengembangan diri, atau hanya menjadikan sebagai kendaran politik saja. Selayaknya ini menjadi koreksian bersama, bahwa organisasi ekstra perlu lagi membaca tujuan, visi dan misi nya. Hal ini menjadi penting, karena tidak jarang para aktivis organisasi melupakan visi-misi organisasi kerena mabuk sebagai pecandu politik praktis.

Minggu, 18 September 2011

Seakan Hidup di Kota Sampah


Salah satu dampak dari kepadatan penduduk adalah kompleksitas tatanan masyarakat. Potret kehidupan yang tersebut dapat terlihat di kota-kota besar. Sebagai contoh keadaan masyarakat kota Jakarta yang mencapai angka tertinggi kepadatan penduduk. Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta menjadi cermin tatanan masyarakat Indonesia. Berbagai penduduk dari bermacam-macam daerah dapat ditemui di Jakarta. Heterogenitas masyarakat penghuni Jakarta mendesak tingkat egoistis pada setiap individu. Jika dibiarkan, sikap demikian tentu akan menghambat praktik kepedulian sosial yang baik.
Ada beberapa masalah yang setiap hari melilit para pekerja aktif di Jakarta. Seperti kemacetan, polusi udara, ketertiban umum, jalan raya yang berlubang dan sampah yang berserakan. Kondisi ini sudah menjadi nontonan keseharian penduduk. Masyarakat pun menjadi terbiasa dengan pola hidup yang sebenarnya menyusahkan dan tidak sehat ini, meski dalam keadaan terpaksa. Ironisnya pemerintah tidak memberikan solusi konkret dalam mencegah dan menangani masalah sosial tersebut.
Barangkali sudah menjadi sebuah pemandangan sehari-hari, hampir di setiap ruas jalan yang ada di Jakarta selalu terdapat sampah berserakan. Tidak hanya itu, bahkan terdapat pula tumpukan-tumpukan sampah. Meski Dinas Kebersihan Kota sudah mengerahkan pekerja khusus untuk menanggulanginya, namun selalu saja terdapat sampah-sampah berserakan. Kondisi ini dikarenakan masyarakat kurang kesadaran dalam masalah kebersihan umum. Mereka hanya peduli dengan kebersihan dirinya dan tidak mengindahkan kebersihan sekelilingnya. Sebagai contoh, ketika perusahaan-perusahaan besar dengan seenaknya membuang sampah serta limbahnya ke sungai. Hal tersebut dapat merusak ekosistem; mempermudah penularan wabah penyakit dan mengakibatkan banjir serta. Karena beberapa kasus banjir yang terjadi di Jakarta diakibatkan sampah yang menumpuk di sungai.
Contoh lain dari ketidaksadaran masyarakat akan masalah sampah adalah, individu-individu yang dengan ringan tangan membuang sampah –bungkus makanan, tissue, puntung rokok- disembarang tempat. Fenomena tersebut dapat terlihat di kendaran umum. Tidak sedikit sampah-sampah ditinggal begitu saja dalam kendaraan. Selain itu tidak jarang pula penguna jalan yang dengan sesuka hati melempar sampah dijalan raya, dengan membuka kaca mobil, mereka dengan mudah menemukan tempat sampah, yang tidak lain adalah sarana umum alias jalan raya tersebut. Padahal jika diperhatikan hampir disetiap bungkus produk makanan terdapat himbaun agar menjaga kebersihan, baik dalam bentuk gambar atau tulisan. Kondisi tersebut mengandaikan bahwa masyarakat Jakarta bagai hidup di kota sampah.
Di beberapa Negara maju, telah menerapkan undang-undang berkaitan dengan kebersihan lingkungan. Di Singapure misalnya, masyarakat yang membuang sampah akan mendapat hukuman yang tidak ringan. Negara lain seperti Jepang juga menerapkan hal demikian. Efek jera yang diberikan bagi pelanggar hukum tersebut mendorong agar masyarakat membudayakan kebersihan umum.
Pemerintah dan masyarakat umum perlu mengambil sikap dalam menangani masalah sampah. Peraturan yang telah dicanankan pemerintah tidak akan berarti jika tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat. Padahal jika sampah tersebut dikelolah dengan baik akan memberikan susuatu yang bermanfaat. Seperti hiasan dinding, tas dan lain-lain yang tidak jarang terbuat dari barang-barang bekas ataupun sampah. Dengan demikian sampah tidak hanya dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan tetapi juga dikelolah menjadi barang bermanfaat dan bermutu.