Minggu, 29 September 2013

“Numpang” Kepentingan dibalik Upaya Menduetkan Hatta-Jokowi

Oleh Ali Topan DS

Mendekati pemilu presiden, banyak prediksi dan perkiraan pasangan capres-cawapres, salah satunya adalah wacana duet Hatta Rajasa-Jokowi. Perlu diperhatikan, yang melatarbelakangi wacana duet Hatta Jokowi sebagai Capres dan Cawapres 2014. Adakah pihak-pihak yang “numpang kepentingan”? lantas relakah “pecinta” Jokowi jika ia harus berduet dengan Hatta, sementara dalam berberapa hasil survei, Jokowi selalu merajai dan Hatta jauh dibelakangnya.

Sebelum menganalisa dan menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa fakta pemberitaan media yang perlu dicermati. Wacana PAN yang ingin menduetkan Hatta-Jokowi telah lama diberitakan. Sepak terjang Jokowi sebagai Gubernur dipandang cocok oleh PAN guna mendampingi Hatta. Selain Jokowi, PAN juga melirik Prabowo untuk berpasangan dengan Hatta. Sosok tegas yang menjadi identitas Prabowo dinilai tepat untuk menjadi pelengkap Hatta.

Taufik Kurniawan, Sekjen PAN bahkan mengakui jika internal PAN sedang terjadi perdebatan terkait pasangan yang akan mendampingi Hatta. Bahkan berdebatan tersebut melahirkan faksi-faksi. Pertama “faksi Jokowi” menghendaki duet Jokowi-Hatta atau sebaliknya. Kedua “faksi Prabowo” yang menginginkan duet Hatta-Prabowo. Keduanya sama-sama kuat. “Faksi Jokowi” atau yang menggusung duet Hatta-Jokowi sangat realistis, yakni memperhitungkan beberapa hasil survei yang selalu menempatkan Jokowi diurutan teratas. Meski terkesan fragmatis, namun menurut Taufik “faksi Jokowi” lebih dominan ketimbang Prabowo.

PAN memang secara tegas menyatakan bahwa ia sedang dan terus akan melihat gebrakan-gobrakan Jokowi. Sehingga hal tersebut akan selalu menjadi bahan pertimbangan PAN guna mewujudkan duet Hatta-Jokowi. Terkait dengan duat Hatta-Prabowo, PAN terlihat “segan” mengingat Prabowo telah pangalaman sebagai Cawapres. Bahkan ia saat ini dicalonkan sebagai Presiden dari partai yang dibersarkannya, Gerindra.

Perlu ditelisik lebih jauh kenapa PAN begitu ngotot duetkan Hatta-Jokowi atau sebaliknya. Sepertinya ada kepentingan yang ingin menunggangi Jokowi melalui PAN atau Hatta. Mereka yang berkepentingan tidak hanya dari PAN tetapi juga eksternal PAN. Hatta seperti diketahui adalah besan dari presiden SBY. Saat ini, bisa dibilang SBY dan juga Partai Demokrat mengalami masa-masa sulit, yakni tidak memiliki kader yang dapat dijagokan sebagai capres. Fakta tersebut dikuatkan dengan Konvensi yang digelar Demokrat guna menjaring capres yang akan diusung. Sayangnya, Konvensi ini dibaca oleh “lawan politik” SBY sebagai upaya menaikkan Pramono Edhi Wibowo, adik ipar SBY.

Tidak menutup kemungkinan bahwa ada upaya menguatkan “kekuasaan Cikeas”. SBY tentu tidak ingin jika setelah tapuk kepemimpinannya ia “lenyap” karena tidak ada kader dan kroni yang muncul menggantikan. Lantas, melalui Hatta lah harapan SBY bisa digantungkan. Jika berharap pada Ibas (putranya), ia masih terlalu dini, jika  berharap Promono, akan menimbulkan kesan nepotisme yang sangat jelas. Lantas untuk apa kepentingan SBY tersebut? Kasus Century dan Hambalang yang masih menjadi “hantu” bagi SBY. Century menyeret SBY dan Budiono, sedangkan Hambalang kerap dikaitkan dengan Ibas. Jika SBY tidak punya pengaruh kedepan, tentu bahaya melanda Cikeas.

Namun demikian, terkait wacana duet Hatta-Jokowi oleh PAN tidak mendapat respon positif dari partai pemilik Jokowi, PDIP. Sejauh ini PDIP menaggapi dingin isu yang berkaitan dengan Jokowi dan seputar pencapresan dari PDIP. PDIP tetap akan menunggu hasil pemilu legislatif, apakah suara di parlemen cukup dijadikan syarat mengusung capres. Jika PDIP memenuhi syarat tersebut, tidak menutup kemungkinan akan mengusung capres-cawapres sendiri, tanpa koalisi

Jumat, 27 September 2013

Mendorong Masyarakat Cintai Produk Lokal

Oleh Ali Topan DS
 
Cintailah produk-produk Indonesia” salah satu slogan yang diusung PT Maspion Grup guna menarik simpati masyarakat agar menggunakan dan mencintai produk Indonesia. Pesan ia disampaikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan hasil produksi dalam negeri. Sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak menggunakan produk Indonesia.

Globalisasi yang menjadi agenda Barat telah membutakan masyarakat Indonesia akan pentingnya menjaga budaya. Perlahan, globalisasi telah mengikis rasa cinta tanah air dan produk-produk tanah air. Globalisasi menawarkan budaya pop yang jelas menguntungkan Barat. Sebagai contoh, produk pakaian pabrikan Indonesia harus bertarung melawan produk luar yang dipandang memiliki nilai previlage. Alhasil, mereka yang mengenakan pakaian made in negeri orang, merasa bangga. Hal ini menjadi sebuah hal yang ironi, jika masyarakat “kecanduan” oleh produk luar. 

Melalui Pameran Produk Indonesia (PPI) yang di gelar pada (26/9/2013), Wakil Menteri Perindustrian, Alex Retraubun mengajak masyarakat agar fanatik kepada produk dalam negeri. Fanatik dalam arti mencintai produk asli Indonesia. Menurutnya, jika masyarakat tidak mencintai produk Indonesia maka akan menjadi masyarakat bodoh. Ia menyontohkan dengan koleksi batik yang ia punya, hal itu ia anggap sebagai bentuk fanatik terhadap produk Indonesia. Pada kesempatan yang sama, Sekjend Kementerian Perindustrian mengingatkan masyarakat agar menjadi masyarakat yang “menjual” bukan masyarakat yang menjadi sasaran pasar. Sementara menurut Ade Sudrajat (Kepala Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia), penggunaan produk dalam negeri adalah upaya mempertahankan  menyediakan lapangan pekerjaan di industri tekstil.

Upaya mengingatkan masyarakat agar menggunakan produk dalam negeri dirasa sangat tepat. Mengingat, Asean Economic Community (AEC) 2015 didepan mata. Hal ini memaksa masyarakat untuk memposisikan produk dalam negeri sebagai pemegang kendali. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak memang menjadi sasaran empuk bagi pasar. Pada tahun 2015, negara kita juga dihadapkan dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). Menurut pengamat, Indonesia diprediksi akan kebanjiran Produk China. Meski demikian, banyak pengamat yang juga menaruh harapan positif tentang keadaan perekonomian nasional menyambut ACFTA dan AEC 2015. Tentu saja hal itu dapat terwujud dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan alam.

Melalui pembacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, masyarakat Indonesia belum mencintai pruduk dalam negeri; Pemerintah, melalui Menperin terus mendorong produk-produk dalan negeri agar mampu bersaing dengan luar; hal yang di tawarkan Menperin menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015 adalah masyarakat didorong untuk menggunakan produk dalam negeri.

Pengejawantahan terwujudnya masyarakat pecinta produk dalam negeri, maka Pemerintah, pengusaha dan masyarakat perlu kesadaran kolektif untuk menggunakan produk dalam negeri; Pemerintah, pengusaha dan masyarakat harus terus mendorong terciptanya  SDM berkualitas; Pemerintah dan pengusaha harus memperbaiki kualitas industri dalam negeri agar masyarakat tidak ada alasan untuk tidak menggunakan produk dalam negeri; Pemerintah dan pengusaha harus menjadikan produk dalam negeri menguasai pasar. Hal ini dapat tercapai jika pemerintah membatasi impor yang saat ini dirasa berlebihan.

Pemberian Peci Gus Dur untuk Jokowi (Membaca Pernyataan Kontradiktif Yenny Wahid dalam Pemberitaan Kompas.com dan Media Indonesia)

Oleh Ali Topan DS

Persoalan seperti kesenjangan sosial; kekerasan atas nama agama; pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi perhatian utama The Wahid Institute (selanjutnya disingkat WI) sejak berdirinya pada 7 September 2004. Melalui berbagai dialog, WI mengupayakan agar persoalan-persoalan di atas dapat diatasi, atau paling tidak berkurang. WI ingin mewujudkan cita-cita Abdurahman Wahid untuk membangun bangsa yang adil, sejahtera dan damai.

Pada 26 September 2013, WI merayakan hari jadinya yang ke sembilan. Beberapa tokoh nasional turut hadir baik dari kalangan intelektual dan politisi. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Said Agil Siroj; Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto; Menteri Perumahan Rakyat, Dzan Farid; Akbar Tanjung serta Gubernur DKI Jakarta, Jokowi hadir dalam acara tersebut. 

Dalam acara yang bertema “Menyebar Islam Damai dan Beragam”, Yeni Wahid –ketua WI- menyampaikan bahwa kepemimpinan yang baik akan mampu mengatasi persoalan intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Ia berharap agar pemimpin bangsa ini selalu berpegang pada konstitusi dan berpihak pada rakyat lemah. Satu hal yang menjadi sorotan media pada acara tersebut adalah pemberian peci rotan milik almarhum Gus Dur kepada Jokowi yang bertindak sebagai keynote speaker.

Penulis melihat ada dua media yang kontradiktif memberitakan pernyataan Yeni terkait pemberian peci Gus Dur kepada Jokowi. Pertama adala Kompas.com media online harian Kompas dan Media Indonesia. Berikut kutipan berita yang tertulis di kedua media tersebut;
Kompas.com:
Kutipan pernyataan Yeni: “Kalau mencalonkan diri, kita siap mendukung. Pak Jokowi layak didukung”.
“Yenny mengungkapkan, dukungan terhadap Jokowi bukan mengalir kali ini saja. Menurutnya, keluarga Wahid juga mendukung ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia mengatakan, perbedaan partai politik tak menjadi persoalan karena masyarakat bisa membedakan antara kualitas figur dengan partainya.” (sumber Kompas.com 27 September 2013)

Media Indonesia:
“Dalam acara yang dihadiri Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo itu, istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, memberikan peci khas suaminya. Tidak jelas apa maksud Sinta Nuriyah memberi peci tersebut di tengah pamor Jokowi yang terus digadang-gadang akan menjadi presiden itu. Sebab, Yeni pun menolak jika hal itu merupakan cara keluarganya untuk merestui mantan Walikota Surakarta tersebut menjadi orang nomer satu di negeri ini”
Kutipan pernyataan Yeni: “Tidak ada maksud apapun baik mendukung Jokowi dalam pilpres. Kami memberikan apresiasi kepada Jokowi sebagai pemimpin, dia mempunyai komitmen yang luar biasa terhadap teleransi agama dan dia banyak kesamaan dengan Gus Dur”. (Sumber: Media Indonesia 27 September 2013)

Penulis melihat ada pernyataan berbeda dari Yeni yang diberitakan Kompas.com dan Media Indonesia. Berita pada Kompas.com memberikan kesan bahwa Yeni bersama keluarganya mendukung Jokowi jika mencalonkan sebagai presiden. Sementara berita di Media Indonesia justru sebaliknya, tidak ada maksud apapun antara peci dan restu nyapresnya Jokowi. Pembaca media tersebut perlu membongkar makna yang tersirat dari dua pemberitaan, atau dalam analisis media disebut analisis konstruktivisme.

Pendekatan konstruktivisme menghendaki bahwa pembaca mempunyai hak dalam menafsirkan sebuah berita yang dibaca, dengar dan ditonton. Perlu dicermati, kalangan konstruksionis menganggap berita adalah produk yang subyektif. Berita adalah hasil bangunan dari realitas yang diusung oleh si penulis berita, wartawan. Bahkan, wartawan tidak hanya sebagai pelapor berita, ia adalah agen konstruksi sebuah berita. Pada titik ini, etika dan moral wartawan yang sesungguhnya diuji. 

Terkait pernyataan Yeni yang kontradiktif dalam dua media di atas, perlu dibuktikan otentisitas pernyataan yang benar. Pertama, bisa jadi Yeni memberi pernyataan berbeda kepada dua media dalam waktu yang tidak bersamaan. Kedua, agen konstruksi (wartawan) yang membuat berita tidak sebagaimana mestinya. Jika demikian, penulis berita dianggap telah memberitakan tidak berdasarkan fakta. 

Terlepas dari berita di atas, penulis melihat ada kesan dari kelompok tertentu –dalam hal ini WI- yang mengapresiasi kinerja Jokowi sebagai Gubernur. Pemberian peci kepada Jokowi tersebut merupakan penghargaan yang cukup tinggi. Peci merupakan indentitas keIslaman orang Melayu. Peci atau dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan songkok juga merupakan simbol nasionalisme. Maka tidak heran, Jokowi sebagai kader partai nasionalis –PDIP- mendapat “hadiah” peci dari seorang yang sangat kental dengan nuasa keIslaman dan keIndonesiaan –almarhum Gus Dur- meski melalui istrinya.

Kamis, 26 September 2013

Jokowi, “Say Bye” to Amin

Oleh: Ali Topan DS

Pada sebuah kuliah umum di Universitas Diponegoro Semarang (24/9/2013), Amin Rais (Ketua Dewan Pertimbangan PAN) menghimbau agar rakyat tidak memilih Jokowi. Ia menyamakan Jokowi dengan sosok mantan Presiden Filipina, Joseph Estrada. Estrada dipilih rakyat hanya karena popularitasnya. Ia dikenal tukang maduk dan hanya memimpin Filipina selama beberapa bulan, sebelum akhirnya dikudeta.

Pernyataan Amin sontak mendapat tanggapan dari beberapa politisi PDI-P. Eva K. Sudanri (politisi PDI-D) menilai kebencian Amin terhadap Jokowi menunjukkan sikap tidak sebagai seorang negarawan. Kebencian Amin seperti menutup matanya sendiri atas apa yang dilakukan Jokowi untuk kebaikan Jakarta. Eva menilai pernyataan Amin sama hal nya seperti saat ia menjegal langkah Megawati pada pencalonan Presiden 1999 lalu. Padahal, saat itu, PDIP sebagai pemenang pemilu. Eva juga membalas pernyataan Amin dengan ajakan untuk mendoakan Amin agar tidak sakit dan tidak mudah emosional.

Politisi PDIP lainnya juga tidak tinggal diam. Hasto Kristianto, Wakil Sekjend PDI-P menilai pernyataan Amin tidaklah tepat. Ia menilai pandangan Amin sangat sempit untuk menentukan presiden. Menurut Hasto, Amin salah menilai jika urusan capres adalah urusan Jokowi. Karena persoalan capres bukan urusan Jokowi secara individu, tetapi merupakan urusan partai secara utuh. Erico Satorduga, Politisi PDIP lainnya juga mempersilahkan Amin agar mengurusi kadernya dan menyiapkannya sebagai calon pemimpin. Bukan mencela kader partai lain.

Sementara itu, seorang politisi PAN justru melakukan pembelaan atas pernyataan Amin. Drajad Wibowo (Wakil Ketua Umum PAN) membenarkan penyataan Amin, karena itu merupakan edukasi politik. Rakyat harus tahu bahwa memilih pemimpin tidak boleh hanya sekedar popularitas. Tetapi yang memiliki visi, misi dan integritas.

Pernyataan negatif dan kritik Amin terhadap Jokowi bisa jadi menjadi bagian dari dinamika politik menjelang pilres 2014. Sebagaimana diketahui sebelumnya, Jokowi selalu berada diurutan teratas hasil survei elektabilitas capres. Pernyataan Amin semakin menjelaskan bahwa ada upaya untuk “menjegal” Jokowi jika ia berniat maju dalam pilres. Jika dicermati dengan rentetan pernyataan Amin sebelumnya, bahwa Amin pernah mempunyai keinginan menduetkan Hatta Rajasa dengan Jokowi di pilpres mendatang. Akan tetapi hal tersebut tidak mendapat respon dari Jokowi maupun PDIP. 

Pernyataan “celaan” Amin baru-baru ini tentang Jokowi bisa diartikan bentuk kekesalannya lantaran ia tidak mendapat tanggapan saat mengulirkan wacana duet Hatta-Jokowi. Tidak tepat bagi Amin yang mencontohkan Jokowi sebagai sosok paling populer. Karena hasil beberapa survei yang dirilis, sosok paling populer adalah Aburizal Bakri. 

Pernyataan Amin tentang Jokowi bisa diartikan black campain meski Jokowi sendiri belum dipastikan mencalonkan diri sebagai Presiden. Ada upaya “pembunuhan karakter” yang dilakukan Amin bahwa Jokowi bukanlah sosok yang tepat menjadi pimimpin. Pernyataan Amin yang mengundang kontroversi dapat menyulutkan “psy war” politisi PDIP dan PAN. Amin terlihat tidak obyektif jika menilai sosok Jokowi sebagai yang paling populer. Karena sosok capres populer adalah Aburizal Bakrie. Hal ini semakin menegaskan “kebencian” Amin akan prestasi yang diukir Jokowi di Jakarta

Atas segala “ocehan” Amin, Jokowi tidak perlu merespon secara berlebihan terhadap kritikus, mengingat banyak “PR” yang masih perlu dibenahi. Jokowi perlu fokus membenahi infrastruktur di Jakarta, karena Jakarta merupakan Ibu Kota yang menjadi daya tarik bagi investor-investor besar. Baik PDIP-PAN, harus lebih fokus menyiapkan diri menjelang pemilu. Mengoptimalkan segenap wakil rakyatnya yang duduk di DPR-RI maupun di DPRD agar bekerja hanya untuk kepentingan rakyatnya, bukan partainya.

Rabu, 25 September 2013

Ical VS Jusuf Kalla: Antara Perbincangan Positif dan Negatif



Oleh: Ali Topan DS
 
Menjelang pemilu Presiden 2014 mendatang, berbagai hasil survei elektabilatas capres dirilis; diskusi-diskusi dengan tema mencari pemimpin banyak dilakukan; berbagai iklan di media banyak bermunculan; serta kampanye-kampanye para kandidat pun mulai berjalan.

Sebuah lembaga bernama PoliticaWave.com, merilis hasil analisis media sosial tentang perbincangan politik. Analisa tersebut dilakukan sejak 1 Maret hingga 31 Agustus 2013. Para kandidat yang akan menjadi capres dijadikan obyek sasaran. Hal ini dimaksudkan mengukur sejauhmana media memperbincangkan sisi negatif dan positif para capres.

Menurut Jose Rizal, Direktur PoliticaWave.com salah satu tokoh atau capres yang banyak diperbincangkan sisi negatifnya adalah Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie (Ical). Sebelumnya, Ical juga menempati urutan pertama sebagai “Top Of Mind” dan capres terpoluler yang sellu melakukan pencitraan. Perlu dicermati dalam teori pencitraan, citra baik yang sengaja ditampakkan seseorang meniscayakan ada citra buruk yang disembunyikan.

Sisi negatif Ical paling banyak diperbincangkan seputar isu-isu mengenai kasus lumpur lapindo; pemanfaatan media miliknya sebagai alat kampanye; soal hutang-hutang perusahaannya; serta rencana evaluasi pencapresan. Meski demikian Ical juga diperbingcangkan oleh media dari segi positifnya seperti: Rajin memberi kuliah kewirausahaan; pilihan 7 purnawirawan TNI sebagai capres ideal; serta salah satu pengusaha sukses.

Berbeda dengan mantan Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla (JK), ia justru menjadi sosok yang banyak diperbincangkan sisi positifnya di media sosial. Pembicaraan dari sisi positif JK berkaitan dengan kegiatan positif JK bersama PMI; kegiatannya sebagai ketua umum Dewan Pengurus Masjid se-Indonesia; JK dianggap mampu menyelesaikan konflik seperti Aceh dan turut andil mendamaikan hasil pemilu Malaysia. Keputusan JK yang menolak konvensi Partai Demokrat juga dinilai positif. Meski demikian, perbincangan negatif tidak luput dari JK, seperti alasan mempertahankan ujian nasional dan usianya yang sudah terlalu uzur sebagai seorang capres.(kompas.com 25 September 2013)

Mendekati pemilu Presiden, konstituen berhak mengetahui track record kandidat capres. Informasi tersebut menjadi sangat penting bagi pemilih untuk menimbang dan menentukan pilihan. Namun perlu dicermati, bahwa informasi di dalam sebuah media berita, tidak selalu obyektif. Perlu dibuktikan kebenarannya. Mengingat media telah banyak bermitra dengan penguasa guna melanggengkan kepentingannya. 

Atas pembacaan fakta di atas, penulis berasumsi bahwa ada upaya secara sistematis untuk mengangkat kandidat tertentu sebagai capres, dalam hal ini JK. Melihat beberapa rentetan peristiwa sebelumnya, ada upaya yang dilakukan oleh elit Golkar untuk mengevaluasi pencapresan Ical dalam Rapimnas. Hal ini dimaksudkan agar muncul capres baru dari Golkar. Capres yang penulis maksud tidak lain adalah JK. Penyataan Akbar Tanjung yang melihat ada kemungkinan JK berduet dengan Jokowi atau Mega seperti menyiratkan pesan dorongan terhadap pencapresan JK.