Selasa, 29 November 2011

Pendosa Besar (Fasiq): Pendekatan Penafsiran Semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu


Prolog
Berbagai disiplin ilmu baru dalam pendekatan tafsir al-Quran banyak bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, zaman dan agama Islam sendiri. Selain Hermeneutic, Semiotika, tampaknya mulai akrab ditelinga para akademisi yang konsen pada kajian ilmu tafsir. Mereka berusaha mengurai makna yang terkandung dalam al-Qur’an dengan pendekatan yang relative baru tersebut. Semiotic adalah pengetahuan yang berhubungan dengan tanda. Ilmu semiotic berkembang menjadi disiplin ilmu pada abad modern, yakni dengan ditandai munculnya bapak linguistic dari Swiss, Ferdinand de Saussure dan filosof Amerika Charles Sander Pierce dan Charles W. Morris.[1]
Kajian tafsir al-Qur’an mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman. Pada abad 19 muncul berbagai metode tafsir baru, hal ini tentu bagian dari upaya menyelaraskan nilai universalitas Qur’an dengan perkembangan zaman. Berbagai corak tersebut antara lain reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[2] Pada masa selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semiotika,
Semantic secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, semantikos. Yang berarti memberi tanda, penting, dari kata sema, tanda. Semantic merupakan cabang dari linguistic yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantic biasanya dikontraskan dengan dua aspek dari ekspresi makna: sintaksis, pementukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu.[3] Semantic merupakan bagian dari tradisi Semiotik. Semiotic berbicara mengenai bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya (apa yang ditunjuk tanda).[4]
Kajian semantic dalam penafsiran al-Qur’an diawali dengan munculnya tokoh Toshihiko Izutsu. Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata Al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.[5]
Bagi Izutsu, analisa semantik terhadap al-Quran dimulai dengan memilih kata kunci dari vocabulary al-Qur’an yang di anggap merupakan  struktur konseptual dari dasar makna Qurani. Kata kunci merupakan kata yang sangat menentukan dalam keseluruhan suatu sistem. Analisa terhadap kata kinci bertujuan untuk mengungkap pemahaman konseptual.[6]
Kajian tersebut–pendekatan semantic Toshihiko Izutsu dalam menafsirkan al-Qur’an- sudah banyak dibicarakan kalangan akademisi ilmu tafsir. Antara lain Semantika al-Qur’an: dalam Perspektif Toshihiko Izutsu karangan Lutfi Hamidi. Penulis juga mendapatkan beberapa tulisan mengenai ulasan semantic izutsu yang penulis dapati di internet.
Biografi Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada Mei 1914 dan meninggal tahun 1993 M. Ia lahir dari sebuah keluarga hartawan yang kaya di Jepang dan dapat dikategorikan sebagai salah seorang pemikir neo-Modernis yang paling serius dan produktif di negri Matahari. Izutsu tumbuh dan berkembang dengan latar belakang pendidikan dan keluarga beragama Budha. Bapaknya adalah seorang kaligrafer yang mempunyai tulisan tangan yang bagus serta penganut agama Budha Zen sehingga Izutsu terkenal dengan meditasi Zen. Dalam hal ini, Izutsu sering menjadi pengajar dan pembicara yang diikuti oleh para pengikut Zen sejak usia dini.
Pendidikan menengah hingga perguruan tinggi, ia habiskan waktunya pada bangku sekolah di Tokyo. Meskipun Jepang dilanda perang dingin 1914-1918 pada paruh abad 20 tetapi dunia pendidikan keluarga Izutsu itu tidak pernah mati. Pada awalnya, ia masuk di Fakultas Ekonomi Keio University tetapi dialihkan  kejurusan Literatur Inggris dan ia berharap supaya dibimbing oleh Prof. Junzo Nishiwaki. Pada tahun 1937 , ia menjadi asisten peneliti setelah mengikuti wisuda dengan mendapatkan gelar BA.[7]
Dilihat dari kondisi yang mengitarinya pada waktu menuliskan ide-idenya mengenai semantik al-Qur’an, Izutsu agaknya ingin memberi sumbangan dalam dinamika penafsiran yang dilakukan para ulama, mufassir al-Qur’an abad 20. Karena pada abad tersebut ilmu tafsir sedang mengalami perkembangan dengan menyelaraskan zaman.
Pendosa Besar (Fasiq): Kajian Semantik Kufr Izutsu
Kufr merupakan istilah yang paling komprehensif  untuk semua nilai etika religius yang negative yang dikenal dalam al-Qur’an. Kufr juga mempunyai posisi inti dari sitem nilai negative tersebut. Apa yang dimaksud semantik kufr oleh Izutsu adalah, bahwa kufr tidak dapat berdiri sendiri, namun ditopang dengan beberapa kata kunci yang mengitarinya. Artinya, kita tidak akan dapat memahami sifat kufr, jika tidak memahami dasar unsur yang membentuk keseluruhan sistem itu sendiri. Unsur-unsur semantik tersebut adalah: fasiq, fajr, zulm, I’tida’ dan israf. Dalam hal ini penulis mengkhususkan ulasan mengenai fasiq.
Fasiq mempunyai makna penting dan khusus dari titik pijak pemikiran Islam. Kata ini mempunyai peran yang signifikan dalam teologi Islam, sebagai istilah kunci yang bermakna definitive murtakib kabiran atau seseorang yang telah melakukan dosa besar.
Bagi Izutsu, fasiq memiliki banyak kesamaaan dengan kufr, atau sinonim. Sehingga dalam banyak hal, tampak kesulitan membedakan antara keduanya. Izutsu mencontohkan tentang cerita Abu Amir seorang rahib yang berpengaruh di Madinah, ia secara tegas menolak mempercayai Tuhan Muhammad. Walaupun beberapa suku telah menerima keyakinan Islam. Lalu dengan kejadian ini Nabi Muhammad memerintahkan agar menyebutnya fasiq.
“selanjutnya jangan sebut dia rahib, sebutlah dia fasiq”.
Nabi Muhammad menganti istilah kufr dengan mamakai istilah fasiq.
Pandangan paling umum adalah bahwa fasiq adalah khurujan al-ta’ah (tidak taat). Yakni tidak mematuhi perintah Tuhan, sehingga fasiq merupakan istilah yang aplikasinya lebih luas dari kufr. Bagi siapapun yang tidak menaati Tuhan dalam pengertian apapun dapat disebut fasiq, sedangkan kafir mempunyai pengertian yang jauh lebih terbatas.
Selanjutnya Izutsu mengutip ayat untuk menegaskan persamaan antara kafir dan fasiq.
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasiq.” (Q.,s/ al-Baqarah: 99)
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.,s/ al-Taubah: 84)
Izutsu menegaskan bahwa fasiq disini merupakan suatu keadaan yang merupakan hasil perbuatan seseorang yang dilakukan dengan cara kafir kepada Allah dan RasulNya. Lebih lanjut, bagi Izutsu, bahwa fasiq biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki semangat religiusitas tinggi sebagai Muslim yang baik, yang mengkhianati diri mereka sendiri dengan berbagai alasan. Prinsip berbicara tanpa tindakan, berbicara pura-pura yang diikuti dengna pengkhianatan tingkah laku, merupakan unsur yang memainkan peran menentukan ayat al-Qur’an dalam menetapkan sifat khas dari fasiq.[8]
Sementara menurut M. Quraish Shibab, bahwa kata fasiq pada ayat tersebut (Q.,s/ al-Baqarah: 99) adalah dimaksudkan untuk orang-orang Yahudi yang ingkar kepada Nabi Muhammad serta kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Kendati demikian ia bersifat umum, mencakup orang-orang Yahudi dan siapa saja yang berbuat fasiq.[9]
Epilog
Pada penutup ini, penulis ingin memberikan kesimpulan atas pembacaan semantik kufr, teori penafsiran dengan menggunakan pendekatan semantik yang diusung oleh Toshihiko Izutsu. Kepiawaian Izutsu dalam mengupas makna yang terkandung setiap kata dalam al-Qur’an membuat munculnya makna baru. Dengan pendekatan semantikanya, ia mengurai makna suatu kata dengan mengaitkan relasi-relasi makna yang sesuai, yang terdapat dalam al-Qur’an. Izutsu terkesan membiarkan al-Qur’an untuk memaknai dirinya sendiri dengan menggunakan makna lain dalam al-Qur’an sendiri. Metode yang demikian ini dapat terlihat ketika Izutsu menghubungankan pengertian fasiq dan kufr yang menurutnya terdapat persamaan, sinonim.


[1] Robert Beard ed. al, Philipp Strazny (editor),  Encyclopedia of Linguistics, (New York: An Imprint of the Taylor-Francis Group, 2005) vol II, hlm 949
[2] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001) vol II,  hlm 126-132
[3] Id. Wikipedia. Org/wiki/Semantik. Diunduh pada 12 November 2011
[4] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Theories of Human Communication 9, pent Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009) hlm 55
[5] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran, pent. Supriyanto Abdullad, et.all., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) hlm 1
[6] Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 75
[7] Artikel dari http://www.ibtbooks.com/author.php.
[8] Toshihiko Izutsu, Ethico Religius Concepts in the Qur’an, pent. Agus Fahri ad. all., (Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an). (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993) hlm 187-189
[9] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol 1, hlm 274

Rabu, 12 Oktober 2011

Pers di Indonesia: Peran dan Fungsi dalam Masyarakat Demokratis


Abstract
We can not imagine life without information. We seemed in the dark. The information will open a window to our knowledge. Either past, present and future. Presence of media or press strongly supports the process of our democracy, in Indonesia. So, the media as a social control are expected to lead this nation to do with better democracy.
Pendahuluan
Kran demokrasi terbuka lebar pasca reformasi 1998. Perubahan terjadi pada tatanan pemerintahan Negara ini, setelah dominasi tirani menguasai berakhir. Harapan baru muncul untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa. Perubahan tersebut meniscayakan adanya tranparasi dalam berbagai aspek menyangkut pemerintahan/kelembagaan Negara. Maka kebebasan pun mulai menemukan tempatnya. Setiap orang dapat dengan mudah berekspresi dan menyampaikan aspirasinya dimedia, baik cetak maupun elektronik.[1] Demikian pentingnya sebuah media/pers, sebagai sarana mendapatkan informasi.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi, keberadaan pers  Indonesia menepati strategic position (posisi strategis )sebagai bagian dari penyampaian informasi. Di Indonesia, terlebih pasca reformasi, pers memberikan peran dan fungsi dalam berbagai lini, politik, ekonomi dan sosiologi. Para elit politik, ekonom dan masyarakat umum dapat mengakses informasi dengan cepat dan mudah. Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan ulasan singkat mengenai pers di Indonesia: peran dan fungsinya dalam masyarakat demokratis, dengan memberi paparan pengertian pers dan potret perjalanannya dalam sejarah di Indonesia.
Pengertian  Pers
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers (bahasa Belanda), atau Press (bahasa Inggris), atau presse (bahasa Prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”. Definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.[2] Istilah pers dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti luas, pers meliputi semua alat komunikasi massa, radio, televisi, film. Sedangkan pengertian sempitnya hanya dibatasi pada pers atau media cetak.[3]
Mengacu pada UU tentang pers, pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.[4]
Sejarah Pers di Indonesia
Sejarah pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang pers sebelumnya (pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa). Usaha pendirian pers-pers Belanda berorientasi ke Eropa dan kepentingan Eropalah yang dibela. Pers tersebut menutup mata keadaan masyarakat Indonesia. Corak pers Belanda terkenal dengan sebutan pers kolonial. Di bawah kantor berita Belanda ANETA, pers tersebut kerap memonopoli distribusi berita bahkan teror berita.
Pada perkembangan selanjutnya, pers Indonesia lahir karena dipengaruhi keberadaan pers Belanda dan Tionghoa. Namun bukan karena pengaruh dari pers tersebut saja, melainkan elit Indonesia yang memang memerlukan media komunikasi. Diantara pers Indonesia yang terkenal pada masa awal perkembangannya adalah Medan Prijaji yang dipimpin oleh R. M. Tirthohadisoerjo (meninggal pada 7 Desember 1918). Ia merupakan wartawan Indonesia yang berbakat, yang kemudian disebut sebagai “bapak wartawan-wartawan Indonesia”.[5] Berdirinya pers Indonesia juga tidak lepas dari munculnya organisasi (seperti Budi Utomo, Sarekat Islam) yang masing-masing menerbitkan media persnya sendiri.[6]
Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa pers Indonesia dimulai sejak dibentuknya kantor berita ANTARA yang didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Kantor berita ANTARA didirikan oleh Sumanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahuntar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna. Selanjutnya pada usia 21, Adam Malik diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA.[7]
Keberadaan pers pada masa awal orde baru (1966-1974), menunjukkan kuantitas pers yang mengalami kenaikan. Pada tahun 1966 tercatat terdapat 132 surat kabar di Indonesia. Sedangkan pada tahun sebelumnya (1965) tercatat 111 surat kabar. Jumlah tersebut bisa saja mengalami kenaikan jika saja pemerintah tidak melakukan membrendelan terhadap sejumlah media massa yang ada pada waktu itu (1966). Kerena disejumlah daerah ada beberapa media massa yang dihentikan penerbitannya. Sehingga jumlah penerbitan keseluruhan media mengalami kemerosetan.[8]
Rizal Malarangeng melihat bahwa kehidupan pers Indonesia pada era 1980-an terdapat kecenderungan yang tampak. Pertama, industrialisasi pers yang tidak berjalan seimbang dengan gerak sistem sosial. Kedua, proses industrialisasi pers bercorak kapitalis, sehingga masuknya pemodal raksasa pun tak terelakkan. Kedua kecenderungan di atas mengarahkan pers pada kompitisi yang ketat dan keras.[9] Pada akhirnya pers selalu bersinggungan dengan para birokrat “birokratisasi pers”.
Fungsi dan Peran Pers dalam Masyarakat Demokratis
Fungsi dan peran pers dalam masyarakat demokrasi sangat besar. Pers dan media massa telah banyak memberikan jasanya terhadap masyarakat Indonesia, terlebih pasca reformasi yang menjamin kebabasan pers. Masyarakat dengan mudah mendapat kabar berita baik cetak maupun eloktronik. Hal tersebut tentu akan membantu masyarakat dalam beberapa aspek yang mencakup lini kehidupan.
Prinsip sistem demokrasi dari rakyat (of the people), oleh rakyat (by the people) dan untuk rakyat (for people) yang kita eluh-eluhkan meniscayakan adanya pranata melalui pers. Sehingga pers juga ikut andil dalam proses demokrasi Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang pers tahun 1999, bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai kontrol sosial “social control”, mengandaikan bahwa pers juga turut mengawal jalannya pemerintahan secara demokratis. Hal ini juga termaktub dalam pasal yang menerangkan peranan pers, yakni “menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan”.[10]
Mengacu pada landasan ideologi negara Indonesia, Pancasila. Maka, salah satu pokok ajaran penerapan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers adalah, pers harus menjadi “mitra” pemerintah, yakni dengan memberi “kritik” terhadap pemerintah. Sayangnya berdasarkan pengalaman empiris, hal itu tidak terbukti keseluruhan.[11] Keadaan tersebut dapat dianalisa, bahwa terjadi “kontrak etis” yang erat antara pers dan pemerintah. Sehingga, diperlukannya media yang dengan benar berani membeberkan keadaan baik buruk pemerintahan yang terjadi, media yang tidak bisa dikooptasi penguasa.[12] Menurut Joseph Pulitzer, jurnalistik membutuhkan orang-orang yang berani dan bermoral.[13] Dengan bersandar pada keberaniaan tersebut, akan didapatkan informasi, fakta-fakta kejadian dari pers.
Perlu dipahami bahwa, keberadaan media ditengah masyarakat juga menjadi bagian dari konstruksi sosial. Kontruksi tersebut lahir dari adanya media yang menghadirkan informasi-informasi. Sehingga muncul tindakan komunikatif; pengetahuan yang menjadi produk sosial; pengetahuan yang bersifat kontekstual dan pengetahuan yang bersifat sarat “nilai”. Maka konstruksi media massa tersebut pada akhirnya ikut andil dalam membentuk opini publik.[14]
Selain itu ada beberapa fungsi pers sebagai berikut:
  1. Mengabarkan, salah satu fungsi utama pers adalah mengabarkan. Informasi yang dikabarkan oleh pers akan memberi pengetahuan baru bagi masyarakat.
  2. Menyampaikan gagasan dan aspirasi, adanya pers ataupun media, menjadi penyambung lidah bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, begitu pula sebaliknya.
  3. Media propaganda, yakni menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Propaganda disini tidak hanya bisa diartikan “adu domba”.
  4. Media penyeimbang, pers juga menjadi jembatan penyeimbang antara satu pihak dengan pihak lain; antara rakyat dan pejabat.[15]
Penutup
Ulasan singkat penulis tentang keberadaan pers di Indonesia setidaknya memberi gambaran, bahwa pers tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam arti, masyarakat menjadi konsumen tetap sebuah berita dari media. Media juga menopang akan sebuah sistem negara. Di Indonesia, pers berperan dalam masyarakat demokratis, yakni menuntut adanya tranparansi kegiatan pemerintahan, yang semuanya itu diungkap oleh pers.
Dengan berpedoman pada undang-undang pers, setidaknya masyarakat luas turut berperan aktif dalam mengontrol pemerintahan melalui sebuah media. Begitu pula pemerintah yang dapat mempublikasikan beberapa progamnya. Terjadinya take and give ini akan memberikan sinyal bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Daftar Pustaka
Abar, Ahmad Zaini, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1995
Armada, Wina, Keutamaan dibalik kontroversi undang-undang pers, Jakarta: Dewan Pers, 2007
_____________, Wajah Hukum Pidana Pers , Jakarta: Pustaka Kartini, 1989
Departemen Penerangan RI-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2002
Kusman, Suf, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, Litbang Kemenag RI, 2010
Malarangeng, Rizal, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011
Peterson, Thedore ed. al, The Four Theory of The Press, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ”Empat Teori Pers”, Jakarta: PT Intermasa, tt
Rahman, M. Fajroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Sejahtera, Depok: Koekoesan, 2007
Undang-undang Pers, Tahun 1999
Wibowo, Wahyu, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, Politik di Era Modern, Jakarta:Kompas, 2009



[1] Melihat kebebasan berpendapat yang demikian Nurcholish Majid (Cak Nur) membahasanya dengan istilah “ledakan partisipasi”. Dimana setiap orang, lembaga, institusi dapat dengan mudah mengekspresikan pendapatnya dikhalayak ramai, dengan dalih ikut berperan untuk kebaikan bersama. Hal ini terlihat jelas, bahwa pasca reformasi 1998 banyak bermunculan berbagai ormas dan  LSM yang turut mewarnai demokrasi negara. Maka, kehadiran mereka sudah menjadi konsekuensi dari kebebasan berdemokrasi.
[3] Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers , (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989). Hlm 20
[4] Undang-undang Pers, pasal 1 tahun 1999
[5] Terdapat perbedaan pendapat mengenai surat kabar pertama yang terbit di Indonesia. Menurut Edward C. Smith, surat kabar pertama di Indonesia adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada 1855. Pendapat tersebut berbeda dengan Subagijo yang mengatakan terbit pada 1866. Namun keduanya sepakat bahwa pada tahun 1856 telah terbit surat kabar “Soerat KabarBahasa Melayoe” di Surabaya. Lihat Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers. Hlm 22
[6] Departemen Penerangan RI-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2002). Hlm 6-9
[8] Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 1995). Hlm 45
[9] Rizal Malarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011). Hlm 1
[10] Lihat undang-undang tentang pers bab II pasal 6 ayat 2. Selain itu pers juga berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran
[11] Rizal Malarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya. Hlm 119
[12] M. Fajroel Rahman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Sejahtera, (Depok: Koekoesan, 2007). Hlm 53
[13] Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika: Peran Bahasa, Bisnis, Politik di Era Modern, (Jakarta:Kompas, 2009). Hlm 135
[14] Suf Kusman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, (Litbang Kemenag RI, 2010). Hlm 120-2