Minggu, 08 Mei 2016

Wajah Hukum Mati di Indonesia (Review Book “Politik Hukuman Mati di Indonesia”)

Resensator: Ali Thaufan DS
Judul Buku: Politik Hukuman Mati di Indonesia
Nama Penulis: Todung Mulya Lubis, dkk
Penerbit dan Tahun Cetakan: Tangerang Selatan: Marjin Kiri, cet I, Maret 2016
Tebal Buku: 292 halaman
Kebijakan pemerintah yang menghukum mati terpidana penyalahgunaan narkoba memunculkan perdebatan para pemerhati hukum. Pro dan kontra soal “harus” atau “tidak” menghukum mati para gembong narkoba tak terhindarkan. Dari pengalaman kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo, yang mengeksekusi gembong narkoba, masyarakat luas sangat mendukung kebijakan tersebut.
Tulisan ini hadir dari pembacaan atau resensi buku berjudul “Politik Hukuman Mati di Indonesia”. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh Todung Mulya Lubis dkk, dan terdiri dari sembilan artikel. Penulis memetakan bahwa buku tersebut terdiri dari dua garis besar yang paling utama, yakni: sejarah hukuman mati di Indonesia (termasuk juga pra kemerdekaan) dan diskursus kebijakan hukuman mati yang dilakukan pemerintah Joko Widodo.
Pada bagian awal buku, dipaparkan perihal sejarah hukuman mati di Indonesia yang ada sejak masa kerajaan dan penjajahan kolonialisme. Sejak masa kerajaan penerapan hukum mati telah dilakukan oleh para raja-raja di Nusantara. Dalam buku tersebut, dikisahkan dua kerajaan yang memberlakukan hukuman mati bagi warganya, Kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh. 
Beberapa alasan mendasari para raja-raja saat itu untuk melakukan hukuman mati kepada warganya, seperti alasan politik;  tidak “beresnya” pegawai kerajaan sehingga membuat raja marah dan menghukum mati; adanya prajurit yang kabur meninggalkan medan perang; serta motif sosial, yakni demi menjaga ketertiban, maka orang yang membuat onar di masyarakat akan dijatuhi hukuman mati. Selain itu, penulis buku juga menjelaskan bahwa keputusan yang diambil oleh raja dalam menghukum mati warganya adalah tanpa dasar apapun, atau atas kehendak despotik dan “selera” raja. 
Kedatangan para penjajah di Indonesia juga tetap memberlakukan hukuman mati bagi para rakyat Indonesia, juga penjajah itu sendiri yang tidak mematuhi perintah rajanya. Kebijakan hukum mati, dari masa kerajaan dan penjajah kemudian diwariskan pada Republik Indonesia pasca kemerdekaan 1945. Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati, meski para penjajah, Belanda, telah menghapus hukum mati di negaranya.
Penulis buku menyajikan dasar-dasar timbulnya pro dan kontra terhadap penerapan hukuman mati. Pertama, alasan kontra terhadap hukum mati adalah dikarenakan hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya”. Selain itu, orang-orang yang menolak hukuman mati juga beralasan, bahwa proses pengadilan di meja hijau terkadang tidak dilakukan dengan “keadilan sejati”, sehingga orang dijatuhi hukuman mati tanpa ada pembelaan. Sedangkan kedua, alasan bagi mereka yang pro terhadap hukum mati adalah, bahwa penerapan hukuman mati akan memberi efek jera bagi pelaku kejahatan lainnya. 
Namun penulis buku menyajikan bahwa kebijakan hukuman mati tidak serta merta menurunkan angka kejahatan. Dengan mengutip hasil riset di Amerika, penulis buku memaparkan bahwa hukuman mati tidak berarti apa-apa bagi pelaku kejahatan lain. Bahkan, diberlakukannya hukuman mati hanya dianggap menjadi alat pencitraan penguasa. Penulis buku juga menunjukan case di Jepang yang menurunkan angka hukuman mati, dan justru angka kejahatan turut menurun.
Jika dicermati, para penulis artikel dalam buku “Politik Hukuman Mati di Indonesia” berkeberatan dengan kebijakan hukuman mati yang diterapkan rezim pemerintah Joko Widodo. Dengan berbagai dalih, mereka menolak argumen yang mendukung hukuman mati. Tegas dinyatakan, bahwa hukuman mati bukan menjadi “Penggetarjeraan” bagi pelaku kejahatan lainnya. Selain menyalahi HAM, pemerintah perlu merumuskan konsep hukuman lain sebagai pengganti hukum mati.

Menyoal Hukum Mati di Indonesia

Oleh: Ali Thaufan DS

Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan mengeksekusi hukum mati tahap ketiga terhadap beberapa narapidana. Hal ini juga ditegaskan Kejaksaan Agung RI meski belum ditentukan waktunya. Eksekusi tersebut diutamakan bagi para terpidana narkoba. 

Rencana kebijakan hukum mati oleh pemerintah memunculkan dua “kutub” perbedaan pandangan, pro dan kontra terhadap hukuman mati. Eksekusi hukum mati tahap pertama dan kedua sebelumnya juga memunculkan polemik. Bahkan, menjelang eksekusi tahap ketiga ini, pemerintah diminta menunggu revisi KUHAP yang sedang dibahas di DPR. Pasalnya dalam revisi tersebut, ketentuan hukum mati akan diatur kembali.

Sejarah mencatat, bahwa hukum mati yang dilakukan pemerintah saat ini bukan hal baru. Sejak masa kerajaan dahulu, hukum mati sudah diterapkan. Wilson dkk (2016) mencatat bahwa jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia, beberapa kerajaan telah menerapkan hukum mati bagi warganya. Ia mencontohkan hukuman mati yang diterapkan kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh. Demikian juga pada masa kolonialisme, hukuman mati juga diberlakukan.

Motif hukuman mati saat itu cukup beragam. Kerajaan Mataram dan Kesultanan Aceh biasanya menghukum mati warga karena motif politik, seperti: demi menjadi kekuasaan, dan stabilitas politik kerajaan. Tidak segan-segan, Raja dengan mudah menghukum mati warganya yang melakukan pertentangan atas kuasa kerajaan. Motif lain yang menyebabkan penguasa menghukum mati juga karena motif sosial, yakni demi menjaga ketertiban umum, hukum mati diberlakukan. Selain itu juga ada motif ketidakberesan para pegawai kerajaan, sehingga raja memberi hukuman mati. Kasus ini terjadi di Aceh ketika Sultan Iskandar Muda Aceh menghukum pegawainya yang “tidak beres” dalam pekerjaannya. Yang lebih ironis adalah motif hukum mati tanpa dasar apapun. Motif ini tergantung pada “selera” raja dalam memberi hukuman mati.

Pasca kemerdekaan dan terbentuk Republik Indonesia, hukum mati tetap dilakukan sebagai upaya negara menjaga kedaulatan. Presiden Sukarno tercatat pernah mengeluarkan kebijakan hukuman mati bagi beberapa orang yang dinilai melakukan kejahatan dan makar. Nama-nama seperti Kartosoewirjo (yang merupakan sahabat Sokarno sendiri) juga Amir Syarifuddin, mati ditangan para algojo penembak hukuman mati. Meski Sukarno pernah mengeluarkan kebijakan hukuman mati, tetapi ia cukup dikenal sebagai presiden RI yang banyak memberi grasi dan abolisi hukuman mati.

Pada masa kepemimpinan presiden selanjutnya, hukum mati tetap dilakukan dengan berbagai agrumen dan pertimbangan. Koran Tempo pada 28 Januari 2015 memberitakan bahwa pada era presiden Suharto terdapat sebanyak 38 orang terpidana mati; presiden Abdurahman Wahid 3 orang; presiden Megawati  3 orang; presiden SBY 8 orang; dan presiden Jokowi 6 orang (masih akan berlanjut). 

Pada masa presiden Habibie tidak tercatat pelaksanaan hukuman mati. Dari 58 orang jumlah di atas, terhitung sejak tahun 1979-2015, 35,2 % adalah jenis pidana pembunuhan; 35,2 % tahanan politik; 21,1 % narkoba; dan 8,5 % terorisme. Namun Koran Tempo memberi catatan bahwa eksekusi mati pada masa presiden Suharto bisa jadi melebihi angka di atas, mengingat pada masa tersebut pemerintah terkesan tertutup dalam hal eksekusi hukuman mati.

Wilson mengemukakan, dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 160 negara telah menghapus hukuman mati. Banyak negara mulai meninggalkan hukum mati dikarenakan, rezim negara otoriter mulai runtuh dan adanya gerakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang begitu masif. Keberadaan organisasi HAM dibeberapa negara terbukti mendorong penolakan hukum mati, termasuk di Indonesia. Beberapa aktivis HAM kerap menentang rencana eksekusi mati terpidana narkoba yang dilakukan pemerintah.
Meski demikian hal tersebut tidak membuat pemerintah Indonesia saat ini untuk menghapus hukum mati, terlebih bagi gembong narkoba. Presiden Jokowi menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah kejahatan luar biasa, sehingga wajar pelakunya diganjar dengan hukuman mati. 

Argumen menolak hukum mati didasarkan pada dua hal utama. Pertama: hukum mati tak sesuai dengan semangat HAM karena telah “merebut” hak hidup manusia. Di Indonesia, aktivis penolak hukum mati mendasarkan pada pasal 28A dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya”. Kedua: suara-suara penolakan hukuman mati juga muncul karena lemahnya pengadilan. Terpidana mati terkadang tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sehingga proses di pengadilan dianggap tak adil.

Hukum mati diberbagai negara termasuk di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan mampu memberi efek jera bagi pelaku kejahatan lainnya. Selain itu, hukuman mati juga disebut sebagai upaya negara dalam melindungi warganya dari kejahatan yang lebih besar. Tetapi, hal tersebut tidak dapat dibenarkan seutuhnya. Iqrak Sulhin dalam Politik Hukuman Mati di Indonesia merujuk sebuah penelitian di Amerika Serikat pada 1996 yang menunjukkan bahwa hukuman mati tidak berarti apa-apa bagi pelaku kejahatan lain. 

Hukuman mati yang dijatuhkan oleh negara kepada para narapidana tidak punya pengaruh bagi menurunnya angka kejahatan. Bahkan, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah di Amerika hanya dianggap sebagai pencitraan penguasa. 

Bagaimana publik memandang hukuman mati di era presiden Jokowi? Jawabnya: cukup beragam. Arus deras dukungan pelaksanaan hukum mati disampaikan publik, dari warga biasa hingga ulama dan pejabat negara. Mereka mendukung kebijakan pemerintah untuk “membedil” para bandar narkoba. Pada saat yang sama, para penolak hukuman mati juga mengeluarkan argumentasinya mereka demi gagalnya eksekusi hukuman mati.

Mencermati kebijakan pemerintah tentang hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seperti bandar narkoba, penulis melihat beberapa wacana seperti: pertama, publik memberi apresiasi bagi pemerintah atas ketegasan penegakan hukum. Hal tersebut berimplikasi pada naiknya citra pemerintah dihadapan publik. Kedua, adanya kesungguhan dan effort pemerintah untuk menegakkan hukum, terutama bagi kejahatan narkoba. Ketiga, adanya dukungan sekaligus penolakan atas kebijakan pemerintah soal hukuman mati. 

Kita berharap, bahwa pelaksanaan hukuman mati tetap mengacu pada ketentuan Undang-undang yang berlaku. Hukum mati jangan menjadi alat citra pemerintah. Publik tentu berharap kebijakan pemerintah mengeksekusi mati bandar narkoba menjadi pijakan untuk penegakan hukum pada kasus-kasus lainnya. 


*) Harian Suara Karya, Selasa, 3 Mei 2016.

Media Sebagai Pengawas Pemilu

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Kemajuan media informasi memberi kemudahan banyak hal bagi manusia, termasuk kemudahan mengawasi pelaksanaan pemilihan umum. Secara kelembagaan, pengawasan terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sesuai Perbawaslu Nomor 2 tahun 2015, Bawaslu bertugas “mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengawasan tersebut mencakup tahapan persiapan hingga berakhirnya pemilihan. 

Keberadaan media saat ini bisa dikatakan sebagai mitra penyelenggara pemilu. Hampir disemua media, terdapat rubrik seputar kepemiluan. Melalui media, masyarakat juga merasakan kemudahan informasi pemilu. Bahkan, terdapat media televisi yang menggangap medianya sebagai televisi Pemilu.  

Dalam penyelenggaraan Pemilu, menurut Ferry Kurnia salah seorang Komisioner KPU, media berfungsi sebagai: alat menyebarkan informasi dari KPU berkaitan dengan kepemiluan; memberitakan kondisi terbaru di lapangan yang berkembang seputar Pemilu; menjadi kontrol bagi penyelenggara Pemilu; serta menjadi referensi publik soal Pemilu.

Keberadaan media di Indonesia sejatinya menjadi sarana pendidikan politik dan sumber informasi kepemiluan. Tetapi, beberapa media juga menjadi alat kampanye partai politik dan tokoh politik tertentu. Hal ini yang terkadang membingungkan pemirsa. Sebagai contoh pada saat Pemilu Presiden 2014 lalu, publik mendapati dua pemberitaan yang berbeda terkait hasil hitung cepat perolehan suara presiden dan wakil presiden. 

Tidak dapat dipungkiri, media-media besar di Indonesia kini memiliki hubungan atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Media juga dianggap kerap melakukan pelanggaran-pelanggaran kampanye Pemilu. Adanya afiliasi politik yang dilakukan oleh beberapa media membuatnya kerap membentuk opini publik yang membingungkan dan tidak sehat bagi pendidikan politik. Pada titik ini, media merupakan sesuatu yang membahayakan bagi pendidikan politik publik.

Dari hasil penelitian Dewan Pers Indonesia yang dimuat pada Jurnal edisi Juni 2014 dengan judul “Mengungkap Independensi Media”, terlihat jelas bahwa independensi media sangat diragukan. Padahal, keberadaan media adalah sebagai pilar demokrasi. Ia mengawasi jalannya pemerintahan sebuah negara. 

Ketidaknetralan sebuah media menuntut perhatian lebih dari kalangan pers. Fungsi media harus dikembalikan sebagaimana mestinya. Bahwa media tersebut dimiliki oleh para petinggi partai politik atau tokoh politik, itu tak bisa dinafikkan. Tetapi yang terpenting adalah media harus clear and clean dari unsur politisasi dalam pemberitaan.

Budiman Tanuredjo, Pimpinan Redaksi Harian Kompas, dalam sebuah diskusi di Kantor KPU pada 26 April 2016 menyampaikan bahwa idealnya peliputan media dalam hal Pemilu mencakup beberapa hal, yakni: media memberi ruang bagi para kandidat untuk menyampaikan gagasannya kepada publik; media memberi ruang publik untuk mengkritisi gagasan dan visi misi kandidat; media mengawasi jalannya proses Pemilu; serta media wajib memberi edukasi politik kepada publik. Dengan berpijak pada ketentuan akan independensi media, maka akan lahir informasi Pemilu yang independen pula. Posisi media sebagai pengawas Pemilu akan terwujud manakala informasi yang disajikan jauh dari nuansa politis, tidak ada tendensi politik apapun.