Rabu, 07 Maret 2018

Partai Bulan Bintang (PBB) Pasca Putusan “Menang” di Bawaslu


Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Partai Bulan Bintang (PBB), sempat dinyatakan tidak lolos sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum 2019. Pasalnya, ketika dilakukan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), PBB dianggap tidak memenuhi syarat kepengurusan pada Kabupaten Manokwari Papua. Atas dasar itu, KPU lalu tidak meloloskan partai yang diketua pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra tersebut.

Tak terima dengan putusan KPU, PBB mengajukan sidang banding di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Walhasil, PBB dimenangkan dan Bawaslu meminta agar KPU menjalankan putusan Bawaslu. Jika KPU tak terima juga dengan putusan Bawaslu, KPU punya tenggat waktu tiga hari untuk melakukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN). Hal ini seperti diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebagai sebuah partai, PBB didirikan pada 17 Juli 1998 sebagai bagian dari suka cita reformasi 1998 dan memilih berasas Islam. Saat itu, bersama partai Islam lainnya, PBB lahir dalam pentas baru demokrasi Indonesia. Dari hasil penelitian penulis, pada 1999 terdapat 148 partai politik yang muncul, dan 14 parpol menegaskan berasas Islam. PBB kemudian diasosiasikan sebagai partai penerus Masyumi, meski saat itu muncul juga partai Masyumi dan Masyumi Baru.

Sebagai partai baru, PBB mengidentikan diri sebagai partai Islam modern. Menurut PBB, ajaran Islam adalah ajaran yang universal dan mencakup kehidupan seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, PBB memantapkan Islam sebagai asas. Sebagai partai berasas Islam, PBB ingin menjadikan diri mereka sebagai penyalur aspirasi umat Islam. Hal ini misalnya tercermin dari wacana menghidupkan “Piagam Jakarta” pada awal-awal reformasi. Dalam kesempatan Sidang Istimewa MPR, PBB bersama dengan PPP mencoba meyakinkan anggota DPR/MPR lainnya untuk menghidupkan Piagam Jakarta. Namun, ide ini menurut Lili Romli (2004: 37) tak mendapat respon dari fraksi-fraksi lain di DPR. Bahkan PBB hanya dianggap pencitraan semata.

Sejak berdirinya, PBB telah mengalami beberapa kali Pemilu: 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil Pemilu, perolehan suara PBB tidak mampu bersaing dengan partai Islam lainnya seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada Pemilu 1999, PBB meraih suara sebanyak 2.05.039 suara (2,81%) dan mendapat perolehan 13 kursi di DPR. Selanjutnya pada Pemilu 2004, PBB meraih sebanyak 2.970.487 suara (2,62%) dan mendapat perolehan 11 kursi di DPR. Kemudian pada Pemilu 2009, PBB meraih sebanyak 1.864.752 suara (1,8%). Selanjutnya pada Pemilu 2014, PBB meraih sebanyak 1.825.750 suara (1,4%). Pada Pemilu 2009 dan 2014, PBB tak mampu menempatkan calegnya sebagai anggota DPR karena perolehan suara PBB tak sampai ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Dilihat dari aspek kelembagaan partai, PBB tampaknya menjadi partai yang “gagal” melakukan kaderisasi. PBB terkesan dipimpin oleh orang “itu-itu” saja. Pada kepengurusan periode 2000-2005, ketua umum dijabat Yusril, dan Sekjen dijabat MS. Kaban. Pada kepengurusan periode 2005-2010, ketua umum dijabat MS. Kaban dan Yusril sendiri menjabat ketua majelis syura. Pada periode 2010-2015, ketua umum juga dijabat MS. Kaban dan Yusril tetap menjabat ketua majelis syura. Sedangkan pada 2014-2019, ketua umum kembali dijabat Yusril dan giliran MS. Kaban berganti menjabat ketua majelis syura (Litbang Kompas 2014). Elit PBB terkesan didominasi oleh orang tersentu saja: antara Yusril dengan MS. Kaban.

Peta Pemilih Muslim

Jika PBB menjadi peserta Pemilu 2019, maka dapat dipastikan peta suara pemilih muslim akan semakin terfregmentasi. Pasalnya, pemilih muslim akan dibuat galau dengan banyaknya partai Islam lainnya: PKB, PAN, PKS dan PPP. Jika merujuk pada Pemilu 2004, terjadi “saling bunuh” antarpartai Islam sendiri untuk meraih suara Pemilu sebanyak-banyaknya.

Dalam kondisi pemilih yang dihadapkan kegalauan terhadap partai Islam, partai-partai nasionalis seperti PDI-Perjuangan, Golkar dan Demokrat rajin merekrut pemilih muslim dan merawatnya. Berbagai kegiatan keagamaan (Islam) dilakukan partai-partai tersebut guna meraih suara pemilih muslim. Strategi partai nasionalis ternyata berhasil dalam beberapa kali pengalaman Pemilu. Para pemilih tidak lagi melihat latar belakang asas partai (Islam), tetapi lebih mempertimbangkan aspek program yang diusung partai sebagai landasan memilih.

Menjelang Pemilu 2019 nanti, lembaga survei Poltracking merilis hasil survei periode November 2017. Sebanyak 14 parpol yang diperkirakan mengikuti Pemilu, diperkirakan hanya PKB yang masuk lima besar partai. Hasil survei Poltracking juga menyimpulkan bahwa pemilih cenderung memilih parpol berdasarkan kinerja dan visi-misi parpol (dengan persentase 28,6%). Sementara itu, pemilih yang memilih atas dasar agama hanya sebanyak 10,6%. Tak hanya Poltracking, lembaga survei Polmark juga melakukan hal yang sama. Pada survei yang dilakukan pada September 2017 juga menunjukkan adanya penurunan elektabilitas parpol Islam.

Kondisi ini menjadi tantangan PBB jika benar-benar lolos dari sengketa parpol yang sedang berlangsung saat ini. PBB harus menyiapkan tawaran menarik untuk meraih dukungan pemilih. Strategi menarik pemilih dengan menjual asas Islam saja rasanya tidak cukup karena partai lain seperti PKS dan PPP juga melakukan hal yang sama.

Tantangan

Tantangan PBB sejatinya bukan saja lolos menjadi peserta Pemilu, tetapi perjuangan elektoral merebut kursi di DPR atau lolos parliamentary threshold. Untuk meraihnya bukan soal mudah. PBB harus bertarung dengan 14 partai lain yang telah dinyatakaan lolos. Mereka telah melakukan konsolidasi lebih awal sejak ditetapkan sebagai parpol peserta.

Sebagai partai Islam, PBB menghadapi problematika laiknya parpol Islam lainnya. Partai Islam saat ini kerap dihadapkan pada konflik internal yang selalu muncul, seperti dalam kasus PPP dan PKS. Partai Islam juga mendapat tantangan minimnya figur yang “menjual” secara politik sehingga mampu menjadi mendongkrak suara. Oleh sebab itu, PBB paling tidak harus mampu merekrut tokoh nasional dan ulama untuk membantu meningkatkan elektabilitasnya.

Kamis, 01 Maret 2018

Politik Uang Penyelenggara Pemilu


Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut atas dugaan suap menunjukan buruknya integritas penyelenggara Pemilu. KPU RI dan Bawaslu RI serta Polri diharapkan untuk mengungkap kasus ini secara terang. Bahkan, jika perlu melakukan operasi serupa di daerah lain yang terbuka kemungkinan melakukan praktik-praktik “politik uang” tersebut.

Praktik suap yang terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Garut bermula dari upaya salah satu pasangan calon agar dapat lolos dan ditetapkan sebagai paslon Pilkada. Untuk kepentingan itu, paslon menyuap penyelenggara Pemilu dengan uang dan mobil. Praktik kotor Pilkada ini tercium oleh Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk Polri. Oknum KPU dan Panwaslu itu akhirnya diberhentikan sementara (Koran Jakarta 26/2/2018). Tentu saja, kasus suap tersebut semakin memperburuk reputasi penyelenggara Pemilu dan kualitas Pilkada 2018.

Praktik “politik uang” dalam proses pencalonan seperti tersebut di atas disinyalir beberapa pengamat kerap terjadi dalam Pilkada dan Pemilu. Hasil riset beberapa lembaga yang menaruh minat kepemiluan menunjukkan bahwa “politik uang” tidak hanya diberikan paslon kepada pemilih, tetapi juga paslon kepada penyelenggara Pemilu. Sementara itu, Ramlan Surbakti (2005) menilai “politik uang” terjadi karena paslon membutuhkan kendaraan politik (parpol) dalam pencalonan sehingga “politik uang” dapat diberikan paslon kepada parpol pengusung.

Regulasi kepemiluan sejatinya telah mengatur ketentuan larangan “politik uang” itu. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 73 ayat (1) misalnya, diatur ketentuan larangan bagi paslon atau tim kampanye memberikan uang atau materi untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) maupun pemilih. Jika paslon atau timnya tertangkap memberikan uang atau materi lainnya, maka KPU berdasarkan putusan Bawaslu, dapat membatalkan pencalonannya.

Selain pembatalan sebagai calon peserta Pilkada, paslon yang melakukan praktik “politik uang”, dan terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap melakukan pelanggaran yang dimaksud, maka yang bersangkutan dikenai hukuman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal ini memberi sanksi berat pelaku politik uang, yakni sanksi pembatalan dan pidana sekaligus.

Pengaturan tentang penyelenggara Pemilu diatur dalam UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal yang menjelaskan tentang pemberhentian KPU dan Bawaslu (lihat pasal 37 dan 135), disebutkan bahwa pemberhentian dapat dilakukan apabila anggota KPU-Bawaslu melanggar sumpah jabatan dan kode etik penyelenggara Pemilu. Kasus suap terhadap penyelenggara Pemilu adalah bentuk nyata pelanggaran Pemilu.

Jika dicermati pengaturan dalam UU Pilkada dan Pemilu, semangat UU tersebut adalah menolak politik uang baik terhadap penyelenggara dan pemilih. Namun demikian, pengaturan itu ternyata menyisahkan celah bagi penyelenggara Pemilu untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Di UU Pilkada misalnya, belum diatur secara rinci terkait sanksi terhadap politik uang yang dilakukan paslon terhadap penyelenggara Pemilu.

Pelanggaran penyelenggara Pemilu bukan kali ini saja terjadi. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencatat banyaknya aduan yang disampaikan oleh peserta Pemilu atas dugaan pelanggaran penyelenggara Pemilu. Pada proses tahapan hingga pelaksanaan Pilkada 2015 misalnya, DKPP menerima pengaduan dugaan pelanggaran sebanyak 247 aduan (Outlook DKPP, 2016: 126). Sedangkan pada Pilkada 2017 lalu, DKPP menerima sebanyak 167 pengaduan.

Modus pelanggaran penyelenggara Pemilu memang dilakukan dalam beragam bentuk. DKPP membagi jenis pelanggaran yang lazim dilakukan penyelenggara Pemilu, yaitu: mengubah sertifikat hasil penghitungan suara, menambah suara paslon tertentu, politik uang (suap) dan lain-lain. Kasus di Garut (yaitu politik uang) adalah satu diantara sekian modus pelanggaran yang dilakukan oknum penyelenggara Pemilu. Pelanggaran hukum tersebut dapat dipastikan sebagai pelanggaran kode etik pula.

Kasus OTT terhadap oknum penyelenggara Pemilu di Garut ini secara langsung dapat meruntuhkan kredibilitas dan wibawa penyelenggara Pemilu. Kejadian itu semakin menunjukkan bahwa sistem politik kita masih sangat transaksional, dan uang masih menjadi penentu keputusan. Jika tak segera dibenahi, hajatan demokrasi (seperti Pilkada dan Pemilu) akan kehilangan legitimasi masyarakat.

Dari sisi kelembagaan pengawas Pemilu, kasus ini sungguh mencederai Bawaslu. Pasalnya, baik UU Pilkada dan Pemilu telah berupaya memperkuat kelembagaan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu. Bahkan, Kelembagaan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota telah dipermanenkan (pasal 128 UU Pemilu). Selain itu, dibeberapa daerah tertentu, UU Pemilu mengatur bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupten/Kota juga ditambah (lihat dalam lampiran UU Pemilu). Penambahan ini diperuntukkan memperkuat kewenangan Bawaslu, bukan untuk “memangsa” paslon menjadi objek sumber uang haram dalam proses pencalonan.

Tidak ada pilihan lain, KPU RI dan Bawaslu RI harus segera berbenah. Proses rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu di daerah menjadi titik perbaikan kualitas personil mereka. Penerimaan anggota KPU dan Bawaslu tidak boleh mengabaikan aspek etika dan moral. Publik tidak menginginkan kasus seperti di Garut terjadi lagi di kemudian hari.

Tantangan

Memberantas “politik uang” merupakan tantangan berat bagi penyelenggara Pemilu karena “politik uang” dalam persepsi publik dianggap sebagai sebuah rezeki. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil penelitian Dian Permata (2016: 19) di Jakarta dan Mojokerto, bahwa pemberian berupa “politik uang” dianggap rezeki yang tidak boleh ditolak penerima.

Pilihan untuk meredam masifnya “politik uang” adalah melalui pendidikan politik yang menjadi kewajiban parpol. Sayangnya, parpol yang berkewajiban melakukan pendidikan politik sering diidentikan sebagai lembaga yang korup sehingga ketika memberikan pendidikan politik dianggap sebagai “anomali”. Oleh sebab itu, setiap dari kita adalah bertanggung jawab untuk memberantas “politik uang” itu sendiri.