Kamis, 14 Maret 2013

Dunia Lalu Lintas, Dunia yang “Gupuh Kabeh”

Oleh: Ali Topan DS

Prinsip keselamatan dalam berkendaraan adalah saling toleransi antar pengendara. Memberikan kesempatan mendahului jika lajur depan kosong alias tidak ada kendaraan. Adapula, apa yang penulis sebut dengan prinsip “Saling Ngingetno”, yakni jika kendaraan didepan menyalakan lampu sen kanan agar yang dibelakan tidak mendahului karena di depannya ada kendaraan. Singkat kata, hal-hal yang bersifat saling menjaga keselamatan antara pengendara atau pengguna jalan penulis sebut dengan “Prinsip Toleransi Berkendara”. Mungkin tidak semua sepakat jika kata “Toleransi” penulis sandingkan dan gunakan dalam dunia berkendara atau lalu lintas. Karena selama ini kata “Toleransi” identik dengan kerukunan beragama atau mungkin juga bertetangga.

Setuju atau tidak, bahwa prinsip toleransi dalam berkendara agaknya sangat sulit kita dapati di jalan-jalan di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya (Bekasi, Tangerang Selatan, Bogor). Pengendara motor ugal-ugalan seakan dia yang punya jalan; angutan umum berhenti mendadak tanpa lampu sen; ditambah lagi hembusan-hembusan asap hitam yang melengkapi penderitaan pengguna jalan Ibu Kota dan sekitarnya. Pemandangan seperti ini merupakan sebuah masalah. Pada titik ini, wajar jika orang yang merasa sudah kaya, berani kredit alias ngutang untuk beli mobil baru agar sedikit terhindar dari petaka angkutan umum “jahanam” yang ngawur tersebut.

Selain masalah diatas, ada hal yang penulis betul-betul ingat saat mengendarai motor di jalan-jalan utama Jakarta, yakni, pada saat lampu merah. Pengendara motor seakan tak mau mengalah. Terus bergerak maju sehingga membuat ruang jalan pengendara dari arah berlawanan menjadi sempit. Belum lagi suara klason yang sengaja dibunyikan. Entahlah apa maksudnya itu. Bener-benar “kegaduhan politik” negeri ini tertular pada keadaan lalu lintas sehingga menjadi gaduh. Kalau orang Jawa bilang, “iki dalan gak karuan, semrawut”.
Pastinya, keadaan ini seratus persen tidak nyaman. Tapi kenapa selalu terjadi dan seakan jadi “adat berkendara”.

“Wong-wong iki kok podo gupuh? Arep lapo yo”. Kalimat ini selalu spontan terucap saat berhenti di pemberhentian stopan lampu merah. Heran pastinya. Melihat betapa ngawurnya para pengguna jalan. Mereka sudah tak mengenal apa itu lalu lintas, terlebih saling pengertian dijalan. Pada saat yang sama, pak Police yang mengatur lalu lintas tak perdaya melihat serbuan motor-mobil yang jumlahnya sak arat kerat.

Sekarang, mari kita sejenak tinggalkan apa itu peraturan lalu lintas. Kita tidak perlu lagi bicara lampu merah, kuning dan hijau yang menjadi “formalitas” perempatan atau pertigaan jalan. Coba anda bayangkan jika semua kepala orang yang berhenti di stopan lampu merah berpikir ingin berjalan semua. Dan semua saling bertabrakan. Tak pelak lagi, akan menjadi kuburan mendadak jalan tersebut. Jelas, nyawa orang taruhannya.

Inilah yang penulis sebut dengan dunia gupuh pengendara motor di jalan. Saat berangkat kerja, semua ingin cepat sampai kantor. Saat pulang kerja semua ingin secepat mungkin tiba di rumah agar segera dapat ngeloni anak lan bojo. Entahlah, sampai kapan pemandangan ini akan menghiasi jalan. Jika tidak maka segeralah ciloko di jalan bertambah banyak.

Selasa, 05 Maret 2013

Indonesia, Negeri yang “dipermainkan” Anak Negeri



Oleh: Ali Topan

“Hei jangan ragu dan jangan malu, tunjukkan pada dunia bahwa sesungguhnya kita mampu -Bangunlah Putra-Putri Pertiwi- by Iwan Fals

Tentu, penulis mencoba memaknai dengan jernih, bahwa Iwan Fals hendak menyampaikan pesan optimisme bagi kemajuan bangsa Indonesia. Penggalan lirik diatas menjadi isyarat. Berbagai kritik ia sampaikan melalui lagu-lagu yang mengelitik telinga pemimpin negeri ini. Jika saja ia merasa tergelitik. Jika tidak, memang sungguh terlalu.

Sentilan bagi siapapun yang memimpin negeri ini kerap datang dari seniman dan budayawan. Masih lekat dalam ingatan kita, bagi yang sudah menyaksikan film “Tanah Surga Katanya”, ramuan Dedy Mizwar sarat dengan sentilan pemimpin negeri ini. Beberapa segment atau bagian dari film tersebut menunjukkan betapa kita –bangsa ini- benar-benar “dipermainkan” tidak hanya oleh negara lain, tapi juga rakyatnya sendiri. “Emosi terhadap negeri Jiran” barangkali itu kesan pertama saat setelah menghabiskan menonton film tersebut.

Sungguh, “permainan” yang digelar ditanah air ini tak kunjung habisnya. Apalagi saat sekarang. Yang katanya, para “pengibul” politik menyebutnya dengan Tahun Politik. Permainan segera dimulai. Seperti ibarat Dalang yang mempersiapkan deretan wayang yang akan dimainkan, lengkap dengan naskah yang dikarangnya. Sang penguasa negeri ini sepertinya demikian. Aktor-aktor “pewayangan politik” pun mulai tampil di media, lengkap dengan kasus yang membelitnya. Pada saat yang sama, ia pun “bernyanyi” dengan rangkain masalah yang disampaikan secara rapi. Tidak puas dengan satu kasus, muncul kasus yang lain. Kasusnya memang hampir sama, tapi aktornya yang berbeda. Sungguh, lagi-lagi negeri tercinta dipermainkan oleh segelintir orang “berbibir manis”.

Jika saja rakyat menilik jauh, apa yang menjadi dagelan politik itu sama sekali tidak menguntungkan bagi kehidupan rakyat, terlebih rakyat pedesaan. Suguhan topik “jatuh saling menjatuhkan” yang menjadi menu utama di sebagian stasiun televisi tidak berimplikasi pada kemakmuran rakyat. Kemudian, apa yang disidangkan oleh para pejabat-pejabat di gedung megahnya juga tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Pada saat seperti ini, rakyat sakit hati. Mereka membalasnya dengan golput saat hajatan dan pesta demokrasi atau yang terlanjur kita kenal dengan Pemilu. Kali ini rakyat sudah cerdas. Tidak mau dibodohi orang yang beruang dan punya kepentingan kelompoknya saja.

Jika kita mengamini bahwa tahun 2013 adalah tahun dagelan politik, itu artinya kita masih akan dihadapkan dengan akting para elit dan penyelenggara negeri ini. Tontonan apalagi yang akan dipertontonan oleh mereka. Hambalang, Century, kisruh PSSI, Lapindo, penembakan di Papua, pelecehan seks di sekolah oleh guru dan masih sangat banyak lagi. Hal ini menandakan betapa anak negeri ini sedang mempermainkan negerinya.
 
Sungguh prilaku bodoh yang dilakukan dan dipertontonkan. Akan bagaimana nasib rakyat kita esok hari. Yang mencangkul di sawah dan ladang mencangkullah; yang menjala ikan dilaut menjalalah; yang mengajar di sekolah mengajarlah; yang berternak di kebun berternaklah asalkan jangan sekali-kali mempermainkan negeri ini. Arwah para pendiri bangsa dan sesepuh kita akan marah dan tidak rela melihat dagelan politik yang merugikan rakyat. Kini, saat dimana rakyat harus bangkit, pemimpin jangan lagi sibuk urus “kamarmu”, penyelenggara negara harus layani wargamu, pengusaha harus bayar upah pekerjamu dengan adil.