Kamis, 28 September 2017

PKI Dalam Narasi Politik Indonesia: Sebuah Cerita yang Tak Terhapuskan

Oleh: Ali Thaufan DS

Akhir-akhir pekan ini (pada September 2017) marak sekali pembicaraan dan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagian orang menuding PKI masih hidup dan bersembunyi, dan sebagain lainnya berkeyakinan bahwa PKI telah mati. Sebagai sebuah lembaga politik (parpol), PKI jelas telah mati, dibubarkan sejak era Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak hanya partainya, seluruh organisasi yang berafiliasi dengannya juga “diberendel”. Bahkan paham yang kerap dikait-kaitkan dengan PKI seperti Marxsis pun dilarang karena bertentangan dengan Pancasila.

PKI bukan bahan perbincangan baru dalam peta politik Indonesia. Sebagai partai dengan ideologi komunis, ia tercatat pernah mewarnai konstalasi politik nasional, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sejarah politik Indonesia mencatat jika PKI lahir dari perseteruan yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Para tokoh SI yang pro terhadap komunis membentuk barisan baru dengan istilah “SI Merah” yang konon dianggap sebagai pioneer PKI.

Setelah berhasil membentuk parpol, PKI mengambil simpati dari rakyat kelas bawah seperti buruh dan tani. PKI merupakan partai yang diperhitungkan pada Pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Terbukti, pada Pemilu itu, PKI menduduki urutan ke empat di bawah Partai Nasionalis Indinesia (PNI), Partai Masyumi, dan Partai NU

Herbert Feith (1988) dalam Indonesian Political Thinking, menggambarkan pertarungan ideologi yang menjadi platform parpol di awal masa kemerdekaan. Salah satu ideologi politik yang cukup berpengaruh adalah ideologi komunis. Pada masa pra kemerdekaan sekitar tahun 1920-an, Feith mencatat saat itu para tokoh intelektual Islam dan komunis terlibat pergolakan pemikiran tentang cara terbaik untuk merdeka dari kolonialisme. Tak hanya dengan kelompok intelektual Islam saja, kolompok intelektual komunis juga berhadapan dengan kelompok nasionalisme radikal.

Uraian Feith tentang ideologi parpol dalam rentan waktu 1945 hingga 1965 kemudian melahirkan lima ideologi besar, yaitu: Islam, sosialisme demokrat; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, dan komunisme. Ideologi ini kemudian menjelma dalam bentuk parpol dan diindoktrinasi ke dalam pikiran para anggotanya. Kelima ideologi ini kemudian terus menerus melakukan “tarik-menarik” kepentingan politik parpol mereka.

Pada tahun 1957, para tokoh intelektual parpol berdebat sengit di sidang Dewan Konstituente. Mereka mengemukan ideologi apa yang seharusnya dijadikan asas negara Indonesia. Tokoh Islam yang melegenda, Muhammad Natsir dalam kesempatan pidatonya, mengkritik paham komunis yang hendak dijadikan ideologi negara. Natsir mengemukakan ketidakmampuan komunisme merawat bangsa ketika cita-cita bangsa tercapai.

Puncak dari aktivitas politik PKI dalam narasi sejarah Indonesia adalah ketika ia dianggap oleh banyak penulis sejarah ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Meski kemudian anggapan ini juga banyak ditolak oleh sejarawan yang berusaha meluruskan sejarah. Pada titik inilah berdebatan tentang PKI itu muncul.

Membongkar masalah PKI tidak pernah selesai karena setiap sejarawan punya interpretasi sendiri atas roman PKI. Dalam buku-buku sejarah Indonesia, kita disajikan informasi bahwa PKI telah melakukan pembantaian kyai di berbagai daerah, PKI juga anti terhadap Islam, PKI melakukan kudeta, dan sebagainya. Ketika menyampaikan bahwa PKI melakukan pembantaian terhadap Islam (para kyai), ada saja sanggahan jika cerita itu adalah manipulasi rezim penguasa. Cerita kejamnya PKI bahkan sebagai konspirasi kelompok anti PKI yang mengatasnamakan PKI. Sejarah aktivitas politik PKI pun menjadi semakin rumit.


Dalam konteks sejarah politik Indonesia, satu hal yang pasti tentang PKI, yaitu: PKI tidak bisa dihapuskan dari sejarah. Menulis sejarah politik Indonesia rasanya sulit untuk tidak mengulas PKI.