Selasa, 23 Januari 2018

Bara Konflik Hati Nurani Rakyat (Hanura)

Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Setelah Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terjebak konflik internal, kini Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang disibukkan konflik intra-party. Di tubuh Hanura, muncul dualisme kepengurusan, pertama, kubu Ambara yang dimotori Sarifuddin Suding yang menggelar Musyarawah Nasional Luar Biasa (Munaslub) resmi memilih Daryatmo menggantikan Osman Sapta Odang. Kedua, kubu Osman sendiri yang tetap mengklaim sebagai Hanura yang sah.

Konflik internal parpol telah mewarnai narasi sejarah politik di Indonesia. Pascareformasi tercatat banyak sekali parpol yang tak mampu mengelola konflik internal sehingga berujung pada perpecahan dan kubu yang tak puas berbondong keluar parpol dan mendirikan parpol baru. Contoh ini bisa dilihat misalnya dalam kasus Partai Golkar yang sesaat pascareformasi 1998 diwarnai konflik dan perpecahan sehingga lahir bermacam-macam partai termasuk Partai MKGR, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Hanura. Hal yang sama juga bisa dilihat dibeberapa parpol berasas Islam, misalnya PPP yang karena terjadi konflik internal dan perpecahan kemudian melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR).

Pola konflik intra-party umumnya terjadi kesamaan antara satu parpol dengan parpol yang lain. Hofmeister dan Grabow dalam Political Parties: Functions and Organisation in Democratic Societies (2011: 51) misalnya menyebut konflik politik terjadi akibat adanya beberapa pihak di dalam parpol yang berebut kekuasaan dan pengaruh. Sementara itu, Moshe Maor (1998: 144) berpendapat bahwa konflik internal parpol diakibatkan perbedaan pandangan anggota (terutama elit) parpol dalam menentukan koalisi (terutama di parlemen) juga dalam momentum politik seperti Pilkada dan Pemilu.

Fenomena konflik internal yang cukup banyak terjadi dibeberapa parpol di Indonesia menunjukkan lemahnya pelembagaan parpol sebagai institusi politik. Budi Winaryo (2008: 119) menyayangkan konflik tersebut tidak dikelola dengan baik di dalam parpol sehingga pada akhirnya memecah elit dan pada akhirnya berujung perpecahaan dan terbentuk parpol baru sebagai pecahan parpol yang berkonflik.

Konflik yang terjadi di dalam sebuah parpol bisa juga disebabkan lemahnya penanaman ideologis yang dilakukan elit parpol terhadap kader. Ideologis sebetulnya memiliki peran penting dalam memersatukan ide-ide kader dan menghindari konflik. Kesuksesan penanaman ideologis akan menimbulkan soliditas antarkader sehingga memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap parpol.

Api konflik yang terjadi di Hanura sebetulnya sangat merugikan partai tersebut. Pasalnya, momentum politik telah diambang pintu: Pilkada serentak 2018 dan Pemilu serentak 2019. Ketika semua parpol bersibuk melakukan konsolidasi pemenangan Pilkada dan Pemilu, Hanura justru terjebak pada urusan konflik internal. Hanura bisa kehilangan momentum Pemilu 2019 jika tidak segera berbenah pasalnya tahapan Pemilu 2019 terus berjalan (termasuk yang paling berat bagi partai adalah verifikasi faktual). Konflik internal yang terjadi juga berpotensi pada menurunnya elektabilitas partai di Pemilu. Inilah yang seharusnya diwaspadai Hanura.


Konflik internal Hanura sebaikanya diselesaikan di meja runding partai. Konflik yang dibawa ke Meja Hijau hanya akan membuat larut penyelesaian. Kasus konflik Golkar dan PPP pada 2014 adalah contoh betapa berlarutnya penyelesaian konflik ketika diselesaikan di pengadilan. Hanura harus kembali pada spirit dan asas parpol: parpol dibentuk atas dasar kesepakatan dan musyawarah anggota. Oleh sebab itu, pola penyelesaian yang paling ampuh adalah musyawarah petinggi (elit) parpol. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Thomas Mayer, bahwa konflik internal parpol memang mustahil dihindari. Tetapi cara penyelesaiannya sebaiknya dilakukan dengan konsensus dan kompromi.

Selasa, 09 Januari 2018

Jenderal di Panggung Pilkada 2018

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Pemilihan Kepala Daerah serentak 2018 diwarnai dengan jenderal berbintang aktif dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kehadiran mereka di panggung Pilkada menjadi ujian tersendiri terhadap netralitas TNI-Polri. Garis komando yang menjadi ciri khas mereka menjadi tantangan bagi calon kandidat lainnya. Kehadiran para jenderal yang menumpang partai politik menjadi tanda tanya besar: apakah selama ini parpol tidak melakukan kaderisasi sehingga melirik perwira aktif TNI maupun Polri?

Undang-undang yang berlaku di Indonesia melarang keras keterlibatan TNI-Polri dalam politik praktis. Dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, menyebutkan bahwa anggota Polri bisa menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari Kepolisian. Ini sebagaimana termaktub pada pasal 28 ayat (3). Hal yang sama juga diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Pasal 47 tegas mengatur bahwa prajurit TNI baru bisa menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri. Penegasan lain diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa anggota TNI-Polri harus mundur dari kesatuannya jika mencalonkan diri sejak ditetapkan sebagai calon.

Dalam pencalonan Pilkada 2018, tercatat beberapa jenderal Polisi mencalonkan dibeberapa provinsi antara lain: Anton Charliyan (Kapolda Jawa Barat), Safaruddin (Kapolda Kalimantan Timur), Murad Ismail (Kepala Korps Brimob), Paulus Waterpauw (Kapolda Sumatera Utara), Edi Rahmayadi (Panglima Kostrad).

Pencalonan para jenderal ini memunculkan berbagai kekhawatiran. Misalnya saja, ketika yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah, lalau melakukan pelanggaran dan dilaporkan ke Kepolisian, maka besar kemungkinan laporan tersebut sulit atau bahkan tidak diproses karena tidak mungkin menghakimi anggota satu korps. Sutrisno (2016) dalam bukunya berjudul Sosiologi Kepolisian menyebutkan bahwa sifat anggota kepolisian adalah imun. Meraka memiliki jiwa korsa yang kuat dalam melindungi anggota sesama korpsnya.

Dalam UU Pilkada memang diatur keberadaan Gakkumdu (penegakan hukum terpadu) di Pilkada yang diisi unsur Kepolisian, Kejaksaan dan Bawaslu. Dapat dibayangkan jika calon yang melanggar aturan Pilkada adalah “alumni” Polisi, tentu tidak mudah menghakimi mereka.

Jika ditelisik dari tahun angkatan para perwira Polisi yang mencalonkan di Pilkada, umumnya mereka di atas angkatan Kapolri Tito Karnavian. Pencalonan mereka bisa saja sebagai bentuk keputus-asaan karena tidak ada lagi kesempatan berkarir lebih tinggi di Mabes Polri, dengan kata lain: peluang menjadi Kapolri sudah tertutup. Atau, bisa saja mereka tidak lagi mau dipimpin oleh “juniornya” di Korps Bayangkara sehingga pilihan lain adalah berkarir di politik praktis.

Pencalonan perwira TNI-Polri di Pilkada 2018 ini mendapat kritik karena menunjukkan ketidakmampuan parpol dalam mengusung kader. Parpol disatu sisi memang mempunyai fungsi rekrutmen politik sebagai calon kepala daerah, anggota legislatif hingga presiden. Namun di sisi lain, parpol juga bertanggung jawab atas kewajiban melakukan pengkaderan. Dengan kondisi parpol yang banyak merekrut calon non kader parpol termasuk TNI-Polri, ini berarti fungsi kaderisasi yang dilakukan parpol tidak sepenuhnya berhasil.

Perekrutan calon kepala daerah non kader parpol ini sejatinya bisa memicu konflik internal parpol. Akan ada kecemburuan diantara kader yang telah melalui proses pengkaderan yang cukup lama. Ignas Klenden (2009: 37) menyebut salah satu penyebab konflik internal parpol adalah kebijakan parpol dalam rekrutmen kader secara instans (mengandalkan popularitas) dan mengabaikan kader-kadernya sendiri.


Meski pemilihan kader non partai untuk maju dalam Pilkada dilakukan secara demokratis di dalam parpol, namun hal tersebut bukan budaya baik jika dibiarkan. Parpol harus kembali pada spirit pengkaderan.