Jumat, 27 Januari 2017

Urgensi Pendidikan Politik Pemilih Pemula



Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pasca Sarjana UIN Jakarta)

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 banyak hal yang menjadi sorotan pemerhati Pemilihan Umum (Pemilu) seperti media sosial yang dijadikan alat kampanye calon, sumber pendanaan kampanye, kesiapan penyelenggara Pilkada, dan potensi pemilih pemula untuk mendulang suara para kandidat.

Di dalam Undang-undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPRD, DPR, DPD mendefinisikan Pemilih sebagai “Warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.” Definisi ini memang pernah dipersoalkan karena menambahkan frasa “atau sudah/pernah kawin”. Dari difinisi di atas ini, dapat dipahami bahwa pemilih pemula adalah seseorang yang pada saat pemilihan baik Pileg, Pilpres maupun Pilkada telah berusia 17 tahun atau lebih. Definisi pemilih pemula juga dijelaskan oleh Hariyanto sebagai “Pemilih yang baru pertama kali ikut memilih dalam pemilihan umum (Pemilu), mereka baru pertama kali mengikuti Pemilu DPRD, DPR, DPD, dan Presiden.”

Dalam setiap gelaran Pemilu, pemilih pemula berjumlah cukup besar. Pemilih pemula menjadi bidikan partai politik karena selain dianggap mampu mendulang suara juga menjadi mesin kampanye parpol. Dari data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, jumlah pemilih pemula terus meningkat. Pemilu 2004, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 27 juta orang; Pemilu 2009, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 36 juta orang; dan Pemilu 2014, jumlah pemilih pemula diperkirakan 37,2 juta orang.

Realitas politik yang terkadang menjenuhkan dan perilaku politisi yang bertindak di luar norma membuat kebanyakan orang menjadi “benci” terhadap politik. Hal ini turut memengaruhi para pemilih pemula. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi apatis terhadap Pemilu dan Pilkada. Secara umum, pemilih pemula digambarkan sebagai pemilih yang belum banyak memiliki pengetahuan tentang politik; cenderung didominasi oleh komunitas tertentu; memilih calon hanya melihat aspek popularitas; bahkan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) hanya untuk “menggugurkan” kewajiban memilih.

Gambaran dan anggapan miring yang ditujukan kepada pemilih pemula seharusnya menjadi kritik bagi parpol dan politisi. Tentang minimnya pengetahuan politik pemilih pemula, parpol punya peran besar untuk melakukan pendidikan politik. Dalam UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, pasal 34 yang menerangkan tentang dana bantuan untuk parpol mengamanatkan bahwa bantuan dana tersebut diutamakan untuk pendidikan politik. Pendidikan politik yang dimaksud adalah bagi kader parpol dan masyarakat luas. Pada titik ini, pendidikan secara khusus dilakukan kepada pemilih pemula.

Pemilih pemula menjadi sangat penting bagi parpol karena selain mendongkrak suara, keberadaan mereka di parpol akan melanjutkan kaderisasi parpol. Kaderisasi parpol menjadi kritik penting di era politik industri saat ini. Pasalnya, siapapun dapat menjadikan parpol sebagai kendaraan meraih kekuasaan (jabatan eksekutif-legislatif). Pancalonan dari parpol kerap menghiraukan keberadaan kader yang secara struktural sudah lama dan berkualitas di parpol.

Kemajuan teknologi yang cukup pesat dan kebanyakan penggunanya adalah anak muda patut menjadi perhatian bagi parpol. Saat ini harus diakui bahwa teknologi telah memberi kemudahan dalam banyak hal, dan telah dimanfaatkan oleh para caleg, capres dan calon kepada daerah. Umumnya, operator teknologi ini dikerjakan oleh anak-anak muda, yang mungkin juga termasuk dalam ketegori pemilih pemula.

Ada beragam tantangan yang saat ini dihadapi pemilih pemula, dan kemajuan teknologi adalah salah satunya. Sejak bergulirnya masa kampanye Pilkada serentak 2017 misalnya, berbagai berita bohong menyebar melalui media sosial. Kebenaran dan kebohongan berita melebur menjadi satu. Pengguna medsos sulit membedakan kebenaran dan kebohongan berita itu.

Mencermati kemajuan teknologi, pendidikan terhadap pemilih pemula juga harus diarahkan pada pendidikan nilai dan karakter. Ini yang perlu ditekankan. Usia muda dengan semangat dan emosi yang meledak-ledak harus diiringi dengan etika politik dan pendidikan demokrasi era teknologi. Pemilih pemula juga harus diarahkan pada pentingnya berertika di media sosial di tengah maraknya penyimpangan yang terjadi di dunia maya itu. Dengan demikian, para pemula dapat menjadi “agen” etika politik yang mewarnai Indonesia.

Tentu saja kita berharap agar pemilih pemula dapat menjadi pemilih-pemilih dengan pilihan yang bijak. Pilihan yang berdasarkan pertimbangan matang, bukan ikut-ikutan.

Selasa, 24 Januari 2017

Teror Turki dan Bahaya Indonesia



Awal tahun 2017 ini dihebohkan dengan aksi teror yang terjadi di Turki. Aksi yang terjadi di sebuah klub malam Reina di Istanbul tersebut menewaskan sebanyak 39 orang, dan 69 orang lainnya mengalami luka. Secara membabi-buta, pelaku teror melempar bom dan menembaki pengunjung klub. Lebih dari jumlah korban tersebut, dapat dipastikan jutaan orang terlukai hatinya, dan secara psikologis mengalami ketakutan akibat aksi tak manusiawi. Seluruh dunia mengecam aksi teror itu.
 
Setelah peristiwa, beredar kabar bahwa kelompok Islamis State of Iraq and Syria (yang dikenal ISIS) mengaku sebagai dalang aksi teror itu. Surat Kabar Koran Jakarta (3/1/2017) kemarin menulis rilis pihak ISIS: “Sebagai kelanjutan dari operasi-operasi yang dilakukan oleh ISIS terhadap Turki, seorang tentara heroik dari kekhalifahan telah melakukan penyerangan terhadap salah satu klub malam terkenal yang sedang merayakan hari libur”. Setelah dilakukan identifikasi terhadap pelaku, Kepolisian Turki menyatakan bahwa pelaku teror kemungkinan berasal dari Kyrgystan atau Uzbekistan. (Koran Jakarta 4/1/2017).

Teror di Turki bukan kali pertama terjadi. Bulan Juni 2016 lalu, teror juga menguncang sebuah Bandara di Istanbul Turki dan menewaskan sebanyak 28 orang. Perseteruan Pemerintah Turki dengan ISIS dianggap sebagai pemicu terjadinya teror tersebut. 

Sejak munculnya ISIS, peristiwa teror di beberapa negara Timur Tengah seakan menjadi hal lumrah. Aksi teror berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu negara ke negara lain. Hampir di negara-negara yang menjadi panggung “Arab Spring” seperti Lebanon, Suriah dan Yaman, teror sangat sering terjadi. Perang dalam Arab Spring  menjadi ajang perang saudara yang tak berkesudahan. Perang tersebut menjadi mutli-motif, agama, ekonomi dan sebagainya.

Peristiwa teror Turki dan beberapa negara lain menjadi warning bagi Indonesia. Keterlibatan kelompok transnasional dalam aksi teror di Turki juga beberapa terjadi dalam kasus teror di Indonesia. Teror di Jalan Sarinah pada awal 2016 lalu juga diduga didalangi oleh kelompok ISIS. Jaringan teroris tersebut terjalin begitu kuat, rapi dan menyebar ke berbagai daerah. Terbukti, dalam pengungkapan yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), jaringan tersebut tersebar diberbagai wilayah di Indonesia. 

Terungkapnya jaringan teroris di Indonesia terus diikuti dengan lahirnya teroris-teroris baru. Ibarat gugur satu tumbuh seribu. Hal ini terbukti dari penangkapan dan eksekusi mati pelaku teror bom Bali seperti seperti Imam Samudra dan Amrozi, ternyata bukan jaminan berakhirnya aksi teror. Justru, setelah bom Bali berbagai aksi teror terus terjadi. Di Jakarta dan beberapa daerah, terjadi teror bom di Hotel JW Marriot (2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Sarinah (2016), Polres Surakarta yang meledak sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1437 (2016), Bom Gereja di Samarinda (2016), serta kejadian terakhir adalah penangkapan terduga teroris di Bekasi dan Tangerang Selatan.

Indiawan Seto (2015) mengungkapkan bahwa teroris tidak berdiri tunggal. Antara teroris yang melakukan aksi disebuah tempat, sangat berkaitan dan memiliki hubungan dengan teroris ditempat lain. Para teroris membuat jaringan yang tersembunyi, tetapi berkaitan dan memiliki tujuan yang sama. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kelompok teror yang tidak hanya berada di satu daerah, tetapi juga “membuka cabang” di daerah lain.

Aksi teror juga tidak terjadi dan dilakukan oleh satu agama saja. Hampir semua agama mempunyai aliran ekstrimis yang siap menebar teror bukan hanya bagi pengikut agama lain, tetapi juga kepada orang-orang yang satu agama jika terdapat perbedaan paham. Hendropriyono (2009) menjelaskan panjang lebar, bahwa terorisme tidak hanya terjadi pada agama tertentu saja tetapi juga dibanyak agama dan memiliki sejarah panjang.

Teror atas nama agama yang terjadi tentu membuat gelisah semua pemeluk agama. Pasalnya mereka menjadikan doktrin agama sebagai dalih membenarkan aksi teror itu. Pemahaman yang tidak holistik membuat mereka terjebak pada pandangan: menghalalkan darah pemeluk agama lain untuk menegakkan agamanya. Lahirnya kelompok militan-ekstrem dalam sebuah agama mendorong terjadinya teror atas nama agama.

Aksi teror diperkirakan masih akan menghantui seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Masifnya ideologi transnasional masih menjadi faktor terjadinya aksi teror. Ideologi transnasional, menurut Husein Muhammad (2014) menjadi motor kelompok tertentu yang memiliki kepentingan politik internasional untuk merubah dunia. Dunia hendak dikendalikan dengan fondasi agama, namun dilakukan dengan cara-cara kekerasan, dan bersifat memaksa.

Pendukung gerakan transnasional beranggapan tidak ada jalan lain selain menyatukan dunia, menjadi satu paham dan merubahnya. Kondisi ini dapat dimaklumi karena berbagai ketimpangan kehidupan terus terjadi. Mereka bertaruh untuk sebuah perubahan, menjadi lebih baik. Hidup dalam keadaan miskin yang penuh ketidakadilan dibawah tekanan kapitalisme-sekularisme, membuat mereka berontak dan melakukan perlawanan. Tawaran yang disajikan adalah kembali kepada hukum Tuhan meski mereka sendiri terkadang kesulitan untuk mengoperasionalkan hukum Tuhan itu sendiri. Seperti apa? Dan Bagaimana?

Namun begitu, ideologi transnasional bukan penentu utama terjadinya teror. Greg Fealy dan Anthony Babulo (2005) mengemukakan pendapat bahwa dimensi lokal dalam sebuah negara juga sangat memengaruhi terjadinya aksi teror. Dalam konteks Indonesia, tidak semata ISIS menjadi faktor terjadinya teror. Tetapi stabilitas keamanan nasional juga cukup menentukan.
Oleh sebab itu, meski teror selalu berhubungan dengan gerakan transnasional, tetapi kunci penyelesaiannya adalah di tangan pemerintah lokal. Sejahtera dan aman bisa menjadi kata kunci menyelesaikan peliknya teror, teroris dan terorisme. Kesejahteraan dan keamanan yang tidak dipenuhi sebuah negara tetap membuka peluang terjadinya teror.

Tawaran Solusi

Keterlibatan ISIS dalam teror Turki dan Indonesia menunjukkan bahwa aksi teror kerap berhubungan dengan agama. Hal ini sebetulnya dapat dimaknai ada yang salah dari cara beragama, sehingga melakukan teror. Padahal, agama manapun tidak pernah membenarkan aksi keji terorisme.

Menanggani masalah terorisme tidak dapat dilakukan dengan cara-cara represif semata. Upaya deradikalisasi tampaknya menjadi salah satu cara untuk mengurangi terorisme. Pemahaman tentang arti perdamaian sebagai “sakralitas” ajaran agama harus selalu disuntikan untuk menyembuhkan penyakit “gagal beragama” para teroris. Konsep kebhinekaan Indonesia yang menjadi takdir bangsa ini harus dipahami sebagai sesuatu yang memberi banyak manfaat. Perbedaan agama dan bangsa tidak boleh menjadi alasan melakukan teror satu sama lain.

Ancaman teroris tidak bisa dimaknai dengan ancaman fisik, senjata dan bom semata. Membunuh para teroris harus dilakukan dengan cara “membunuh” pemikirannya. Pikiran teroris sangat membahayakan karena selain dapat menimbulkan niat melakukan teror, juga dapat menelurkan paham-paham terorisme pada generasi penerusnya (adik, anak dan kerabat). Para kaum cendekiawan dan negarawan di Indonesia mempunyai tanggung jawab besar untuk membasmi paham terorisme. Transformasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang penuh keadaban dan perdamaian harus terus dilakukan. Kita tidak ingin membiarkan generasi mendatang menjadi teroris dan hidup dalam ketakutan akibat teroris itu sendiri.