Oleh: Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Kajian rasm
al-Qur’an bukan sesuatu yang baru bagi akademisi ilmu al-Qur’an. Kalangan ahli
ilmu al-Qur’an masa klasik seperti Al-Zarkasyî dalam al-Burhân Fî Ulûm
al-Qur’ân dan al-Suyûtî dalam al-Itqân Fî Ulûm al-Qur’ân telah menyisipkan
kajian rasm al-Qur’an pada bab tersendiri dalam kitabnya. Demikian pula
kalangan ahli ilmu al-Qur’an kontemporer, mereka juga banyak membahas dalam
karya-karya mereka, seperti Mannâ Khalîl al-Qatthân, Muhammad Abd al-Azîm
al-Zarqanî, Nûr al-Dîn Atar,
Abd al-Qadîr Manshûr,
Musthafa Diba al-Bughâ dan Muhyî al-Dîn Diba Matawî,
Abd Allah ibn Yûsuf al-Judai’.
Tulisan ini
ingin menggambarkan bagaimana tradisi tulis menulis bangsa Arab pra-Islam; pembahasan
rasm mushhaf menurut beberapa ahli ulûm al-Qur’an; dan berbagai perdebatan
mengenai ke-tawqifi-annya atau tidak. Tulisan ini juga ingin menjawab apakah penulisan
mushhaf memiliki keterpengaruhan dengan tradisi tulis menulis Arab pra-Islam?
Jika benar demikian, maka kejahiliyaan –tidak bisa membaca dan menulis- yang
selalu identik pada bangsa Arab pra-Islam, secara utuh tidak tepat.
Dalam memaparkan
tulisan ini, penulis membagi dalam dua anak judul: Tradisi tulis-menulis bangsa
arab pra-Islam dan kajian Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’an.
Tradisi Tulis-Menulis Bangsa Arab Pra-Islam
Sebelum datang
Islam, masyarakat Arab diidentikan sebagai masyarakat jahiliyah (bodoh). Kejahiliyaan
dapat dimaknai dengan tidak memiliki ilmu. Karena Arab pra-Islam dikenal
sebagai masyarakat jahl, maka mereka
dianggap tidak mampu menulis. Akan tetapi, menurut Eva Nugraha, kata jahiliyah
dalam al-Qur’an tidak menunjukkan ketidakmampuan masyarakat pra-Islam dalam menulis.
Dalam beberapa ayat –sûrah al-Mâidah: 50, ali Imrân: 154, al-Ahzâb: 33 dan
al-Fath: 26- tidak ada petunjuk khusus bahwa jahiliyah diartikan tidak mampu
menulis.
Al-Qur’an
memberi penegasan bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat ummî (buta
huruf). Hal ini didasarkan pada firman Allah sûrah al-Jumû’ah: 2, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. Bahkan,
Nabi sendiri mengatakan bahwa sebenarnya umatnya tidak dapat menulis dan
berhitung.
Menurut
al-Zarqanî, keadaan buta huruf melekat bagi suku Quraisy. Hanya ada beberapa
orang saja yang belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang
bernama Harb ibn Umayyah ibn Abd Syâms. Al-Zarqanî mengutip pendapat Abû Amr
al-Dâni bahwa Harb belajar menulis dari Abdullah ibn Jad’ân. Diriwayatkan bahwa
Jad’ân adalah warga Anbâr. Warga Anbar sendiri belajar menulis dari seorang
yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun pengajarnya adalah
al-Khaljân ibn al-Mu’mîn, sekertaris Nabi Hûd.
Jauh sebelum al-Zarqanî, al-Zarkasî, mengutip riwayat yang menyebutkan jika
penulisan Arab pertama dilakukan oleh Nabi Adam dan Ismail.
Bangsa Arab, khususnya Arab bagian utara dikenal tidak
mempunyai budaya tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran Nabi Muhammad,
perlahan orang-orang Arab utara mulai mengembangkan budaya tulis. Hal ini
dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra-Islam, yakni tulisan Zabad di sebelah
Tenggara Aleppo (521), Harran di Laja (568) dan Umm al-Jimal. Bangsa Arab pra-Islam
yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh pada budaya menulis. Di
Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat festival bagi para penyair dalam
berpuisi. Puisi yang mendapat penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas
dan ditempel didinding-dinding Ka’bah.
Kegiatan perniagaan sangat identik menjadi profesi masyarakat
Arab pra-Islam. Kota Makkah sendiri menjadi pusat perdagangan sekaligus
keagamaan penyembah berhala (pagan). Bahkan pada abad ke 6, Mekkah mendapat kekuasaan
kegiatan perdagangan. Adanya kegiatan perdagangan mengharuskan padagangnya
mahir dalam hisâb dan tentunya
menulis.
Berkaitan dengan
penulisan al-Qur’an, A’zami memberi jawaban bagi para orientalis yang meragukan
tulisan Kuffi hanya didapati pada abad dua dan tiga hijriyah. Ia menunjukkan
bukti-bukti ditemukannya skrip mushhaf Kuffi pada abad sebelumnya. Hal ini
dapat dijadikan pijakan bahwa sebelum datang Islam, masyarakat Arab telah
mengenal tulisan.
Uraian tersebut diatas mengambarkan bahwa sekalipun
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam dikenal Jahiliyah (bodoh), tetapi bukan
berarti tidak bisa tulis menulis.
Rasm Mushhaf dalam Kajian Para Ahli Ulûm al-Qur’ân
Kajian Rasm Mushhaf berkaitan erat dengan pengumpulan
dan penulisan mushaf al-Qur’an pada masa khalifah Uthmân ibn Affân. Karena penulisan dan penyeragaman al-Qur’an
dilakukan pada masa khalifah Uthmân, maka metode penulisannya tersebut disebut
sebagai rasm mushhaf Uthmâni. Penamaan rasm mushhaf yang dinisbatkan nama
khalifah Uthmân bukanlah atas instruksinya, melainkan para ulama yang
memberikan nama tersebut.
Rasm Uthmâni dalam beberapa metode penulisannya banyak
berbeda dengan ketentuan asal pengucapan kalimat. Perbedaan penulisan rasm Uthmâni
tersebut dianggap mengabaikan ketentuan dan terjadi penyimpangan. Al-Zarqanî mencatat terdapat enam kaidah penulisan rasm Uthmâni,
yakni kaidah hadzf (pembuangan), ziyâdah (penambahan), hamzah,
badl, washl dan fashl serta kata yang mengandung dua
bacaan.
Ringkasan contoh dari kaidah diatas antara lain:
Tulisan Standar
|
Mulisan Mushhaf
|
Keterangan
|
يدعوالإنسان
|
يدع الإنسان
|
Menghilangkan waw pada yad’u
|
سماعون للكذب
|
سمعون للكذب
|
Menghilangkan alif pada sammaun
|
لشئ إني فاعل
|
لشائ إني فاعل
|
Tambahan alif pada syai’in
|
بأيد وإنالموسعون
|
بأييد وإنالموسعون
|
Tambahan ya pada aidi
|
الربا
|
الربو
|
Huruf alif diganti waw
|
أن لن نجمع
|
ألن نجمع
|
Menggabungkan an dan lan
|
أنمايدعون
|
أن مايدعون
|
Menggabungkan anna dengan ma
|
مالك يوم
|
ملك يوم
|
|
Menurut al-Zarqanî, terdapat beberapa faedah atas penulisan rams Uthmâni.
Pertama, menunjukkan ragam satu kata. Dalam penulisan rasm tersebut jika ada
kata yang dapat dibaca dua bacaan atau lebih, maka ditulis dengan bentuk yang
memungkinkan untuk baca. Pembacaan dua atau lebih tersebut harus tetap mengacu
pada qira’ah para imam yang mutawatir. Sebagai contoh pada ayat (إن هذان لساحران), empat imam qira’ah berbeda dalam membacanya. Sebagai
contoh: Qira’ah Nafi’ membaca tasydid nun
kata إن, dan takhfif nun
kata هذان. Sedangkan Qira’ah Abu Amr membaca tasydid kata إن, dan membaca ya
dan takhfif kata هذين.
Kedua, menunjukkan makna yang beragam dengan kaidah
tulisan yang jelas. Seperti pemutusan kata أم, pada يكون من أم, serta menyambugan kata أم, pada ayat سويا يمشي أمن. Pemutusan أم pada contoh ayat pertama berarti am muqâtha’ah yang
berarti بل . Sedangkan penyambungan (diidhamkan) pada
contoh ayat kedua bukan am muqâtha’ah. Ketiga, menunjukkan
harakat asal, sebagaimana kasra dengan ya (contoh: القربي وإيتاء ذي ) dan waw dengan dhamah (دار الفاسقين سا ؤريكم).
Rasm Mushhaf:
apakah Tawqifi?
Perdebatan mengenai apakah rasm Uthmâni bersifat
tawqifî atau tidak menjadi sorotan para ahli ulûm al-Qur’ân. Jika dipetakan, ada tiga pendapat mengenai hal
tersebut. Pertama, yang mengganggap rasm Uthmâni adalah tawqifî. Alasan pendukung pendapat tersebut didasarkan bahwa
rasm merupakan perintah Nabi. Sebagaimana diketahui, Nabi mempunyai katib
(sekertaris/penulis) wahyu. Pasca wafatnya Nabi, para katib tetap
memelihara tulisan hingga akhirnya ditunjuk oleh khalifah Uthmân sebagai lajnah
penulisan ulang mushhaf al-Qur’an pada masanya, yakni Zaid ibn Tsabit.
Kedua, pendapat bahwa rasm mushhaf bukan tawqifî, hanya istilâhî. Pendukung pendapat ini antara Ibn Khaldun. Pendapat
Ibn Khaldun dibenarkan oleh Abû Bakr al-Bâqilanî. Menurutnya,
Allah tidak menetapkan kewajiban penulisan wahyu dengan rasm tertentu. Selanjutnya pendukung pendapat ini
beranggapan bahwa Nabi tidak menyuruh menuliskan rasm jenis tertentu. Rasm Uthmâni
dinilai merupakan kesepakatan sahabat yang menuliskan dengan kebiasaan Quraisy.
Dasar
di atas tersebut yang mereka jadikan alasan
bahwa boleh menuliskan mushhaf dangan tulisan kuffiyah (seperti: lam
berbentuk seperti kaf, alif ditulis sedikit bengkok)
Ketiga, pendapat yang berupaya mengkompromikan dua
pendapat sebelumnya. Pendapat ini beranggapan bahwa penulisan rasm Uthmâni tidak
harus dilakukan, terlebih untuk kalangan awam dalam membaca al-Qur’an. Hal ini
dimaksudkan mempermudah bagi pembaca. Tetapi, rasm Uthmâni harus tetap dijaga.
Pada perkembangan selanjutnya, rasm Uthmâni disempurnakan
yakni di tambahkan tasykîl dan i’jâm/nuqat.
Pemberian titik dan harakat ini dimaksud kemudahan bagi pembacanya. Penyebaran
Islam keberbagai daerah alasan penambahan tasykîl dan nuqat
tersebut. Hal ini dimaksud menjaga bahasa al-Qur’an. Dalam banyak riwayat,
orang pertama yang meletakkan dasar tasykîl dan nuqat
adalah Abû Aswâd al-Dhualî (w. 69 H).
Kesimpulan
Tulis-menulis telah terjadi di Arab sebelum datang
Islam. Meski menyandang indentitas masyarakat jahl, bukan berarti masyarakat Arab saat itu tidak bisa menulis.
Setelah Nabi Muhammad dan Islam datang, budaya menulis semakin digiatkan. Hal
ini didasarkan atas kegiatan pencatatan wahyu yang disampaikan Nabi kepada para
sahabatnya. Sehingga pada akhirnya mushhaf al-Qur’an di tulis para sahabat
pasca wafatnyanya Nabi. Seperti diketahui, al-Qur’an turun dalam bahasa dialek
Quraisy. Budaya tulis Quraisy kemudian memberikan implikasi dan pengaruhnya pada penulisan rasm Uthmâni.