Selasa, 17 Februari 2015

Soal Hukum: Puji, Uji dan Caci untuk Presiden Jokowi



Oleh: Ali Thaufan DS

Kekecewaan terus mengalir deras atas sikap presiden Joko Widodo terkait “perseteruan Polri dengan KPK. Pasalnya, ia tidak segera bersikap untuk meredam Polri dan KPK. Kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang dilakukan Polri menambah kekecewaan publik atas Jokowi. Ia dinilai lambat dan terkesan membiarkan KPK “diamputasi”. Tulisan ini hadir dari pembacaan berbagai media yang larut dalam pemberitaan kasus calon Kapolri Budi Gunawan dan perseteruan Polri dengan KPK.

Sejak awal Februari (2015) ini, publik melihat betapa hukum di Indonesia seperti kehilangan arah. Dua lembaga penegak hukum, Polri dan KPK berseteru akibat kasus yang menimpa petingginya. Hal ini diakibatkan calon Kapolri Komjend Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK pada saat uji kepatutam sebagai calon Polri 1. Seteru Polri dengan KPK menyita perhatian para pakar hukum. Saling “buka borok” petinggi keduanya semakin terasa. Petinggi Polri dibukakan “aib”nya, pun demikian para petinggi KPK. Hal ini membuat publik semakin tak percaya pada kredibelitas Polri sebagai penegak hukum. Pada sisi lain, publik akhirnya ragu pada netralitas KPK dalam memberantas korupsi. Tentu saja ini menjadi pekerjaan tersendiri bagi presiden Jokowi untuk mengembalikan trust publik atas kedua institusi ini.

Pada awal pemerintahannya, presiden membuat gebrakan dengan perintah eksekusi mati para gembong narkoba. Presiden juga menegaskan tidak akan memberi ampun kepada gombong narkoba yang menunggu eksekusi mati. Kritik dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB) atas hukum mati yang dijatuhkan pada gembong narkoba, tak membuat pemerintah kendor untuk terus menembak mati gembong narkoba. Keteguhan pemerintah dalam membasmi gembong narkoba mendapat apresiasi dari publik. Penyalahgunaan narkoba adalah kejahatan besar dan harus dibasmi. Inilah yang menyebabkan presiden dipuji, yakni ketegasan hukum soal narkoba.

Soal kebijakan hukum Jokowi tak “melulu” dipuji. Polemik pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan dalam status tersangka KPK, perseteruan Polri dengan KPK, dan lambatnya mengambil keputusan atas Budi Gunawan membuat Jokowi diuji dan caci. Ujian bagi Jokowi adalah terkait diangkat atau tidaknya Budi Gunawan. Jokowi berada pada kekuatan politik yang merekomendasikan dan mendukung pelantikan Budi, yakni KIH dan DPR. Keadaan ini berbeda dengan rekomendasi tim yang dibentuk oleh presiden Jokowi sendiri, bahwa tim meminta Jokowi tak melantik Budi. Meski Budi sudah dinyatakan tak bersalah oleh keputusan praperadilan, pelantikannya akan tetap membuat masyarakat ragu. Keraguan tersebut didasari pada opini bahwa tidak mungkin Polri dipimpin oleh mantan tersangka.

Indikasi bahwa Jokowi akan melantik Budi menjadi sorotan para pengamat. Mereka –para pengamat- yang terus menggiring pada opini bahwa Jokowi akan melantik serta keraguan pada netralitas KPK membuat publik geram. Cacian kepada Jokowi pun tak terelakkan. Bayang-bayang bahwa Jokowi agen of party membuat publik terus ragu atas kebijakannya kedepan. Jokowi dianggap lebih mendengarkan bisikan partai pendukung ketimbang aspirasi publik.

Kini Jokowi sampai pada puji, uji dan caci dalam persoalan penegakan hukum. Publik berharap agar Polri dan KPK diduduki oleh orang-orang yang berintegritas untuk menegakkan hukum. Perlu kiranya presiden Jokowi untuk “bersih-bersih” oknum yang memiliki rapot merah pada kedua lembaga negera tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar