Oleh: Ali Thaufan DS
Kekecewaan terus mengalir deras atas sikap presiden
Joko Widodo terkait “perseteruan Polri dengan KPK. Pasalnya, ia tidak segera bersikap
untuk meredam Polri dan KPK. Kriminalisasi terhadap komisioner KPK yang
dilakukan Polri menambah kekecewaan publik atas Jokowi. Ia dinilai lambat dan
terkesan membiarkan KPK “diamputasi”. Tulisan ini hadir dari pembacaan berbagai
media yang larut dalam pemberitaan kasus calon Kapolri Budi Gunawan dan
perseteruan Polri dengan KPK.
Sejak awal Februari (2015) ini, publik melihat betapa
hukum di Indonesia seperti kehilangan arah. Dua lembaga penegak hukum, Polri
dan KPK berseteru akibat kasus yang menimpa petingginya. Hal ini diakibatkan
calon Kapolri Komjend Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK pada saat uji
kepatutam sebagai calon Polri 1. Seteru Polri dengan KPK menyita perhatian para
pakar hukum. Saling “buka borok” petinggi keduanya semakin terasa. Petinggi Polri
dibukakan “aib”nya, pun demikian para petinggi KPK. Hal ini membuat publik
semakin tak percaya pada kredibelitas Polri sebagai penegak hukum. Pada sisi
lain, publik akhirnya ragu pada netralitas KPK dalam memberantas korupsi. Tentu
saja ini menjadi pekerjaan tersendiri bagi presiden Jokowi untuk mengembalikan trust
publik atas kedua institusi ini.
Pada awal pemerintahannya, presiden membuat gebrakan
dengan perintah eksekusi mati para gembong narkoba. Presiden juga menegaskan
tidak akan memberi ampun kepada gombong narkoba yang menunggu eksekusi mati. Kritik
dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB) atas hukum mati yang dijatuhkan pada
gembong narkoba, tak membuat pemerintah kendor untuk terus menembak mati
gembong narkoba. Keteguhan pemerintah dalam membasmi gembong narkoba mendapat
apresiasi dari publik. Penyalahgunaan narkoba adalah kejahatan besar dan harus
dibasmi. Inilah yang menyebabkan presiden dipuji, yakni ketegasan hukum soal
narkoba.
Soal kebijakan hukum Jokowi tak “melulu” dipuji. Polemik
pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan dalam status tersangka KPK, perseteruan
Polri dengan KPK, dan lambatnya mengambil keputusan atas Budi Gunawan membuat Jokowi
diuji dan caci. Ujian bagi Jokowi adalah terkait diangkat atau tidaknya Budi
Gunawan. Jokowi berada pada kekuatan politik yang merekomendasikan dan mendukung
pelantikan Budi, yakni KIH dan DPR. Keadaan ini berbeda dengan rekomendasi tim
yang dibentuk oleh presiden Jokowi sendiri, bahwa tim meminta Jokowi tak
melantik Budi. Meski Budi sudah dinyatakan tak bersalah oleh keputusan
praperadilan, pelantikannya akan tetap membuat masyarakat ragu. Keraguan tersebut
didasari pada opini bahwa tidak mungkin Polri dipimpin oleh mantan tersangka.
Indikasi bahwa Jokowi akan melantik Budi menjadi
sorotan para pengamat. Mereka –para pengamat- yang terus menggiring pada opini bahwa
Jokowi akan melantik serta keraguan pada netralitas KPK membuat publik geram. Cacian
kepada Jokowi pun tak terelakkan. Bayang-bayang bahwa Jokowi agen of party
membuat publik terus ragu atas kebijakannya kedepan. Jokowi dianggap lebih
mendengarkan bisikan partai pendukung ketimbang aspirasi publik.
Kini Jokowi sampai pada puji, uji dan caci dalam
persoalan penegakan hukum. Publik berharap agar Polri dan KPK diduduki oleh
orang-orang yang berintegritas untuk menegakkan hukum. Perlu kiranya presiden
Jokowi untuk “bersih-bersih” oknum yang memiliki rapot merah pada kedua lembaga
negera tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar