Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
Pendahuluan
Pada
zaman modern saat ini, aktivitas bekerja sering kali diidentikan sebagai
aktivitas pekerjaan atau melakukan suatu pekerjaan yang mendapat imbalan berupa
uang. Sehingga jika seseorang ditanya perihal pekerjaan, maka pertanyaan yang
membuntuti setelahnya adalah hitungan gaji. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
bekerja didefinisikan sebagai melakukan sesuatu pekerjaan (perbuatan) atau
berbuat sesuatu.[1] Tidak
dipungkiri, term ini telah membudaya di masyarakat.
Dalam
kajian al-Qur’an, suatu pekerjaan tidak melulu dibalas dengan balasan materi
yang berbentuk nyata. Dalam beberapa ayat, Allah menegaskan bahwa dirinya akan
membalas pekerjaan setiap manusia baik pekerjaan baik ataupun buruk. Dalam
al-Qur’an terdapat beberapa kata yang dapat bermakna kerja atau pekerjaan,
seperti: ‘Amila, Fa’ala, Kasaba, Sya’a, Shana’a.
Tulisan
ini akan mencoba menjelaskan salah satu kata dalam al-Qur’an yang dapat berarti
pekerjaan, yakni fa’ala. Adapun penafsiran kata fa’ala dalam tulisan ini akan
dibatasi pada sepuluh ayat dalam al-Qur’an. Setelah memilih sepuluh ayat
tersebut, penulis akan merujuk pada beberapa penafsiran para mufasir terkait
ayat yang bersangkutan.
Kata
Fa’ala dalam Al-Qur’an
Setelah
melihat dalam kamus atau mu’jam, penulis mendapati kata fa’ala dengan berbagai
bentuk tercatat 108 kali.[2]
Berdasarkan kategorisasi bentuk kata, terdapat kata fa’ala dalam bentuk, yaitu:
fi’il madhi, fi’il mudhari, fi’il amr, ism mashdar,
ism mubalaghah, ism fa’il dan ism maf’ul. Kata fa’ala juga
melibatkan pelaku yang bermacam-macam, yaitu: Tuhan, Tuhan selain Allah
(sesembahan lainnya seperti berhala), Malaikat, Burung dan Manusia.[3]
Ditinjau
dari segi makna dan terjemah, kata fa’ala bermakna perbuatan (diperbuat,
berbuat) sebanyak 54 ayat; bermakna melakukan sebanyak 9 ayat; bermakna
melaksanakan atau dalam bentuk derivasinya (dilaksanakan, terlaksana) sebanyak 11 ayat; bermakna pekerjaan atau
dalam bentuk derivasinya (dikerjakan, mengerjakan, kerjaan) sebanyak 25 ayat; bermakna pasti terpenuhi
dan terjadi sebanyak 3 ayat; bermakna tindakan, menunaikan, menyiksa, menanti,
dilakukan dan ditimpakan masing-masing sebanyak ; 1 ayat. Penjelasan makna
fa’ala juga dijelaskan dalam Mufradât al-Fâzd al-Qur’ân karya Raghib
al-Asfahani.[4]
Setelah
membaca ayat yang terdapat kata fa’ala, penulis mendapati bahwa pada ayat
tersebut, al-Qur’an menginformasikan berbagai perbuatan baik dan buruk beserta
balasannya. Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap kandungan suatu
ayat, maka ayat tersebut tidak dapat lepas dari ayat sebelum atau sesudahnya.
Oleh sebab itu, ilmu munasabah sangatlah penting. Untuk melihat sebuah
pekerjaan dan balasannya pada ayat-ayat tersebut di atas, maka penulis melihat
kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Pekerjaan
baik dan balasannya meliputi: Orang yang bertaubat setelah melakukan perbuatan
keji, Allah akan mengampuninya dalam (QS. 3:135). Apabila melaksanakan
pelajaran dari Allah, Allah akan membalasnya dengan pahala yang besar dalam
(QS. 4: 66-67). Beribadah haji dengan melakukan syarat-syarat yang ditetapkan
akan mendapat kebaikan dari Allah dalam (QS. 2: 197). Orang yang berinfak di
jalan Allah, Allah akan membalasnya karena Dia maha mengetahui dalam (QS. 2:
215). Dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan secara rinci balasan tersebut.
Mengurus anak yatim dengan cara yang adil, Allah akan membalasnya karena Dia
maha mengetahui dalam (QS. 4: 127) pada ayat ini Allah juga tidak menjelaskan
secara rinci balasan tersebut. Orang yang bertaubat dengan segala keridhaan
kepada Allah, maka Allah akan memaafkan kesalahan-kesalahannya dalam (QS. 42:
25).
Balasan
pekerjaan baik dan balasan selanjutnya adalah, Orang-orang yang bersedekah dan
berbuat ma’ruf demi keridhaan Allah, maka Allah membalasnya dengan memberi
pahala yang besar terdapat dalam (QS. 4: 114). Orang-orang yang bersyukur dan
beriman, Allah tidak akan menyiksanya dijelaskan pada (QS. 4:147). Terhadap
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah akan memasukkan mereka ke
dalam surga dalam (QS. 22: 14). Setiap perbuatan kebajikan akan dibalas dengan
pahala oleh Allah. (QS. 3: 115). Orang-orang mukmin akan mendapat balasan surga
dalam (QS. 39: 70). Terkait balasan dapat dilihat penjelasan ayat sesudahnya.
Ayat ini juga menjelaskan balasan bagi orang-orang kafir. Orang-orang yang
beriman, yang bersujud menyembah Allah akan mendapatkan kemenangan diterangkan
pada (QS. 22: 77). Orang yang menunaikan zakat termasuk orang yang akan
mendapat balasan surga firdaus, kekal didalamnya dalam (QS. 23: 4).
Dari
uraian al-Qur’an tentang pekerjaan / perbuatan baik dan balasannya, Allah tidak
memberikan balasan tersebut dalam bentuk materi atau balasan di dunia. Pada
umumnya, balasan Allah tersebut bersifat ghaib dan berupa janji Allah di surga
kelak. Namun demikian, adapula pekerjaan baik yang balasannya tidak secara
rinci diterangkan Allah.
Sedangkan
perkerjaan buruk dan balasannya meliputi: Kaum ‘Ad yang membuat banyak
kerusakan dalam negeri, Allah membalasnya dengan menimpa mereka azab (QS. 89:
6). Tentara Gajah yang hendak menyerbu Ka’bah, Allah membalasnya dengan burung
Ababil yang menghancurkan mereka (QS. 105: 1). Menyembah selain Allah, Allah
membalas dengan menyebutnya sebagai orang yang zalim (QS. 10: 106). Orang-orang
yang zalim akan dibalas dengan azab Allah (QS. 15: 45). Orang yang bekerja sama
dalam kemunkaran, Allah sangat murka terhadap mereka (QS. 5:79). Orang-orang
musyrik yang menganggap baik membunuh anak-anak mereka, Allah memberi peringatan
keras (QS. 6: 137). Orang-orang yang mengerjakan dosa dalam kesesatan di dunia
dan neraka (QS. 54: 52). Lihat penjelasan dengan ayat sebelumnya. Orang yang
tidak mempercayai al-Qur’an, akan mendapat azab neraka kelak (QS. 2: 24). Orang
yang melakukan riba, maka Allah dan RasulNya akan memerangi. (QS. 2: 279)
Pekerjaan
buruk dan balasan lainnya adalah: Mengatakan sesuatu tetapi tidak mengerjakan,
Allah sangat membenci hal tersebut (QS. 61: 2-3). Orang muslim yang tidak
melaksanakan perintah Allah, maka akan dibalas dengan kekacauan di bumi dan
kerusakan (QS. 8: 73). Orang kafir yang telah mendustakan Allah, kelak akan
mendapat azab di hari kiamat (QS. 77: 18). Lihat penjelasan pada ayat sebelum
dan sesudahnya.Orang-orang bani Israil yang saling bunuh-membunuh, berbuat dosa
dan permusuhan, Allah akan membalasnya dengan kenistaan di dunia dan akhirat.
Dan mereka akan mendapat siksa yang berat (QS. 2: 85) Orang yang sengaja rujuk
setelah cerai tetapi justru memberi mudharat bagi sang istri, Allah memberi
peringatan dengan memasukkan mereka sebagai orang zalim (QS. 2: 231). Orang
mukmin yang mengambil orang-orang kafir sebagai wali, Allah akan membalasnya
dengan melepaskan pertolonganNya (QS. 3: 28)
Selanjutnya,
pekerjaan buruk seperti orang-orang yang memakan harta dengan cara yang batil,
Allah akan memasukkan ke dalam neraka (QS. 4: 30). Orang-orang beriman yang
membocorkan berita tentang nabi Muhammad kepada musuh-musuh nabi Muhammad, maka
Allah memperingatkan bahwa mereka telah tersesat (QS. 60: 1). Orang-orang yang
bergembira dan suka mendapat pujian atas apa yang mereka kerjakan tidak menutup
kemungkinan mendapat siksa dari Allah (QS. 3: 188). Kemusyrikan kelak akan
mendapat siksaan (QS. 10: 46). Lihat penjelasan pada ayat-ayat
sebelumnya.Orang-orang kafir akan mendapat balasan neraka (QS. 39: 70). Lihat
penjelasan ayat sesudahnya.
Orang
kafir akan mendapat balasan atas apa yang dikerjakan (QS. 83: 36). Pada ayat
ini tidak dijelaskan secara detail balasan tersebut. Orang yang menentang nabi
Muhammad akan mendapat kehancuran (QS. 85: 7). Lihat penjelasan pada ayat-ayat
sebelumnya. Orang-orang kafir akan mendapat malapetaka yang dahsyat. Dan
merekapun sebenarnya telah menyadari akan hal itu (QS. 75: 25). Lihat
penjelasan ayat sebelumnya Orang Yahudi yang telah diberikan tanda kekuasaan
Allah berupa al-Qur’an, tetapi mereka ingkar. Allah akan mengutuk mereka (QS.
4: 47).
Tafsir
Pekerjaan Manusia Dalam Al-Qur’an (Perspektif Kata Fa’ala)
Seperti
telah penulis sebutkan di atas, pada pembahasan bab ini, penulis akan membatasi
penafsiran ayat yang didalamnya terdapat kata fa’ala sebanyak sepuluh ayat. Hal
ini dimaksud agar pembahasan lebih terfokus dan tidak melebar. Adapun ayat
tersebut adalah: QS. Al-Qamar [54]: 52; al-Shaf [61]: 2-3; al-Nisa’ [4]: 29-30;
al-Nisa [4]: 114; al-Munafiqun [63]: 9; Ali Imran [3]: 115; al-Zumar [39]: 70; al-Hajj
[22]: 77; al-Mu’minun [23]: 4.
Pertama: Pada QS
al-Qamar [54]: 52 Allah menerangkan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
telah digariskan.
وَكُلُّ
شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ
“Dan segala
sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.”
Pada
ayat ini, secara jelas diterangkan bahwa setiap perbuatan manusia baik dan
buruk, semua telah tercatat di lauhul mahfuz. Menurut Wahbah Zuhaili, tidak ada
satupun dari setiap perkataan dan berbuat yang tidak tertulis disana. Para
malaikat mencatat setiap amalan manusia baik yang kecil maupun besar,
sebagaimana dijelaskan pada ayat setelahnya, ayat 53. Terkait kata (الزُّبُرِ) Wahbah menafsirkan sebagai kitab al-Samawiyah. Ia juga menukil
ayat lain guna menjelaskan ayat di atas, yakni surah Qaf ayat 18.[5]
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Ayat
ini juga dikuatkan ayat lain dalam surah al-Infitar [82]: 12
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Mereka (para malaikat) mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Penjelasan
mengenai ayat di atas adalah bahwa setiap perbuatan manusia di dunia telah
tercatat di lauhul mahfuz. Oleh sebab itu, dalam beberapa ayat lain, Allah
menegaskan bahwa ia maha mengetahui setiap perbuatan hambanNya. Baik, buruk
serta kecil dan besar segala perbuatan hambaNya telah diketahui.
Kedua: Pada
QS. al-Shaf [61]: 2 dan 3 diterangkan keadaan seseorang yang tidak berjihad
sebagaimana yang telah dikatakan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
* كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ
اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan?
* Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Pada
pembahasan ayat ini, Wahbah memberikan tema “Perang di jalan Allah”. Ia
menjelaskan tentang sebab turunnya ayat. Pada suatu ketika seseorang mengatakan
bahwa nabi (Muhammad) telah diutus oleh Allah dengan segala dakwah dan seruan
yang dibawa nabi. Salah satu dakwah dan seruan tersebut adalah berjihad di
jalan Allah. Tatkala turun perintah berjihad, seorang mukmin tersebut enggan
berjihad. Maka turunlah ayat ini.[6]
Dalam
penjelasannya, Wahbah menyebutkan bahwa untuk apa seorang mukmin mengatakan
sesuatu tetapi tidak diikuti dengan konsistensi dari perkataan tersebut. Ayat
ini, menurut Wahbah adalah pelajaran bagi orang-orang munafik yang dalam banyak
hal mengingkari apa yang mereka janjikan. Wahbah menukil sebuah hadis tentang
tanda-tanda orang munafik. Diantara tanda-tanda tersebut adalah seseorang yang
mengatakan sesuatu tetapi tidak melakukan sesuatu itu, mengambil janji tetapi
mengingkari.[7]
Ketiga: Ayat
selanjutnya menerangkan tentang orang-orang yang memakan harta dengan cara yang
batil, pada surah QS. Al-Nisa [4]: 29-30. Allah akan memasukkan ke dalam neraka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا
فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Dalam
kitab tafsirnya, Wahbah menjelaskan secara rinci bahwa ayat di atas melarang
manusia memakan harta yang didapat dengan cara batil, dengan cara yang tidak
benar.[8]
Menurut al-Qurtubi, ayat ini secara gamblang juga menerangkan tentang hukum
jual beli yang disyariatkan. Ia membaginya dalam sembilan pembahasan. Lebih
lanjut al-Qurtubi menjelaskan bahwa apabila seorang penjual sudah mengatakan “Aku
telah menjual kepadamu”, maka ia dapat menarik perkataan tersebut, kecuali jika
pembeli mengatakan “Aku terima”. Al-Qurtubi juga menerangkan tidak dibenarkan
bagi seorang penjual yang bersumpah demi melariskan barang dagangannya.
Terlebih lagi jika si penjual sambil mengucap salawat nabi dengan mengatakan
barang dagangannya adalah barang yang bagus.[9]
Keempat: Selanjutnya,
penulis akan mengulas ayat al-Qur’an yang menerangkan perbuatan baik, yakni
sedekah, yang terdapat pada al-Nisa [4]: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan
Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Al-Maraghi
dalam menjelaskan ayat (لَا خَيْرَ فِي
كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ) mengatakan bahwa apabila seseorang berbincang secara rahasia,
hendaknya tidak membincangkan sesuatu yang buruk dan masalah-masalah yang menimbulkan dosa. Tetapi,
hendaklah berbincang-bincang terkait urusan kebaikan seperti urusan
sedekah, berbuat ma’ruf dan saling
islah.[10]
Ayat di atas, menurut al-Qurtubi turun berkenaan “makar” yang akan dilakukan
oleh Bani Ubairiq kepada nabi. Mereka merencanakan secara sembunyi (berbisik-bisik)
untuk melakukan perbuatan jahat tersebut.[11]
(مَعْرُوفٍ)
Kata tersebut pada ayat ini, menurut al-Qurtubi adalah semua kebaikan. Dalam
ayat ini, ma’ruf dihukumi sebagai sebuah kewajiban. Al-Qurtubi juga mengutip
hadis untuk menjelaskan ayat ini, “Setiap kebaikan adalah sedekah. Termasuk
sedekah adalah tersenyum pada saudara pada saat bertemu”.[12]
Ayat
di atas menginformasikan tentang perbuatan baik seperti bersedekah, berbuat
yang ma’ruf dan islah. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, Allah akan
membalasnya dengan pahala yang besar.
Kelima: surah al-Munafiqun
[63]: 9 yang menerangkan orang yang melalaikan Allah karena harta dan
anak-anaknya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah
hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang
berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ) Ayat ini adalah teguran dari Allah kepada orang-orang mukmin
yang terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Sehingga mereka lupa untuk mengingat
(zikir) kepada Allah. Ayat ini memang tidak menyuruh orang-orang mukmin
meninggalkan dunia, tetapi menyuruh agar mampu menyeimbangkan antar urusan
dunia dan akhirat. Dalam menjelaskan ayat ini, al-Maraghi menukil hadis tentang
keseimbangan antar dunia dan akhirat.[13]
إعمل لدنياك كأنك
تعش أبدا وإعمل للأخرتك كأنك تموت غدا
Menurut
al-Baghawi di dalam kitab tafsirnya Ma’âlimu al-Tanzîl, kata (عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ) pada ayat ini bermakna salat lima waktu. Hal ini sebagaimana
dijelaskan pula pada surah al-Nur ayat 37.[14]
Sedangkan beberapa mufasir lain mengartikan (عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ)
sebagai memuji Allah, melaksanakan semua kewajiban, serta berjihad bersama
Rasulullah.[15]
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang.”
(وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ) Pada ayat ini, ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa siapa saja yang
melakukan –terlalu sibuk urusan dunia dan lalai kepada Allah- maka ia termasuk
orang yang merugi (فَأُولَئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ). Perkerjaan buruk
yang diinformasikan pada ayat ini dibarengi dengan balasan yang Allah nyatakan
pada akhir ayat. Allah tidak menyebutkan balasan –dalam bentuk azab. Tetapi
kerugian dan penyesalan yang dialami hambaNya adalah merupakan balasan, buah
dari pekerjaan buruk tersebut.
Keenam: surah Ali
Imran [3]: 28 menerangkan tentang mengambil orang kafir sebagai penolong
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ
تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ
الْمَصِيرُ
Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali(mu).
(لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ) Ayat ini sering dibahas
oleh seorang mufasir yang mengharamkan mengambil orang-orang kafir sebagai
pemimpin. Hal ini dapat didasarkan pada nash yang tegas melarang orang-orang
mukmin menjadikan orang-orang non muslim sebagai pemimpin mereka. Diantara penafsir dan ulama yang tegas menolak
pemimpin non muslim adalah: al-Jashâsh, al-Zamakhsyarî,[16]
al-Alûsi, al-Arabî, Ibn Kathîr,[17]
al-Qurtubî, Wahbah Zuhaili, al-Thaba’thaba’î, al-Mawardî, Abdu al-Wahab Khalâf,
Taqîyu al-Dîn Nabhanî dan lain-lain.[18]
Imam Suyuti dalam
Lubâb
al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl
menerangkan sebab turunnya ayat tersebut di atas,
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id dan Ikrimah,
Ibn Abbas berkata, “Dahulu al-Hajjaj ibn Amru sekutu Ka’ab ibn Asyraf, Ibn Abi
al-Huqaiq, Qais ibn Zaid hidup berbaur dengan sekelompok orang-orang Ansar,
menganggu mereka agar mereka keluar dari agama mereka (Islam). Rifat ibn
Munzir, Abdullah ibn Jubair dan Sa’id ibn Khutsaimah berkata kepada orang-orang
Ansar ‘Hindarilah orang-orang Yahudi tersebut, dan jauhilah untuk berbaur
dengan mereka karena mereka ingin mengeluarkan kalian dari agama kalian’. Akan
tetapi mereka mengabaikan”. Maka turunlah firman Allah di atas.[19]
(وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ) Menurut al-Maraghi, orang-orang mukmin yang mengambil
orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin), maka Allah akan mencabut pertolongan
atasnya. (إِلَّا
أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً)
Al-Maraghi memberi pengecualian, yakni orang-orang mukmin yang sengaja
mengambil orang kafir sebagai wali demi memelihara sesuatu (dari ketakutan).[20]
Ketujuh: Ali
Imran [3]: 115 yang menerangkan tentang kebajikan
وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
بِالْمُتَّقِينَ
“Dan apa saja kebajikan yang mereka
kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala) nya; dan
Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa”.
Jika
dilihat ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menerangkan perbuatan orang-orang
mukmin yang lebih baik dari umat lainnya – dalam hal ini ahli kitab. Namun ada
beberapa ahli kitab yang berpegang teguh pada ajaran Allah, mereka akan
mendapat pahala karena memeluk Islam dan atas keberimanannya kepada Allah.[21]
Untuk
melihat peristiwa yang melatarbelakangi ayat ini, tidak dapat dilepaskan dari
ayat sebelumnya, ayat 113.
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آَيَاتِ
اللَّهِ آَنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ
Menurut
Wahbah, ayat tersebut turun berkenaan dengan adanya beberapa orang Yahudi yang
memeluk agama Islam. Para pendeta Yahudi pun “mencemooh” atas tindakan
tersebut. Atas cemoohan tersebut,
turunlah ayat di atas. Mereka –orang-orang Yahudi yang memeluk Islam- dianggap
melakukan perbuatan buruk karena meninggalkan agama nenek moyang mereka. Adapun
orang-orang Yahudi yang memeluk Islam diantaranya adalah Abdullah ibn Sallam,
Tsa’labah ibn Sa’yah dan Asad ibn Ubaid.[22]
Kata
(وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ) adalah orang-orang Yahudi yang memercayai ketauhidan Allah.
Mereka beriman kepada Allah dan melaksanakan kebajikan, menyuruh pada yang
makruf dan mencegah kemungkaran. Mereka berbeda dengan orang-orang Yahudi
lainnya, sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya –ayat 113. Oleh sebab itu,
balasan atas perbuatan atau pekerjaan baik mereka adalah pahala bagi mereka
yang tidak terhalangi.
Kedelapan:
al-Zumar [39]: 70 menerangkan balasan atas pekerjaan yang dilakukan oleh orang
mukmin dan kafir.
وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah
dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Ayat
di atas menerangkan tentang balasan orang mukmin dan kafir pada hari kiamat.
Hal ini diterangkan pada ayat-ayat sebelumnya (ayat 67) dan sesudahnya (71
hingga 73). Dalam menjelaskan ayat di atas, Wahbah memberikan tema tentang
ditiupnya sangkakala pada hari kiamat kelak.[23]
(وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ) Menurut al-Baghawi, ayat ini menerangkan balasan bagi
orang-orang mukmin dan kafir. Bahwa kelak, mereka akan mendapat balasan atas
apa yang mereka kerjaan selama hidupnya. Orang-orang kafir dibawa ke neraka,
dan orang-orang yang bertakwa berbondong-bondong menuju surga. Hal ini seperti
dijelaskan pada ayat sesudahnya. (وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ) Menunjukkan bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu. Menurut
al-Baghawi yang juga dikutip al-Khazin menjelaskan bahwa Allah tidak
membutuhkan seorang penulis ataupun saksi untuk mengetahui perbuatan umat
manusia.[24]
Kesembilan: al-Hajj
[22]: 77 menerangkan tentang perbuatan kebajikan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan”
Ayat di atas merupakan perintah (menggunakan
bentuk amr) bagi orang-orang beriman untuk menaati segala perintah Allah.
Selanjutnya (وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) kata fa’ala dalam bentuk amr yang diikuti dengan kata
al-Khair. Dalam ayat ini, al-Maraghi menerangkan diantara perbuatan yang baik
adalah silaturahim dan perbaikan akhlak.[25]
Kata (ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا) pada ayat ini, oleh Wahbah diartikan sebagai salat. (وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) merupakan perintah untuk melakukan perbuatan / pekerjaan yang
bernilai kebaikan. Oleh sebab itu, setiap mukmin yang melakukannya kelak pada
hari akhir akan kembali pada kemenangan.[26]
Kesepuluh: al-Mu’minun
[23]: 4 tentang orang-orang yang menunaikan zakat
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat”
Surah
al-Mukminun ayat 4 ini menerangkan tentang keberuntungan orang-orang yang
mengerjakan zakat. Pada ayat sebelumnya (1-3) telah dijelaskan beruntunglah
orang-orang mukmin yang khusuk dalam salat dan menjauhkan diri dari pekerjaan
yang tidak berguna. Sedangkan pada ayat setelahnya (5-8), disebutkan orang
mukmin yang beruntung adalah mereka yang menjaga kemaluannya (kecuali kepada
istri atau suami) dan orang yang menjaga amanat / janji.
Ayat
kedua dari surah ini turun berkenaan dengan salat yang dilakukan Rasulullah.
Pada saat itu, Rasul salat dan menegadahkan pandangannya ke langit. Lalu
turunlah ayat ini, dan Rasulpun menundukkan kepalanya. Sebagian riwayat
menyebut bahwa yang salatnya memandang ke langit adalah para sahabat.[27]
Pada
penjelasan ayat 4 ini, Wahbah menukil pendapat Ibn Katsir yang mengatakan bahwa
kebanyakan ulama menafsiri zakat dengan mengerjakan atau memberikan zakat mal.
Perintah zakat sejatinya telah ada sejak masa awal Islam, sebelum hijrah ke
Madinah. Tetapi kewajiban zakat adalah di Madinah, pada tahun 2 hijriah.[28]
Oleh karena zakat dimaksudkan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, maka
hendaklah zakat bersumber dari harta yang halal (haq).[29]
Penutup
Simpulan
dari tulisan ini adalah: Setelah mencermati sepuluh ayat yang membicarakan
perihal perbuatan atau pekerjaan manusia, penulis berkesimpulan bahwa perbuatan
manusia baik dan buruk akan mendapat balasan dari Allah. Dari sepuluh ayat yang
penulis ulas diatas memberikan informasi bahwa balasan Allah tidak diberikan
dalam bentuk materi (fisik). Allah membalasnya dalam bentuk ancaman bagi
orang-orang yang berbuat buruk, dan dalam bentuk kenikmatan bagi orang-orang
yang berbuat baik. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga, kemenangan dan
pahala. Ketiga balasan ini adalah bersifat ghaib (tidak terlihat). Pun demikian
dengan balasan bagi mereka yang mengerjakan keburukan. Dari sepuluh ayat, Allah
akan membalas perbuatan tersebut dengan neraka, mengalami kerugian, tertutupnya
pertolongan Allah dan lain sebagainya.
Oleh
sebab itu, pendapat yang mengemukakan bahwa melakukan perbuatan baik akan
langsung mendapat balasan dari Allah di dunia setidaknya dapat terbantahkan
melalui penjelasan ayat-ayat di atas. Term bekerja guna mendapat balasan berupa
materi yang sudah identik di masyarakat harus diluruskan. Al-Qur’an tidak
menyebut hal itu.
[1] Tim
penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 751
[2] Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam
Mufahras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), h.
523-4
[3] Jalaluddin Rahman, Konsep
Perbuatan Manusia Menurut al-Qur’an; Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1992), h. 41
[4] Raghib al-Asfahani, Mufradat
al-Fazd al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2009), h. 640
[5] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), vol. 14, h. 200
[6] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 14, h. 538
[7] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 14, h. 539
[8] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 3, h. 31
[9] Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad
ibn Abi Bakar al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân, (Lebanon: Muasasa
al-Risalah, 2006), vol. 6, h. 252
[10] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, (Mesir: Maktabah Musthafa, 1946), vol. 5, h. 153
[11] al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 7, h. 124
[12] al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 7, h. 125
[13] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 18, h. 115
[14] Abi Muhammad al-Husain ibn
Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar
al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 8, h. 134
[15] Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi
Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiah, 1993), vol. 8, h. 270
[16] Lihat
penafsiran al-Zamakhsyari dalam menafsirkan surah al-Maidah ayat 51 dalam al-Kasysyâf
‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl,
(Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 249
[17] Lihat
penafsiran Ibn Kathîr dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 28, 100 dan 118
yang menjelaskan larangan melilih pemimpin yang kafir dan menjalin hubungan dengan
mereka. Abu Fidâ al-Hâfid ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2011), Vol 1, h. 325, 351 dan 359.
[18] Mujar
Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif
Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN
Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 20
09, h. 92-93
[19] Jalâluddin Abi Abdu al-Rahman
al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: al-Kitab
al-Tsaqafiah, 2002), h. 56
[20] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 3, h. 132
[21] Ali Imran ayat 113.
[22] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 2, h. 371. Lihat pula peristiwa yang melatarbelakangi
turunnya ayat: al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, h. 60
[23] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 12, h. 367
[24] al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi
Ma’âlimu al-Tanzîl, vol. 7, h. 132. Lihat pula: Alâu al-Dîn Alî ibn
Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu
al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Kitab al-Alamiah, 1995), vol. 5, h. 324
[25] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 17, h. 147
[26] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 9, h. 308
[27] al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi
Asbâb al-Nuzûl, h. 179
[28] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr, vol. 9, h. 326
[29] Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsîr
al-Kabîr Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), vol 23, h. 80
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
BalasHapusSaya hanya mau mengucapkan terimakasih kepada pemilik blog ini atas segala isi yang ada dalam blog ini, Ayat Al-Qur'an dan Hadist yang sudah disediakan. Sangat-sangat berguna dan bermanfaat bagi saya sendiri sebagai internet explorer..
Saya juga meminta izin untuk mengcopy untuk digunakan sebagaimana mestinya..
semoga pemilik blog ini diberikan selalu kesehatan, dipanjangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, diampuni segala dosa-dosanya serta selalu dalam lindungan ALLAH SWT..
Aamiin....
Sekian, saya ucapkan terimakasih...
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
Assalamualaikum....mintak izin untuk disalin yaa
BalasHapus