Jumat, 06 Februari 2015

Pekerjaan Manusia Dalam Al-Qur’an (Tafsir Perspektif Kata Fa’ala)

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
Pendahuluan
Pada zaman modern saat ini, aktivitas bekerja sering kali diidentikan sebagai aktivitas pekerjaan atau melakukan suatu pekerjaan yang mendapat imbalan berupa uang. Sehingga jika seseorang ditanya perihal pekerjaan, maka pertanyaan yang membuntuti setelahnya adalah hitungan gaji. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bekerja didefinisikan sebagai melakukan sesuatu pekerjaan (perbuatan) atau berbuat sesuatu.[1] Tidak dipungkiri, term ini telah membudaya di masyarakat.
Dalam kajian al-Qur’an, suatu pekerjaan tidak melulu dibalas dengan balasan materi yang berbentuk nyata. Dalam beberapa ayat, Allah menegaskan bahwa dirinya akan membalas pekerjaan setiap manusia baik pekerjaan baik ataupun buruk. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang dapat bermakna kerja atau pekerjaan, seperti: ‘Amila, Fa’ala, Kasaba, Sya’a, Shana’a.
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan salah satu kata dalam al-Qur’an yang dapat berarti pekerjaan, yakni fa’ala. Adapun penafsiran kata fa’ala dalam tulisan ini akan dibatasi pada sepuluh ayat dalam al-Qur’an. Setelah memilih sepuluh ayat tersebut, penulis akan merujuk pada beberapa penafsiran para mufasir terkait ayat yang bersangkutan.
Kata Fa’ala dalam Al-Qur’an
Setelah melihat dalam kamus atau mu’jam, penulis mendapati kata fa’ala dengan berbagai bentuk tercatat 108 kali.[2] Berdasarkan kategorisasi bentuk kata, terdapat kata fa’ala dalam bentuk, yaitu: fi’il madhi, fi’il mudhari, fi’il amr, ism mashdar, ism mubalaghah, ism fa’il dan ism maf’ul. Kata fa’ala juga melibatkan pelaku yang bermacam-macam, yaitu: Tuhan, Tuhan selain Allah (sesembahan lainnya seperti berhala), Malaikat, Burung dan Manusia.[3]
Ditinjau dari segi makna dan terjemah, kata fa’ala bermakna perbuatan (diperbuat, berbuat) sebanyak 54 ayat; bermakna melakukan sebanyak 9 ayat; bermakna melaksanakan atau dalam bentuk derivasinya (dilaksanakan, terlaksana)  sebanyak 11 ayat; bermakna pekerjaan atau dalam bentuk derivasinya (dikerjakan, mengerjakan, kerjaan)  sebanyak 25 ayat; bermakna pasti terpenuhi dan terjadi sebanyak 3 ayat; bermakna tindakan, menunaikan, menyiksa, menanti, dilakukan dan ditimpakan masing-masing sebanyak ; 1 ayat. Penjelasan makna fa’ala juga dijelaskan dalam Mufradât al-Fâzd al-Qur’ân karya Raghib al-Asfahani.[4]
Setelah membaca ayat yang terdapat kata fa’ala, penulis mendapati bahwa pada ayat tersebut, al-Qur’an menginformasikan berbagai perbuatan baik dan buruk beserta balasannya. Untuk mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap kandungan suatu ayat, maka ayat tersebut tidak dapat lepas dari ayat sebelum atau sesudahnya. Oleh sebab itu, ilmu munasabah sangatlah penting. Untuk melihat sebuah pekerjaan dan balasannya pada ayat-ayat tersebut di atas, maka penulis melihat kaitan suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Pekerjaan baik dan balasannya meliputi: Orang yang bertaubat setelah melakukan perbuatan keji, Allah akan mengampuninya dalam (QS. 3:135). Apabila melaksanakan pelajaran dari Allah, Allah akan membalasnya dengan pahala yang besar dalam (QS. 4: 66-67). Beribadah haji dengan melakukan syarat-syarat yang ditetapkan akan mendapat kebaikan dari Allah dalam (QS. 2: 197). Orang yang berinfak di jalan Allah, Allah akan membalasnya karena Dia maha mengetahui dalam (QS. 2: 215). Dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan secara rinci balasan tersebut. Mengurus anak yatim dengan cara yang adil, Allah akan membalasnya karena Dia maha mengetahui dalam (QS. 4: 127) pada ayat ini Allah juga tidak menjelaskan secara rinci balasan tersebut. Orang yang bertaubat dengan segala keridhaan kepada Allah, maka Allah akan memaafkan kesalahan-kesalahannya dalam (QS. 42: 25).
Balasan pekerjaan baik dan balasan selanjutnya adalah, Orang-orang yang bersedekah dan berbuat ma’ruf demi keridhaan Allah, maka Allah membalasnya dengan memberi pahala yang besar terdapat dalam (QS. 4: 114). Orang-orang yang bersyukur dan beriman, Allah tidak akan menyiksanya dijelaskan pada (QS. 4:147). Terhadap orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga dalam (QS. 22: 14). Setiap perbuatan kebajikan akan dibalas dengan pahala oleh Allah. (QS. 3: 115). Orang-orang mukmin akan mendapat balasan surga dalam (QS. 39: 70). Terkait balasan dapat dilihat penjelasan ayat sesudahnya. Ayat ini juga menjelaskan balasan bagi orang-orang kafir. Orang-orang yang beriman, yang bersujud menyembah Allah akan mendapatkan kemenangan diterangkan pada (QS. 22: 77). Orang yang menunaikan zakat termasuk orang yang akan mendapat balasan surga firdaus, kekal didalamnya dalam (QS. 23: 4).
Dari uraian al-Qur’an tentang pekerjaan / perbuatan baik dan balasannya, Allah tidak memberikan balasan tersebut dalam bentuk materi atau balasan di dunia. Pada umumnya, balasan Allah tersebut bersifat ghaib dan berupa janji Allah di surga kelak. Namun demikian, adapula pekerjaan baik yang balasannya tidak secara rinci diterangkan Allah.
Sedangkan perkerjaan buruk dan balasannya meliputi: Kaum ‘Ad yang membuat banyak kerusakan dalam negeri, Allah membalasnya dengan menimpa mereka azab (QS. 89: 6). Tentara Gajah yang hendak menyerbu Ka’bah, Allah membalasnya dengan burung Ababil yang menghancurkan mereka (QS. 105: 1). Menyembah selain Allah, Allah membalas dengan menyebutnya sebagai orang yang zalim (QS. 10: 106). Orang-orang yang zalim akan dibalas dengan azab Allah (QS. 15: 45). Orang yang bekerja sama dalam kemunkaran, Allah sangat murka terhadap mereka (QS. 5:79). Orang-orang musyrik yang menganggap baik membunuh anak-anak mereka, Allah memberi peringatan keras (QS. 6: 137). Orang-orang yang mengerjakan dosa dalam kesesatan di dunia dan neraka (QS. 54: 52). Lihat penjelasan dengan ayat sebelumnya. Orang yang tidak mempercayai al-Qur’an, akan mendapat azab neraka kelak (QS. 2: 24). Orang yang melakukan riba, maka Allah dan RasulNya akan memerangi. (QS. 2: 279)
Pekerjaan buruk dan balasan lainnya adalah: Mengatakan sesuatu tetapi tidak mengerjakan, Allah sangat membenci hal tersebut (QS. 61: 2-3). Orang muslim yang tidak melaksanakan perintah Allah, maka akan dibalas dengan kekacauan di bumi dan kerusakan (QS. 8: 73). Orang kafir yang telah mendustakan Allah, kelak akan mendapat azab di hari kiamat (QS. 77: 18). Lihat penjelasan pada ayat sebelum dan sesudahnya.Orang-orang bani Israil yang saling bunuh-membunuh, berbuat dosa dan permusuhan, Allah akan membalasnya dengan kenistaan di dunia dan akhirat. Dan mereka akan mendapat siksa yang berat (QS. 2: 85) Orang yang sengaja rujuk setelah cerai tetapi justru memberi mudharat bagi sang istri, Allah memberi peringatan dengan memasukkan mereka sebagai orang zalim (QS. 2: 231). Orang mukmin yang mengambil orang-orang kafir sebagai wali, Allah akan membalasnya dengan melepaskan pertolonganNya (QS. 3: 28)
Selanjutnya, pekerjaan buruk seperti orang-orang yang memakan harta dengan cara yang batil, Allah akan memasukkan ke dalam neraka (QS. 4: 30). Orang-orang beriman yang membocorkan berita tentang nabi Muhammad kepada musuh-musuh nabi Muhammad, maka Allah memperingatkan bahwa mereka telah tersesat (QS. 60: 1). Orang-orang yang bergembira dan suka mendapat pujian atas apa yang mereka kerjakan tidak menutup kemungkinan mendapat siksa dari Allah (QS. 3: 188). Kemusyrikan kelak akan mendapat siksaan (QS. 10: 46). Lihat penjelasan pada ayat-ayat sebelumnya.Orang-orang kafir akan mendapat balasan neraka (QS. 39: 70). Lihat penjelasan ayat sesudahnya.
Orang kafir akan mendapat balasan atas apa yang dikerjakan (QS. 83: 36). Pada ayat ini tidak dijelaskan secara detail balasan tersebut. Orang yang menentang nabi Muhammad akan mendapat kehancuran (QS. 85: 7). Lihat penjelasan pada ayat-ayat sebelumnya. Orang-orang kafir akan mendapat malapetaka yang dahsyat. Dan merekapun sebenarnya telah menyadari akan hal itu (QS. 75: 25). Lihat penjelasan ayat sebelumnya Orang Yahudi yang telah diberikan tanda kekuasaan Allah berupa al-Qur’an, tetapi mereka ingkar. Allah akan mengutuk mereka (QS. 4: 47).
Tafsir Pekerjaan Manusia Dalam Al-Qur’an (Perspektif Kata Fa’ala)
Seperti telah penulis sebutkan di atas, pada pembahasan bab ini, penulis akan membatasi penafsiran ayat yang didalamnya terdapat kata fa’ala sebanyak sepuluh ayat. Hal ini dimaksud agar pembahasan lebih terfokus dan tidak melebar. Adapun ayat tersebut adalah: QS. Al-Qamar [54]: 52; al-Shaf [61]: 2-3; al-Nisa’ [4]: 29-30; al-Nisa [4]: 114; al-Munafiqun [63]: 9; Ali Imran [3]: 115; al-Zumar [39]: 70; al-Hajj [22]: 77; al-Mu’minun [23]: 4.
Pertama: Pada QS al-Qamar [54]: 52 Allah menerangkan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang telah digariskan.
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.”
Pada ayat ini, secara jelas diterangkan bahwa setiap perbuatan manusia baik dan buruk, semua telah tercatat di lauhul mahfuz. Menurut Wahbah Zuhaili, tidak ada satupun dari setiap perkataan dan berbuat yang tidak tertulis disana. Para malaikat mencatat setiap amalan manusia baik yang kecil maupun besar, sebagaimana dijelaskan pada ayat setelahnya, ayat 53. Terkait kata (الزُّبُرِ) Wahbah menafsirkan sebagai kitab al-Samawiyah. Ia juga menukil ayat lain guna menjelaskan ayat di atas, yakni surah Qaf ayat 18.[5]
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
Ayat ini juga dikuatkan ayat lain dalam surah al-Infitar [82]: 12
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Mereka (para malaikat) mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Penjelasan mengenai ayat di atas adalah bahwa setiap perbuatan manusia di dunia telah tercatat di lauhul mahfuz. Oleh sebab itu, dalam beberapa ayat lain, Allah menegaskan bahwa ia maha mengetahui setiap perbuatan hambanNya. Baik, buruk serta kecil dan besar segala perbuatan hambaNya telah diketahui.
Kedua: Pada QS. al-Shaf [61]: 2 dan 3 diterangkan keadaan seseorang yang tidak berjihad sebagaimana yang telah dikatakan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?  * Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Pada pembahasan ayat ini, Wahbah memberikan tema “Perang di jalan Allah”. Ia menjelaskan tentang sebab turunnya ayat. Pada suatu ketika seseorang mengatakan bahwa nabi (Muhammad) telah diutus oleh Allah dengan segala dakwah dan seruan yang dibawa nabi. Salah satu dakwah dan seruan tersebut adalah berjihad di jalan Allah. Tatkala turun perintah berjihad, seorang mukmin tersebut enggan berjihad. Maka turunlah ayat ini.[6]
Dalam penjelasannya, Wahbah menyebutkan bahwa untuk apa seorang mukmin mengatakan sesuatu tetapi tidak diikuti dengan konsistensi dari perkataan tersebut. Ayat ini, menurut Wahbah adalah pelajaran bagi orang-orang munafik yang dalam banyak hal mengingkari apa yang mereka janjikan. Wahbah menukil sebuah hadis tentang tanda-tanda orang munafik. Diantara tanda-tanda tersebut adalah seseorang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak melakukan sesuatu itu, mengambil janji tetapi mengingkari.[7]
Ketiga: Ayat selanjutnya menerangkan tentang orang-orang yang memakan harta dengan cara yang batil, pada surah QS. Al-Nisa [4]: 29-30. Allah akan memasukkan ke dalam neraka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Dalam kitab tafsirnya, Wahbah menjelaskan secara rinci bahwa ayat di atas melarang manusia memakan harta yang didapat dengan cara batil, dengan cara yang tidak benar.[8] Menurut al-Qurtubi, ayat ini secara gamblang juga menerangkan tentang hukum jual beli yang disyariatkan. Ia membaginya dalam sembilan pembahasan. Lebih lanjut al-Qurtubi menjelaskan bahwa apabila seorang penjual sudah mengatakan “Aku telah menjual kepadamu”, maka ia dapat menarik perkataan tersebut, kecuali jika pembeli mengatakan “Aku terima”. Al-Qurtubi juga menerangkan tidak dibenarkan bagi seorang penjual yang bersumpah demi melariskan barang dagangannya. Terlebih lagi jika si penjual sambil mengucap salawat nabi dengan mengatakan barang dagangannya adalah barang yang bagus.[9]
Keempat: Selanjutnya, penulis akan mengulas ayat al-Qur’an yang menerangkan perbuatan baik, yakni sedekah, yang terdapat pada al-Nisa [4]: 114
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat (لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ) mengatakan bahwa apabila seseorang berbincang secara rahasia, hendaknya tidak membincangkan sesuatu yang buruk  dan masalah-masalah yang menimbulkan dosa. Tetapi, hendaklah berbincang-bincang terkait urusan kebaikan seperti urusan sedekah,  berbuat ma’ruf dan saling islah.[10] Ayat di atas, menurut al-Qurtubi turun berkenaan “makar” yang akan dilakukan oleh Bani Ubairiq kepada nabi. Mereka merencanakan secara sembunyi (berbisik-bisik) untuk melakukan perbuatan jahat tersebut.[11]
(مَعْرُوفٍ) Kata tersebut pada ayat ini, menurut al-Qurtubi adalah semua kebaikan. Dalam ayat ini, ma’ruf dihukumi sebagai sebuah kewajiban. Al-Qurtubi juga mengutip hadis untuk menjelaskan ayat ini, “Setiap kebaikan adalah sedekah. Termasuk sedekah adalah tersenyum pada saudara pada saat bertemu”.[12]
Ayat di atas menginformasikan tentang perbuatan baik seperti bersedekah, berbuat yang ma’ruf dan islah. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, Allah akan membalasnya dengan pahala yang besar.
Kelima: surah al-Munafiqun [63]: 9 yang menerangkan orang yang melalaikan Allah karena harta dan anak-anaknya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ) Ayat ini adalah teguran dari Allah kepada orang-orang mukmin yang terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Sehingga mereka lupa untuk mengingat (zikir) kepada Allah. Ayat ini memang tidak menyuruh orang-orang mukmin meninggalkan dunia, tetapi menyuruh agar mampu menyeimbangkan antar urusan dunia dan akhirat. Dalam menjelaskan ayat ini, al-Maraghi menukil hadis tentang keseimbangan antar dunia dan akhirat.[13]
إعمل لدنياك كأنك تعش أبدا وإعمل للأخرتك كأنك تموت غدا
Menurut al-Baghawi di dalam kitab tafsirnya Ma’âlimu al-Tanzîl, kata (عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ) pada ayat ini bermakna salat lima waktu. Hal ini sebagaimana dijelaskan pula pada surah al-Nur ayat 37.[14] Sedangkan beberapa mufasir lain mengartikan (عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ) sebagai memuji Allah, melaksanakan semua kewajiban, serta berjihad bersama Rasulullah.[15]
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
(وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ) Pada ayat ini, ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa siapa saja yang melakukan –terlalu sibuk urusan dunia dan lalai kepada Allah- maka ia termasuk orang yang merugi (فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ). Perkerjaan buruk yang diinformasikan pada ayat ini dibarengi dengan balasan yang Allah nyatakan pada akhir ayat. Allah tidak menyebutkan balasan –dalam bentuk azab. Tetapi kerugian dan penyesalan yang dialami hambaNya adalah merupakan balasan, buah dari pekerjaan buruk tersebut.
Keenam: surah Ali Imran [3]: 28 menerangkan tentang mengambil orang kafir sebagai penolong
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).
(لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ) Ayat ini sering dibahas oleh seorang mufasir yang mengharamkan mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin. Hal ini dapat didasarkan pada nash yang tegas melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang non muslim sebagai pemimpin mereka. Diantara penafsir dan ulama yang tegas menolak pemimpin non muslim adalah: al-Jashâsh, al-Zamakhsyarî,[16] al-Alûsi, al-Arabî, Ibn Kathîr,[17] al-Qurtubî, Wahbah Zuhaili, al-Thaba’thaba’î, al-Mawardî, Abdu al-Wahab Khalâf, Taqîyu al-Dîn Nabhanî dan lain-lain.[18]
Imam Suyuti dalam Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl menerangkan sebab turunnya ayat tersebut di atas,
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id dan Ikrimah, Ibn Abbas berkata, “Dahulu al-Hajjaj ibn Amru sekutu Ka’ab ibn Asyraf, Ibn Abi al-Huqaiq, Qais ibn Zaid hidup berbaur dengan sekelompok orang-orang Ansar, menganggu mereka agar mereka keluar dari agama mereka (Islam). Rifat ibn Munzir, Abdullah ibn Jubair dan Sa’id ibn Khutsaimah berkata kepada orang-orang Ansar ‘Hindarilah orang-orang Yahudi tersebut, dan jauhilah untuk berbaur dengan mereka karena mereka ingin mengeluarkan kalian dari agama kalian’. Akan tetapi mereka mengabaikan”. Maka turunlah firman Allah di atas.[19]
(وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ) Menurut al-Maraghi, orang-orang mukmin yang mengambil orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin), maka Allah akan mencabut pertolongan atasnya. (إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً) Al-Maraghi memberi pengecualian, yakni orang-orang mukmin yang sengaja mengambil orang kafir sebagai wali demi memelihara sesuatu (dari ketakutan).[20]
Ketujuh: Ali Imran [3]: 115 yang menerangkan tentang kebajikan
وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ يُكْفَرُوهُ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
“Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa”.
Jika dilihat ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menerangkan perbuatan orang-orang mukmin yang lebih baik dari umat lainnya – dalam hal ini ahli kitab. Namun ada beberapa ahli kitab yang berpegang teguh pada ajaran Allah, mereka akan mendapat pahala karena memeluk Islam dan atas keberimanannya kepada Allah.[21]
Untuk melihat peristiwa yang melatarbelakangi ayat ini, tidak dapat dilepaskan dari ayat sebelumnya, ayat 113.
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آَيَاتِ اللَّهِ آَنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ
Menurut Wahbah, ayat tersebut turun berkenaan dengan adanya beberapa orang Yahudi yang memeluk agama Islam. Para pendeta Yahudi pun “mencemooh” atas tindakan tersebut.  Atas cemoohan tersebut, turunlah ayat di atas. Mereka –orang-orang Yahudi yang memeluk Islam- dianggap melakukan perbuatan buruk karena meninggalkan agama nenek moyang mereka. Adapun orang-orang Yahudi yang memeluk Islam diantaranya adalah Abdullah ibn Sallam, Tsa’labah ibn Sa’yah dan Asad ibn Ubaid.[22]
Kata (وَمَا يَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ) adalah orang-orang Yahudi yang memercayai ketauhidan Allah. Mereka beriman kepada Allah dan melaksanakan kebajikan, menyuruh pada yang makruf dan mencegah kemungkaran. Mereka berbeda dengan orang-orang Yahudi lainnya, sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya –ayat 113. Oleh sebab itu, balasan atas perbuatan atau pekerjaan baik mereka adalah pahala bagi mereka yang tidak terhalangi.
Kedelapan: al-Zumar [39]: 70 menerangkan balasan atas pekerjaan yang dilakukan oleh orang mukmin dan kafir.
وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ
Dan disempurnakan bagi tiap-tiap jiwa (balasan) apa yang telah dikerjakannya dan Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Ayat di atas menerangkan tentang balasan orang mukmin dan kafir pada hari kiamat. Hal ini diterangkan pada ayat-ayat sebelumnya (ayat 67) dan sesudahnya (71 hingga 73). Dalam menjelaskan ayat di atas, Wahbah memberikan tema tentang ditiupnya sangkakala pada hari kiamat kelak.[23]
 (وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ) Menurut al-Baghawi, ayat ini menerangkan balasan bagi orang-orang mukmin dan kafir. Bahwa kelak, mereka akan mendapat balasan atas apa yang mereka kerjaan selama hidupnya. Orang-orang kafir dibawa ke neraka, dan orang-orang yang bertakwa berbondong-bondong menuju surga. Hal ini seperti dijelaskan pada ayat sesudahnya. (وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا يَفْعَلُونَ) Menunjukkan bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu. Menurut al-Baghawi yang juga dikutip al-Khazin menjelaskan bahwa Allah tidak membutuhkan seorang penulis ataupun saksi untuk mengetahui perbuatan umat manusia.[24]
Kesembilan: al-Hajj [22]: 77 menerangkan tentang perbuatan kebajikan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”
Ayat di atas merupakan perintah (menggunakan bentuk amr) bagi orang-orang beriman untuk menaati segala perintah Allah. Selanjutnya (وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) kata fa’ala dalam bentuk amr yang diikuti dengan kata al-Khair. Dalam ayat ini, al-Maraghi menerangkan diantara perbuatan yang baik adalah silaturahim dan perbaikan akhlak.[25]
Kata (ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا) pada ayat ini, oleh Wahbah diartikan sebagai salat. (وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) merupakan perintah untuk melakukan perbuatan / pekerjaan yang bernilai kebaikan. Oleh sebab itu, setiap mukmin yang melakukannya kelak pada hari akhir akan kembali pada kemenangan.[26]
Kesepuluh: al-Mu’minun [23]: 4 tentang orang-orang yang menunaikan zakat
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“Dan orang-orang yang menunaikan zakat”
Surah al-Mukminun ayat 4 ini menerangkan tentang keberuntungan orang-orang yang mengerjakan zakat. Pada ayat sebelumnya (1-3) telah dijelaskan beruntunglah orang-orang mukmin yang khusuk dalam salat dan menjauhkan diri dari pekerjaan yang tidak berguna. Sedangkan pada ayat setelahnya (5-8), disebutkan orang mukmin yang beruntung adalah mereka yang menjaga kemaluannya (kecuali kepada istri atau suami) dan orang yang menjaga amanat / janji.
Ayat kedua dari surah ini turun berkenaan dengan salat yang dilakukan Rasulullah. Pada saat itu, Rasul salat dan menegadahkan pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat ini, dan Rasulpun menundukkan kepalanya. Sebagian riwayat menyebut bahwa yang salatnya memandang ke langit adalah para sahabat.[27]
Pada penjelasan ayat 4 ini, Wahbah menukil pendapat Ibn Katsir yang mengatakan bahwa kebanyakan ulama menafsiri zakat dengan mengerjakan atau memberikan zakat mal. Perintah zakat sejatinya telah ada sejak masa awal Islam, sebelum hijrah ke Madinah. Tetapi kewajiban zakat adalah di Madinah, pada tahun 2 hijriah.[28] Oleh karena zakat dimaksudkan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, maka hendaklah zakat bersumber dari harta yang halal (haq).[29]
Penutup
Simpulan dari tulisan ini adalah: Setelah mencermati sepuluh ayat yang membicarakan perihal perbuatan atau pekerjaan manusia, penulis berkesimpulan bahwa perbuatan manusia baik dan buruk akan mendapat balasan dari Allah. Dari sepuluh ayat yang penulis ulas diatas memberikan informasi bahwa balasan Allah tidak diberikan dalam bentuk materi (fisik). Allah membalasnya dalam bentuk ancaman bagi orang-orang yang berbuat buruk, dan dalam bentuk kenikmatan bagi orang-orang yang berbuat baik. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga, kemenangan dan pahala. Ketiga balasan ini adalah bersifat ghaib (tidak terlihat). Pun demikian dengan balasan bagi mereka yang mengerjakan keburukan. Dari sepuluh ayat, Allah akan membalas perbuatan tersebut dengan neraka, mengalami kerugian, tertutupnya pertolongan Allah dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, pendapat yang mengemukakan bahwa melakukan perbuatan baik akan langsung mendapat balasan dari Allah di dunia setidaknya dapat terbantahkan melalui penjelasan ayat-ayat di atas. Term bekerja guna mendapat balasan berupa materi yang sudah identik di masyarakat harus diluruskan. Al-Qur’an tidak menyebut hal itu.



[1] Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 751
[2] Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam Mufahras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), h. 523-4
[3] Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur’an; Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta, Bulan Bintang, 1992), h. 41
[4] Raghib al-Asfahani, Mufradat al-Fazd al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2009), h. 640
[5] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), vol. 14, h. 200
[6] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 14, h. 538
[7] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 14, h. 539
[8] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 3, h. 31
[9] Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân, (Lebanon: Muasasa al-Risalah, 2006), vol. 6, h. 252
[10] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî, (Mesir: Maktabah Musthafa, 1946), vol. 5, h. 153
[11] al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 7, h. 124
[12] al-Qurtubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 7, h. 125
[13] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 18, h. 115
[14] Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 8, h. 134
[15] Muhammad ibn Yusuf al-Syahid Abi Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah, 1993), vol. 8, h. 270
[16] Lihat penafsiran al-Zamakhsyari dalam menafsirkan surah al-Maidah ayat 51 dalam al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, (Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998), vol. 2, h. 249
[17] Lihat penafsiran Ibn Kathîr dalam menafsirkan surah Ali Imran ayat 28, 100 dan 118 yang menjelaskan larangan melilih pemimpin yang kafir dan menjalin hubungan dengan mereka. Abu Fidâ al-Hâfid ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2011), Vol 1, h. 325, 351 dan 359.
[18] Mujar Ibn Syarif, “Memilih Presiden Non Muslim di Negara Muslim dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Konstitusi PPK Fakultas Syariah IAIN Antasari, Vol II nomer 1 Tahun 20
09, h. 92-93
[19] Jalâluddin Abi Abdu al-Rahman al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: al-Kitab al-Tsaqafiah, 2002), h. 56
[20] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 3, h. 132
[21] Ali Imran ayat 113.
[22] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 2, h. 371. Lihat pula peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat: al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, h. 60
[23] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 12, h. 367
[24] al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, vol. 7, h. 132. Lihat pula: Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Baghdâdî, Tafsîr al-Khâzin al-Musammâ bi Lubâbu al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, (Dâr al-Kitab al-Alamiah, 1995), vol. 5, h. 324
[25] Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 17, h. 147
[26] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 9, h. 308
[27] al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, h. 179
[28] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 9, h. 326
[29] Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsîr al-Kabîr Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), vol 23, h. 80

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
    Saya hanya mau mengucapkan terimakasih kepada pemilik blog ini atas segala isi yang ada dalam blog ini, Ayat Al-Qur'an dan Hadist yang sudah disediakan. Sangat-sangat berguna dan bermanfaat bagi saya sendiri sebagai internet explorer..
    Saya juga meminta izin untuk mengcopy untuk digunakan sebagaimana mestinya..
    semoga pemilik blog ini diberikan selalu kesehatan, dipanjangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, diampuni segala dosa-dosanya serta selalu dalam lindungan ALLAH SWT..
    Aamiin....
    Sekian, saya ucapkan terimakasih...

    Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ...

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum....mintak izin untuk disalin yaa

    BalasHapus