Jumat, 06 Februari 2015

Nabi dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Ayat Tentang Nabi dan Kenabian)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pendahuluan
Dalam keyakinan kaum muslim, terdapat salah satu keyakinan akan adanya manusia sempurna pembawa kabar gembira, yakni keyakinan kepada nabi-nabi Allah. Umat muslim meyakini adanya duapuluh lima nabi sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an. Para nabi diutus oleh Allah bukan tanpa alasan, melainya mereka diutus untuk membawa peringatan dari Allah dan kabar gembira bagi umatnya.

Masing-masing nabi mengalami cobaan dan perjalanan yang mengharukan. Keteladanan yang dicontohkan oleh para nabi terekam dari beberapa hadis nabi Muhammad dan kitab-kitab tarikh. Dalam karyanya yang berjudul Qasas al-Anbiya’, Ibn Katsir menyajikan perjalanan hidup para nabi. Semua perjalanan hidup digambarkan didasarkan dengan penjelasan al-Qur’an.[1] Ternyata, tidak hanya sarjana muslim saja yang menghasilkan karya-karya yang merekam jejak para nabi, terutama nabi Muhammad. Para orientalis juga “berbondong-bondong” menuliskan karya untuk mengulas sejarah dan hidup para nabi.

Makalah ini berusaha membahas secara singkat tentang pengertian nabi, ajaran para nabi, tugas para nabi dan keistimewaannya, serta posisi nabi Muhammad sebagai penutup para nabi sebelumnya. Semua keterangan pembahasan penulis dasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Untuk menjelaskan ayat tersebut, penulis menukil berbagai pandangan para mufassir.

Seputar Pengertian Nabi
Pada sub bab awal makalah ini, perlu kiranya penulis paparkan seputar definisi atau pengertian nabi secara lughawi dan istilahi . Secara bahasa, nabi terdiri dari kata nun, ba, hamzah, yang berarti mengabarkan. Oleh sebab itu, nabi adalah orang yang membawa kabar tentang Allah dan ajaranNya.[2] Sedangkan secara istilah, nabi adalah seorang hamba Allah yang secara khusus dipilih dan diberikan wahyu untuk dia amalkan. Wahyu tersebut adalah kabar gembira yang harus diamalkan oleh umatnya.

Adapun rasul, oleh sebagian para ulama bahasa didefinisikan sebagai manusia yang diutus oleh Allah kepada segenap manusia dengan membawa risalah. Secara istilah, rasul adalah hamba Allah yang dipilih dan diberi wahyu serta diutus kepada kaum yang kafir untuk menyampaikan wahyu Allah tersebut. Al-Dahlawi menerangkan sebab diutusnya nabi atau rasul adalah karena Allah mengetahui bahwa suatu masyarakat yang baik adalah terletak pada kepatuhan mereka kepada Allah semata.[3]

Nabi, Anbiya’ dan Nubuwah dalam al-Qur’an
Kata al-nabi dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 43 kali. Kata nabi dalam bentuk jama’, yaitu al-Anbiya’ terdapat sebanyak 5 kali. Adapun kata nubuwah yang berarti kenabian terdapat 5 kali dalam al-Qur’an.[4]

Kata nabi dalam al-Qur’an berdasarkan tema yang dibicarakan, meliputi: Orang-orang munafik yang lari pada saat perang (QS. 2: 246). Allah memberi peringatan kepada orang-orang ahli kitab yang meragukan kenabian Ibrahim. Allah juga menegaskan posisi nabi Muhammad (QS. 3: 68). Membesarkan hati orang-orang yang berperang bersama nabi Muhammad (QS. 3: 146). Nabi tidak akan menyelewengkan harta rampasan perang (QS. 3: 161). Menceritakan orang-orang ahli kitab, umat nabi Musa yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong (QS. 5: 81). Tiap-tiap nabi memiliki musuh (QS. 6: 112). Cerita nabi Syu’aib yang didustakan umatnya (QS. 7: 94). Siksa Allah tidak akan pernah menimpa orang-orang yang beriman dan mengikuti nabi Muhammad (QS. 7: 157). Dakwah nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia (QS. 7: 158).

Allah pasti akan melindungi nabi (Muhammad) serta kaumnya (QS. 8: 64). Allah memberi semangat kepada nabi dan kaumnya pada saat berperang (QS. 8: 65). Allah memberitahukan cara memberlakukan tawanan kepada nabi (Muhammad) (QS. 8: 67). Allah memberitahukan cara memberlakukan tawanan kepada nabi (Muhammad) (QS. 8: 70). Azab bagi orang-orang yang menyakiti nabi (Muhammad) (QS. 9: 61). Perintah kepada nabi (Muhammad) untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik (QS. 9: 73). Larangan bagi nabi dan orang-orang mukmin mendo’akan orang-orang kafir (QS. 9: 113). Allah menerima taubah nabi, kaum Muhajirin dan Anshar (QS. 9: 117). Semua nabi mendapat godaan dari setan (QS. 22: 52). Allah menciptakan musuh bagi para nabi (QS. 25: 31). Perintah kepada nabi agar bertakwa kepada Allah dan tidak menuruti keinginan orang-orang kafir (QS. 33: 1).

Nabi sebagai manusia yang paling utama (QS. 33: 6). Bantuan Allah kepada nabi dan umatnya pada perang Ahzab (QS. 33: 13). Ketetapan Allah kepada istri nabi (Muhammad) (QS. 33: 28). Peringatan bagi para istri nabi (Muhammad) agar tidak berlaku keji (QS. 33: 30). Perintah bagi para istri nabi (Muhammad) untuk menjadi perempuan yang tegar (QS. 33: 32). Tentang pernikahan nabi (Muhammad) dengan Zainab. Pada ayat ini sekaligus diterangkan perbedaan antara anak kandung dan angkat (QS. 33: 38). Nabi (Muhammad) sebagai pembawa kabar gembira (QS. 33: 45). Perempuan yang dibolehkan menjadi istri nabi (Muhammad) (QS. 33: 50). Adab bertamu kepada nabi Muhammad (QS. 33: 53). Alam semesta bersalawat kepada nabi Muhammad (QS. 33: 56). Perintah nabi kepada para perempuan untuk memanjangkan jilbab / menutup aurat (QS. 33: 59).

Allah menegaskan bahwa Dia telah mengutus nabi-nabi (QS. 43: 6). Para nabi mendapat cobaan, diperolok-olok (QS. 43: 7). Etika bicara kepada dan pada saat bersama nabi (QS. 49: 2). Perintah Allah kepada nabi (Muhammad) memerlakukan perempuan yang datang kepadanya dengan baik / semestinya (QS. 60: 12). Etika menceraikan istri yang disampaikan Allah kepada nabi Muhammad (QS. 65: 1). Teguran kepada nabi Muhammad pada saat nabi tidak melakukan hal-hal yang semestinya dihalalkan bagi suami istri (meminum madu untuk menyenangkan istri) (QS. 66: 1). Tentang sedikit kerenggangan istri nabi (Hafsah dan Aisyah) (QS. 66: 3). Perintah taubah kepada hamba-hamba Allah (QS. 66: 8). Perintah kepada nabi (Muhammad) untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik (QS. 66: 9).

Kata anbiya yang merupakan bentuk jama’ dari nabi disebutkan dalam: QS. Al-Baqarah [2]: 91 tentang Sikap orang Yahudi terhadap para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan Allah; QS. Ali Imran [3]: 112 tentang kemurkaan Allah kepada orang-orang ahli kitab karena telah mendustakan para nabi dan membunuh mereka; QS. Ali Imran [3]: 181 tentang azab Allah bagi orang-orang yang mencelaNya dan membunuh nabiNya; QS. Al-Nisa’ [4]: 155 tentang kutukan Allah kepada orang-orang kafir yang telah membunuh para nabi dan tidak mengimani keterangan Allah; QS. Al-Maidah [5]: 20 tentang nabi Musa yang mengingatkan kaumnya bahwa Allah telah memberi mereka nikmat dan menurunkan para nabi kepada mereka.

Kelima ayat di atas menjelaskan bagaimana posisi dan peran para nabi-nabi Allah. Mereka berupaya mengeluarkan kaumnya dari kegelapan. Dari kelima ayat di atas, tiga ayat memberikan keterangan bahwa nabi-nabi Allah dibunuh oleh orang-orang kafir. Ayat ini memperlihatkan betapa perjuangan para nabi menegakkan ajaran Allah, meski maut yang mereka hadapi.

Sedangkan kata nubuwah terdapat dalam: QS. Ali Imran [3]: 79 tentang nabi yang menyuruh umatnya menyembah Allah, bukan meneymbah dirinya sendiri; QS. Al-‘An’am [6]: 89 tentang hikmah dan kenabian yang diberikan Allah kepada para nabi untuk disampaikan kepada umatnya; QS. Al-‘Ankabut [29]: 27 tentang anugrah kenabian kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’kub; QS. Al-Jastiyah [45]: 16 menerangkan tentang bani Israil yang mengingkari kenabian nabi Muhammad, padahal mereka telah mengetahui bukti-bukti kenabiannya; QS. Al-Hadid [57]: 26 tentang  kenabian nabi Nuh dan Ibrahim serta menjadikan keturunan dari keduanya sebagai nabi.

Jika dicermati dari lima ayat di atas, kata nubuwah disandingkan dengan hikmah sebanyak dua ayat, dan kelima ayat disandingkan dengan kata al-Kitab. Hal ini menunjukkan bahwa kenabian selalu dibuktikan dengan adanya kitab yang dibawa para nabi sebagai tuntunan umatnya. Sekaligus menerangkan bahwa kenabian adalah hikmah dari Tuhan.

Islam Sebagai Ajaran Para Nabi
Dari pengertian singkat di atas, setidaknya dapat dipahami bahwa nabi adalah seorang yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umat manusia. Adapaun ajaran yang disampaikan nabi adalah islam (berpasrah kepada Allah). Ajaran islam para nabi dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an seperti:

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (135)قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136)

“Dan mereka berkata: ‘hendaklah kamu menjadi penganut Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk’. Katakanlah: ‘tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah Ibrahim dari golongan orang musyrik’. Katakanlah: ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq, Ya’qûb dan cucunya, dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi Tuhannya. Kami pun tidak membeda-bedakan seseorang diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”[5]

Ayat di atas, tidak menyebut agama para nabi sebelum Muhammad dengan agama Islâm. Tetapi ketundukan dan kepasrahan mereka terhadap Allah menunjukkan keberislaman mereka (menjadi Muslim). Ayat di atas juga diperjelas kembali dalam ayat lain

قُلْ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (84) وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (85)

“Katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq, Ya’qûb, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Mûsa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri’. Barang siapa mencari agama selain agama Islâm, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[6]

Beberapa ayat di atas menunjukkan adanya keterhubungan agama Islâm sebagai ajaran Nabi Muhammad dengan ajaran Nabi Ibrahim serta nabi-nabi lainnya yang menunjukkan kepasrahan dan mengesakan Allah. Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa pada setiap kaum, Allah akan menurunkan utusan untuk patuh dan berserah padaNya.[7] Hal ini semakin menguatkan bahwa nabi-nabi yang diutus Allah sebelum Muhammad juga mengajarkan islâm dan menjadi seorang muslim.

Ajaran kepasrahan (islâm) kepada Tuhan Yang Esa yang diserukan Nabi Muhammad juga diserukan jauh sebelumnya, yakni oleh Nabi Musa. “Berkata Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri (muslim)”.[8] Pun demikian dengan nabi Isa yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa kaumnya menyatakan kemusliman mereka.

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”[9]

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa persaksian dan kepasrahan kepada Allah telah dilakukan oleh para nabi terdahulu. Riwayat Ibn Abbâs semakin menguatkan bahwa ajaran-ajaran nabi sebelum Muhammad adalah islâm (kepasrahan pada Allah).[10] Inti ajaran para nabi adalah menyeru pada ketauhidan. Meninggalkan bentuk-bentuk tuhan ciptaan manusia itu sendiri.

Selain ayat-ayat diatas, al-Qur’an juga memberikan keterangan terkait ajaran nabi Nuh. Ayat yang menerangkan adanya hubungan mendasar antara ajaran islâm Nabi Muhammad dengan nabi Nuh adalah:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”[11]

Ayat selanjutnya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismâ’il, Ishâk, Ya’qûb dan anak cucunya, Isâ, Ayyûb, Yûnus, Harun dan Sulaimân. Dan Kami berikan Zabur kepada Daûd”[12]

“Dan Kami telah menganugerahkan Ishâk dan Ya’qûb kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Ismâil, Alyasa’, Yûnus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”

Bahkan lebih jauh lagi, al-Qur’an memberi keterangan bahwa ajaran islâm Nabi Muhammad pun telah ada sejak Âdam. Berikut ayat yang menerangkannya:
“Sesungguhnya Allah telah memilih Âdam, Nûh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imrân melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)”[13]

Ayat-ayat di atas memang tidak secara khusus menyebut ajaran para nabi –sebelum Muhammad- dengan islâm. Namun keterangan al-Qur’an menunjukkan bahwa ajaran pasrah (islâm) tidak saja berasal dari Nabi Ibrahim, tetapi jauh sebelumnya yakni Nabi Nuh dan Âdam. M. Quraish Shibab, juga menjelaskan:
“Agama, atau ketaatan pada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak pada Allah SWT. Islâm dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh pada nabi sejak Nabi Âdam hingga Nabi Muhammad SAW.”[14]

Ibn Taimiyah menegaskan bahwa sebaik-baiknya agama adalah islâm. Hal itu ia dasarkan pada Sûrah al-Nisa: 125.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”

Tugas Nabi Serta Keistimewaanya
Diutusnya seorang nabi oleh Allah bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah memiliki tujuan tersendiri pada saat mengutus para nabi kepada umatnya. Dalam ayat-ayat al-Qur’an, Allah menerangkan bahwa diutusnya nabi adalah untuk memberi kabar gembira dan peringatan Allah.

Surah al-Baqarah ayat 213
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Ayat di atas menerangkan bahwa pada mulanya umat manusia adalah satu (أُمَّةً وَاحِدَةً), sejak masa nabi Adam hingga nabi Nuh. Tetapi kemudian berpecah belah akibat dari perselisihan. (وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ) Lalu Allah menurunkan rasulnya dengan membawa kitab sebagai kabar gembira agar mereka bersatu.[15]

Selain pada ayat di atas, Allah juga menerangkan tujuan pengutusan nabi untuk membawa kabar gembira pada surah al-Nisa ayat 165
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah telah mengutus para rasulNya seperti dikisahkan, untuk memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Mereka –orang-orang yang beriman- akan mendapat pahala besar yang abadi. Melalui ayat ini, Allah sekaligus memberi peringatan bagi orang-orang kafir. Ayat ini akan menjawab pertanyaan orang-orang kafir saat mereka bertanya “Mengapa Tuhan tidak mengutus rasul?”.[16]

Pengutusan rasul Allah untuk memberi peringatan juga diterangkan pada surah Ibrahim ayat 5.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآَيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.’ Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.
(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى) Ayat ini menerangkan kisah nabi Musa yang diutus Allah untuk mengeluarkan kaumnya dari kegelapan menuju cahaya. (وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ) Musa diperintahkan agar mengingatkan kaumnya atas nikmat Allah sebagaimana telah diberikan pula kepada para nabi sebelumnya. Musa juga diperintahkan kepada orang-orang yang kafir kepada Allah akan siksa dan azabnya. Musa sendiri pernah mengalami kehidupan yang penuh derita, yakni ketika masa Fir’aun yang memperbudak bani Israil. Tetapi, Musa juga pernah merasakan nikmat yang luar bisa ketika ia menyelamatkan bani Israil dari para musuhnya dengan membelah lautan.[17]

Kenabian adalah sesuatu yang istimewa yang diberikan Allah kepada hamba pilihannya. Kenabian adalah pilihan Allah. Seseorang tidak akan dapat menempuh jalan menuju etape atau tingkat kenabian, walaupun dengan segala upaya dalam ibadahnya. Kenabian adalah kehendak Allah semata. Pada ayat 74 surah Ali Imran diterangkan
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar

Pada ayat ini dijelaskan bahwa rahmat Allah kepadanya nabiNya adalah karunia Allah semata. Rahmat Allah juga diberikan kepada semua hambanya. Tidak terbatas pada golongan tertentu. Allah memberikan rahmat atas kehendaknya, bukan seperti yang dikatakan oleh bani Israil bahwa rahmat Allah hanya terbatas kepada mereka saja. Oleh sebab itu, Allah berhak pula mengutus nabiNya kepada bangsa yang dikehendaki.[18]
Pada ayat lain, Allah menegaskan bahwa kenabian semata-mata pilihan Allah. Allah berfirman dalam surah al-Hajj: 75
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Al-Thabari menjelaskan bahwa menurut sebagian riwayat ayat ini turun tatkala orang-orang musyrik bertanya “Apakah diutus kepada kami seorang nabi?”. Maka ayat ini memberi jawaban atas mereka –orang-orang musyrik.[19] Al-Baghawi menerangkan kata (الْمَلَائِكَةِ) dalam ayat ini dengan menyebut nama-nama malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil dan seterusnya. Demikian pula pada saat menerangkan kata (رُسُلًا), bahwa Allah telah memilih manusia sebagai utusannya (rasul) seperti Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad serta nabi-nabi yang lain.[20]

Allah juga menjelaskan pada surah al-Anbiya ayat 73.
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلا جَعَلْنَا صَالِحِينَ (72) وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ (73)
“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.”

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa para nabi yakni Ibrahim, Ishak, Ya’qub diangkat oleh Allah menjadi orang-orang yang saleh (وَكُلا جَعَلْنَا صَالِحِينَ). Lalu dengan kesalehan tersebut, Allah menjadikannya sebagai pemimpin. (وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً) Allah telah menjadikan mereka yakni nabi Ibrahim, Ishak, Ya’qub sebagai pemimpin bagi umatnya. Mereka –para nabi- menyeru pada kebaikan, taat kepada Allah dan menjalankan segala perintahnya.[21]

Dari uraian di atas, penulis mencermati bahwa tugas utama para nabi adalah memberi peringatan pada kaumnya yang mendustakan ajaran Allah. Mereka –para kaum nabi- diluruskan kembali atas kehadiran para nabi-nabi Allah. Para nabi memiliki keistimewaan disisi Allah. Ia adalah manusia-manusia pilihan Allah. Mereka dijadikan sebagai pemimpin suatu kaum untuk membawa kaumnya kepada jalan tauhid.

Tentang Muhammad dan Kenabiannya
Sebagai nabi pembawa risalah Islam, Muhammad ibn Abdullah telah tercatat dalam sejarah peradaban sebagai orang yang punya pengaruh besar terhadap sebuah perubahan. Ayahnya bernama Abdu Allah dan ibunya bernama Aminah. Karena pengaruhnya yang sedemikian besar, maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat mengagungkan. Dalam diri nabi Muhammad terdapat kesempurnaan sifat dan sikap. Ia teladan yang wajib diteladani oleh seluruh umat manusia di jagat raya. Pengakuan atas kesempurnaannya tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi juga umat Nasrani dan Yahudi. Meski banyak pula yang mencercanya.
Setiap tanggal 12 Rabi’u al-Awwal, umat Muslim sedunia memperingati hari lahirnya.[22] 

Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Tentu saja sebagai representasi dari rasa cinta umat Islam terhadapnya. Lantunan sahdu salawat tersanjung untuk Muhammad Sang Kekasih Tuhan. Momentum peringatan hari lahir Nabi Muhammad, atau yang sering disebut Mawlid Nabi adalah titik tolak untuk membangkitkan semangat umat Muslim agar berpegang pada ajaran yang ia bawa; sebagai wujud cinta umat pada Nabinya; serta berharap agar kelak dipertemukan dengannya di hari akhir. Bagi umat Islam Indonesia, peringatan Mawlid Nabi atau yang sering disebut muludan menjadi bumbu ekspresi keagamaan tersendiri.

Tanda-tanda bahwa Muhammad akan hadir sebagai nabi pembawa risalah Allah telah terlihat jauh sebelum kelahirannya. Ramalan orang ahli kitab menyebutkan akan hadirnya Muhammad. Pada saat Siti Aminah mengandung, ia merasakan hal-hal aneh. Aminah mendapat bisikan dari langit bahwa anak yang sedang dikandung adalah manusia pilihan. Bahkan nama Muhammad pun adalah pilihan dari bisikan tersebut. Pada hari kelahiran Muhammad, rumah Siti Aminah seakan mengeluarkan cahaya yang terang.[23]

Sebagai seorang yang mulia, nabi Muhammad pun terlahir dari keturunan yang mulia. Beberapa sumber riwayat menyebut nasab nabi Muhammad sampai kepada nabi Ismail dan Ibrahim, bahkan hingga nabi Adam.[24] Tentu, ini merupakan pilihan dari Allah. Bahwa setiap nabi yang diutusNya adalah seorang mulia, dari keturunan yang mulia pula.

Kenabian nabi Muhammad diawali dengan kebiasaan nabi yang gemar ber-tahannus. Nabi gemar menyendiri. Pada masa-masa menjelang kenabian ia seringkali bermimpi. Mimpi tersebut adalah merupakan pembukaan sebelum akhirnya ia mendapat wahyu pertama, surah al-‘Alaq ayat 1-5. Dalam penyendiriannya ia terkaget-kaget dengan datangnya wahyu Allah tersebut melalui malaikat Jibril. Ia pun segera kembali kerumah. Sesampainya dirumah ia sampaikan peristiwa yang dialaminya dengan penuh kecemasan. Sang istri Khadijah pun menenangkan hati nabi.[25]

Didalam al-Qur’an, kisah tentang nabi Muhammad amat sangat banyak. Penulis mencoba membatasi ayat-ayat yang berkenaan tentang nabi Muhammad seperti terdapat dalam surah berikut ini: tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengenal nabi Muhammad tetapi mereka menyembunyikannya (QS. 2: 146); Muhammad adalah rasul yang diutus setelah para rasul sebelumnya (QS. 3: 144); Muhammad dijadikan saksi (QS. 4: 41); Allah membesarkan hati nabi Muhammad agar tidak bersedih karena kemusyrikan orang-orang Makkah (QS. 26: 3); nabi Muhammad bukanlah bapak dari laki-laki, melainkan seorang rasul Allah. Ayat ini menerangkan tentang anak angkat dan anak kandung (QS. 33: 40); sifat nabi Muhammad dalam kitab taurat dan injil (QS. 48: 29) dan teguran Allah ketika nabi Muhammad bermuka masam (QS. 80: 1-4).

Pada surah al-Baqarah ayat 2, Allah menginformasikan bahwa sejatinya orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengenal sosok Muhammad, nabi Allah. Tetapi mereka ingkar akan hal itu.
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.

Dari redaksi ayat di atas menunjukkan bahwa kenabian Muhammad telah termaktub dalam kitab Taurat dan Injil. Al-Maraghi menjelaskan bahwa seorang pendeta Yahudi bernama Abdul Allah ibn Salam menyatakan bahwa ia telah mengenal Muhammad dari keterangan kitab sucinya. Bahkan ia mengatakan jika lebih mengenal Muhammad dari pada anaknya sendiri. Tetapi justru keterangan dari kitab-kitab terdahulu tersebut diingkari oleh para ahli kitab itu sendiri.[26] Dari informasi ayat ini, dapat dipastikan bahwa Muhammad memiliki keistimewaan dari para nabi-nabi sebelumnya. Termaktubnya nama Muhammad dalam kitab suci mereka menunjukkan bahwa Muhammad telah diakui kenabiannya oleh para nabi.

Pada ayat lain juga diterangkan bahwa Muhammad adalah rasul yang diutus setelah para rasul sebelumnya, pada surah Ali Imran ayat 144
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Penulis kiranya perlu menggarisbawahi kalimat (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ) yang dapat dimaknai sebagai Muhammad adalah rasul diantara rasul-rasul lainnya yang telah diturunkan Allah kepada umatnya masing-masing. Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, munurut beberapa ulama tafsir adalah pada saat terjadi perang Uhud. Pada saat orang-orang Yahudi beranggapan bahwa Muhammad telah mati, Umar marah dan akan memenggal kepala orang-orang yang mengatakan nabi telah mati. Ayat ini berarti menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah manusia biasa yang dapat mati dalam peperangan, jika Allah menghendaki.[27]

Dalam pandangan sufistik, nabi Muhammad memiliki tempat yang paling mulia diantara para nabi sebelumnya. Menurut Sahl al-Tustari sebagaimana dikutip Anwar Syarifuddin menerangkan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah yang penuh kemuliaan, yaitu dari cahaya Muhammad.[28] Hal ini berarti bahwa sesungguhnya Allah telah mempersiapkan akan adanya nabi yang paling mulia, yakni Muhammad jauh sebelum kelahirannya.

Sebagai manusia sempurna, jalan hidup nabi tidak berjalan mulus. Ia mengalami cacian dan cercaan orang-orang kafir yang memusuhinya. Dalam sebuah ayat dikisahnya saat nabi bersedih karena kemusyrikan orang-orang Makkah, seperti tercantum dalam surah al-Syuara’ ayat 3
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Apakah kamu (muhammad) akan melakukan bunuh diri karena bersedih akibat kaummu tidak mau beriman

Meski nabi Muhammad sebagai manusia sempurna, tetapi ia pernah mendapat teguran dari Allah atas sikapnya, sebagaimana dalam surah ‘Abasa ayat 1-4
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4)

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”
Menurut beberapa mufassir, ayat ini turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah saw. Lalu berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya Rasul.” Pada saat waktu itu Rasulullah saw. sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasul menjawab: “Tidak.”[29]

Penutup
Simpulan dari makalah ini adalah: para nabi adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk mengeluarkan manusia dari jurang kemusyrikan. Para nabi adalah manusia-manusia pilihan Allah dan Allah telah memberi mereka keistimewaan. Keistimewan para nabi antara lain adalah diangkat derajat keimanannya; dijadikan sebagai pemimpin; dan para nabi dibelaki kitab Allah dan hikmahNya. Kenabian para nabi kemudian ditutup dengan lahirnya nabi terakhir yakni Muhammad. Sebagai nabi terakhir, nabi Muhammad memiliki keistimewaan tersendiri, salah satu adalah kabar kenabiannya yang termaktub dalam kitab suci sebelumnya. Selainnya itu, Allah beserta seluruh alam bersalawat kepadanya.



[1] Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail ibn Katsir, Qasas al-Anbiya’, (Mesir: Dar al-Thaba’ah al-Nasr al-Islamiyah, 1997)
[2] Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h. 162
[3] Syah Waliyullah al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, (Beirut: Dâr al-Jîl, 2005), vol. 1, h. 156
[4] Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam Mufahras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), h. 686
[5] Surah Al-Baqarah: 135-136
[6] Surah Ali Imran: 84-85
[7] Sûrah al-Ra’d: 7
[8] Sûrah Yunus: 84
[9] Ali Imrân: 52
[10] Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 52
[11] Sûrah Al-Syura: 13
[12] Sûrah Al-Nisa’: 163
[13] Sûrah Ali Imrân: 33
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet-7, vol, 2, h. 40
[15] Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 1, h. 243
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî, (Mesir: Maktabah Musthafa, 1946), vol. 6, h. 23.
[17] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 13, h. 129.
[18] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 3, h. 183.
[19] Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hijrah, 2001), vol 16, h. 638
[20] al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl,  vol. 5, h. 400
[21] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hijrah, 2001), vol 16, h. 317.
[22] Tentang kelahiran nabi Muhammad telah banyak diulas oleh para ulama. Jumhur ulama mencatat kelahiran Muhammad pada 12 Rabi’i al-Awwal tahun “Gajah” di kota Makkah. Lihat: Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, Jawâmi’ al-Sîrah wa Khamsa Rasâil al-Ukhra li Ibn Hazm, Ihsan Abbas (editor), (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1900), h. 5. Namun demikian, ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa kelahiran nabi Muhammad bukan pada bulan 12 Rabi’i al-Awwal, tetapi tanggal 9. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa Muhammad lahir pada 13 Muharram, dan adapula yang menyebut pada bulan Ramadhan. Lihat: M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW; dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, (Ciputat: Lentera Hati, 2014), h. 211. Tentang perbedaan hari kelahiran nabi Muhammad juga diulas oleh Yahya ibn Said, dalam: Muhammad ibn Abdu Allah ibn Yahya ibn Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, (Beirut: Muasasah ‘Izu al-Din Li al-Thaba’ah, 1986), vol 1, h. 39
[23] Yahya ibn Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, vol 1, h. 45. Lihat pula dalam: M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 200
[24] Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, Jawâmi’ al-Sîrah wa Khamsa Rasâil al-Ukhra li Ibn Hazm, h. 2.
[25] Yahya ibn Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, vol 1, h. 116
[26] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr al-Maraghî,  vol. 2, h. 13.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), vol 2, h. 438. Lihat sebab turunnya ayat dalam: Jalâluddin Abi Abdu al-Rahman al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: al-Kitab al-Tsaqafiah, 2002), h. 64
[28] Anwar Syarifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009, h. 228
[29] al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, h. 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar