Oleh: Ali Thaufan DS
Pendahuluan
Dalam keyakinan kaum muslim, terdapat salah satu
keyakinan akan adanya manusia sempurna pembawa kabar gembira, yakni
keyakinan kepada nabi-nabi Allah. Umat muslim meyakini adanya duapuluh lima nabi
sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an. Para nabi diutus oleh Allah bukan
tanpa alasan, melainya mereka diutus untuk membawa peringatan dari Allah dan
kabar gembira bagi umatnya.
Masing-masing nabi mengalami
cobaan dan perjalanan yang mengharukan. Keteladanan yang dicontohkan oleh para
nabi terekam dari beberapa hadis nabi Muhammad dan kitab-kitab tarikh. Dalam
karyanya yang berjudul Qasas al-Anbiya’, Ibn Katsir menyajikan perjalanan hidup
para nabi. Semua perjalanan hidup digambarkan didasarkan dengan penjelasan
al-Qur’an.[1] Ternyata,
tidak hanya sarjana muslim saja yang menghasilkan karya-karya yang merekam
jejak para nabi, terutama nabi Muhammad. Para orientalis juga
“berbondong-bondong” menuliskan karya untuk mengulas sejarah dan hidup para
nabi.
Makalah ini berusaha
membahas secara singkat tentang pengertian nabi, ajaran para nabi, tugas para nabi dan keistimewaannya, serta
posisi nabi Muhammad sebagai penutup para nabi sebelumnya. Semua keterangan
pembahasan penulis dasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Untuk menjelaskan ayat
tersebut, penulis menukil berbagai pandangan para mufassir.
Seputar
Pengertian Nabi
Pada
sub bab awal makalah ini, perlu kiranya penulis paparkan seputar definisi atau
pengertian nabi secara lughawi dan istilahi . Secara bahasa, nabi terdiri dari kata nun, ba,
hamzah, yang berarti mengabarkan. Oleh sebab itu, nabi adalah orang yang
membawa kabar tentang Allah dan ajaranNya.[2]
Sedangkan secara istilah, nabi adalah seorang hamba Allah yang secara khusus
dipilih dan diberikan wahyu untuk dia amalkan. Wahyu tersebut adalah kabar
gembira yang harus diamalkan oleh umatnya.
Adapun rasul, oleh sebagian para ulama bahasa didefinisikan
sebagai manusia yang diutus oleh Allah kepada segenap manusia dengan membawa
risalah. Secara istilah, rasul adalah hamba Allah yang dipilih dan diberi wahyu
serta diutus kepada kaum yang kafir untuk menyampaikan wahyu Allah tersebut.
Al-Dahlawi menerangkan sebab diutusnya nabi atau rasul adalah karena Allah
mengetahui bahwa suatu masyarakat yang baik adalah terletak pada kepatuhan
mereka kepada Allah semata.[3]
Nabi,
Anbiya’ dan Nubuwah dalam al-Qur’an
Kata
al-nabi dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 43 kali. Kata nabi
dalam bentuk jama’, yaitu al-Anbiya’ terdapat sebanyak 5 kali. Adapun
kata nubuwah yang berarti kenabian terdapat 5 kali dalam al-Qur’an.[4]
Kata
nabi dalam al-Qur’an berdasarkan tema yang dibicarakan, meliputi: Orang-orang
munafik yang lari pada saat perang (QS. 2: 246). Allah memberi peringatan
kepada orang-orang ahli kitab yang meragukan kenabian Ibrahim. Allah juga
menegaskan posisi nabi Muhammad (QS. 3: 68). Membesarkan hati orang-orang yang
berperang bersama nabi Muhammad (QS. 3: 146). Nabi tidak akan menyelewengkan
harta rampasan perang (QS. 3: 161). Menceritakan orang-orang ahli kitab, umat
nabi Musa yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong (QS. 5: 81).
Tiap-tiap nabi memiliki musuh (QS. 6: 112). Cerita nabi Syu’aib yang didustakan
umatnya (QS. 7: 94). Siksa Allah tidak akan pernah menimpa orang-orang yang
beriman dan mengikuti nabi Muhammad (QS. 7: 157). Dakwah nabi Muhammad kepada
seluruh umat manusia (QS. 7: 158).
Allah
pasti akan melindungi nabi (Muhammad) serta kaumnya (QS. 8: 64). Allah memberi
semangat kepada nabi dan kaumnya pada saat berperang (QS. 8: 65). Allah
memberitahukan cara memberlakukan tawanan kepada nabi (Muhammad) (QS. 8: 67).
Allah memberitahukan cara memberlakukan tawanan kepada nabi (Muhammad) (QS. 8:
70). Azab bagi orang-orang yang menyakiti nabi (Muhammad) (QS. 9: 61). Perintah
kepada nabi (Muhammad) untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik (QS. 9: 73).
Larangan bagi nabi dan orang-orang mukmin mendo’akan orang-orang kafir (QS. 9:
113). Allah menerima taubah nabi, kaum Muhajirin dan Anshar (QS. 9: 117). Semua
nabi mendapat godaan dari setan (QS. 22: 52). Allah menciptakan musuh bagi para
nabi (QS. 25: 31). Perintah kepada nabi agar bertakwa kepada Allah dan tidak
menuruti keinginan orang-orang kafir (QS. 33: 1).
Nabi
sebagai manusia yang paling utama (QS. 33: 6). Bantuan Allah kepada nabi dan
umatnya pada perang Ahzab (QS. 33: 13). Ketetapan Allah kepada istri nabi
(Muhammad) (QS. 33: 28). Peringatan bagi para istri nabi (Muhammad) agar tidak
berlaku keji (QS. 33: 30). Perintah bagi para istri nabi (Muhammad) untuk menjadi
perempuan yang tegar (QS. 33: 32). Tentang pernikahan nabi (Muhammad) dengan
Zainab. Pada ayat ini sekaligus diterangkan perbedaan antara anak kandung dan
angkat (QS. 33: 38). Nabi (Muhammad) sebagai pembawa kabar gembira (QS. 33: 45).
Perempuan yang dibolehkan menjadi istri nabi (Muhammad) (QS. 33: 50). Adab
bertamu kepada nabi Muhammad (QS. 33: 53). Alam semesta bersalawat kepada nabi
Muhammad (QS. 33: 56). Perintah nabi kepada para perempuan untuk memanjangkan
jilbab / menutup aurat (QS. 33: 59).
Allah
menegaskan bahwa Dia telah mengutus nabi-nabi (QS. 43: 6). Para nabi mendapat
cobaan, diperolok-olok (QS. 43: 7). Etika bicara kepada dan pada saat bersama
nabi (QS. 49: 2). Perintah Allah kepada nabi (Muhammad) memerlakukan perempuan
yang datang kepadanya dengan baik / semestinya (QS. 60: 12). Etika menceraikan
istri yang disampaikan Allah kepada nabi Muhammad (QS. 65: 1). Teguran kepada
nabi Muhammad pada saat nabi tidak melakukan hal-hal yang semestinya dihalalkan
bagi suami istri (meminum madu untuk menyenangkan istri) (QS. 66: 1). Tentang
sedikit kerenggangan istri nabi (Hafsah dan Aisyah) (QS. 66: 3). Perintah
taubah kepada hamba-hamba Allah (QS. 66: 8). Perintah kepada nabi (Muhammad)
untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik (QS. 66: 9).
Kata
anbiya yang merupakan bentuk jama’ dari nabi disebutkan dalam: QS.
Al-Baqarah [2]: 91 tentang Sikap orang Yahudi terhadap para rasul dan
kitab-kitab yang diturunkan Allah; QS. Ali Imran [3]: 112 tentang kemurkaan
Allah kepada orang-orang ahli kitab karena telah mendustakan para nabi dan
membunuh mereka; QS. Ali Imran [3]: 181 tentang azab Allah bagi orang-orang
yang mencelaNya dan membunuh nabiNya; QS. Al-Nisa’ [4]: 155 tentang kutukan
Allah kepada orang-orang kafir yang telah membunuh para nabi dan tidak
mengimani keterangan Allah; QS. Al-Maidah [5]: 20 tentang nabi Musa yang
mengingatkan kaumnya bahwa Allah telah memberi mereka nikmat dan menurunkan
para nabi kepada mereka.
Kelima
ayat di atas menjelaskan bagaimana posisi dan peran para nabi-nabi Allah. Mereka
berupaya mengeluarkan kaumnya dari kegelapan. Dari kelima ayat di atas, tiga
ayat memberikan keterangan bahwa nabi-nabi Allah dibunuh oleh orang-orang
kafir. Ayat ini memperlihatkan betapa perjuangan para nabi menegakkan ajaran
Allah, meski maut yang mereka hadapi.
Sedangkan
kata nubuwah terdapat dalam: QS. Ali Imran [3]: 79 tentang nabi yang
menyuruh umatnya menyembah Allah, bukan meneymbah dirinya sendiri; QS.
Al-‘An’am [6]: 89 tentang hikmah dan kenabian yang diberikan Allah kepada para
nabi untuk disampaikan kepada umatnya; QS. Al-‘Ankabut [29]: 27 tentang anugrah
kenabian kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’kub; QS. Al-Jastiyah [45]: 16 menerangkan
tentang bani Israil yang mengingkari kenabian nabi Muhammad, padahal mereka
telah mengetahui bukti-bukti kenabiannya; QS. Al-Hadid [57]: 26 tentang kenabian nabi Nuh dan Ibrahim serta
menjadikan keturunan dari keduanya sebagai nabi.
Jika
dicermati dari lima ayat di atas, kata nubuwah disandingkan dengan hikmah
sebanyak dua ayat, dan kelima ayat disandingkan dengan kata al-Kitab. Hal ini
menunjukkan bahwa kenabian selalu dibuktikan dengan adanya kitab yang dibawa
para nabi sebagai tuntunan umatnya. Sekaligus menerangkan bahwa kenabian adalah
hikmah dari Tuhan.
Islam Sebagai Ajaran Para Nabi
Dari pengertian singkat di atas, setidaknya dapat
dipahami bahwa nabi adalah seorang yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Allah kepada umat manusia. Adapaun ajaran yang disampaikan nabi
adalah islam (berpasrah kepada Allah). Ajaran islam para nabi dijelaskan dalam
banyak ayat al-Qur’an seperti:
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (135)قُولُوا آَمَنَّا
بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا
أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136)
“Dan mereka berkata: ‘hendaklah kamu menjadi
penganut Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk’. Katakanlah:
‘tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah
Ibrahim dari golongan orang musyrik’. Katakanlah: ‘kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismâil, Ishâq, Ya’qûb dan cucunya, dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi
Tuhannya. Kami pun tidak membeda-bedakan seseorang diantara mereka dan kami
hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.”[5]
Ayat di atas, tidak menyebut agama para nabi
sebelum Muhammad dengan agama Islâm. Tetapi ketundukan dan kepasrahan mereka
terhadap Allah menunjukkan keberislaman mereka (menjadi Muslim). Ayat di atas juga
diperjelas kembali dalam ayat lain
قُلْ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا
أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا
نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (84) وَمَنْ يَبْتَغِ
غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ (85)
“Katakanlah: ‘Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Ismâil, Ishâq, Ya’qûb, dan anak-anaknya, dan apa
yang diberikan kepada Mûsa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami
menyerahkan diri’. Barang siapa mencari agama selain agama Islâm, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.”[6]
Beberapa ayat di atas menunjukkan adanya
keterhubungan agama Islâm sebagai ajaran Nabi Muhammad dengan ajaran Nabi
Ibrahim serta nabi-nabi lainnya yang menunjukkan kepasrahan dan mengesakan
Allah. Al-Qur’an memberikan isyarat bahwa pada setiap kaum, Allah akan
menurunkan utusan untuk patuh dan berserah padaNya.[7] Hal ini
semakin menguatkan bahwa nabi-nabi yang diutus Allah sebelum Muhammad juga
mengajarkan islâm dan menjadi seorang muslim.
Ajaran kepasrahan (islâm) kepada Tuhan Yang Esa
yang diserukan Nabi Muhammad juga diserukan jauh sebelumnya, yakni oleh Nabi
Musa. “Berkata Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada
Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri (muslim)”.[8] Pun demikian dengan nabi Isa yang dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
kaumnya menyatakan kemusliman mereka.
“Maka tatkala Isa
mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: ‘Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyin
(sahabat-sahabat setia) menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah,
kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang berserah diri.”[9]
Ibn Abbas meriwayatkan
bahwa persaksian dan kepasrahan kepada Allah telah dilakukan oleh para nabi
terdahulu. Riwayat Ibn Abbâs semakin menguatkan bahwa ajaran-ajaran nabi
sebelum Muhammad adalah islâm (kepasrahan pada Allah).[10] Inti ajaran para nabi
adalah menyeru pada ketauhidan. Meninggalkan bentuk-bentuk tuhan ciptaan
manusia itu sendiri.
Selain ayat-ayat diatas,
al-Qur’an juga memberikan keterangan terkait ajaran nabi Nuh. Ayat yang
menerangkan adanya hubungan mendasar antara ajaran islâm Nabi Muhammad dengan
nabi Nuh adalah:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).”[11]
Ayat selanjutnya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismâ’il,
Ishâk, Ya’qûb dan anak cucunya, Isâ, Ayyûb, Yûnus, Harun dan Sulaimân. Dan Kami
berikan Zabur kepada Daûd”[12]
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishâk dan Ya’qûb kepadanya.
Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum
itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya
(Nuh) yaitu Daûd, Sulaimân, Ayyûb, Yûsuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa
dan Ilyâs. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Ismâil, Alyasa’, Yûnus
dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), Dan
Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan
saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi
dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Bahkan lebih jauh lagi, al-Qur’an memberi keterangan bahwa
ajaran islâm Nabi Muhammad pun telah ada sejak Âdam. Berikut ayat yang
menerangkannya:
“Sesungguhnya Allah telah memilih Âdam, Nûh, keluarga
Ibrahim dan keluarga Imrân melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)”[13]
Ayat-ayat di atas memang tidak secara khusus menyebut ajaran
para nabi –sebelum Muhammad- dengan islâm. Namun keterangan al-Qur’an
menunjukkan bahwa ajaran pasrah (islâm) tidak saja berasal dari Nabi Ibrahim,
tetapi jauh sebelumnya yakni Nabi Nuh dan Âdam. M. Quraish Shibab, juga
menjelaskan:
“Agama,
atau ketaatan pada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak pada Allah
SWT. Islâm dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan
diajarkan oleh pada nabi sejak Nabi Âdam hingga Nabi Muhammad SAW.”[14]
Ibn Taimiyah menegaskan
bahwa sebaik-baiknya agama adalah islâm. Hal itu ia dasarkan pada Sûrah
al-Nisa: 125.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya.”
Tugas
Nabi Serta Keistimewaanya
Diutusnya seorang nabi oleh
Allah bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah memiliki tujuan tersendiri pada saat
mengutus para nabi kepada umatnya. Dalam ayat-ayat al-Qur’an, Allah menerangkan
bahwa diutusnya nabi adalah untuk memberi kabar gembira dan peringatan Allah.
Surah al-Baqarah ayat 213
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ
أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Manusia
itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Ayat di atas menerangkan bahwa pada mulanya umat
manusia adalah satu (أُمَّةً وَاحِدَةً), sejak masa nabi Adam hingga nabi Nuh. Tetapi kemudian
berpecah belah akibat dari perselisihan. (وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ) Lalu Allah menurunkan
rasulnya dengan membawa kitab sebagai kabar gembira agar mereka bersatu.[15]
Selain pada ayat di atas,
Allah juga menerangkan tujuan pengutusan nabi untuk membawa kabar gembira pada
surah al-Nisa ayat 165
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ
حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah telah mengutus
para rasulNya seperti dikisahkan, untuk memberi kabar gembira bagi orang-orang
yang beriman. Mereka –orang-orang yang beriman- akan mendapat pahala besar yang
abadi. Melalui ayat ini, Allah sekaligus memberi peringatan bagi orang-orang
kafir. Ayat ini akan menjawab pertanyaan orang-orang kafir saat mereka bertanya
“Mengapa Tuhan tidak mengutus rasul?”.[16]
Pengutusan rasul Allah untuk
memberi peringatan juga diterangkan pada surah Ibrahim ayat 5.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآَيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan
membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): ‘Keluarkanlah kaummu
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada
hari-hari Allah.’ Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”
(وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى) Ayat ini menerangkan kisah
nabi Musa yang diutus Allah untuk mengeluarkan kaumnya dari kegelapan menuju
cahaya. (وَذَكِّرْهُمْ
بِأَيَّامِ اللَّهِ) Musa diperintahkan agar mengingatkan kaumnya atas
nikmat Allah sebagaimana telah diberikan pula kepada para nabi sebelumnya. Musa
juga diperintahkan kepada orang-orang yang kafir kepada Allah akan siksa dan
azabnya. Musa sendiri pernah mengalami kehidupan yang penuh derita, yakni
ketika masa Fir’aun yang memperbudak bani Israil. Tetapi, Musa juga pernah
merasakan nikmat yang luar bisa ketika ia menyelamatkan bani Israil dari para
musuhnya dengan membelah lautan.[17]
Kenabian adalah sesuatu yang istimewa yang diberikan Allah kepada hamba
pilihannya. Kenabian adalah pilihan Allah. Seseorang tidak akan dapat menempuh
jalan menuju etape atau tingkat kenabian, walaupun dengan segala upaya dalam
ibadahnya. Kenabian adalah kehendak Allah semata. Pada ayat 74 surah Ali Imran
diterangkan
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Allah
menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah
mempunyai karunia yang besar”
Pada ayat ini dijelaskan bahwa rahmat Allah kepadanya
nabiNya adalah karunia Allah semata. Rahmat Allah juga diberikan kepada semua
hambanya. Tidak terbatas pada golongan tertentu. Allah memberikan rahmat atas
kehendaknya, bukan seperti yang dikatakan oleh bani Israil bahwa rahmat Allah
hanya terbatas kepada mereka saja. Oleh sebab itu, Allah berhak pula mengutus
nabiNya kepada bangsa yang dikehendaki.[18]
Pada ayat lain, Allah menegaskan
bahwa kenabian semata-mata pilihan Allah. Allah berfirman dalam surah al-Hajj:
75
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ
سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Allah
memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Al-Thabari menjelaskan bahwa
menurut sebagian riwayat ayat ini turun tatkala orang-orang musyrik bertanya
“Apakah diutus kepada kami seorang nabi?”. Maka ayat ini memberi jawaban atas
mereka –orang-orang musyrik.[19] Al-Baghawi menerangkan kata (الْمَلَائِكَةِ) dalam
ayat ini dengan menyebut nama-nama malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil dan
seterusnya. Demikian pula pada saat menerangkan kata (رُسُلًا),
bahwa Allah telah memilih manusia sebagai utusannya (rasul) seperti Ibrahim,
Musa, Isa dan Muhammad serta nabi-nabi yang lain.[20]
Allah juga menjelaskan pada
surah al-Anbiya ayat 73.
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ نَافِلَةً وَكُلا جَعَلْنَا
صَالِحِينَ (72) وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا يَهْدُونَ
بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَكَانُوا لَنَا
عَابِدِينَ (73)
“Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim)
lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya
Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.”
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa para nabi yakni Ibrahim,
Ishak, Ya’qub diangkat oleh Allah menjadi orang-orang yang saleh (وَكُلا جَعَلْنَا صَالِحِينَ).
Lalu dengan kesalehan tersebut, Allah menjadikannya sebagai pemimpin. (وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً) Allah telah menjadikan mereka
yakni nabi Ibrahim, Ishak, Ya’qub sebagai pemimpin bagi umatnya. Mereka –para
nabi- menyeru pada kebaikan, taat kepada Allah dan menjalankan segala
perintahnya.[21]
Dari uraian di atas, penulis mencermati bahwa tugas
utama para nabi adalah memberi peringatan pada kaumnya yang mendustakan ajaran
Allah. Mereka –para kaum nabi- diluruskan kembali atas kehadiran para nabi-nabi
Allah. Para nabi memiliki keistimewaan disisi Allah. Ia adalah manusia-manusia
pilihan Allah. Mereka dijadikan sebagai pemimpin suatu kaum untuk membawa
kaumnya kepada jalan tauhid.
Tentang
Muhammad dan Kenabiannya
Sebagai
nabi pembawa risalah Islam, Muhammad ibn Abdullah telah tercatat dalam sejarah peradaban
sebagai orang yang punya pengaruh besar terhadap sebuah perubahan. Ayahnya bernama Abdu Allah dan ibunya bernama
Aminah. Karena pengaruhnya yang sedemikian
besar, maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat mengagungkan. Dalam diri
nabi Muhammad terdapat kesempurnaan sifat dan sikap. Ia teladan yang wajib
diteladani oleh seluruh umat manusia di jagat
raya. Pengakuan atas kesempurnaannya tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi
juga umat Nasrani dan Yahudi. Meski banyak pula yang mencercanya.
Setiap tanggal 12 Rabi’u al-Awwal, umat Muslim sedunia
memperingati hari lahirnya.[22]
Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Tentu saja sebagai representasi dari
rasa cinta umat Islam terhadapnya. Lantunan sahdu salawat tersanjung untuk
Muhammad Sang Kekasih Tuhan. Momentum peringatan hari lahir Nabi Muhammad, atau
yang sering disebut Mawlid Nabi adalah titik tolak untuk membangkitkan
semangat umat Muslim agar berpegang pada ajaran yang ia bawa; sebagai wujud
cinta umat pada Nabinya; serta berharap agar kelak dipertemukan dengannya
di hari akhir. Bagi umat Islam Indonesia,
peringatan Mawlid Nabi atau yang sering disebut muludan menjadi bumbu ekspresi keagamaan tersendiri.
Tanda-tanda
bahwa Muhammad akan hadir sebagai nabi pembawa risalah Allah telah terlihat
jauh sebelum kelahirannya. Ramalan orang ahli kitab menyebutkan akan hadirnya
Muhammad. Pada saat Siti Aminah mengandung, ia merasakan hal-hal aneh. Aminah
mendapat bisikan dari langit bahwa anak yang sedang dikandung adalah manusia
pilihan. Bahkan nama Muhammad pun adalah pilihan dari bisikan tersebut. Pada
hari kelahiran Muhammad, rumah Siti Aminah seakan mengeluarkan cahaya yang
terang.[23]
Sebagai
seorang yang mulia, nabi Muhammad pun terlahir dari keturunan yang mulia. Beberapa
sumber riwayat menyebut nasab nabi Muhammad sampai kepada nabi Ismail dan
Ibrahim, bahkan hingga nabi Adam.[24]
Tentu, ini merupakan pilihan dari Allah. Bahwa setiap nabi yang diutusNya
adalah seorang mulia, dari keturunan yang mulia pula.
Kenabian
nabi Muhammad diawali dengan kebiasaan nabi yang gemar ber-tahannus. Nabi
gemar menyendiri. Pada masa-masa menjelang kenabian ia seringkali bermimpi.
Mimpi tersebut adalah merupakan pembukaan sebelum akhirnya ia mendapat wahyu pertama,
surah al-‘Alaq ayat 1-5. Dalam penyendiriannya ia terkaget-kaget dengan
datangnya wahyu Allah tersebut melalui malaikat Jibril. Ia pun segera kembali
kerumah. Sesampainya dirumah ia sampaikan peristiwa yang dialaminya dengan
penuh kecemasan. Sang istri Khadijah pun menenangkan hati nabi.[25]
Didalam
al-Qur’an, kisah tentang nabi Muhammad amat sangat banyak. Penulis mencoba
membatasi ayat-ayat yang berkenaan tentang nabi Muhammad seperti terdapat dalam
surah berikut ini: tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengenal nabi
Muhammad tetapi mereka menyembunyikannya (QS. 2: 146); Muhammad adalah rasul
yang diutus setelah para rasul sebelumnya (QS. 3: 144); Muhammad dijadikan
saksi (QS. 4: 41); Allah membesarkan hati nabi Muhammad agar tidak bersedih karena
kemusyrikan orang-orang Makkah (QS. 26: 3); nabi Muhammad bukanlah bapak dari
laki-laki, melainkan seorang rasul Allah. Ayat ini menerangkan tentang anak
angkat dan anak kandung (QS. 33: 40); sifat nabi Muhammad dalam kitab taurat
dan injil (QS. 48: 29) dan teguran Allah ketika nabi Muhammad bermuka masam (QS.
80: 1-4).
Pada
surah al-Baqarah ayat 2, Allah menginformasikan bahwa sejatinya orang-orang
Yahudi dan Nasrani telah mengenal sosok Muhammad, nabi Allah. Tetapi mereka
ingkar akan hal itu.
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ
أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab
(Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengetahui.”
Dari
redaksi ayat di atas menunjukkan bahwa kenabian Muhammad telah termaktub dalam
kitab Taurat dan Injil. Al-Maraghi menjelaskan bahwa seorang pendeta Yahudi
bernama Abdul Allah ibn Salam menyatakan bahwa ia telah mengenal Muhammad dari
keterangan kitab sucinya. Bahkan ia mengatakan jika lebih mengenal Muhammad
dari pada anaknya sendiri. Tetapi justru keterangan dari kitab-kitab terdahulu
tersebut diingkari oleh para ahli kitab itu sendiri.[26]
Dari informasi ayat ini, dapat dipastikan bahwa Muhammad memiliki keistimewaan
dari para nabi-nabi sebelumnya. Termaktubnya nama Muhammad dalam kitab suci
mereka menunjukkan bahwa Muhammad telah diakui kenabiannya oleh para nabi.
Pada
ayat lain juga diterangkan bahwa Muhammad adalah rasul yang diutus setelah para
rasul sebelumnya, pada surah Ali Imran ayat 144
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ
مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Penulis
kiranya perlu menggarisbawahi kalimat (وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ) yang dapat dimaknai sebagai Muhammad adalah rasul diantara
rasul-rasul lainnya yang telah diturunkan Allah kepada umatnya masing-masing. Peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, munurut beberapa ulama tafsir adalah
pada saat terjadi perang Uhud. Pada saat orang-orang Yahudi beranggapan bahwa
Muhammad telah mati, Umar marah dan akan memenggal kepala orang-orang yang
mengatakan nabi telah mati. Ayat ini berarti menerangkan bahwa nabi Muhammad
adalah manusia biasa yang dapat mati dalam peperangan, jika Allah menghendaki.[27]
Dalam
pandangan sufistik, nabi Muhammad memiliki tempat yang paling mulia diantara
para nabi sebelumnya. Menurut Sahl al-Tustari sebagaimana dikutip Anwar
Syarifuddin menerangkan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah yang penuh
kemuliaan, yaitu dari cahaya Muhammad.[28]
Hal ini berarti bahwa sesungguhnya Allah telah mempersiapkan akan adanya nabi
yang paling mulia, yakni Muhammad jauh sebelum kelahirannya.
Sebagai
manusia sempurna, jalan hidup nabi tidak berjalan mulus. Ia mengalami cacian
dan cercaan orang-orang kafir yang memusuhinya. Dalam sebuah ayat dikisahnya
saat nabi bersedih karena kemusyrikan orang-orang Makkah, seperti tercantum
dalam surah al-Syuara’ ayat 3
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Apakah kamu (muhammad) akan melakukan bunuh diri karena bersedih
akibat kaummu tidak mau beriman”
Meski
nabi Muhammad sebagai manusia sempurna, tetapi ia pernah mendapat teguran dari
Allah atas sikapnya, sebagaimana dalam surah ‘Abasa ayat 1-4
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ
يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4)
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin
membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”
Menurut
beberapa mufassir, ayat ini turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta
yang datang kepada Rasulullah saw. Lalu berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya
Rasul.” Pada saat waktu itu Rasulullah saw. sedang menghadapi para pembesar
kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap
menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya
katakan ini mengganggu tuan?” Rasul menjawab: “Tidak.”[29]
Penutup
Simpulan dari
makalah ini adalah: para nabi adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk
mengeluarkan manusia dari jurang kemusyrikan. Para nabi adalah manusia-manusia
pilihan Allah dan Allah telah memberi mereka keistimewaan. Keistimewan para
nabi antara lain adalah diangkat derajat keimanannya; dijadikan sebagai
pemimpin; dan para nabi dibelaki kitab Allah dan hikmahNya. Kenabian para nabi kemudian
ditutup dengan lahirnya nabi terakhir yakni Muhammad. Sebagai nabi terakhir,
nabi Muhammad memiliki keistimewaan tersendiri, salah satu adalah kabar
kenabiannya yang termaktub dalam kitab suci sebelumnya. Selainnya itu, Allah
beserta seluruh alam bersalawat kepadanya.
[1] Imaduddin Abu al-Fida’
Ismail ibn Katsir, Qasas al-Anbiya’, (Mesir: Dar al-Thaba’ah al-Nasr
al-Islamiyah, 1997)
[2] Abi al-Fadl Jamal al-Din Muhammad
ibn Makram Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h.
162
[3] Syah Waliyullah
al-Dahlawî, Hujjah Allâh al-Bâligha, (Beirut: Dâr al-Jîl, 2005), vol. 1,
h. 156
[4] Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam
Mufahras li al-Faz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1364 H), h.
686
[5] Surah Al-Baqarah: 135-136
[6] Surah Ali
Imran: 84-85
[7] Sûrah
al-Ra’d: 7
[8] Sûrah Yunus:
84
[9] Ali Imrân: 52
[10] Abî Thâhir ibn Ya’qûb al-Fairuzi Abadi, Tanwîr al-Mu’bâs min Tafsîr Ibn Abbâs, (Bairut: Dâr al-Fikr, 2001), h.
52
[11] Sûrah
Al-Syura: 13
[12] Sûrah
Al-Nisa’: 163
[13] Sûrah Ali
Imrân: 33
[14] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet-7, vol, 2, h. 40
[15] Abi Muhammad al-Husain ibn
Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar
al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 1,
h. 243
[16] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, (Mesir: Maktabah Musthafa, 1946), vol. 6, h. 23.
[17] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 13, h. 129.
[18] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 3, h. 183.
[19] Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr
al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar
al-Hijrah, 2001), vol 16,
h. 638
[20] al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi
Ma’âlimu al-Tanzîl, vol. 5, h. 400
[21] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an
Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hijrah, 2001), vol 16, h. 317.
[22] Tentang
kelahiran nabi Muhammad telah banyak diulas oleh para ulama. Jumhur ulama
mencatat kelahiran Muhammad pada 12 Rabi’i al-Awwal tahun “Gajah” di kota
Makkah. Lihat: Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, Jawâmi’ al-Sîrah wa Khamsa
Rasâil al-Ukhra li Ibn Hazm, Ihsan Abbas (editor), (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1900), h. 5. Namun demikian, ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa
kelahiran nabi Muhammad bukan pada bulan 12 Rabi’i al-Awwal, tetapi tanggal 9.
Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa Muhammad lahir pada 13 Muharram, dan
adapula yang menyebut pada bulan Ramadhan. Lihat: M. Quraish Shihab, Membaca
Sirah Nabi Muhammad SAW; dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih,
(Ciputat: Lentera Hati, 2014), h. 211. Tentang perbedaan hari kelahiran nabi
Muhammad juga diulas oleh Yahya ibn Said, dalam: Muhammad ibn Abdu Allah ibn
Yahya ibn Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, (Beirut:
Muasasah ‘Izu al-Din Li al-Thaba’ah, 1986), vol 1, h. 39
[23] Yahya ibn
Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, vol 1, h. 45. Lihat
pula dalam: M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 200
[24] Ali ibn
Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, Jawâmi’ al-Sîrah wa Khamsa Rasâil al-Ukhra li Ibn
Hazm, h. 2.
[25] Yahya ibn
Said, al-Sirah al-Nubuwah al-Musamma ‘Uyûn al-Atsar, vol 1, h. 116
[26] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsîr
al-Maraghî, vol. 2, h. 13.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), vol 2, h. 438. Lihat sebab turunnya ayat dalam: Jalâluddin Abi Abdu
al-Rahman al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: al-Kitab
al-Tsaqafiah, 2002), h. 64
[28] Anwar Syarifuddin, “Memaknai
Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah
al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009, h. 228
[29] al-Suyuti, Lubâb al-Nuqûl fi
Asbâb al-Nuzûl, h. 286
Tidak ada komentar:
Posting Komentar