Jumat, 06 Februari 2015

Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 261-265: Studi Komparasi Penafsiran Ulama Tentang Balasan dan Etika Berinfak atau Sedekah

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
I.         Pendahuluan
Dalam kajian ilmu tafsir, didapati bermacam kitab-kitab tafsir. Jumlahnya bahkan ribuan. Kitab-kitab tersebut lahir dari goresan pena sang mufassir yang memiliki latar belakang keilmuan yang sangat beragam. Para ahli kalam menafsiri al-Qur’an dengan corak kalam; ahli fikih dengan corak fikih, ahli bahasa dengan corak kebahasaan begitu seterusnya. Lahirnya kitab-kitab tafsir tersebut telah menginspirasi para sarjana muslim untuk melakukan penelitian atas naskah-naskah kitab tafsir tersebut.
Tulisan ini berusaha memaparkan penafsiran para mufassir terhadap satu tema dalam al-Qur’an yakni tentang infak, etika dan balasannya pada surah al-Baqarah Ayat 261-265. Penulis akan membatasi dengan menukil beberapa pendapat mufassir, yakni hanya pada penafsiran:
II.      Ayat dan Terjemahnya
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ  (261) الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (262) قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ  (263)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ  (264)وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (265)
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (kurnia-Nya) lagi Mahamengetahui. (261) Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (262). Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun (263) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (264) Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (265)”
III.   Sebab Turunnya Ayat 261-265
Untuk menjelaskan sebab turunnya ayat di atas, penulis merujuk pada sebab turunnya atau peristiwa yang mengiringi turunnya ayat 261. Didalam ayat ini terdapat kesatuan tema pembahasan, yakni tentang infak. Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah dengan membawa dirham untuk dinafkahkannya kepada pejuang yang terlibat dalam perang Tabuk. Abdul Rahman bin ‘Auf membawa 4.000 dirham dan berkata kepada Rasulullah: “Aku memiliki 8.000 dirham lalu seperduanya ini aku persembahkan kepada Allah”.
Sedangkan Utsmân bin Affân sendiri membawa 1.000 unta untuk diinfakan. Sikap kedermawanan kedua sahabat tersebut disambut baik oleh Rasulullah, lalu turunlah ayat (...الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ).[1]
IV.   Munasabah
Munasabah ayat setelahnya, yaitu 266-267
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ  (266)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ  (267)الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(268)
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya (266). Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (267). Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui (268).”
Jika dilihat pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan tentang balasan orang yang bersedekah dijalanNya dengan penuh keridhaan. Pada rangkaian ayat ini Allah kembali memperingatkan agar ketika memberikan sedekah, sedekah tersebut hendaklah diambil dari hasil usaha yang baik-baik. Allah juga menerangkan bahwa setan selalu menggoda hambaNya untuk bersedekah dengan menakut-nakuti bahwa sedekah membuat seseorang menjadi miskin.
V.      Pendapat Para Ulama Tafsir
Dibawah ini penulis akan memaparkan penjelasan beberapa pendapat ulama tafsir terhadap surah al-Baqarah ayat 261-265.
A.    Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî dalam Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân
(مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ) Dalam kitab tafsirnya, al-Thabari menyontohkan infak seperti di jalan Allah seperti jihad dengan nyawa dan hartanya. (كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ) Mereka yang berjihad diumpamakan seperti benih yang ditanam dan tumbuh setiap benihnya tujuh ratus cabang. Al-Thabari mengutip riwayat dari Musa ibn Burhan, dikatakan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak tujuh ratus kali.
(وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) Al-Thabari menjelaskan bahwa Allah akan melipatgandakan pahala hambanya setelah berinfak di jalanNya. Orang-orang yang berinfak demi mengharap keridhaan Allah, maka tidak akan pernah hartanya berkurang.[2]
(الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى) Ayat 262 dari surah al-Baqarah ini menjelaskan tentang etika bersedekah atau berinfaq. Menurut al-Thabari, ayat ini menyatakan bahwa barang siapa yang memberikan sedekah kepada orang-orang yang berjuang di jalan Allah, hendaknya ia tidak menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat membuat penerima sakit hati. Seseorang yang bersedekah kepada orang lain hendaknya tidak mengharap pujian dari orang yang menerima sedekah. Sedekah dan infaq hendaknya dilakukan seseorang guna mendapat keridhaan Allah semata.
Selanjutnya al-Thabari mengutip pendapat para ulama takwil lainnya, seperti riwayat yang disandarkan pada Said. Ia menjelaskan bahwa Allah mengetahui jika ada sekelompok orang yang menyebut-nyebut pemberiannya yang diberikan kepada orang lain. Sesungguhnya Allah sangat membenci orang-orang yang demikian.
Al-Thabari juga mengutip sebuah cerita bahwa duhulu ada seorang perempuan yang memberi bekal bagi orang-orang yang hendak berperang. Namun, saat itu banyak pula orang-orang yang pura-pura berperang agar mendapat pemberian (makanan dan lain-lain). Sehingga pada suatu ketika perempuan itu akhirnya menawarkan anak panah sebagai bentuk “sindiran”. Al-Thabari juga mengutip pendapat al-Dhahak terkait ayat in. Menurut al-Dhahak, seseorang yang tidak berinfak akan lebih baik dari pada orang yang berinfak tetapi kemudian dia menyebut-nyebut infaknya dan penyakiti si penerima.[3]
Pada ayat 263 (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ) , al-Thabari menjelaskan bahwa kata (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ ) berarti perkataan yang baik dan bagus. Kata-kata yang baik dan bagus hendaknya digunakan sebagai doa kepada sesama Muslim. Kata (مَغْفِرَةٌ) dalam ayat ini berarti menutupi kesalahan dan aib saudara adalah lebih baik dari pada bersedekah lalu kemudian diikuti dengan perkataan yang menyakiti si penerima sedekah.
Ketika mentakwilkan kata (غَنِيٌّ حَلِيمٌ) pada ayat ini, al-Thabari mengutip riwayat al-Dhahak. Menurutnya, pada ayat ini Allah memberi kemurahan yang sangat besar bagi hambanya. Sesungguhnya tidak membutuhkan sedekah jika pemberi sedekah kemudian menyebut-nyebut sedekahnya. Namun, Allah tidak akan segera menyiksa kepada orang yang bersedekah dengan menyebut-nyebut sedekahnya tersebut. Selanjutnya al-Thabari mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa (الغني) adalah mahakaya yang sempurnya. Dan (الحليم) adalah maha santun yang sempurna.[4]
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ) Ayat ini adalah peringatan bagi orang mukmin agar sedekah yang mereka lakukan tidak terbatalkan oleh ucapan mengungkit-ungkit, serta pemberian yang diiringi dengan perkataan yang dapat menyakiti hati penerima. Al-Thabari menjelaskan bahwa perilaku yang demikian sama halnya dengan orang-orang kafir yang memamerkan pemberiannya kepada orang lain. Memamerkan yang dimaksud adalah agar ia mendapat pujian dari orang-orang yang melihatnya.
(فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ) Mereka –orang yang berinfak dan memamerkannya- seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah. Lalu, tanah tersebut tersiram air hujan deras, sehingga batu tersebut tampak bersih. Ini berarti infak yang dilakukan dengan riya’ seperti berinfak tanpa mendapat pahala dari Allah.[5]
(وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Al-Thabari menjelaskan bahwa infak di jalan Allah adalah seperti untuk perang dan bentuk ketaatan lainnya demi mengharap ridha Allah. (وَتَثْبِيتًا) Infak tersebut dilakukan dengan penuh keyakinan akan balasan dan janji Allah kepada hambanya. (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ) Seperti tanaman yang ditanam di kebun yang tinggi. Ayat ini mengambarkan orang-orang mukmin yang berinfak di jalan Allah akan mendapat pahala dan kemuliaan di sisi Allah.[6]  
Tafsir al-Thabari dikenal dengan tafsir bil al-ma’tsur. Hal tersebut terlihat ketika al-Thabari menjelaskan suatu ayat, ia banyak mengutip riwayat-riwayat, baik hadis atau qaul sahabah. Pun demikian saat menafsirkan ayat di atas, al-Thabari juga mengutip berbagai riwayat. Dalam menafsirkan sebuah ayat, al-Thabari lebih sering menggunakan istilah “takwil”. Ia menafsirkan keseluruhan al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili. Dalam mentakwilkan suatu ayat, ia menjelaskan per kalimat. Tidak jarang ia juga menerangkan perbedaan qiraat para ulama ketika menjelaskan suatu ayat.
B.     Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dalam Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl
(مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ) Dalam kitab tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil, al-Baghawi menafsirkan bahwa orang yang menginfakkan hartanya baik untuk jihad di jalan Allah maupun kebaikan lainnya, Allah akan membalasnya berlipat-lipat. Al-Baghawi juga menyinggung keraguan tentang bagaimana Allah akan menumbuhkan tujuh bulir. Meski dalam ayat ini merupakan bentuk penggambaran, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Allah. (وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ) Allah akan melipatgandakan pahala, entah tujuh ratus, tujuh ribu atau bahkan lebih. Semua itu atas kehendak Allah, dan tidak ada yang mengetahuinya.
Pada ayat selanjutnya, 262, al-Baghawi memulai penafsirannya dengan menjelaskan sebab turunnya atau peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tersebut. Ayat ini turun berkenaan dengan infak sahabat Ustman dan Abdu Rahman ibn Auf untuk persiapan perang Tabuk. (مَنّاً وَلاَ أَذًى) Dalam menjelaskan kata-kata ini, al-Baghawi memberikan contoh ungkapan seperti “Saya sudah memberimu, apakah kamu tidak bersyukur?”.  (لَّهُمْ أَجْرُهُمْ) Seorang yang berinfak dan tidak mengungkit-ungkit, maka Allah membalasnya dengan pahala yang besar, dan kelak mereka tidak akan menyesal pada hari akhir.
(قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ ) Maka berkata dengan baik adalah lebih baik dari pada sedekah yang diikuti dengan mengungkit-ungkit pemberiannya tersebut. Al-Baghawi juga menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mampu memberi, maka hendaknya menolak dengan perkataan yang baik. (وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ) Dan Allah maha kaya sehingga tidak membutuhkan sedekah hambanya yang diikuti dengan mengungkit-ungkit. Sekaligus, Allah akan memaafkan hambanya yang melakukan sedekah dengan perkataan مَنّاً وَلاَ أَذًى.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى) Dalam tafsirnya, ia mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa hendaknya sedekah itu tidak dibatalkan dengan (بِالْمَنِّ وَالأذَى). Dan, sedekah hendaknya tidak dipamerkan, karena hal itu adalah perbuatan orang-orang munafik dan kafir. Terhadap orang-orang yang demikian, Allah permisalkan seperti: 
“batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Dalam menjelaskan ayat ini, al-Baghawi menukil sebuah hadis yang menyatakan bahwa pamer adalah termasuk syirik sughra.
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
(وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Pada ayat ini, al-Baghawi menjelaskan bahwa (ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ) adalah dengan penuh ketaatan kepada Allah dan (وَتَثْبِيتًا) keyakinan sepenuhnya. Menurut al-Sudi sebagaimana dikutip al-Baghawi, Orang-orang yang berinfak dijalan Allah dengan penuh keikhlasan akan mendapat balasan yang sangat indah, sebagaimana digambarkan pada ayat ini. Balasan tersebut adalah (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ) sebuah kebun subur didataran tinggi yang dibawahnya terdapat sungai yang mengalir.[7]
C.     Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat 261 dari surah al-Baqarah merupakan permisalan orang yang berinfak di jalan Allah dengan penuh keridhaan. Permisalan tersebut sebagaimana dijelaskan (مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ). Dalam menjelaskan kata fi sabilillah Ibn Katsir mengutip beberapa pendapat, seperti Said ibn Jabîr yang mengartikannya dengan ketaatan kepada Allah; Makhul mengartikannya dengan jihad di jalan Allah dan mempersiapkan senjata; serta beberapa pendapat lain.
(كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ) Pelipatgandaan pahala yang akan diberikan Allah bagi orang yang berinfak adalah bukti bahwa setiap amal salih akan mendapat pahala lebih dari Allah. Ini sama halnya dengan menabur benih ditanah yang subur. Maka hasil tanamannya pun akan tumbuh banyak. Dalam penafsirannya, Ibn Katsir menguatkan dengan beberapa hadis:
قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقولمن أنفق نفقة فاضلة في سبيل الله فبسبعمائة ، ومن أنفق على نفسه وأهله ، أو عاد مريضا أو ماز أذى ، فالحسنة بعشر أمثالها ، والصوم جنة ما لم يخرقها ، ومن ابتلاه الله عز وجل ، ببلاء في جسده فهو له حطة.
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلمكل عمل ابن آدم يضاعف ، الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف ، إلى ما شاء الله ، يقول الله : إلا الصوم ، فإنه لي وأنا أجزي به ، يدع طعامه وشهوته من أجلي ، وللصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه ، ولخلوف فيه أطيب عند الله من ريح المسك . الصوم جنة ، الصوم جنة .
عن يسير بن عميلة عن خريم بن فاتك قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلممن أنفق نفقة في سبيل الله تضاعف بسبعمائة ضعف. [8]
Mengenai surah al-Baqarah ayat 262, Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah memberi pujian dan barakah bagi orang-orang yang telah menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan tidak menyebut-nyebut pemberian yang dapat menyakitkan hati penerima. Ibn Katsir memperjelas bahwa hal yang dapat menyakiti hati penerima dapat berupa perkataan dan perbuatan (gestur tubuh pada saat memberi nafkah).
Selanjutnya menurut Ibn Katsir, Allah memberikan pahala dan balasan atas apa yang telah dinafkahkan oleh setiap hambanya. Balasan Allah adalah tidak ada yang perlu dikhawatirkan bagi hambanya dan tidak perlu ada yang disesalkan kelak di hari kiamat (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ).
Pada ayat 263, Ibn Katsir menjelaskan bahwa kata (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ ) adalah berarti kalimat yang baik dan merupakan doa bagi seorang muslim. Perkataan yang baik tersebut adalah merupakan hal yang lebih baik dari pada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut sedekahnya dan menyakiti si penerima.
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibn Katsir mengutip beberapa hadis.
وقال عمرو بن دينار بلغنا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :  ما من صدقة أحب إلى الله من قول ، ألم تسمع إلى قوله تعالىقول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعها أذى البقرة : 263 ( خرجه ابن أبي حاتم 
Hadis di atas menjelaskan bahwa sedekah yang disukai Allah adalah sedekah yang tidak diikuti menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti si penerima.
عن ‏ ‏أبي ذر ‏ ‏قال : ‏قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (‏ ‏ثلاثة لا يكلمهم الله عز وجل يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم ‏: المنان ‏ ‏بما أعطى ، ‏والمسبل ‏ ‏إزاره ، والمنفق سلعته بالحلف الكاذب 
Hadis yang diriwayatkan Abu Dzar di atas menjelaskan bahwa orang yang bersedekah lalu ia menyebut-nyebut, adalah salah satu dari tiga kelompok yang akan mendapat siksa di hari kiamat.
Menurut Ibn Katsir, pada ayat berikutnya Allah menjelaskan hal yang membuat suatu sedekah itu batal (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ). Batalnya dan bahkan menjadi dosa sebuah sedekah adalah akibat dari menyebut-nyebut sedekahnya, serta menyakiti hati penerima. Kemudian lafaz selanjutnya (كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ), adalah riya’ yang dapat membatalkan sedekah. Sedekah yang diiringi dengan menunjuk-nunjukkan kepada orang lain dan mengharap pujian tidaklah diterima disisi Allah.
Selanjutnya, menurut Ibn Katsir Allah memberi permisalan bagi orang-orang yang menyebut-nyebut pemberiaanya sebagai batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ). Maka dipastikan, tanah tersebut akan hilang dan batu pun menjadi bersih. Ini adalah perumpamaan bagi orang yang riya’, tidak ada pahala atas sedekahnya tersebut.
(وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ) Pada ayat ini, Allah kembali memberikan permisalan bagi orang-orang mukmin yang berinfak di jalanNya semata mengharap ridhaNya, maka Allah akan membalasnya dengan memberikan kebun didataran tinggi yang subur dengan air hujan (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ). Bahwa apabila tidak terjadi hujan, gerimis pun tetap dapat menyuburkan kebun tersebut. (فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ).[9]
Beberapa hadis di atas (tentang infak), dijadikan sumber penafsiran bagi Ibn Katsir.[10] Hal ini menguatkan pendapat bahwa sumber tafsir Ibn Katsir adalah bil al-ma’tsur. Ibn Katsir menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an, mulai surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nâs. Ditinjau dari kategori metode yang digunakan, Ibn Katsir menggunakan metode tahlili dalam penafsirannya. Ketika menafsirkan suatu ayat, ia menjelaskan per kalimat pada ayat tersebut.
D.    Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj
Wahbah Zuhaili adalah salah satu ulama kontemporer yang mempunyai banyak karya, baik fiqih dan tafsir. Salah satu karya Wahbah Zuhaili yang fenomenal adalah kita tafsirnya, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Dalam kitab tafsir, ia menafsirkan seluruh surah al-Qur’an. Metode yang ia gunakan adalah metode tafsir tahlili. Terkadang ia memberikan sub tema ketika membahas suatu ayat. Dalam menafsirkan sebuah ayat, Wahbah terlebih dahulu menjelaskan mufradat, balagha, munasabah ayat, sebab turunnya ayat dan perbedaan qiraat diantara para imam qurra’.
Dalam penafsirannya tentang ayat ini (ayat 261-264) Wahbah Zuhaili memberi judul “Pahala infak di jalan Allah dan adab melakukannya”. Pada awal penafsiran ayat tersebut, Wahbah memaparkan perbedaan para imam qurra’ dalam membaca ayat, seperti: (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ) yang dibaca (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهُم )  oleh imam Hamzah. Selebihnya, para imam qurra’ tujuh membaca seperti ayat di atas. Wahbah kemudian menjelaskan i’rab, balagha, mufradat dan munasabah ayat tersebut.[11]
Selanjutnya, Wabah juga menjelaskan sebab turunnya ayat. Ia mengutip riyawat dari al-Kalabi. Ayat tersebut turun berkenaan dengan datangnya Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah. Keduanya berniat menginfakkan hartanya kepada pejuang yang terlibat dalam perang Tabuk. Rasulullah pun menerima infak keduanya dan mendoakannya.[12]
Menurut Wahbah, ayat 262 (الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى ) ini adalah menjelaskan syarat orang yang berinfak dan etikanya. Syarat tersebut adalah bahwa berinfak tidak boleh diikuti dengan menyebut-nyebut pemberiannya. Sehingga si penerima merasa direndahkan dan sakit hati. Orang yang berinfak dan dia tidak mengungkit-ungkit pemberiannya serta tidak berkata sesuatu yang dapat menyakiti hati penerima, maka pahala Allah akan sangat besar (لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ ).
Tidak jauh dengan para mufassir sebelumnya, dalam menjelaskan ayat ini, Wahbah juga mengutip hadis yang bertema keutamaan infak:
مَنْ أَرْسَلَ بِنَفَقَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَقَامَ فِي بَيْتِهِ فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ دِرْهَمٍ ، وَمَنْ غَزَا بِنَفْسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْفَقَ فِي وَجْهِ ذَلِكَ فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ أَلْفِ دِرْهَمٍ
(وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ) Orang-orang yang berinfak dengan tulus mengharap ridha Allah kelak (pada hari kiamat) tidak akan merasa takut, ketika banyak orang ketakutan . Mereka (orang-orang yang tulus berinfak) tidak akan merasa menyesal, ketika orang-orang yang semasa hidupnya kikir mengalami penyesalan di hari akhir. Wahbah kemudian mengutip surah al-Munafiqûn ayat 10
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Pada ayat 263, Wahbah menjelaskan bahwa perkataan yang baik (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ) adalah lebih baik dari pada sedekah yang dibarengi dengan menyebut-nyebut sedekahnya tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan sedekah orang-orang yang menyebut-nyebut sedekahnya. Melalui ayat ini, ia juga menghimbau agar sedekah diniatkan tulus karena Allah. Bukan mengharap pujian dari orang lain atau bahkan memamerkan sedekahnya (riya’).[13]
Pada ayat 265, (وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Wahbah menjelaskan bahwa Allah memberi permisalan bagi orang-orang mukmin yang berinfak di jalanNya dengan penuh keridhaan. Mereka kelak akan dibalas dengan kebun nan indah dan subur di sebuah dataran tinggi (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ). Tanah yang subur akan menghasilkan tanaman yang subur. Derasnya air hujan yang menyirami akan membuatnya bertambah subur. Jika tidak air hujan, gerimis pun mampu membuatnya subur.[14]
VI.   Pendapat Penulis
Ayat di atas telah memberikan penjelasan penting bagi seseorang tentang balasan orang-orang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Sekaligus, telah memberikan pelajaran etika mengeluarkan infak dan sedekah. Tentu ayat ini memberi banyak pelajaran tentang bagaimana menginfakkan harta sekaligus etikanya. Sehingga setiap muslim akan dapat melaksanakan perintah infak dengan etika sebagaimana yang diatur pada ayat di atas. Pada ayat di atas pula, Allah memerintahkan untuk berinfak kepada orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ayat ini sekaligus menyiratkan pesan kemuliaan bagi mereka yang berjihad. Berjihad di jalan Allah tidak bisa dimaknai mereka yang berperang saja, tetapi juga mereka yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah.


[1] [1] Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb Nuzûl al-Qur’an, (Riyad: Dar al-Maiman, 2005), h. 204.
[2] Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hijrah, 2001), vol 4, h. 651-3
[3] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 656
[4] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 658
[5] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 661
[6] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 668-672
[7] Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 1, h. 324-327
[8] Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm, (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), vol. 2, h. 457.
[9] Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm, , vol. 2, h. 463.
[10] Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm, , vol. 2, h. 462.
[11] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), vol. 2, h. 45
[12] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 2, h. 47
[13] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 2, h. 51
[14] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 2, h. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar