Oleh:
Ali Thaufan Dwi Saputra
I.
Pendahuluan
Dalam
kajian ilmu tafsir, didapati bermacam kitab-kitab tafsir. Jumlahnya bahkan
ribuan. Kitab-kitab tersebut lahir dari goresan pena sang mufassir yang
memiliki latar belakang keilmuan yang sangat beragam. Para ahli kalam menafsiri
al-Qur’an dengan corak kalam; ahli fikih dengan corak fikih, ahli bahasa dengan
corak kebahasaan begitu seterusnya. Lahirnya kitab-kitab tafsir tersebut telah
menginspirasi para sarjana muslim untuk melakukan penelitian atas naskah-naskah
kitab tafsir tersebut.
Tulisan
ini berusaha memaparkan penafsiran para mufassir terhadap satu tema dalam
al-Qur’an yakni tentang infak, etika dan balasannya pada surah al-Baqarah Ayat
261-265. Penulis akan membatasi dengan menukil beberapa pendapat mufassir,
yakni hanya pada penafsiran:
II.
Ayat dan
Terjemahnya
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ
اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ
حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261) الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي
سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى لَّهُمْ
أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (262) قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ
خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ (263)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ
وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ
عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264)وَمَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا
مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا
ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ (265)
Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir:
seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Mahaluas (kurnia-Nya) lagi Mahamengetahui. (261) Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati (262). Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun (263) Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (264) Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan
lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat
tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat
apa yang kamu perbuat. (265)”
III.
Sebab Turunnya
Ayat 261-265
Untuk
menjelaskan sebab turunnya ayat di atas, penulis merujuk pada sebab turunnya atau
peristiwa yang mengiringi turunnya ayat 261. Didalam ayat ini terdapat kesatuan
tema pembahasan, yakni tentang infak. Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya
Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah dengan membawa
dirham untuk dinafkahkannya kepada pejuang yang terlibat dalam perang
Tabuk. Abdul Rahman bin ‘Auf membawa 4.000 dirham dan berkata kepada
Rasulullah: “Aku memiliki 8.000 dirham lalu seperduanya ini aku persembahkan
kepada Allah”.
Sedangkan
Utsmân bin Affân sendiri membawa 1.000 unta untuk diinfakan. Sikap kedermawanan
kedua sahabat tersebut disambut baik oleh Rasulullah, lalu turunlah ayat (...الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي
سَبِيلِ اللّهِ ).[1]
IV.
Munasabah
Munasabah ayat setelahnya, yaitu 266-267
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ
لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ
فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ
ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ
بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ
حَمِيدٌ (267)الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ
الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ
وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(268)
“Apakah ada salah seorang di
antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian
datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih
kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu
terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya
kamu memikirkannya (266). Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (267). Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui (268).”
Jika
dilihat pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan tentang balasan orang yang
bersedekah dijalanNya dengan penuh keridhaan. Pada rangkaian ayat ini Allah
kembali memperingatkan agar ketika memberikan sedekah, sedekah tersebut
hendaklah diambil dari hasil usaha yang baik-baik. Allah juga menerangkan bahwa
setan selalu menggoda hambaNya untuk bersedekah dengan menakut-nakuti bahwa
sedekah membuat seseorang menjadi miskin.
V.
Pendapat Para
Ulama Tafsir
Dibawah
ini penulis akan memaparkan penjelasan beberapa pendapat ulama tafsir terhadap
surah al-Baqarah ayat 261-265.
A.
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî dalam Jamî’ al-Bayân an Takwil
Ay al-Qur’ân
(مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ)
Dalam kitab tafsirnya, al-Thabari menyontohkan infak seperti di jalan Allah
seperti jihad dengan nyawa dan hartanya. (كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ
سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ)
Mereka yang berjihad diumpamakan seperti benih yang ditanam dan tumbuh setiap
benihnya tujuh ratus cabang. Al-Thabari mengutip riwayat dari Musa ibn Burhan,
dikatakan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan dilipatgandakan
pahalanya sebanyak tujuh ratus kali.
(وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ) Al-Thabari
menjelaskan bahwa Allah akan melipatgandakan pahala hambanya setelah berinfak
di jalanNya. Orang-orang yang berinfak demi mengharap keridhaan Allah, maka
tidak akan pernah hartanya berkurang.[2]
(الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي
سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى) Ayat 262 dari surah al-Baqarah ini menjelaskan tentang etika
bersedekah atau berinfaq. Menurut al-Thabari, ayat ini menyatakan bahwa barang
siapa yang memberikan sedekah kepada orang-orang yang berjuang di jalan Allah,
hendaknya ia tidak menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat membuat penerima
sakit hati. Seseorang yang bersedekah kepada orang lain hendaknya tidak mengharap
pujian dari orang yang menerima sedekah. Sedekah dan infaq hendaknya dilakukan
seseorang guna mendapat keridhaan Allah semata.
Selanjutnya
al-Thabari mengutip pendapat para ulama takwil lainnya, seperti riwayat yang
disandarkan pada Said. Ia menjelaskan bahwa Allah mengetahui jika ada
sekelompok orang yang menyebut-nyebut pemberiannya yang diberikan kepada orang
lain. Sesungguhnya Allah sangat membenci orang-orang yang demikian.
Al-Thabari
juga mengutip sebuah cerita bahwa duhulu ada seorang perempuan yang memberi
bekal bagi orang-orang yang hendak berperang. Namun, saat itu banyak pula
orang-orang yang pura-pura berperang agar mendapat pemberian (makanan dan
lain-lain). Sehingga pada suatu ketika perempuan itu akhirnya menawarkan anak
panah sebagai bentuk “sindiran”. Al-Thabari juga mengutip pendapat al-Dhahak
terkait ayat in. Menurut al-Dhahak, seseorang yang tidak berinfak akan lebih
baik dari pada orang yang berinfak tetapi kemudian dia menyebut-nyebut infaknya
dan penyakiti si penerima.[3]
Pada
ayat 263 (قَوْلٌ
مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ
يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ) , al-Thabari menjelaskan bahwa kata (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ )
berarti perkataan yang baik dan bagus. Kata-kata yang baik dan bagus hendaknya
digunakan sebagai doa kepada sesama Muslim. Kata (مَغْفِرَةٌ) dalam ayat ini berarti menutupi kesalahan dan aib saudara
adalah lebih baik dari pada bersedekah lalu kemudian diikuti dengan perkataan
yang menyakiti si penerima sedekah.
Ketika
mentakwilkan kata (غَنِيٌّ
حَلِيمٌ) pada ayat ini,
al-Thabari mengutip riwayat al-Dhahak. Menurutnya, pada ayat ini Allah memberi
kemurahan yang sangat besar bagi hambanya. Sesungguhnya tidak membutuhkan
sedekah jika pemberi sedekah kemudian menyebut-nyebut sedekahnya. Namun, Allah
tidak akan segera menyiksa kepada orang yang bersedekah dengan menyebut-nyebut
sedekahnya tersebut. Selanjutnya al-Thabari mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa (الغني) adalah mahakaya yang sempurnya. Dan (الحليم) adalah maha santun yang sempurna.[4]
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ) Ayat ini adalah peringatan bagi orang mukmin agar sedekah yang
mereka lakukan tidak terbatalkan oleh ucapan mengungkit-ungkit, serta pemberian
yang diiringi dengan perkataan yang dapat menyakiti hati penerima. Al-Thabari
menjelaskan bahwa perilaku yang demikian sama halnya dengan orang-orang kafir yang
memamerkan pemberiannya kepada orang lain. Memamerkan yang dimaksud adalah agar
ia mendapat pujian dari orang-orang yang melihatnya.
(فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ
وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ) Mereka –orang yang berinfak dan memamerkannya- seperti batu
licin yang di atasnya terdapat tanah. Lalu, tanah tersebut tersiram air hujan
deras, sehingga batu tersebut tampak bersih. Ini berarti infak yang dilakukan
dengan riya’ seperti berinfak tanpa mendapat pahala dari Allah.[5]
(وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Al-Thabari menjelaskan bahwa infak di jalan Allah adalah
seperti untuk perang dan bentuk ketaatan lainnya demi mengharap ridha Allah. (وَتَثْبِيتًا)
Infak tersebut dilakukan dengan penuh keyakinan akan balasan dan janji Allah
kepada hambanya. (كَمَثَلِ جَنَّةٍ
بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ
يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ)
Seperti tanaman yang ditanam di kebun yang tinggi. Ayat ini mengambarkan
orang-orang mukmin yang berinfak di jalan Allah akan mendapat pahala dan
kemuliaan di sisi Allah.[6]
Tafsir
al-Thabari dikenal dengan tafsir bil al-ma’tsur. Hal tersebut terlihat ketika
al-Thabari menjelaskan suatu ayat, ia banyak mengutip riwayat-riwayat, baik
hadis atau qaul sahabah. Pun demikian saat menafsirkan ayat di atas,
al-Thabari juga mengutip berbagai riwayat. Dalam menafsirkan sebuah ayat,
al-Thabari lebih sering menggunakan istilah “takwil”. Ia menafsirkan
keseluruhan al-Qur’an dengan menggunakan metode tahlili. Dalam mentakwilkan
suatu ayat, ia menjelaskan per kalimat. Tidak jarang ia juga menerangkan
perbedaan qiraat para ulama ketika menjelaskan suatu ayat.
B.
Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dalam Tafsîr al-Baghawi
Ma’âlimu al-Tanzîl
(مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ) Dalam kitab tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil, al-Baghawi
menafsirkan bahwa orang yang menginfakkan hartanya baik untuk jihad di jalan
Allah maupun kebaikan lainnya, Allah akan membalasnya berlipat-lipat.
Al-Baghawi juga menyinggung keraguan tentang bagaimana Allah akan menumbuhkan
tujuh bulir. Meski dalam ayat ini merupakan bentuk penggambaran, hal tersebut
bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Allah. (وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ) Allah akan melipatgandakan pahala, entah tujuh ratus, tujuh
ribu atau bahkan lebih. Semua itu atas kehendak Allah, dan tidak ada yang
mengetahuinya.
Pada
ayat selanjutnya, 262, al-Baghawi memulai penafsirannya dengan menjelaskan
sebab turunnya atau peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tersebut. Ayat ini
turun berkenaan dengan infak sahabat Ustman dan Abdu Rahman ibn Auf untuk
persiapan perang Tabuk. (مَنّاً
وَلاَ أَذًى) Dalam menjelaskan
kata-kata ini, al-Baghawi memberikan contoh ungkapan seperti “Saya sudah
memberimu, apakah kamu tidak bersyukur?”.
(لَّهُمْ
أَجْرُهُمْ) Seorang yang
berinfak dan tidak mengungkit-ungkit, maka Allah membalasnya dengan pahala yang
besar, dan kelak mereka tidak akan menyesal pada hari akhir.
(قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ ) Maka
berkata dengan baik adalah lebih baik dari pada sedekah yang diikuti dengan
mengungkit-ungkit pemberiannya tersebut. Al-Baghawi juga menjelaskan bahwa jika
seseorang tidak mampu memberi, maka hendaknya menolak dengan perkataan yang
baik. (وَاللّهُ
غَنِيٌّ حَلِيمٌ) Dan Allah maha
kaya sehingga tidak membutuhkan sedekah hambanya yang diikuti dengan
mengungkit-ungkit. Sekaligus, Allah akan memaafkan hambanya yang melakukan
sedekah dengan perkataan مَنّاً
وَلاَ أَذًى.
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى)
Dalam tafsirnya, ia mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa hendaknya sedekah itu
tidak dibatalkan dengan (بِالْمَنِّ وَالأذَى). Dan, sedekah hendaknya tidak dipamerkan, karena hal itu
adalah perbuatan orang-orang munafik dan kafir. Terhadap orang-orang yang
demikian, Allah permisalkan seperti:
“batu licin yang di atasnya
ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Dalam
menjelaskan ayat ini, al-Baghawi menukil sebuah hadis yang menyatakan bahwa pamer
adalah termasuk syirik sughra.
عَنْ
مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: “إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ
يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: “الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ
اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ
تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً”
(وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Pada ayat ini, al-Baghawi menjelaskan bahwa (ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ) adalah dengan penuh ketaatan kepada Allah dan (وَتَثْبِيتًا)
keyakinan sepenuhnya. Menurut al-Sudi sebagaimana dikutip al-Baghawi, Orang-orang
yang berinfak dijalan Allah dengan penuh keikhlasan akan mendapat balasan yang
sangat indah, sebagaimana digambarkan pada ayat ini. Balasan tersebut adalah (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ) sebuah kebun subur didataran tinggi yang dibawahnya terdapat
sungai yang mengalir.[7]
C.
Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm
Dalam
tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat 261 dari surah al-Baqarah
merupakan permisalan orang yang berinfak di jalan Allah dengan penuh keridhaan.
Permisalan tersebut sebagaimana dijelaskan (مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ
اللّهِ). Dalam
menjelaskan kata fi sabilillah Ibn Katsir mengutip beberapa pendapat,
seperti Said ibn Jabîr yang mengartikannya dengan ketaatan kepada Allah; Makhul
mengartikannya dengan jihad di jalan Allah dan mempersiapkan senjata; serta
beberapa pendapat lain.
(كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ
سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ) Pelipatgandaan pahala yang akan diberikan Allah bagi orang
yang berinfak adalah bukti bahwa setiap amal salih akan mendapat pahala lebih
dari Allah. Ini sama halnya dengan menabur benih ditanah yang subur. Maka hasil
tanamannya pun akan tumbuh banyak. Dalam penafsirannya, Ibn Katsir menguatkan
dengan beberapa hadis:
قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول : من أنفق نفقة فاضلة في
سبيل الله فبسبعمائة ، ومن أنفق على نفسه وأهله ، أو عاد مريضا أو ماز أذى
، فالحسنة بعشر أمثالها ، والصوم جنة ما لم يخرقها ، ومن ابتلاه الله عز وجل ،
ببلاء في جسده فهو له حطة.
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : كل عمل ابن آدم يضاعف ،
الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف ، إلى ما شاء الله ، يقول الله : إلا
الصوم ، فإنه لي وأنا أجزي به ، يدع طعامه وشهوته من أجلي ، وللصائم فرحتان : فرحة
عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه ، ولخلوف فيه أطيب عند الله من ريح المسك . الصوم
جنة ، الصوم جنة .
عن يسير بن عميلة عن خريم بن فاتك قال
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: من أنفق نفقة في سبيل الله تضاعف بسبعمائة ضعف. [8]
Mengenai
surah al-Baqarah ayat 262, Ibn Katsir menjelaskan bahwa Allah memberi pujian
dan barakah bagi orang-orang yang telah menafkahkan hartanya di jalan Allah
dengan tidak menyebut-nyebut pemberian yang dapat menyakitkan hati penerima.
Ibn Katsir memperjelas bahwa hal yang dapat menyakiti hati penerima dapat
berupa perkataan dan perbuatan (gestur tubuh pada saat memberi nafkah).
Selanjutnya
menurut Ibn Katsir, Allah memberikan pahala dan balasan atas apa yang telah
dinafkahkan oleh setiap hambanya. Balasan Allah adalah tidak ada yang perlu
dikhawatirkan bagi hambanya dan tidak perlu ada yang disesalkan kelak di hari
kiamat (وَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ).
Pada
ayat 263, Ibn Katsir menjelaskan bahwa kata (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ ) adalah berarti kalimat yang baik dan merupakan doa bagi
seorang muslim. Perkataan yang baik tersebut adalah merupakan hal yang lebih
baik dari pada sedekah yang diiringi dengan menyebut-nyebut sedekahnya dan
menyakiti si penerima.
Dalam
menjelaskan ayat ini, Ibn Katsir mengutip beberapa hadis.
وقال عمرو بن دينار : بلغنا أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال : ما من صدقة أحب إلى الله
من قول ، ألم تسمع إلى قوله تعالى
: قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعها أذى ) البقرة : 263 (
خرجه ابن أبي حاتم
Hadis
di atas menjelaskan bahwa sedekah yang disukai Allah adalah sedekah yang tidak
diikuti menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti si penerima.
عن أبي ذر
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( ثلاثة لا يكلمهم الله عز وجل يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا
يزكيهم ولهم عذاب أليم : المنان بما أعطى ، والمسبل إزاره ،
والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Hadis
yang diriwayatkan Abu Dzar di atas menjelaskan bahwa orang yang bersedekah lalu
ia menyebut-nyebut, adalah salah satu dari tiga kelompok yang akan mendapat
siksa di hari kiamat.
Menurut
Ibn Katsir, pada ayat berikutnya Allah menjelaskan hal yang membuat suatu
sedekah itu batal (يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي
يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ). Batalnya dan bahkan menjadi
dosa sebuah sedekah adalah akibat dari menyebut-nyebut sedekahnya, serta
menyakiti hati penerima. Kemudian lafaz selanjutnya (كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ), adalah riya’ yang dapat membatalkan sedekah. Sedekah yang
diiringi dengan menunjuk-nunjukkan kepada orang lain dan mengharap pujian
tidaklah diterima disisi Allah.
Selanjutnya,
menurut Ibn Katsir Allah memberi permisalan bagi orang-orang yang
menyebut-nyebut pemberiaanya sebagai batu licin yang di atasnya ada tanah,
kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ). Maka dipastikan, tanah tersebut akan hilang dan batu pun
menjadi bersih. Ini adalah perumpamaan bagi orang yang riya’, tidak ada pahala
atas sedekahnya tersebut.
(وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ) Pada ayat ini, Allah kembali
memberikan permisalan bagi orang-orang mukmin yang berinfak di jalanNya semata
mengharap ridhaNya, maka Allah akan membalasnya dengan memberikan kebun
didataran tinggi yang subur dengan air hujan (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ
أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ). Bahwa apabila tidak
terjadi hujan, gerimis pun tetap dapat menyuburkan kebun tersebut. (فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ).[9]
Beberapa
hadis di atas (tentang infak), dijadikan sumber penafsiran bagi Ibn Katsir.[10]
Hal ini menguatkan pendapat bahwa sumber tafsir Ibn Katsir adalah bil
al-ma’tsur. Ibn Katsir menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an, mulai surah
al-Fatihah sampai dengan surah al-Nâs. Ditinjau dari kategori metode yang
digunakan, Ibn Katsir menggunakan metode tahlili dalam penafsirannya. Ketika
menafsirkan suatu ayat, ia menjelaskan per kalimat pada ayat tersebut.
D.
Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa
al-Manhaj
Wahbah
Zuhaili adalah salah satu ulama kontemporer yang mempunyai banyak karya, baik
fiqih dan tafsir. Salah satu karya Wahbah Zuhaili yang fenomenal adalah kita
tafsirnya, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Dalam
kitab tafsir, ia menafsirkan seluruh surah al-Qur’an. Metode yang ia gunakan
adalah metode tafsir tahlili. Terkadang ia memberikan sub tema ketika membahas
suatu ayat. Dalam menafsirkan sebuah ayat, Wahbah terlebih dahulu menjelaskan mufradat,
balagha, munasabah ayat, sebab turunnya ayat dan perbedaan qiraat diantara para
imam qurra’.
Dalam
penafsirannya tentang ayat ini (ayat 261-264) Wahbah Zuhaili memberi judul
“Pahala infak di jalan Allah dan adab melakukannya”. Pada awal penafsiran ayat
tersebut, Wahbah memaparkan perbedaan para imam qurra’ dalam membaca ayat,
seperti: (وَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ) yang dibaca (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهُم ) oleh imam Hamzah.
Selebihnya, para imam qurra’ tujuh membaca seperti ayat di atas. Wahbah
kemudian menjelaskan i’rab, balagha, mufradat dan munasabah ayat tersebut.[11]
Selanjutnya,
Wabah juga menjelaskan sebab turunnya ayat. Ia mengutip riyawat dari al-Kalabi.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan
datangnya Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah.
Keduanya berniat menginfakkan hartanya kepada pejuang yang terlibat dalam
perang Tabuk. Rasulullah pun menerima infak keduanya dan mendoakannya.[12]
Menurut
Wahbah, ayat 262 (الَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا
أَنفَقُواُ مَنّاً وَلاَ أَذًى
) ini adalah menjelaskan syarat orang yang berinfak dan etikanya. Syarat
tersebut adalah bahwa berinfak tidak boleh diikuti dengan menyebut-nyebut
pemberiannya. Sehingga si penerima merasa direndahkan dan sakit hati. Orang
yang berinfak dan dia tidak mengungkit-ungkit pemberiannya serta tidak berkata
sesuatu yang dapat menyakiti hati penerima, maka pahala Allah akan sangat besar
(لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ ).
Tidak
jauh dengan para mufassir sebelumnya, dalam menjelaskan ayat ini, Wahbah juga
mengutip hadis yang bertema keutamaan infak:
مَنْ
أَرْسَلَ بِنَفَقَةٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَقَامَ فِي بَيْتِهِ فَلَهُ بِكُلِّ
دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ دِرْهَمٍ ، وَمَنْ غَزَا بِنَفْسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَأَنْفَقَ فِي وَجْهِ ذَلِكَ فَلَهُ بِكُلِّ دِرْهَمٍ سَبْعُ مِائَةِ أَلْفِ
دِرْهَمٍ
(وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُونَ) Orang-orang yang
berinfak dengan tulus mengharap ridha Allah kelak (pada hari kiamat) tidak akan
merasa takut, ketika banyak orang ketakutan . Mereka (orang-orang yang tulus
berinfak) tidak akan merasa menyesal, ketika orang-orang yang semasa hidupnya
kikir mengalami penyesalan di hari akhir. Wahbah kemudian mengutip surah
al-Munafiqûn ayat 10
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ
قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan belanjakanlah
sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Tuhanku, mengapa
Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Pada
ayat 263, Wahbah menjelaskan bahwa perkataan yang baik (قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ) adalah lebih baik dari pada sedekah yang dibarengi dengan
menyebut-nyebut sedekahnya tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa Allah Maha Kaya
dan tidak membutuhkan sedekah orang-orang yang menyebut-nyebut sedekahnya.
Melalui ayat ini, ia juga menghimbau agar sedekah diniatkan tulus karena Allah.
Bukan mengharap pujian dari orang lain atau bahkan memamerkan sedekahnya
(riya’).[13]
Pada
ayat 265, (وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ) Wahbah menjelaskan bahwa Allah memberi permisalan bagi
orang-orang mukmin yang berinfak di jalanNya dengan penuh keridhaan. Mereka
kelak akan dibalas dengan kebun nan indah dan subur di sebuah dataran tinggi (كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ). Tanah yang subur akan menghasilkan tanaman yang subur.
Derasnya air hujan yang menyirami akan membuatnya bertambah subur. Jika tidak
air hujan, gerimis pun mampu membuatnya subur.[14]
VI.
Pendapat Penulis
Ayat di
atas telah memberikan penjelasan penting bagi seseorang tentang balasan
orang-orang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Sekaligus, telah memberikan
pelajaran etika mengeluarkan infak dan sedekah. Tentu ayat ini memberi banyak
pelajaran tentang bagaimana menginfakkan harta sekaligus etikanya. Sehingga
setiap muslim akan dapat melaksanakan perintah infak dengan etika sebagaimana
yang diatur pada ayat di atas. Pada ayat di atas pula, Allah memerintahkan
untuk berinfak kepada orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Ayat ini
sekaligus menyiratkan pesan kemuliaan bagi mereka yang berjihad. Berjihad di
jalan Allah tidak bisa dimaknai mereka yang berperang saja, tetapi juga mereka
yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah.
[1] [1] Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb
Nuzûl al-Qur’an, (Riyad: Dar al-Maiman, 2005), h. 204.
[2] Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr
al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân, (Kairo: Dar
al-Hijrah, 2001), vol 4, h. 651-3
[3] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an
Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 656
[4] al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an
Takwil Ay al-Qur’ân, vol 4, h. 658
[7] Abi Muhammad al-Husain ibn
Mas’ud al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, (Riyadh: Dar
al-Thaiyyibah, 1412 H), vol. 1, h. 324-327
[8] Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr
al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm, (Kairo: Muassasah al-Qurthubah,
2000), vol.
2, h. 457.
[11] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), vol. 2, h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar