Jumat, 06 Februari 2015

Tasawuf al-Junaid al-Baghdadi: Kajian Terhadap Kitab Rasail al-Junaid


Oleh Ali Thaufan DS
 

Pengantar
Pada tahun 2009 lalu, saya –selanjutnya penulis- mengikuti kelas “Tasawuf Nurcholish Madjid” yang diadakan yayasan Paramadina, bertempat di Musallah Raharja Pondok Indah. Saat itu materi diampu oleh Dr. Asep Usman, salah satu dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Diantara kesimpulan yang penulis dapatkan dari pembelajaran tersebut adalah, bahwa seorang sufi tidak melulu menyendiri di Gunung, Gua, tempat sepi, tempat ibadah dan lainnya. Tetapi, seorang sufi dapat mempraktikkan ajaran sufi di dalam kehidupan normal pada umumnya, ditengah masyarakat. Kesimpulan selanjutnya adalah bahwa para sufi juga tidak bisa diidentikkan sebagai orang yang “kusam”, pakaiannya ketinggalan zaman.

Pada zaman modern seperti saat ini, bisa saja seorang sufi juga berpakaian layaknya masyarakat umum. Dr. Asep Usman juga menjelaskan bahwa salah satu model sufi “zaman modern” antara lain adalah Nurcholish Madjid. Barangkali ia adalah satu dari deretan sufi-sufi zaman modern.

Jauh sebelumnya, pada masa-masa awal perkembangan Islam, sejarah Islam mencatat nama-nama yang dianggap sebagai sufi agung seperti, Dzu al-Nûn al-Musrî, Abû Yazid al-Bustami, al-Junaid al-Baghdadî, Husain ibn Mansur al-Hallâj, Abû Hamîd Ghazali dan banyak lagi nama lainnya. Nama-nama tersebut kemudian melahirkan dua corak besar dalam tasawuf, yakni Sunni dan tasawuf Falsafi. Dua aliran tasawuf ini turut mengisi ruang-ruang sejarah peradaban Islam. 

Tulisan ini berusaha memaparkan salah satu tokoh sufi Sunni, yakni Abû al-Qâsim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzâz al-Qawâriri al-Baghdadî atau yang dikenal dengan Imam Junaid al-Baghdadî. Bagi para pengkaji ilmu tasawuf, nama al-Junaid mungkin tidak asing lagi. Telah banyak kajian terdahulu yang memberikan informasi terkait tasawuf dan pemikiran al-Junaid.

Tentang al-Junaid al-Baghdadi: Biografi Sosial-Intelektual
Al-Junaid memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi. Al-Junaid lahir di Nahawad, pada tahun 210 H. Ia tumbuh dewasa dan menghabiskan hidupnya di kota Baghdad, wafat pada 297 H.[1] Beberapa riwayat menyebut wafat pada hari Sabtu. Sebagian menyebut pada hari Jumat, dan baru dimakamkan pada hari Sabtu.

Al-Khazzaz dan juga al-Baghdadi yang disematkan pada namanya tak lain merupakan sebuah gelar. “Al-Khazzaz” berarti saudagar sutera yang kaya raya. Pun demikian dengan ayahnya yang bergelar “Al-Qawarir” yang berarti saudagar kaca. Sedangkan “Al-Baghdadi” adalah menunjukkan tempat hidupnya.[2] Namun demikian,kekayaan yang dipunyai tidak membuatnya sibuk dengan urusan duniawi. Al-Junaid justru semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa.

Sepeninggal ayahnya, al-Junaid di asuh oleh pamannya, Siri al-Saqati (w. 254 H) yang juga dikenal sebagai tokoh sufi terkemuka di Irak dan ahli berbagai keilmuan.[3] Di bawah asuhannya ini, al-Junaid mulai menempuh pencarian wawasan keilmuan. Al-Junaid mulai belajar fikih dan hadis. Ia berguru kepada ahli fikih saat itu, Abû Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi al-Baghdadi (w. 240 H).[4] Selain itu, ia juga berteman baik dengan salah satu ahli fikih yakni Ibn Syurayj.

Setelah dengan tekun mempelajari ilmu fikih, al-Junaid tumbuh menjadi seorang fuqaha. Pada usia yang relatif muda, 20 tahun, ia sering diminta memberikan fatwa dalam masalah fikih. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran gurunya, Abu Tsaur. Pada perkembangan selanjutnya, setelah cukup mumpuni dibidang ilmu fikih dan hadis, barulah al-Junaid beralih ke bidang tasawuf. Menurut Muhsin Ruslan, Al-Junaid mendapat pelajaran tasawuf dari kalangan sufi yang berada di Baghdad dan beberapa sufi yang berkunjung ke Baghdad. Kalangan sufi dari Baghdad sendiri diwaliki oleh Siri al-Saqati. 

Dalam kitab Risalah al-Qusairiyah seperti dikutip Ruslan, dipaparkan bahwa al-Junaid pernah berkata:
Sewaktu aku berusia tujuh tahun dan sedang bermain-main di hadapan al-Saqati, dan al Saqati ketika itu sedang melakukan pembicaraan tentang al-syukr, lalu bapak saudaraku itu bertanya kepadaku, “Anakku, syukr itu apa?” Aku menjawab kepadanya bahwa syukr itu ialah bahwa seseorang itu tidak melakukan maksiat terhadap Tuhan dengan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Bapak saudaraku berkata, “Nikmat Tuhan yang diberikan kepada engkau itu tentulah (termasuk) lidahmu.” Al-Junaid seterusnya berkata, “Mataku senantiasa berlinang apabila aku teringat apa yang telah diucapkan oleh al-Saqati tersebut.”

Perkataan al-Junaid di atas menunjukkan bahwa sejak usia kecil, ia seperti telah mendalami ilmu tasawuf. Cara pengajaran tasawuf oleh al-Saqati dilakukan dengan berdialog. Contoh dialog antara al-Saqati dan al-Junaid seperti dikutip dibawah ini:
Al-Junaid berkata, “Suatu hari Siri al-Saqati bertanya kepadaku tentang al-mahabbah. Lalu aku menjawab, sebahagian orang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah keserasian (perasaan); dan yang lain pula mengatakan bahwa al-mahabbah adalah mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Sedangkan yang lain mengatakan begini dan begitu.” Lalu Sari al-Saqati memegang dan menarik kulit lengannya yang begitu kencang dan kering sehingga tidak boleh ditarik, sambil berkata, “Demi Tuhan, jika aku berkata bahwa kulit ini menjadi kering melekat pada tulang-tulang ini disebabkan oleh (usaha-usaha pelaksanaan amal demi) kecintaan kepada-Nya, maka itu aku sedang menjelaskan tentang kebenaran.

Kalangan sufi Baghdad yang menjadi guru dari al-Junaid selain al-Saqati adalah Abû Abd Allah al-Harits ibn Hasad al-Muhasibi, Abû Ja’far Muhammad Ibn ‘Ali al-Qassab (w. 275 H), Abu Ja’far al-Karabi al- Baghdadi, Abû Bakr Muhammad Ibn Muslim Abd al-Rahman al-Qantari (w. 260 H), Abû Ya’qûb al-Zayyat, Muhammad al-Samin, dan Hasan al-Bazzaz. Sedangkan tokoh sufi yang mengunjungi Baghdad lalu dijadikan guru oleh al-Junaid antara lain adalah Abû Hafs ‘Amr Ibn Salama al-Haddâd al-Nisyafuri (w. 260 H), Abû Ja’far Yahya Ibn Muaz Ibn Ja’far al-Razî (w. 258 H), dan Abû Ya’qûb Yusuf Ibn Husain Ibn ‘Ali al-Razî (w. 304 H).[5]
 
Meski pada masa al-Junaid telah banyak ditemui para sufi di Baghdad, tetapi sebagaian orang kurang bisa menerima ajaran tasawuf dan kalangan sufi. Sebagian orang bahkan menolak tasawuf. Al-Junaid yang bergelut di bidang tasawuf bahkan dianggap sebagai atheis dan zindik. Hal ini yang barangkali membuat al-Junaid tidak terang-terangan dalam mengajarkan tasawuf. 

Dr. Ali Hasan yang menjadi editor buku Rasail al-Junaid mengemukakan bahwa al-Junaid tidak mengajarkan tasawuf secara terbuka karena: pertama, pelajaran al-Junaid dianggap menyimpang. Kedua, ajaran tawasuf belum mendapat respon dari masyarakat luas. Ketiga, ungkapan-ungkapan al-Junaid sangat sulit dipahami oleh kebanyak orang, bahkan Ibn Arabi pun termasuk didalamnya.[6]

Jika ditinjau dari aspek historis, al-Junaid hidup pada masa keemasan Pemerintahan Abbasiyah. Pada tahun pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 193 H) dan Khalifah al-Makmun (w. 218 H) Daulat Abbasiyah membangun pusat ilmu pengetahuan “Bait al-Hikmah”. Tahun-tahun tersebut menjadi tahun berkembangannya filsafat Islam sebagimana ditandai munculnya filosof besar al-Kindi (w. 252 H) dan al-Farabi (w. 339 H). Dapat dipastikan pada tahun tersebut, segala macam pemikiran berkembang pesat.[7]

Ditengah perkembangan pemikiran yang luar biasa, al-Junaid muncul dengan gagasan tasawufnya. Menurut Taftazani, tasawuf al-Junaid bukan termasuk tasawuf yang “ekstrem”.[8] Tasawuf yang lakukan al-Junaid termasuk apa yang dikatakan Taftazani sebagai tasawuf “moderat”. Ajaran tasawufnya dia dasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Ia adalah seorang fuqaha yang sufi.[9]

Uraian di atas mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa al-Junaid muncul sebagai tokoh sufi ditengah perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat. Al-Junaid memberikan corak tasawuf ditengah berkembangannya filsafat dengan hadirnya tokoh semisal al-Kindi dan al-Farabi. Bangunan intelektual al-Junaid terkombinasi dari pamannya al-Saqati dan masanya sebagai masa keemasan Islam.

Tentang Buku Rasail al-Junaid
Sebagai seorang sufi yang masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara khusus mengulas tasawuf. Buku yang sampai saat ini, Rasail al-Junaid adalah kumpulan beberapa surat menyurat antara al-Junaid dan para sahabatnya. Selain itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang al-Ulûhiyah, Tauhid, Mitsak dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat mendalam dalam membahas tauhid.

Buku Rasail al-Junaid terdiri dari beberapa judul yaitu: 1) Surat al-Junaid kepada sebagian sahabatnya (tidak disebut secara pasti nama sahabatnya); 2) Surat al-Junaid kepada sahabatnya Yahyâ ibn Ma’âdz al-Râzî[10]; 3). Surat al-Junaid kepada sebagian sahabatnya (tidak disebut secara pasti nama sahabatnya); 4). Surat dan nasehat al-Junaid kepada ‘Amrû ibn Utsman al-Makkî[11]; 5). Surat dan nasehat al-Junaid kepada Abî Ya’qûb Yûsuf ibn Husain al-Râzî[12]; 6). Pembahasan al-Junaid tentang fana’; 7). Pembahasan al-Junaid tentang persaksian (mitsâq); 8). Pembahasan tentang al-Ulûhiyah; 9). Perbedaan antara keyakinan dan keikhlasan; 10). Pembahasan tentang tauhid; 11). Pembahasan tentang adab orang fakir kepada Allah 12). Pembahasan tentang obat dari kelalaian.

Surat menyurat antara al-Junaid dengan sahabatnya tidak diketahui secara pasti waktunya karena al-Junaid sendiri tidak mencamtumkannya (tanggal atau tahun). Kumpulan surat-surat dan beberapa gagasannya disatukan menjadi sebuah buku yang di-tahqiq oleh Dr. Ali Hasan Abdu al-Kadir.

Pemikiran Tasawuf Al-Junaid
Sebagai seorang sufi masyhur, al-Junaid sebetulnya tidak memiliki karya yang secara khusus mengulas pemikiran tasawuf. Namun al-Kalabadzi menulis bahwa tasawuf menurut al-Junaid tasawuf adalah membersihkan hati dari pengaruh duniawi, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, menghindari godaan hawa nafsu, menghiasi diri dengan sifat-sifat ruhaniah melalui ilmu hakikat, lebih bersandar kepada sesuatu yang bersifat abadi, menyeru kepada kebaikan yakni dengan mengikuti Rasulullah dan apa yang telah disyariatkan.[13]

Untuk menyelami pemikiran tasawuf al-Junaid, para pengkaji mendapatkan pada buku Rasail al-Junaid. Buku tersebut adalah kumpulan beberapa surat-surat al-Junaid kepada para sahabatnya –sufi yang sezaman dengannya. Selain itu ada beberapa tema pokok yang dibahasnya, yakni tentang uluhiyah, tauhid, mitsaq, fana’ dan lain-lain. Beberapa penulis tasawuf meyakini bahwa al-Junaid sangat mendalam dalam membahas tauhid. 

Dalam risalah tauhidnya ia berkata:
Ketahuilah sesungguhnya awal ibadah kepada Allah adalah makrifat kepadaNya. Pokok dari makrifat kepada Allah adalah mentauhidkanNya. Prinsip mentauhidkan Allah adalah menafikan sifat dariNya. Allah adalah dalil atas wujudNya. Sarana untuk mecapai dalil atas wujud Allah hanyalah taufik dariNya. Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya. Setelah tauhid, orang tersebut akan mencapai tasdik (pengakuan). Dari tasdik menuju tahkik (penetapan) sesudah tahkik maka terjadi makrifat kepada Allah. Dari makrifat kepada Allah akan muncul ketaatan kepadaNya. Dari ketaatan akan meningkat naik kepada Allah. Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah. Dari ketersambungan terjadilah transparan. Dari transparan terjadi kebingungan. Setelah bingung, hilang transparasi. Akibat kehilangan transparasi maka tidak mampu melukiskan Allah. Setelah itu dia akan mencapai hakikat wujudNya. Lalu masuk kepada hakikat syuhud dengan hilang wujudnya. Dengan kehilangan wujudnya maka wujudnya menjadi murni. Dengan kemurnian wujud, hilang sifatNya. Dari hilangnya tersebut, ia hadir secara total. Dia antara ada dan tiada, antara tiada dan ada. Ia ada tapi disisi lain tiada, ia tiada tapi disisi lain ada. Kemudian dia menjadi ada setelah tiada. Lalu dia pun akan menjadi dia setelah tiada. Setelah dia tiada, maka dia menjadi ada dan ada, setelah ada dan tiada.[14]

Kalimat (ومن الترقي اليه وقع الإتصال به) atau yang berarti “Dari tangga naik akan terjadi ketersambungan kepada Allah” menarik untuk dicermati. Ungkapan penuh makna tersebut dapat dipahami memiliki kemiripan dengan konsep menyatunya hamba dengan Allah. Sangat besar kemungkinan para sufi sesudah al-Junaid –seperti al-Hallaj dan juga Ibn Arabi- mengadopsi kalimat di atas sebagai landasan pemikiran kebersatuan hamba dengan Tuhan.

Ungkapan al-Junaid di atas menggambarkan bagaimana tingkatan menuju ketauhidan yang “hakiki”. Cukup sulit mencerna ungkapan al-Junaid yang mempunyai nilai bahasa sufi yang tinggi. Tetapi penulis menggarisbawahi kalimat “Hanya dengan taufik dari Allah seseorang mampu mentauhidkanNya”, yang dapat diartikan bahwa sebesar apapun usaha hamba mencapai ketauhidan tidak akan berarti tanpa taufik Allah. Artinya, hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk mendekat kepada Allah. 

Pandangan al-Junaid tentang tauhid juga diutarakan oleh al-Qusyairi. Ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid, ia menjelaskan bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya dan sesempurna mungkin. Allah adalah maha esa, tidak beranak dan diperanakkan. Allah tidak dapat diserupakan, diurakan dan digambarkan.[15] Al-Junaid lalu menukil sebuah ayat
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.

Dalam risalah tauhidnya, al-Junaid juga membagi tauhid sang makhluk menjadi empat, pertama tauhid orang-orang awam, kedua tauhid orang-orang alim dan berilmu, serta ketiga dan keempat adalah tauhidnya orang-orang yang telah mencapai tingkat ma’rifah. Tauhid bagi orang awam adalah pengakuan atas keesaan Allah serta tidak mengakui adanya tuhan selain Dia. Tauhid bagi orang-orang alim dan berilmu adalah pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. 

Sedangkan tauhid orang yang mencapai tingkat ma’rifah ada dua. Pertama, pengakuan atas keesaan Allah, tidak mengakui adanya tuhan selain Dia serta menjalankan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Tidak takut dan tidak senang melainkan karena Allah. Selalu melihat Allah dan taat kepadaNya. Kedua, seperti bayangan yang berada dihadapan Allah tanpa ada yang ketiga. Berlaku semua kehendak Allah , di dalam ombak dan lautan tauhid. Dengan fana yang ada pada dirinya dan dakwah. Ia kembali menjadi seperti tiada. Di akhir penjelasannya al-Junaid mengutip surah al-A’raf ayat 172, ayat yang terkenal dengan mitsaq (perjanjian primordial).[16]
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’”

Dengan menggunakan ayat mitsaq tersebut, al-Junaid juga menjelaskan konsep awal ruh sebelum diciptakannya tubuh / jasad. Atau dengan kata lain tentang keadaan ruh di alam lain. Ia berkata:
Allah mempunyai hamba pilihan yang menjadi kekasihnya. Menjadikan jasad mereka duniawi dan ruhnya nur. Pemahamannya bersifat arasyi, akalnya menjadi hijab, tidak mempunyai tempat berlindung kecuali kepada Allah, tidak punya tempat kecuali di sisi Allah. Mereka adalah yang diwujudkan dan didudukkan di sisi Allah sejak zaman azali. Ketika Allah memanggil mereka sebagai tanda penghormatan, mereka segera datang. Mereka paham panggilan itu dan Allah mengenalkan diri kepada mereka di saat belum ada. Allah memindahkan mereka dengan kehendakNya. Mereka dijadikan seperti atom. Diwujudkan menjadi makhluk. Kemudian dimasukkan dalam tulang rusuk Adam. Lalu Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Allah mengabarkan bahwa dia berbicara dengan mereka. Padahal mereka belum ada kecuali diwujudkan olehNya. Mereka wujud karena Allah, bukan karena dirinya. Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri.[17]

Selain konsep awal ruh sebelum penciptaan tubuh, menurut penulis terdapat ungkapan yang cukup menarik
إذ كانوا واجدين للحق من غير وجودهم لأنفسهم, فكان الحق بالحق في ذلك موجودا بالمعنى الذي لا يعلمه غيره ولا يجده سواه
Maka disanalah al-Haq bertemu dengan al-Haq, betul-betul wujud yang tidak mampu dimengerti kecuali oleh Allah sendiri”. Ungkapan ini seakan menunjukkan kemanunggalan antara Allah hambaNya. Tetapi, hal tersebut tidak akan pernah dimengerti kecuali oleh Allah.
Konsep tersebut di atas –awal ruh sebelum penciptaan tubuh- yang diusung oleh al-Junaid memberi pengaruh bagi sufi-sufi selanjutnya. Sufi-sufi tersebut antara lain, Muhammad ibn al-Husain al-Jurairy (w. 311 H) dan Muhammad Muzayin (w. 328 H). Konsep ini pada perkembangan selanjutnya melahirkan teori tentang “Nur Muhammad”. Meski beberapa penulis tasawuf menyebut Sahl al-Tustari sebagai penggagasnya.[18]

Dalam beberapa kitab-kitab tasawuf disebutkan bagaimana al-Junaid berbicara tentang tauhid. Salah satunya yang dikutip Taftazani dari riwayat al-Qusyairi. Ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid, ia menjawab:
“Pribadi-pribadi yang bersatu merealisasikan kebersatuanNya dengan kesempurnaan kebersendiriannya, berkeyakinan bahwa Allah adalah yang maha esa, Dia tidak beranak dan diperanakkan, dan Dia negasikan segala yang berbilang banyak... Dia tanpa padanan, dan Dia adalah yang maha mendengar dan melihat”.[19]

Ungkapan tentang tauhid al-Junaid di atas begitu indah dan menyentuh hati pembaca. Memang, al-Junaid banyak mengeluarkan ucapan-ucapan penuh makna. Al-Sulami dalam Thabaqat al-Sufi menukil beberapa perkataan al-Junaid seperti “Lupa kepada Allah lebih bahaya ketimbang masuk neraka”. Lalu adapula ucapan “Apabila kamu bertemu dengan orang fakir, maka jangan memulai dengan ilmu, tetapi dengan dengan sesuatu yang bermanfaat baginya. Karena ilmu akan membuatnya liar dan lapar, dan sesuatu yang bermanfaat membuatnya jinak.”[20] Disamping dua perkataan tersebut masih banyak lagi perkataan lainnya.

Apresiasi atas Pemikiran Tasawuf al-Junaid
Seorang tokoh yang memiliki gagasan besar kerap mendapat apresiasi, sanjungan hingga kritikan dari para tokoh sesudahnya. Hal demikian juga terjadi pada al-Junaid. Pemikirannya tasawuf yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah mendapat tempat tersendiri pada bangunan ilmu tasawuf. Pemikirannya tasawufnya telah menjadi warisan bagi para sufi sesudahnya.

Para pengkaji tasawuf menempatkannya sebagai tokoh sufi sunni, sufi yang mendasarkan amalannya kepada al-Qur’an dan sunnah. Setidaknya hal ini dapat terlihat dari ucapan al-Junaid bahwa landasan tawasuf yang utama adalah harus didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah. Orang-orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka tidak boleh dijadikan panutan dalam tasawuf. Hal ini dikarenakan tasawuf sangat terkait dengan keduanya, al-Qur’an dan Hadis.[21] Hal yang paling menonjol dalam pembahasan mengenai pemikiran tawsuf al-Junadi adalah bahwa setiap pengkaji sepakat jika pijakan pemikiran al-Junaid didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah.

Tasawuf sunni adalah sebuah aliran tasawuf yang mendasarkan pemikiran dan tindakannya pada syariah (al-Qur’an dan Hadis). Dalam pidato pengukuhan guru besar bidang tasawuf, Alwan Khairi membuka makalahnya dengan pernyataan bahwa ajaran tasawuf yang sejalan dengan syari’ah adalah tasawuf Sunni. Ia menyatakan bahwa:
“Tasawuf Sunni yakni tasawuf yang ajarannya sampai pada tingkat ma’rifah. Syari’ah dan tasawuf Sunni merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena corak tasawuf ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Ajarannya menekankan aspek pembinaan akhlak yang terpuji dalam hubungan antara manusia dan Tuhan maupun dalam hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya; (2). Ajarannya diselaraskan sepenuhnya dengan ilmu syari’ah; (3). Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam menurut ulama syari’ah; (4). Ajarannya berdasarkan penafsiran dan pemahaman ajaran Islam yang dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan hadis; dan (5) Dalam ajaran tasawuf Sunni masih terlihat jelas perbedaan antara ‘abid dan ma’bud serta khaliq dan makhluk, sehingga tidak terdapat unsur-unsur syirik baik dalam akidah maupun dalam ibadah.”

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam tasawuf untuk mendekati al-Qur’an dan Sunnah harus dilakukan dengan cara takwil. Jika takwil tersebut dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk tasawuf Sunni. Tetapi jika takwil tersebut jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka ia termasuk non Sunni. Adapun ciri tasawuf Sunni adalah: Dalam tasawuf Sunni amal hati, lidah dan fisik ketika melaksanakan syari’ah harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah; dalam Sunni tidak terdapat unsur syirik baik akidah maupun ibadah; tasawuf Sunni tidak memperkenankan tarekat suluk, uzlah, qonaah, zuhud dan lain-lain tanpa ikhtiar sama sekali; ilmu laduni yang diraih melalui dzauq tidak diakui sah apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah; tasawuf Sunni menekankan akhlak dan sopan santun dalam hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.[22]

Apa yang dikemukakan oleh Alwan sepertinya hendak menegaskan bahwa tasawuf yang “legal” dan sah adalah tasawufnya para sufi Sunni. Sedangkan praktik tasawuf kalangan sufi falsafi bukanlah tasawuf sejati. Pembeda yang paling menonjol dan menjadi sasaran kritik para sufi Sunni terhadap kalangan sufi falsafi adalah dalam persoalan kemanunggalan dengan Tuhan yang esa.

Sekalipun antara tasawuf Sunni dan falsafi terdapat banyak perbedaan, tetapi terdapat juga persamaan keduanya. Persamaan yang paling pokok adalah bahwa sumber kedua aliran tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya tetap konsisten mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Keduanya juga menginginkan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual.[23]

Kebesaran al-Junaid telah menjadikannya sebagai seorang sufi yang diakui pada zamannya, bahkan hingga saat ini. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari surat-surat al-Junaid kepada para sufi sezamannya. Pada zamannya pula, sufi “kontroversial” al-Hallaj tercatat pernah berguru dengannya.[24] Imam al-Ghazali juga mengakui bahwa ia banyak terinspirasi oleh pemikiran tasawuf al-Junaid. 

Sedangkan kebesaran al-Junaid dan pengaruhnya hingga saat ini setidaknya merujuk pada pendapat Said Aqil Siraj, bahwa corak tasawuf warga Nahdhiyin (NU) adalah pengaruh dari dua imam sufi besar yaitu al-Junaid dan Imam Ghazali.[25] Kebesaran al-Junaid sebagai seorang sufi membuatnya mendapat beberapa sebutan seperti “Sayyid al-Thâifah”, “Syehk Masyayîkh”, “Tâj al-Arifîn” (mahkota orang-orang arif) hingga “al-Junaidiyah” bagi orang-orang yang belajar bersamanya.[26]

Hikayat hidup seorang al-Junaid banyak ditulis oleh para pengkaji ilmu tasawuf. Cerita tentang kehidupan al-Junaid memberikan teladan bagi setiap orang. Sebagai contoh, cerita al-Junaid yang dapat dijadikan teladan adalah ketika meminta para muridnya menyembelih ayam, tetapi dengan syarat tidak ada yang melihatnya. Beberapa muridnya membeli ayam di pasar lalu menyembelihnya dengan cara bermacam-macam. Ada yang menyembelih di dalam kamar, di tengah hutan dan lain-lain. Tetapi ada seorang murid yang tidak menyembelihnya karena ia merasa tidak mampu dengan syarat yang diminta oleh al-Junaid. Si murid tersebut berkata:
“Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia (Allah) tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Padahal aku tak bisa pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku”.[27]

Cerita lain dari al-Junaid yang patut dicontoh adalah tatkala ia belajar tauhid dari seorang tukang cukur rambut. Pada suatu ketika, al-Junaid melakukan perjalanan ke Makkah. Ia melihat tukang cukur rambut yang sedang mencukur rambut seseorang, lalu kemudian al-Junaid menghampirinya dan berkata “Jika karena Allah, bisakah kau mencukur rambutku”. Seketika pula, si pencukur rambut menghentikan mencukur rambut seseorang tadi dan menyilahkan al-Junaid untuk dicukur. Begitu selesai mencukur rambut al-Junaid, si tukang cukur justru memberikan kepingan uang untuk al-Junaid. Hal ini membuatnya keheranan. Sambil pergi, al-Junaid berjanji ia mendapat rezeki (uang) akan memberikan kepada tukang cukur rambut tersebut.

Pada kemudian hari, al-Junaid mendapat hadiah sekantong uang dari sahabatnya. Ia pun memenuhi janjinya jika mendapat uang akan memberikan kepada tukang cukur. Al-Junaid pun pergi kepada tukang cukur dan memberikan uang tersebut. Tukang cukur menolak pemberian al-Junaid tersebut dan berkata:
“Tidakkah engkau malu kepada Allah. Engkau telah mengatakan kepadaku ‘Demi Allah cukurlah rambutku’, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?”.

Perkataan tukang cukur tersebut membuat al-Junaid terdiam tanpa kata.[28]

Penutup
Simpulan dari tulisan ini adalah, al-Junaid termasuk juga sebagai ahli tasawuf yang membalutkan corak kesufiannya dengan begitu dalam. Beberapa ulasan tentang ketauhidan, al-Junaid menunjukkan kata-kata yang sarat makna untuk menggambarkan ketauhidan yang selaras dengan al-Qur’an dan Sunnah. Meski al-Junaid tak memiliki karya “buku”, tetapi surat-suratnya kepada para sahabatnya serta perkataan-perkataan hikmahnya telah menempatkan diri sebagai sufi agung. Pembahasan tauhid yang diulas dalam Rasail al-Junaid memberi gambaran bahwa al-Junaid cukup dalam dalam memahami tauhid. Ia menggunakan term (الإتصال) untuk mengambarkan bagaimana seorang hamba dapat menuju sang Khalik.

Daftar Pustaka
Abd al-Qadir, Ali Hasan, Pengantar dalam Rasail al-Junaid, Kairo: Bar’i Wajda, 1988

Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2004

B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht (editor), The Encylcopaedia of Islam, Brill: Leiden, 1991

Hitti, Philip K, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010

Al-Hujwiri al-Ghaznawi, Abu Hasan Ali ibn Utsman ibn Abi Ali al-Jalabi, Kasyfu al-Mahjûb, Maktabah Iskandariyah, 1974

Al-Kalabadzî, Abû Bakar Muhammad, al-Ta’rif li Mazhab Ahli al-Tasawuf, Mesir: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1969

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Dian Rakyat, 2008

Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Penerbit Mizan, 2011

Al-Qusairi, Abi al-Qasim Abd al-Karim, Al-Risalah al-Qusairi, Dar al-Ma’arif, 1994

Sakatûlin, Jauzî dan Ahmad Hasan Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, Kairo: al-Hai’a al-Misriyah al-Ammah Li al-Kitab, 2007

Siroj, Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, Jakarta: SAS Foundation, 2012

Al-Sulami, Abi Abdu Rahman, Thabaqât Shufia, Dar Sya’ba, 1997

Susetya, Wawan, Kisah-Kisah Para Sufi Legendaris Sepanjang Masa, Yogyakarta: Sabil, 2012

Al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997

Rujukan Makalah dan Jurnal

Khoiri, Alwan, “Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010

Ruslan, Muhsin, “Ilmu Tasawuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid al-Baghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, dalam Jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

Syarifuddin, Anwar, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009

Rujukan Internet



[1] Ali Hasan Abd al-Qadir, Pengantar dalam Rasai al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. vii
[2] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 49.
[3] Abu Hasan Ali ibn Utsman ibn Abi Ali al-Jalabi al-Hujwiri al-Ghaznawi, Kasyfu al-Mahjûb, (Maktabah Iskandariyah, 1974), h. 321
[4] B. Lewis, CH. Pellat dan J. Schacht (editor), The Encylcopaedia of Islam, (Brill: Leiden, 1991), vol. 2,  h. 600.
[5] Muhsin Ruslan, “Ilmu Tasawuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid al-Baghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, dalam Jurnal Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, h. 413
[6] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), Pengantar dalam Rasail al-Junaid, (Kairo: Bar’i Wajda, 1988), h. ii
[7] Jauzî Sakatûlin dan Ahmad Hasan Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, (Kairo: al-Hai’a al-Misriyah al-Ammah Li al-Kitab, 2007), h. 100-101. Lihat perkembangan zaman keemasan Khalifah Harun al-Rasyid pada: Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Pent Cecep Lukman Yasin-Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 375
[8] Seperti diungkap Nurcholish Madjid, ada beberapa sufi yang dikategorikan oleh Ahl al-Zhawahir sebagai sufi yang berada dalam “kesesatan yang gawat”. Tindakan sufi yang “aneh” terkadang dianggap sebagai tarikan setan yang sesat. Madjid memberi contoh sufi kelompok ini antara lain, Ibn Arabi dan Siti Jenar. Bahkan ulama fikih menganggap bahwa Ibn Arabi adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kesesatan dan penyimpangan yang ia lakukan. Namun demikian, Ibn Arabi tetap “agung” dimata para pengagumnya. Lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), h. 258
[9] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h. 110.
[10] Seorang sufi, wafat pada 258 H. lihat: Jauzî Sakatûlin dan Ahmad Hasan Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, h. 136.
[11] Seorang sufi yang wafat pada 291 H di Baghdad. Lihat: al-Sulami, Thabaqât Shufia, h. 65.
[12] Seorang sufi yang wafat pada 304 H. Lihat: al-Sulami, Thabaqât Shufia, h. 59.
[13] Abû Bakar Muhammad al-Kalabadzî, al-Ta’rif li Mazhab Ahli al-Tasawuf, (Mesir: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1969), h. 34.
[14] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid , h. 58.
[15] Abi al-Qasim Abd al-Karim al-Qusairi, Al-Risalah al-Qusairi, (Dar al-Ma’arif, 1994), vol. 2, h. 463
[16] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Tauhid” dalam Rasail al-Junaid, h. 61.
[17] Ali Hasan Abd al-Qadir (editor), “Kitab Mitsaq” dalam Rasail al-Junaid, h. 42.
[18] Anwar Syarifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi Mistik Sahl ibn Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, vol. IX, No. 2, 2009, h. 213-227.
[19] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, h. 110.
[20] Abi Abdu Rahman al-Sulami, Thabaqât Shufia, (Dar Sya’ba, 1997), h. 50.
[21] Abi al-Qasim Abd al-Karim al-Qusairi, Al-Risalah al-Qusairi, vol. 1, h. 34.
[22] Alwan Khoiri, “Integrasi Pengamalan Syari’ah dan Tasawuf”, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta, 2010, h. 2.
[23] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 113.
[24] Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2011), h. 70. Bahkan pada saat eksekusi mati al-Hallaj, beberapa sufi besar pun hadir termasuk didalamnya al-Junaid. Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, h. 79. Namun demikian, terdapat sumber yang mengatakan bahwa ketika al-Hallaj hendak berguru pada al-Junaid, al-Junaid menolaknya. Hal ini diakibatkan ulah al-Hallaj yang sering berpindah-pindah guru tanpa berpamitan kepada guru sebelumnya. Lihat: Muhsin Ruslan, “Ilmu Tasawuf dan Manfaatnya: Menelusuri Pandangan al-Junaid al-Baghdadi dan Pedoman Tasawuf Masa Kini”, h. 424.
[25] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, (Jakarta: SAS Foundation, 2012), h. 409.
[26] Jauzî Sakatûlin dan Ahmad Hasan Anwar, al-Tajaliyât al-Ruhiya Fi al-Islâm, h. 167.
[27]http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,41584-lang,id-c,hikmah-t,Kisah+Murid+Syekh+Junaid+al+Baghdadi-.phpx. Diakses pada 2/2/2015. 10.45 WIB. Cerita lainnnya juga dapat dilihat pada situs yang sama.
[28] Wawan Susetya, Kisah-Kisah Para Sufi Legendaris Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Sabil, 2012), h. 330

Tidak ada komentar:

Posting Komentar