Jumat, 06 Februari 2015

Mengulas Ahruf Sab’ah dan Qiraat Sab’ah Serta Pendapat Para Ulama

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
Pendahuluan
Dalam kajian ilmu al-Qur’an dijelaskan bahwa ada banyak ragam qiraat al-Qur’an. Kesemuanya mempunyai landasan masing-masing, yaitu para imam qurra’ yang dianggap terpercaya. Tidak dapat dielakkan, berkembangnya Islam ke berbagai wilayah telah menjadikan ragam bacaan al-Qur’an tersebut. Bahkan kodifikasi al-Qur’an oleh Khalifah Uthman yang salah satunya bertujuan menyeragamkan qiraat al-Qur’an, ternyata tidak mampu menyeragamkan bacaan al-Qur’an. Namun demikian, tetap diyakini bahwa qiraat yang sampai pada kita saat ini adalah qiraat yang didasarkan pada imam yang masyhur da terpercaya. Qiraat tersebut dalam kajian ilmu al-Qur’an disebut dengan qiraat sab’ah.
Disamping pembahasan mengenai qiraat sab’ah, dalam literatur ilmu al-Qur’an dijumpai pula pembahasan ahruf sab’ah. Sebagian ulama al-Qur’an dan para pengkaji menyamakan antara qiraat sab’ah dan ahruf sab’ah, mendefinisikan ahruf sab’ah sebagai qiraat sab’ah. Jika qiraat sab’ah adalah macam bacaan yang disandarkan pada imam qurra’ yang tujuh, maka ahruf sab’ah tidak demikian. Dalam beberapa hadis telah dijelaskan mengenai term ahruf sab’ah.
Tulisan dibawah ini berusaha memaparkan secara singkat: seputar ahruf sab’ah, qiraat sab’ah dan biografi salah satu imam qurra’, Imam Nafi dan perawi serta sanadnya.
Seputar Ahruf sab’ah dan Pendapat Ulama
Pembahasan ahruf sab’ah atau tujuh huruf dalam ilmu-ilmu al-Qur’an sering mengundang perdebatan. Al-Zarqani mencatat bahwa pembahasan ini menunjukkan dua sisi yang berlawanan. Pertama, turunnya al-Qur’an dalam ahruf sab’ah dapat bermakna sebagai kemukjizatan al-Qur’an. Al-Qur’an ingin memudahkan umatnya –saat itu- dalam membaca. Tetapi pada sisi yang lain, pembahasan ini sering kali dijadikan oleh para “musuh” Islam untuk menggugat otentisitas dan meragukan al-Qur’an.[1]
Jika qiraat sab’ah didefinisikan oleh para ulama ilmu al-Qur’an sebagai qiraat yang didasarkan pada imam qurra’, maka ahruf sab’ah didefinisikan sebagai al-Qur’an yang turun dengan tujuh huruf. Para ulama mendasarkan definisi tersebut pada beberapa hadis dan riwayat sahabat yang secara teks menyebut bahwa al-Qur’an turun atas tujuh huruf. Diantara hadis dan riyawat sahabat tersebut adalah:
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث قال حدثني عقيل عن ابن شهاب قال حدثني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس رضي الله عنهما حدثه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال  : ( أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف )

“... Dari Ibn Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda: Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus menerus minta dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf”[2]
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح وحدثناه ابن المثنى وابن بشار قال ابن المثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن الحكم عن مجاهد عن ابن أبي ليلى عن أبي بن كعب أن النبي صلى الله عليه و سلم كان عند أضاة بني غفار قال فأتاه جبريل عليه السلام فقال : إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على حرف فقال أسأل الله معافاته ومغفرته وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم أتاه الثانية فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على حرفين فقال أسأل الله معافاته ومغفرته وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم جاءه الثالثة فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على ثلاثة أحرف فقال أسأل الله معافاته ومغفرته وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم جاءه الرابعة فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على سبعة أحرف فأيما حرف قرءوا عليه فقد أصابوا

“... ketika nabi berada didekat parit bani Ghaffar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’. Ia menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf’. Nabi menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, umatku tidak kuat melaksanakanya’. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepadamu dengan tiga huruf’. Nabi menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, umatku tidak kuat melaksanakanya’. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya, dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepadamu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar’”.[3]
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث قال حدثني عقيل عن ابن شهاب قال حدثني عروة بن الزبير أن المسور بن مخرمة وعبد الرحمن بن عبد القاري حدثاه أنهما سمعا عمر بن الخطاب يقول : سمعت هشام بن حكيم يقرأ سورة الفرقان في حياة رسول الله صلى الله عليه و سلم فاستمعت لقراءته فإذا هو يقرأ على حروف كثيرة لم يقرئنيها رسول الله صلى الله عليه و سلم فكدت أساوره في الصلاة فتصبرت حتى سلم فلببته بردائه فقلت من أقرأك هذه السورة التي سمعتك تقرأ ؟ قال أقرأنيها رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت كذبت فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد أقرأنيها على غير ما قرأت فانطلقت به أقوده إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت إني سمعت هذا يقرأ بسورة الفرقان على حروف لم تقرئنيها فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( أرسله اقرأ يا هشام ) . فقرأ عليه القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( كذلك أنزلت ) . ثم قال ( اقرأ يا عمر ) . فقرأت القراءة التي أقرأني فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( كذلك أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه )

“... Umar ibn Khattab berkata: ‘Aku mendengar Hisyam ibn Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku “melabraknya” pada saat sedang salat, tetapi aku sabar menunggu sampai selesai salam (selesai salat). Begitu selesai aku tarik selendangnya dan bertanya: ‘siapa yang membacakan surah ini kepadamu?’ Ia pun menjawab: ‘Rasulullah yang membacakan kepadaku’. Lalu aku berkata: ‘Engkau berdusta, demi Allah Rasulullah pernah membacakan surah yang aku dengar tadi kepadaku, tetapi bacaannya tidak seperti yang kau baca’. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku’. Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia (Hisyam) wahai Umar. Bacalah surah tadi, Hisyam’. Hisyam pun kemudian membacakan dengan bacaan seperti yang kudengar waktu salat tadi. Maka Rasulullah berkata: ‘Begitulah surah ini diturunkan. Nabi berkata lagi: ‘Bacakanlah wahai Umar’. Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Rasul pun menjawab: ‘Begitulah surah itu diturunkan ‘. Dan Rasul berkata kembali: ‘Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.’”[4]
Al-Qattan juga menukil sebuah hadis yang menerangkan tentang ahruf sab’ah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacakanlah kamu mana yang mudah dari padanya.”[5]
Berkenaan dengan redaksi hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa, pada saat itu banyak sekali perbedaan bacaan. Ragam bacaan tersebut mendapat “pembenaran” dari hadis di atas. Pada saat masa nabi, umatnya tidak sanggup membaca dengan satu bacaan saja. Oleh sebab itu, nabi memberi kemudahan membaca dengan ragam bacaan yang ada. Hal ini lah yang dianggap sebagai latar belakang (asbab wurud) hadis ahruf sab’ah.
Al-Qattan mengemukakan pendapat beberapa ulama ilmu al-Qur’an seperti Abû Ubaid al-Qâsim terkait hadis-hadis di atas. Pendapat tersebut sampai pada kesimpulan bahwa hadis tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah mutawatir.
Para ulama memiliki beberapa pandangan dalam menjelaskan maksud dari ahruf sab’ah. Menurut Abû Hâtim, sebagaimana dikutip al-Qattan menjelaskan bahwa pendapat ulama tentang ahruf sab’ah sampai 35 pendapat. Terkait bahasan ini, penulis akan memeparkan beberapa pendangan ulama.
Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkap satu makna, maka al-Qur’an diturunkan dalam beragam lafaz tentang makna yang satu. Para ulama juga berpendapat bahwa tujuh bahasa tersebut adalah bahasa: Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Pendapat kedua, yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah tujuh bahasa dari macam-macam bahasa Arab. Dengan bahasa-bahasa tersebut al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an diturunkan tidak terlepas dari tujuh bahasa tersebut. Tujuh bahasa tersebut dianggap sebagai yang paling fasih dikalangan bangsa Arab, terlebih Quraisy.
Ketiga, sebagian ulama lain menyebutkan bahwa ahruf sab’ah adalah tujuh segi yakni: amar (perintah), nahyu (larangan), wa’ad (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan mastsal (perumpamaan). Sebagian berpendapat bahwa tujuh segi tersebut adalah amar, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Hal ini didasarkan pada sabda nabi:
“Kitab umat terdahulu diturunkan satu pintu dan dengan satu huruf. Sedangkan al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yakni zajr (larangan), amar, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal”.
Pendapat keempat, sebagian ulama berpendapat bahwa tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan). Perbedaan tersebut meliputi: (1) perbedaan kata benda dalam mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya; (2) perbedaan segi i’rab; (3) perbedaan segi tashrif; (4) perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan takkhir (mengakhirkan); (5) perbedaan dalam segi ibdal; (6) perbedaan akan adanya penambahan dan pengurangan; (7) perbedaan lahjah (tafkhim, tarqiq, fathah, imalah, idhar dan lain-lain). Selanjutnya, adapula pendapat yang mengemukakan bahwa ahruf sab’ah yang dimaksud disini adalah qiraat sab’ah.[6]
Seputar Qiraat Sab’ah Serta Pandangan Ulama
Perkembangan Islam membawa keberagaman bacaan al-Qur’an. Sejumlah ulama seperti Abu Ubaid al-Qasim, Abu Hatim dan al-Thabari menyusun buku-buku tentang qiraat yang didalamnya dibahas begitu banyaknya ragam bacaan. Pembatasan ragama qiraat menjadi qiraat sab’ah pertama kali dilakukan oleh Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa ibn Abbas. Ia memasukkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dalam qiraat sab’ah.
Al-Zarqani mencatat bahwa awal mula pembatasan yang dilakukan oleh Ibn Mujahid adalah karena spontanitas, tanpa ada perencanaan sebelumnya. Ibn Mujahid menyaratkan bacaan yang dapat diterima apabila memenuhi syarat kesahihan sanad, kedhabitan dan ulama yang ahli dibidang qiraat telah lama bergelut dibidang tersebut.[7] Namun adapula pendapat yang menyatakan bahwa awal mula Ibn Mujahid melakukan pembatasan jumlah qiraat dikarenakan beredarnya qiraat syadz. Pada saat itu, terdapat dua orang yang dianggap menyebarkan qiraat syadz, yakni Ibn Sannabûdz dan Ibn al-Qatthar. Ibn Sannabûdz dianggap menyebarkan bacaan yang tidak sesuai dengan rasm Utsmani. Sedangkan Ibn al-Qatthar dianggap menggunakan bacaan yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak ada yang meriwayatkan.
Dikalangan ahli ilmu al-Qur’an, qiraat sab’ah dianggap paling populer. Qiraat sab’ah adalah qiraat yang dinisbatkan kepada tujuh imam qiraat terkemuka. Ketujuh imam tersebut mulai populer pada akhir abad II H. Adapun tujuh imam tersebut sebagaimana dipaparkan al-Dani adalah:
1.    Nafi’ al-Madini. Nama lengkapnya Nafi ibn Abdu Rahman ibn Abi Nu’im Maula Ja’unah ibn Syu’ub al-Laitsi. Ia meninggal di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, ‘Isa ibn Mina al-Madani al-Zuraqi (Qalun). Ia mendapat julukan Qalun –yang berasal dari bahasa Romawi- berarti memiliki keindahan suara. Kedua, Uthman ibn Said al-Misri (Warsy). Julukan Warsy dinisbatkan kepadanya karena ia sangat putih. Ia wafat di Mesir 179 H.
2.    Ibn Katsir al-Makki. Ia adalah Abdullah ibn Katsir al-Dari. Dia termasuk kalangan tabi’in dan wafat pada 120 H di Makkah. Dua perawinya adalah: pertama, Muhammad ibn Abdu Rahman ibn Muhammad ibn Khalid ibn Said ibn Jurjah al-Makki al-Makhzumi. Ia mendapat julukan Qunbul dan dikenal dengan Qanabilah. Qunbul wafat pada 280 di Makkah. Kedua, Ahmad ibn Muhammad Abdullah ibn al-Qasim ibn Nafi ibn Abi Bazza al-Muadzin al-Makki. Dia dikenal dengan nama Bazzi dan wafat di Makkah pada 240 H.[8]
3.    Abu Amr. Nama lengkapnya adalah  Abu Amr ibn ‘Ala Ibn Amâr ibn Abdullah ibn Hushain ibn al-Harist ibn Julhum ibn Khuza’i ibn Mazini ibn Malik ibn Amru ibn Tamimi. Ada yang menyebut bahwa ia bernama Zabban, Uryan, Yahya. Ia wafat pada 154 H di Kufah. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H. Kedua, Abu Syuaib Salih ibn Ziyad ibn Abdullah al-Susi wafat pada 261 H.
4.    Ibn Amr al-Sa’mi. Ia adalah Abdullah ibn Amir al-Yahshubi. Ia seorang hakim di Damaskus pada masa khalifah al-Walid. Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir Ibn Zakwan al-Qurasyi al-Dimasyqi (Ibn Zakwan). Ia wafat pada 242 H. Kedua, Hasyim ibn Ammar ibn Nashir ibn Abban ibn Maisarah. Ia adalah hakim di Damaskus dan wafat pada tahun 245 H.
5.    ‘Ashim al-Kufi. Ia adalah ‘Ashim ibn Abi Najjud. Disebut juga Ibn Bahdalah, yang dinisbatkan pada nama ibunya. Wafat di Kufah pada 127 H. Dua perawinya adalah: pertama, Syu’bah ibn ‘Iyyas ibn Salim al-Kufi al-Asdi (Abu Bakr). Wafat di Kufah pada 194 H. Kedua: Hafsh ibn Sulaiman ibn al-Mughirah al-Asdi al-Bazzaz. Ia adalah orang yang terpercaya dan wafat pada 190 H.[9]
6.    Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah ibn Habib ibn Ummarah ibn Ismail al-Zaiyyat al-Faradhi al-Tamimi. Wafat pada tahun 156 H, semasa khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Dua perawinya adalah: pertama, Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar yang wafat pada 229 H di Baghdad. Kedua, Khalad ibn Khalid yang wafat pada 220 H.
7.    Al-Kasa’i al-Kufi. Ia adalah Ali ibn Hamzah al-Nahwi. Ia wafat di desa Burnabawaih pada 189 H pada saat perjalanan menuju Khurasan. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H. Ia juga merupakan perawi Abu Amr. Kedua, al-Laits ibn Khalid al-Baghdadi.[10] Penulis akan menampilkan skema sanad para imam di atas (terlampir).
Terkait qira’at sab’ah dan asyrah, Zarqani mencatat banyak pandangan ulama yang berbeda tentang kemutawatiran qiraat tersebut. Penulis akan menukil beberapa pendapat Zarqani akan hal tersebut. Pertama, terdapat ulama yang secara berlebihan “menjunjung” qiraat sab’ah. Mereka yang menjunjung mengatakan bahwa “siapa yang menganggap qiraat sab’ah tidak mutawatir, maka anggapan tersebut mendatangkan kekafiran karena telah meragukan kemutawatiran al-Qur’an. Pendukung pendapat pertama ini menurut Zarqani antara lain: Abu Sa’id Faraj ibn Lubb.
Pendapat kedua adalah bahwa qiraat sab’ah dan qiraat lainnya adalah dari riwayat-riwayat ahad. Menganggap qiraat sab’ah sebagai mutawatir adalah kemungkaran dan dapat menyebabkan pengkafiran. Pendapat ketiga datang dari Ibn Subki. Seperti yang dikutip Zarqani, Subki berpendapat bahwa seluruh qiraat sab’ah adalah mutawatir. Diriwayatkan langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin sepakat berdusta.[11]
Pembahasan qiraat sab’ah sangat berkaitan dengan pembahasan macam-macam qiraat dan syarat diterimanya. Beberapa ulama ilmu al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir, ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat sab’ah, kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.
Menurut Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam qiraat ditinjau dari segi sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj.
  1. Qiraat mutawatir, adalah qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin mereka berdusta.
  2. Qiraat masyhur, adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab itu, qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.
  3. Qiraat ahad, adalah qiraat yang sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti terdapat dalam surah al-Taubah ayat 128:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ
Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).
Dalam surah al-Rahman ayat 76
مُتَّكِئِيْنَ عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان
Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ). Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.
  1. Qiraat syadz, adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam surah Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata (نُنَجِّيكَ) di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).
Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti dikutib al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[12]
  1. Qiraat maudhu, adalah qiraat yang tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28
إِنَّماَ يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ
Kata (الله) dibaca dengan (الله). Dan kata (الْعُلَمَاءِ) dibaca (الْعَلَمَاءِ). Menurut Zarqani qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas darinya.
  1. Qiraat mudraj, adalah qiraat yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas, seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Kalimat (في مواسم الحج) adalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.
Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Tambahan kata (أمٍّ) adalah qiraah S’ad Ibn Abi Waqqash.[13]
Berkaitan dengan syarat diterimanya qiraat, Manna al-Qattan menjelaskan bahwa syarat tersebut adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab, seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani. Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima. Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dengan membuang huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك). Ketiga: Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[14] Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[15]
Hal yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:
وكل ما وافق وجه النحو # وكان للرسم احتمالا يحوي
وصح إسنادا هو القرأن # هذه ثلاثة الأركان
Kata-kata (وصح إسنادا) di atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.[16]
Menurut Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang dapat diterima atau tidak, yaitu:
Pertama, qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.
Kedua, periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan mengundang kesalahpahaman.
Ketiga, qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[17]
Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa ditolak.
Para pengkaji ilmu qiraat menjelaskan bahwa sanad qiraat tujuh disusun antara lain oleh Imam Syatibi. Al-Syatibi adalah orang yang sangat berjasa dibidang ilmu qiraat karena ketekunannya. Semua riwayat sanad dihimpun dalam kitab Hirzul Amani wa Wahju At-Tahani atau lebih dikenali dengan Matan al-Syatibiah. Selain al-Syatibi, adapula ulama yang memberi perhatian tentang periwayatan qiraat, yakni al-Jazari. Ia adalah ulama yang terkemuka dalam meriwayatkan qiraat sepuluh melalui kitabnya yang terkenal yaitu Al-Nasyr.
Penutup
Simpulan dari makalah ini adalah: pertama, bahwa kajian tujuh huruf sering mengundang perdebatan. Pendapat bahwa al-Qur’an turun dalam tujuh huruf dikuatkan dengan beberapa hadis dan riwayat sahabat. Ahruf sab’ah pada suatu pendapat disamakan dengan qiraat sab’ah.
Berkaitan dengan qira’at sab’ah dan asyrah, penulis menggaris bawahi bahwa sebagian ulama yang saling bersilang pendapat mengenai kemutawatiran/kesahihan qiraat tersebut. Tentang qiraat tujuh misalnya, adalah yang menganggap bahwa qiraat tersebut mutawatir keseluruhan. Tetapi adapula yang beranggapan bahwa qiraat tersebut adalah ahad. Penulis juga berkesimpulan bahwa term sahih dalam menilai qiraat sab’ah dan asyrah dapat berarti mutawatir.


Lampiran skema sanad Imam Nafi’[18]

Skema sanad Imam Ibn Katsir.[19]




Skema sanad Imam Abu Amr al-Bashri.[20]
Imam Nafi’
 

Skema sanad Imam Abdullah ibn Amir al-Syami.[21]
Mughirah ibn Abu Syihab
 
Abu Darda
 
 



Skema sanad Imam Ashim al-Kufi.[22]





Abdul Rahman ibn Abdullah al-Salami
 
Abu Umar Sa’ad ibn Ilyas al-Syaibani.

 

Skema sanad Imam Hamzah al-Kufi.[23]





Text Box: Abu Hamzah Hamran ibn A’yun,Text Box: Muhammad ibn Abdul Rahman ibn Abu Ya’la,Text Box: Abdullah ibn Ja’far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Zainul Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib,Text Box: Abu Ishak Amr ibn Abdullah al-Sa’bi,Text Box: Abu Muhammad Talhah ibn Mashraf al-Yamani
Skema sanad Imam al-Kisa’i al-Kufi.[24]


Text Box: Hamzah ibn Habib al-Zayyat,Text Box: Ashim ibn Abun Nujud,Text Box: Muhammad ibn Abdul Rahman ibn Abi Laia,Text Box: Abu Bakar ibn Ilyas dan Ismail ibn Ja’far
 




[1] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol. 1. H. 116
[2] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), vol. 4, 1909. Selain dalam Sahih Bukhari, hadis diatas juga terdapat dalam Sahih Muslim dengan sanad:
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبدالرحمن بن عبدالقاري قال سمعت عمر بن الخطاب
Didalam sunan Abu Daud dengan sanad:
حدثنا القعنبي عن مالك عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري قال : سمعت عمر بن الخطاب
Dalam Sunan Tirmidzi dengan sanad:
حدثنا الحسن بن علي الخلال وغير واحد قالوا حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن عروة بن الزبير عن المسور بن مخرمة و عبد الرحمن بن القاري أخبراه أنهما سمعا عمر بن الخطاب
[3] Muslim al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, tt), vol. 1, h. 562
[4] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), vol. 4, 1909
[5] Manna Khalil Qattan, Nuzûl al-Qur’an ‘Ala Sab’ah Ahrûf, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 25
[6] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 150
[7] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 339
[8] Qattan menyebut Qunbul wafat pada 291 dan Bazzi wafat pada 250. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[9] Qattan menyebut Syu’bah (Abu Bakr) wafat pada 193 H dan Hafsh wafat pada 180 H. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[10] Abi Amru Uthman ibn Said al-Dani, Kitab al-Taisîr, Fî al-Qirâât al-Sab’a, (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2006), h. 18.
[11] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 354
[12] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28
[13] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1, h. 349
[14] Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm al-Qur’an, h. 169
[15] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr Fî al-Qiraat al-‘Asyar, h. 27
[16] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343
[17] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344
[18] Nama guru imam Nafi’ penulis kutip dari: Abi Amru Utsman ibn Sa’îd al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Alamiah, 2005), h. 71
[19] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 74
[20] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 77
[21] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 79
[22] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 86
[23] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 90
[24] al-Danî, Jâmi’ al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, h. 96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar