Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
Pendahuluan
Dalam
kajian ilmu al-Qur’an dijelaskan bahwa ada banyak ragam qiraat al-Qur’an.
Kesemuanya mempunyai landasan masing-masing, yaitu para imam qurra’ yang
dianggap terpercaya. Tidak dapat dielakkan, berkembangnya Islam ke berbagai
wilayah telah menjadikan ragam bacaan al-Qur’an tersebut. Bahkan kodifikasi
al-Qur’an oleh Khalifah Uthman yang salah satunya bertujuan menyeragamkan
qiraat al-Qur’an, ternyata tidak mampu menyeragamkan bacaan al-Qur’an. Namun
demikian, tetap diyakini bahwa qiraat yang sampai pada kita saat ini adalah
qiraat yang didasarkan pada imam yang masyhur da terpercaya. Qiraat tersebut
dalam kajian ilmu al-Qur’an disebut dengan qiraat sab’ah.
Disamping
pembahasan mengenai qiraat sab’ah, dalam literatur ilmu al-Qur’an dijumpai pula
pembahasan ahruf sab’ah. Sebagian ulama al-Qur’an dan para pengkaji menyamakan
antara qiraat sab’ah dan ahruf sab’ah, mendefinisikan ahruf sab’ah sebagai
qiraat sab’ah. Jika qiraat sab’ah adalah macam bacaan yang disandarkan pada
imam qurra’ yang tujuh, maka ahruf sab’ah tidak demikian. Dalam beberapa hadis
telah dijelaskan mengenai term ahruf sab’ah.
Tulisan
dibawah ini berusaha memaparkan secara singkat: seputar ahruf sab’ah, qiraat
sab’ah dan biografi salah satu imam qurra’, Imam Nafi dan perawi serta sanadnya.
Seputar
Ahruf sab’ah dan Pendapat Ulama
Pembahasan
ahruf sab’ah atau tujuh huruf dalam ilmu-ilmu al-Qur’an sering mengundang
perdebatan. Al-Zarqani mencatat bahwa pembahasan ini menunjukkan dua sisi yang
berlawanan. Pertama, turunnya al-Qur’an dalam ahruf sab’ah dapat bermakna
sebagai kemukjizatan al-Qur’an. Al-Qur’an ingin memudahkan umatnya –saat itu-
dalam membaca. Tetapi pada sisi yang lain, pembahasan ini sering kali dijadikan
oleh para “musuh” Islam untuk menggugat otentisitas dan meragukan al-Qur’an.[1]
Jika
qiraat sab’ah didefinisikan oleh para ulama ilmu al-Qur’an sebagai qiraat yang
didasarkan pada imam qurra’, maka ahruf sab’ah didefinisikan sebagai al-Qur’an
yang turun dengan tujuh huruf. Para ulama mendasarkan definisi tersebut pada
beberapa hadis dan riwayat sahabat yang secara teks menyebut bahwa al-Qur’an
turun atas tujuh huruf. Diantara hadis dan riyawat sahabat tersebut adalah:
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث قال حدثني عقيل عن
ابن شهاب قال حدثني عبيد الله بن عبد الله أن ابن عباس رضي الله عنهما حدثه أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : (
أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف )
“...
Dari Ibn Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda: Jibril membacakan kepadaku
atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus menerus minta dan
ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf”[2]
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح وحدثناه
ابن المثنى وابن بشار قال ابن المثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن الحكم عن
مجاهد عن ابن أبي ليلى عن أبي بن كعب أن النبي صلى الله عليه و سلم كان عند أضاة
بني غفار قال فأتاه جبريل عليه السلام فقال : إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن
على حرف فقال أسأل الله معافاته ومغفرته وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم أتاه الثانية
فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على حرفين فقال أسأل الله معافاته ومغفرته
وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم جاءه الثالثة فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على
ثلاثة أحرف فقال أسأل الله معافاته ومغفرته وإن أمتي لا تطيق ذلك ثم جاءه الرابعة
فقال إن الله يأمرك أن تقرأ أمتك القرآن على سبعة أحرف فأيما حرف قرءوا عليه فقد
أصابوا
“... ketika nabi berada
didekat parit bani Ghaffar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan: ‘Allah
memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’. Ia
menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, karena umatku
tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua
kalinya dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada
umatmu dengan dua huruf’. Nabi menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan
maghfirahNya, umatku tidak kuat melaksanakanya’. Jibril datang lagi untuk yang
ketiga kalinya, dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an
kepadamu dengan tiga huruf’. Nabi menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan
dan maghfirahNya, umatku tidak kuat melaksanakanya’. Kemudian Jibril datang
lagi untuk yang keempat kalinya, dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar
membacakan al-Qur’an kepadamu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka
membaca, mereka tetap benar’”.[3]
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث قال حدثني عقيل عن
ابن شهاب قال حدثني عروة بن الزبير أن المسور بن مخرمة وعبد الرحمن بن عبد القاري
حدثاه أنهما سمعا عمر بن الخطاب يقول : سمعت هشام بن حكيم يقرأ سورة الفرقان في
حياة رسول الله صلى الله عليه و سلم فاستمعت لقراءته فإذا هو يقرأ على حروف كثيرة
لم يقرئنيها رسول الله صلى الله عليه و سلم فكدت أساوره في الصلاة فتصبرت حتى سلم
فلببته بردائه فقلت من أقرأك هذه السورة التي سمعتك تقرأ ؟ قال أقرأنيها رسول الله
صلى الله عليه و سلم فقلت كذبت فإن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد أقرأنيها على
غير ما قرأت فانطلقت به أقوده إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت إني سمعت
هذا يقرأ بسورة الفرقان على حروف لم تقرئنيها فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم
( أرسله اقرأ يا هشام ) . فقرأ عليه القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى
الله عليه و سلم ( كذلك أنزلت ) . ثم قال ( اقرأ يا عمر ) . فقرأت القراءة التي
أقرأني فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( كذلك أنزلت إن هذا القرآن أنزل على
سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه )
“... Umar ibn Khattab
berkata: ‘Aku mendengar Hisyam ibn Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup
Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak
huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku
“melabraknya” pada saat sedang salat, tetapi aku sabar menunggu sampai selesai
salam (selesai salat). Begitu selesai aku tarik selendangnya dan bertanya:
‘siapa yang membacakan surah ini kepadamu?’ Ia pun menjawab: ‘Rasulullah yang
membacakan kepadaku’. Lalu aku berkata: ‘Engkau berdusta, demi Allah Rasulullah
pernah membacakan surah yang aku dengar tadi kepadaku, tetapi bacaannya tidak
seperti yang kau baca’. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku
ceritakan kepadanya bahwa ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surah
al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal
engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku’. Maka Rasulullah
berkata: ‘Lepaskan dia (Hisyam) wahai Umar. Bacalah surah tadi, Hisyam’. Hisyam
pun kemudian membacakan dengan bacaan seperti yang kudengar waktu salat tadi. Maka
Rasulullah berkata: ‘Begitulah surah ini diturunkan. Nabi berkata lagi:
‘Bacakanlah wahai Umar’. Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana yang
diajarkan Rasulullah. Rasul pun menjawab: ‘Begitulah surah itu diturunkan ‘.
Dan Rasul berkata kembali: ‘Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh
huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.’”[4]
Al-Qattan
juga menukil sebuah hadis yang menerangkan tentang ahruf sab’ah. Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka
bacakanlah kamu mana yang mudah dari padanya.”[5]
Berkenaan
dengan redaksi hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa, pada saat itu banyak
sekali perbedaan bacaan. Ragam bacaan tersebut mendapat “pembenaran” dari hadis
di atas. Pada saat masa nabi, umatnya tidak sanggup membaca dengan satu bacaan
saja. Oleh sebab itu, nabi memberi kemudahan membaca dengan ragam bacaan yang
ada. Hal ini lah yang dianggap sebagai latar belakang (asbab wurud) hadis ahruf
sab’ah.
Al-Qattan
mengemukakan pendapat beberapa ulama ilmu al-Qur’an seperti Abû Ubaid al-Qâsim terkait
hadis-hadis di atas. Pendapat tersebut sampai pada kesimpulan bahwa hadis
tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah mutawatir.
Para
ulama memiliki beberapa pandangan dalam menjelaskan maksud dari ahruf sab’ah.
Menurut Abû Hâtim, sebagaimana dikutip al-Qattan menjelaskan bahwa pendapat
ulama tentang ahruf sab’ah sampai 35 pendapat. Terkait bahasan ini, penulis
akan memeparkan beberapa pendangan ulama.
Pertama,
sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika
bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkap satu makna, maka al-Qur’an
diturunkan dalam beragam lafaz tentang makna yang satu. Para ulama juga
berpendapat bahwa tujuh bahasa tersebut adalah bahasa: Quraisy, Hudzail, Saqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Pendapat
kedua, yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah tujuh bahasa dari macam-macam
bahasa Arab. Dengan bahasa-bahasa tersebut al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an
diturunkan tidak terlepas dari tujuh bahasa tersebut. Tujuh bahasa tersebut
dianggap sebagai yang paling fasih dikalangan bangsa Arab, terlebih Quraisy.
Ketiga,
sebagian ulama lain menyebutkan bahwa ahruf sab’ah adalah tujuh segi yakni:
amar (perintah), nahyu (larangan), wa’ad (ancaman), jadal (perdebatan), qasas
(cerita) dan mastsal (perumpamaan). Sebagian berpendapat bahwa tujuh segi
tersebut adalah amar, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal. Hal
ini didasarkan pada sabda nabi:
“Kitab
umat terdahulu diturunkan satu pintu dan dengan satu huruf. Sedangkan al-Qur’an
diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yakni zajr (larangan),
amar, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal”.
Pendapat
keempat, sebagian ulama berpendapat bahwa tujuh huruf adalah tujuh macam hal
yang didalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan). Perbedaan tersebut meliputi: (1)
perbedaan kata benda dalam mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya; (2) perbedaan
segi i’rab; (3) perbedaan segi tashrif; (4) perbedaan dalam taqdim
(mendahulukan) dan takkhir (mengakhirkan); (5) perbedaan dalam segi ibdal; (6)
perbedaan akan adanya penambahan dan pengurangan; (7) perbedaan lahjah
(tafkhim, tarqiq, fathah, imalah, idhar dan lain-lain). Selanjutnya, adapula
pendapat yang mengemukakan bahwa ahruf sab’ah yang dimaksud disini adalah
qiraat sab’ah.[6]
Seputar
Qiraat Sab’ah Serta Pandangan Ulama
Perkembangan
Islam membawa keberagaman bacaan al-Qur’an. Sejumlah ulama seperti Abu Ubaid
al-Qasim, Abu Hatim dan al-Thabari menyusun buku-buku tentang qiraat yang
didalamnya dibahas begitu banyaknya ragam bacaan. Pembatasan ragama qiraat
menjadi qiraat sab’ah pertama kali dilakukan oleh Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa
ibn Abbas. Ia memasukkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dalam qiraat
sab’ah.
Al-Zarqani
mencatat bahwa awal mula pembatasan yang dilakukan oleh Ibn Mujahid adalah
karena spontanitas, tanpa ada perencanaan sebelumnya. Ibn Mujahid menyaratkan
bacaan yang dapat diterima apabila memenuhi syarat kesahihan sanad, kedhabitan
dan ulama yang ahli dibidang qiraat telah lama bergelut dibidang tersebut.[7]
Namun adapula pendapat yang menyatakan bahwa awal mula Ibn Mujahid melakukan
pembatasan jumlah qiraat dikarenakan beredarnya qiraat syadz. Pada saat itu,
terdapat dua orang yang dianggap menyebarkan qiraat syadz, yakni Ibn Sannabûdz
dan Ibn al-Qatthar. Ibn Sannabûdz dianggap menyebarkan bacaan yang tidak sesuai
dengan rasm Utsmani. Sedangkan Ibn al-Qatthar dianggap menggunakan bacaan yang
sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak ada yang meriwayatkan.
Dikalangan
ahli ilmu al-Qur’an, qiraat sab’ah dianggap paling populer. Qiraat sab’ah
adalah qiraat yang dinisbatkan kepada tujuh imam qiraat terkemuka. Ketujuh imam
tersebut mulai populer pada akhir abad II H. Adapun tujuh imam tersebut
sebagaimana dipaparkan al-Dani adalah:
1. Nafi’ al-Madini. Nama lengkapnya Nafi
ibn Abdu Rahman ibn Abi Nu’im Maula Ja’unah ibn Syu’ub al-Laitsi. Ia meninggal
di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah: pertama, ‘Isa ibn Mina
al-Madani al-Zuraqi (Qalun). Ia mendapat julukan Qalun –yang berasal dari
bahasa Romawi- berarti memiliki keindahan suara. Kedua, Uthman ibn Said
al-Misri (Warsy). Julukan Warsy dinisbatkan kepadanya karena ia sangat putih.
Ia wafat di Mesir 179 H.
2. Ibn Katsir al-Makki. Ia adalah Abdullah
ibn Katsir al-Dari. Dia termasuk kalangan tabi’in dan wafat pada 120 H di
Makkah. Dua perawinya adalah: pertama, Muhammad ibn Abdu Rahman ibn Muhammad
ibn Khalid ibn Said ibn Jurjah al-Makki al-Makhzumi. Ia mendapat julukan Qunbul
dan dikenal dengan Qanabilah. Qunbul wafat pada 280 di Makkah. Kedua, Ahmad ibn
Muhammad Abdullah ibn al-Qasim ibn Nafi ibn Abi Bazza al-Muadzin al-Makki. Dia
dikenal dengan nama Bazzi dan wafat di Makkah pada 240 H.[8]
3. Abu Amr. Nama lengkapnya adalah Abu Amr ibn ‘Ala Ibn Amâr ibn Abdullah ibn
Hushain ibn al-Harist ibn Julhum ibn Khuza’i ibn Mazini ibn Malik ibn Amru ibn
Tamimi. Ada yang menyebut bahwa ia bernama Zabban, Uryan, Yahya. Ia wafat pada
154 H di Kufah. Dua orang perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn
Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H.
Kedua, Abu Syuaib Salih ibn Ziyad ibn Abdullah al-Susi wafat pada 261 H.
4. Ibn Amr al-Sa’mi. Ia adalah Abdullah ibn
Amir al-Yahshubi. Ia seorang hakim di Damaskus pada masa khalifah al-Walid.
Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Dua orang perawinya adalah: pertama,
Abdullah ibn Ahmad ibn Basyir Ibn Zakwan al-Qurasyi al-Dimasyqi (Ibn Zakwan).
Ia wafat pada 242 H. Kedua, Hasyim ibn Ammar ibn Nashir ibn Abban ibn Maisarah.
Ia adalah hakim di Damaskus dan wafat pada tahun 245 H.
5. ‘Ashim al-Kufi. Ia adalah ‘Ashim ibn Abi
Najjud. Disebut juga Ibn Bahdalah, yang dinisbatkan pada nama ibunya. Wafat di
Kufah pada 127 H. Dua perawinya adalah: pertama, Syu’bah ibn ‘Iyyas ibn Salim
al-Kufi al-Asdi (Abu Bakr). Wafat di Kufah pada 194 H. Kedua: Hafsh ibn
Sulaiman ibn al-Mughirah al-Asdi al-Bazzaz. Ia adalah orang yang terpercaya dan
wafat pada 190 H.[9]
6. Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah ibn
Habib ibn Ummarah ibn Ismail al-Zaiyyat al-Faradhi al-Tamimi. Wafat pada tahun
156 H, semasa khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Dua perawinya adalah: pertama,
Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar yang wafat pada 229 H di Baghdad. Kedua, Khalad ibn
Khalid yang wafat pada 220 H.
7. Al-Kasa’i al-Kufi. Ia adalah Ali ibn
Hamzah al-Nahwi. Ia wafat di desa Burnabawaih pada 189 H pada saat perjalanan
menuju Khurasan. Dua perawinya adalah: pertama, Abu Umar Hafs ibn Umar ibn
Abdul Aziz al-Dauri al-Nahwi yang menetap di Baghdad dan wafat pada 246 H. Ia
juga merupakan perawi Abu Amr. Kedua, al-Laits ibn Khalid al-Baghdadi.[10]
Penulis akan menampilkan skema sanad para imam di atas (terlampir).
Terkait
qira’at sab’ah dan asyrah, Zarqani mencatat banyak pandangan ulama yang berbeda
tentang kemutawatiran qiraat tersebut. Penulis akan menukil beberapa pendapat
Zarqani akan hal tersebut. Pertama, terdapat ulama yang secara berlebihan
“menjunjung” qiraat sab’ah. Mereka yang menjunjung mengatakan bahwa “siapa yang
menganggap qiraat sab’ah tidak mutawatir, maka anggapan tersebut mendatangkan
kekafiran karena telah meragukan kemutawatiran al-Qur’an. Pendukung pendapat
pertama ini menurut Zarqani antara lain: Abu Sa’id Faraj ibn Lubb.
Pendapat
kedua adalah bahwa qiraat sab’ah dan qiraat lainnya adalah dari riwayat-riwayat
ahad. Menganggap qiraat sab’ah sebagai mutawatir adalah kemungkaran dan dapat
menyebabkan pengkafiran. Pendapat ketiga datang dari Ibn Subki. Seperti yang
dikutip Zarqani, Subki berpendapat bahwa seluruh qiraat sab’ah adalah
mutawatir. Diriwayatkan langsung dari Nabi oleh orang-orang yang tidak mungkin
sepakat berdusta.[11]
Pembahasan
qiraat sab’ah sangat berkaitan dengan pembahasan macam-macam qiraat dan syarat
diterimanya. Beberapa ulama ilmu al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga
macam, mutawatir, ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang
mutawatir adalah qiraat sab’ah, kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat
adalah ahad. Sebagian berpendapat bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan
selain qiraat tersebut, menurut pandangan ulama adalah syadz.
Menurut
Al-Jazari seperti dikutip al-Suyuti dan juga Zarqani, memaparkan macam-macam
qiraat ditinjau dari segi sanad adalah: mutawatir, masyhur, ahad, syadz,
maudhu’ dan mudraj.
- Qiraat mutawatir, adalah
qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya dan tidak mungkin
mereka berdusta.
- Qiraat masyhur, adalah qiraat
yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir, sesuai dengan kaidah
bahasa Arab, rasm Uthmani dan terkenal dikalangan ahli qiraat. Oleh sebab
itu, qiraat tersebut tidak dikatakan syadz.
- Qiraat ahad, adalah qiraat
yang sanadnya sahih, tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian
juga dengan kaidah dalam bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak
se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti terdapat dalam surah al-Taubah
ayat 128:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ
Kata (أَنْفُسِكُمْ) dibaca dengan (أَنْفَسِكُمْ).
Dalam surah al-Rahman ayat 76
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَي رَفَارِفَ خُضْرِ وَعَبَاِرقِيِّ حِسَان
Kata (رَفْرَفَ) dibaca dengan (رَفَارِفَ). Kedua bacaan
qiraah di atas al-Hakim melalui jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari
Nabi SAW.
- Qiraat syadz, adalah qiraat
yang sanadnya tidak sahih. Seperti qiraat Ibn al-Samaifah, seperti dalam
surah Yunus ayat 92:
فَالْيَوْمَ نُنْحِيْكَ بِبَدَنِكَ
لِتَكُونَ لِمَنْ خَلَفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ
آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Kata (نُنَجِّيكَ) di baca dengan (نُنْحِيْكَ) dan kata (خَلْفَكَ) dibaca dengan(خَلَفَكَ).
Menurut Abu Amr Ibn Hajab, seperti
dikutib al-Jazari, qiraat yang syadz dilarang pembacaannya pada saat solat dan
lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii, apabila seseorang mengetahui bahwa
suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada saat salat, maka batallah
solatnya. Jika tidak mengetahui, maka terbebas dari kesalahan.[12]
- Qiraat maudhu, adalah qiraat
yang tidak ada asalnya. Sebagai contoh, qiraat yang dinisbatkan kepada
Imam Abu Hanifah dalam surah al-Fatir ayat 28
إِنَّماَ
يَخْشَي الله مِنْ عِبَادِهِ الْعَلَمَاءِ
Kata (الله) dibaca dengan (الله). Dan kata (الْعُلَمَاءِ) dibaca (الْعَلَمَاءِ). Menurut Zarqani
qiraat tersebut tidak memiliki dasar sama sekali, sehingga Abu Hanifa terbebas
darinya.
- Qiraat mudraj, adalah qiraat
yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil dari Ibn Abbas,
seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ
رَبِّكُمْ في مواسم الحج فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا
اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ
كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Kalimat (في مواسم الحج) adalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.
Juga terdapat dalam surah Nisa ayat 12:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ أمٍّ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ
Berkaitan
dengan syarat diterimanya qiraat, Manna al-Qattan menjelaskan bahwa syarat
tersebut adalah: Pertama: Qiraat harus sesuai dengan kaidah bahasa arab,
seperti segi kefasihannya. Kedua: Qiraat harus sesuai dengan rasm Uthmani.
Apabila terdapat sedikit perbedaan, maka qiraat tersebut masih dapat diterima.
Sebagai contoh dalam surah al-Fatihah, (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), pada kata (الصِّرَاطَ) diganti dengan huruf sin (س). Contoh lainnya adalah ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ) dengan membuang huruf alif pada kata (مَالِكِ) sehingga menjadi (ملك). Ketiga: Qiraat harus memenuhi kesahihan sanad.[14]
Menurut al-Jazari, qiraat sahih mencakup dua aspek, yakni: memiliki kesahihan
sanad dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm.[15]
Hal
yang perlu digaris bawahi terkait dengan syarat diterimanya qiraat atau tidak
adalah bahwa ketiga kategori di atas kerap disebut sebagai qiraat yang
mutawatir. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika terdapat
qiraat yang tidak memenuhi kategori di atas maka tidak diterima. Penulis
mendasarkan pendapat pada penjelasan Zarqani terhadap sebuah nazam yang ditulis
oleh penulis kitab al-Thaiyibah sebagai berikut:
وكل ما وافق وجه النحو #
وكان للرسم احتمالا يحوي
وصح إسنادا هو القرأن #
هذه ثلاثة الأركان
Menurut
Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat
yang dapat diterima atau tidak, yaitu:
Pertama,
qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu diriwayatkan oleh
orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf.
Kedua,
periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak sesuai
dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat
dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan
jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena
didalam al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan
mengundang kesalahpahaman.
Ketiga,
qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi tidak
sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima. Meski
qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.[17]
Terkait
dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli
nahwu. Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika
tidak sesuai dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut,
Qattan mengutip pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat
telah sahih dalam periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa
ditolak.
Para
pengkaji ilmu qiraat menjelaskan bahwa sanad qiraat tujuh disusun antara lain
oleh Imam Syatibi. Al-Syatibi adalah orang yang sangat berjasa dibidang ilmu
qiraat karena ketekunannya. Semua riwayat sanad dihimpun dalam kitab Hirzul Amani wa Wahju At-Tahani atau lebih dikenali dengan Matan al-Syatibiah. Selain al-Syatibi, adapula ulama yang memberi
perhatian tentang periwayatan qiraat, yakni al-Jazari. Ia adalah ulama yang
terkemuka dalam meriwayatkan qiraat sepuluh melalui kitabnya yang terkenal
yaitu Al-Nasyr.
Penutup
Simpulan
dari makalah ini adalah: pertama, bahwa kajian tujuh huruf sering mengundang
perdebatan. Pendapat bahwa al-Qur’an turun dalam tujuh huruf dikuatkan dengan
beberapa hadis dan riwayat sahabat. Ahruf sab’ah pada suatu pendapat disamakan
dengan qiraat sab’ah.
Berkaitan
dengan qira’at sab’ah dan asyrah, penulis menggaris bawahi bahwa sebagian ulama
yang saling bersilang pendapat mengenai kemutawatiran/kesahihan qiraat
tersebut. Tentang qiraat tujuh misalnya, adalah yang menganggap bahwa qiraat
tersebut mutawatir keseluruhan. Tetapi adapula yang beranggapan bahwa qiraat
tersebut adalah ahad. Penulis juga berkesimpulan bahwa term sahih dalam menilai
qiraat sab’ah dan asyrah dapat berarti mutawatir.
Lampiran
skema sanad Imam Nafi’[18]
Skema sanad Imam Ibn Katsir.[19]
Skema sanad Imam Abu Amr al-Bashri.[20]
|
Skema sanad Imam Abdullah ibn Amir al-Syami.[21]
|
|
||||||||
Skema sanad Imam Ashim al-Kufi.[22]
|
|
||||||||
Skema sanad Imam Hamzah al-Kufi.[23]
Skema sanad Imam al-Kisa’i al-Kufi.[24]
[1] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân
Fî Ulûm al-Qur’an, (Beirut:
Dar Kutub al-Arabi, 1995), vol.
1. H. 116
[2] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah
al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), vol. 4, 1909.
Selain dalam Sahih Bukhari, hadis diatas juga terdapat dalam Sahih Muslim
dengan sanad:
حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن ابن شهاب عن
عروة بن الزبير عن عبدالرحمن بن عبدالقاري قال سمعت عمر بن الخطاب
Didalam sunan Abu Daud dengan sanad:
حدثنا القعنبي عن
مالك عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري قال : سمعت عمر
بن الخطاب
Dalam Sunan Tirmidzi dengan sanad:
حدثنا الحسن بن
علي الخلال وغير واحد قالوا حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن عروة بن
الزبير عن المسور بن مخرمة و عبد الرحمن بن القاري أخبراه أنهما سمعا عمر بن
الخطاب
[3] Muslim al-Hajjaj Abu al-Husain
al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut, Dar al-Ihya al-Turats
al-Arabi, tt), vol. 1, h. 562
[4] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah
al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), vol. 4, 1909
[5] Manna Khalil Qattan, Nuzûl
al-Qur’an ‘Ala Sab’ah Ahrûf, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 25
[6] Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 150
[8] Qattan menyebut Qunbul wafat
pada 291 dan Bazzi wafat pada 250. Manna Khalil Qattan, Mabahîs Fî Ulûm
al-Qur’an, h. 172
[9] Qattan menyebut Syu’bah (Abu
Bakr) wafat pada 193 H dan Hafsh wafat pada 180 H. Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, h. 172
[10] Abi Amru Uthman ibn Said
al-Dani, Kitab al-Taisîr, Fî al-Qirâât al-Sab’a, (Beirut: Dar Kutub
al-Islamiyah, 2006), h. 18.
[11] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân
Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 354
[12] Ibn Jazari, Taqrîb al-Nasyr
Fî al-Qiraat al-‘Asyar, (Kairo: Dar al-Hadis, 2004), h. 28
[13] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân
Fî Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), vol. 1, h, 110. Lihat pula
dalam: Muhammad Abdul al-Azim al-Zarqani, Manâhi al-Irfân Fî Ulûm al-Qur’an,
vol. 1, h. 349
[14] Manna Khalil Qattan, Mabahîs
Fî Ulûm al-Qur’an, h. 169
[16] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân
Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 343
[17] al-Zarqani, Manâhi al-Irfân
Fî Ulûm al-Qur’an, vol. 1. H. 344
[18] Nama guru
imam Nafi’ penulis kutip dari: Abi Amru Utsman ibn Sa’îd al-Danî, Jâmi’
al-Bayân Fî al-Qirât al-Sab’ah al-Masyhûr, (Beirut: Dar al-Kutb
al-‘Alamiah, 2005), h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar