Oleh: Ali Thaufan DS -
Helrahmi Yusman, S.Th.I
Pendahuluan
Sejalan dengan
perkembangan zaman, umat Islam dihadapkan dengan berbagai persoalan yang
semakin kompleks. Pada saat bersamaan, mendapatkan jawaban secara “instan” dari
persoalan semakin digemari, mendapat jawaban yang mudah.[1] Al-Qur’an sebagai kitab
suci sepanjang masa diyakin memuat pemecahan masalah dan persoalan tersebut. Hal ini kemudian
membuat para ahli tafsir untuk menyajikan jawaban persoalan yang terus
bermunculan. Menampilkan penafsiran yang praktis dirasa sangat perlu.
Penafsiran “yang praktis” yang penulis maksud disini adalah penafsiran yang
secara khusus membahas tema atau pokok permasalahan tertentu. Dalam kaidah ilmu
tafsir, disebut dengan penafsiran metode maudhû’î (tematis).
Menurut
Quraish Shihab, metode tafsir maudhû’î
digagas oleh Ahmad Sayyid al-Kumiy pada saat ia menjadi ketua jurusan tafsir
Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar. Metode yang demikian kemudian menjadi
minat para pengkaji al-Qur’an. Hal ini dibuktikan beberapa sarjana tafsir yang
membuat penelitian terfokus pada satu masalah, seperti: al-Insan fi al-Qur’an
dan al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas Mahmud al-Aqqad dan Riba fi al-Qur’an
karya al-Maududi.[2]
Pada
perkembangan selanjutnya, muncul beberapa sarjana tafsir yang memberikan konsep
metode tafsir maudhû’î. Mereka antara lain, Abdul Hayy al-Farmawi, Mustafa
Muslim, M. Quraish Shihab dan lainnya. Selain rumusan konsep metode tafsir maudhû’î,
beberapa penafsiran yang “dianggap” sebagai tafsir maudhû’i pun juga muncul,
seperti Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim[3] karya Muhammad Ghazali. Tidak
hanya di kawasan timur tengah di Indonesia, terdapat tafsir tematik yang
diterbitkan oleh Kementerian Agama RI.
Makalah
ini berusaha memaparkan metode tafsir maudhû’î yang dikonsepkan oleh: pertama, Muhammad
al-Ghazali, serta melihat aplikasi metode tafsir maudhû’î yang terdapat dalam
karyanya, Nahwa Tafsir Maudhû’î. Dalam melihat penafsiran atau aplikasi metode
tafsir maudhû’î dalam Nahwa Tafsir Maudhû’î, penulis membatasi hanya beberapa
surah pendek. Kedua, metode tafsir maudhû’î yang dirumuskan oleh Abul Hayy
al-Farmawi.
Metode
Tafsir Maudhû’î Muhammad al-Ghazali dan Aplikasinya dalam Kitab “Nahwa Tafsir
Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim”
Diantara
tokoh-tokoh yang lahir di Mesir seperti Hasan al-Banna ataupun Yusuf Qardhawi,
nama Muhammad Ghazali tidak kalah populernya.[4] Ia seorang ulama yang ahli
dalam berbagai bidang keilmuan. Banyak karya dan buku-buku yang telah
dihasilkan, termasuk karyanya yang berkaitan dengan al-Qur’an dan ilmu tafsir,
antara lain: Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar
al-Qur’an al-Karim, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an
al-Karîm
dan Nadharat fi al-Qur’an.
Dibawah
ini, penulis akan memaparkan pandangan al-Ghazali dan perhatiannya terhadap
al-Qur’an, metode penafsiran serta memberikan contoh penafsirannya sebagaimana
terdapat dalam buku tafsirnya, Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an
al-Karim.
Perhatian
al-Ghazali Terhadap al-Qur’an
Perhatian
al-Ghazali terbilang cukup besar dalam mengkaji al-Qur’an. Ia menyarankan agar
seorang muslim tidak saja membaca al-Qur’an, tetapi juga mengamalkan. Sehingga
umat Islam dapat memahami secara utuh pesan kandungan al-Qur’an. Ia tidak segan
mengkritik orang yang hanya sekedar membaca, tetapi tanpa menggali kandungan
didalamnya.[5]
Dibidang ilmu
tafsir, al-Ghazali menyoroti sumber penafsiran yang dijadikan rujukan oleh para
mufasir. Al-Ghazali melihat adanya hadis-hadis dhaif dalam beberapa kitab
tafsir seperti Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn Katsir. Ia juga mengkritik adanya
kitab tafsir yang memasukkan kisah isrâiliyat seperti kisah Zainab binti Jahsy
dan Gharâniq. Ia menyarankan agar kisah-kisah yang demikian dihilangkan dari
kitab-kitab tafsir.[6]
Didalam
kitab Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm, al-Ghazali
membahas lima tema pokok di dalam al-Qur’an. Kelima tema tersebut adalah:
keesaan Allah, wujud alam semesta, kisah-kisah dalam al-Qur’an, hari
kebangkitan dan balasan dan pendidikan dan hukum.[7]
Karya
al-Ghazali dibidang tafsir yang paling besar adalah Nahwa Tafsir Maudhû’î li
Suwar al-Qur’an al-Karim. Ia menafsirkan seluruh al-Qur’an sesuai dengan tartib
mushaf dari surah al-Fatihah sampai al-Nas. Menurut Abad Badruzaman, tafsir
tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1995. Kitab tersebut menurut
Badruzaman memiliki dua keutamaan, pertama, bahasanya yang tidak bertele-tele,
praktis untuk dibaca terlebih bagi muslim “awam”. Kedua, menggunakan metode maudhû’î.[8]
Dalam
muqadimah Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim, al-Ghazali
menyampaikan bahwa tafsirnya tersebut adalah sumbangan kecil untuk tujuan yang
mulia. Ia juga mengakui bahwa banyak terpengaruh oleh Muhammad Abdu Allah
Darraz dalam metode penafsirannya. Al-Ghazali menjelaskan al-Qur’an memiliki
makna dan arti yang sangat luas. Didalamnya terdapat berbagai tema yang
jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an juga menghasilkan sekian banyak pandangan
dan tema-tema pokok yang saling berhubungan.
Metode
Penafsiran al-Ghazali
Metode penafsiran
yang digunakan al-Ghazali dalam kitab tafsirnya adalah memilih ayat-ayat
tertentu yang dapat mewakili atau menjadi representasi dari sebuah surah. Meski
demikian, menurutnya setiap surah harus dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan
yang tidak terpisahkan. Dalam menafsirkan ayat, al-Ghazali berusaha menjelaskan
secara teliti dan dengan penuh kehati-hatian untuk membahas tema utama suatu
surah.[9]
Metode
tematik yang diaplikasikan oleh al-Ghazali memang berbeda dengan metode yang
dirumuskan oleh ahli tafsir pada umumnya, seperti al-Farmawi. Menurut penulis,
metode penafsiran al-Ghazali ini pernah digunakan oleh Mahmud Syaltut dalam
kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.[10] Al-Ghazali menafsirkan
seluruh surah dalam al-Qur’an dengan menitikberatkan pada tema-tema yang
dianggapnya penting yang terdapat dalam setiap surah. Dalam satu surah tertentu,
ia tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja yang menurutnya
menjadi poin penting dari surah tersebut.[11]
Contoh
Penafsiran Al-Ghazali
1.
Surah al-Jumuah
Al-Ghazali
menerangkan bahwa saat mendengar seruan azan untuk salat Jumat, setiap muslim
segera ke masjid, bergabung dengan sesamanya menunaikan ibadah kepada Allah.
Jumat adalah hari istimewa dalam satu pekan. Umat Islam dihimbau untuk
melakukan mandi besar dan memakai wangi-wangian. Menurut Nabi Muhammad, setiap
muslim yang berdoa pada hari Jumat pasti akan dikabulkan oleh Allah.
Al-Ghazali
selanjutnya menekankan kritik bagi orang yang tergesa-gesa segera meninggalkan
masjid –saat salat Jumat- untuk melakukan aktivitas dagang (perniagaan). Allah
memberi peringatan pada ayat 11,
وَاِذَا رَاَوۡا تِجَارَةً اَوۡ لَهۡوَا۟ اۨنْفَضُّوۡۤا
اِلَيۡهَا وَتَرَكُوۡكَ قَآٮِٕمًا قُلۡ
مَا عِنۡدَ اللّٰهِ خَيۡرٌ مِّنَ
اللَّهۡوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللّٰهُ
خَيۡرُ الرّٰزِقِيۡنَ
“ Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.”
Surat ini
juga menyatakan bahwa Muhammad adalah sebagai penutup utusan Allah yang membawa
risalah dan menyeru seluruh umat menyembah Allah. Ia adalah orang terhormat
yang dipilih diantara orang-orang buta huruf Arab lainnya. Tetapi kehormatan
itu telah dipalingkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah
mendistorsi agama mereka. Mereka –Yahudi dan Kristen- adalah orang-orang yang
sombong, keras kepala dan berada dalam kebodohan. Mereka membuktikan bahwa
tidak mampu baik negaranya sendiri, apalagi mereformasi orang lain atau
memberikan contoh yang baik, sebagaimana firman Allah pada ayat 2
هُوَ الَّذِىۡ بَعَثَ فِى الۡاُمِّيّٖنَ رَسُوۡلًا مِّنۡهُمۡ
يَتۡلُوۡا عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيۡهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ الۡكِتٰبَ
وَالۡحِكۡمَةَ وَاِنۡ كَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ لَفِىۡ ضَلٰلٍ مُّبِيۡنٍۙ
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”
Al-Ghazali
juga menyinggung sikap bangsa Israel yang menjadi etnosentris, parsial dan
materialistis. Kualitas mereka telah terbukti hari ini. Bangsa Israel tidak
mampu menyampaikan pesan Tuhan dan memimpin manusia ke jalanNya.
قُلۡ يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ هَادُوۡۤا اِنۡ زَعَمۡتُمۡ اَنَّكُمۡ اَوۡلِيَآءُ لِلّٰهِ مِنۡ دُوۡنِ النَّاسِ
فَتَمَنَّوُا الۡمَوۡتَاِنۡ كُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡنَ (6) وَلَا
يَتَمَنَّوۡنَهٗۤ اَبَدًۢا بِمَا قَدَّمَتۡ اَيۡدِيۡهِمۡؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌۢ
بِالظّٰلِمِيۡنَ(7)
“Katakanlah:
‘Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa
sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka
harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar’ (6). Mereka
tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang
telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui
akan orang-orang yang zalim. (7)”
Diakhir penafsiran
surah al-Jumuah, ia menyayangkan saat ini banyak umat Islam yang mengabaikan
tanggung jawabnya terhadap wahyu Allah. Mereka justru menyuarakan tentang
materialistik, nasionalis dan etnosentris yang memiliki sedikit kecenderungan
hubungan dengan wahyu Allah. Bagi umat Islam yang tetap bertahan dan bekerja
keras untuk menghidupkan agama Allah, al-Ghazali berpesan agar mereka mengambil
peran di dunia serta mengembalikan kedaulatan Tuhan atas kehidupan manusia dan
urusan dunia.[12]
Menurut
penulis, tema-tema pokok dalam surah al-Jumuah yang menjadi poin penting bagi
al-Ghazali adalah pertama, keistimewaan hari Jumat. Hal ini seperti digambarkan
bahwa pada hari tersebut umat Islam berkumpul di masjid dalam rangka
menjalankan ibadah salat jumat. Pun demikian juga anjuran mandi besar dan
menggunakan wangi-wangian yang dianjurkan pada hari Jumat, serta doa setiap
muslim pada hari itu yang pasti dikabulkan. Kedua, adalah pandangan terhadap
orang Israel. Menurut penulis, al-Ghazali memaknai kata “Yahudi” dalam surah di
atas sebagai orang-orang Israel.
2.
Surah al-Munâfiqûn
Pada awal
penafsirannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kemunafikan adalah sifat tercela, terdapat
kontradiksi antara keyakinan dengan perilaku seseorang. Ketika seseorang
bersalah, ia mengubah penampilan dan ekspresi. Menurut al-Ghazali diantara
bentuk kemunafikan adalah kepura-puraan dan sumpah palsu. Kemunafikan adalah
akhlak yang buruk. Hal ini akibat dari kurangnya ketegasan dan pendirian dalam
diri seorang. Seseorang yang mengerjakan kemunafikan adalah akibat dari sifat
egois.
اِذَا جَآءَكَ الۡمُنٰفِقُوۡنَ قَالُوۡا نَشۡهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوۡلُ اللّٰهِ ۘ
وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ اِنَّكَ
لَرَسُوۡلُهٗ ؕ وَاللّٰهُ يَشۡهَدُ اِنَّ
الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَـكٰذِبُوۡنَ
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”
Kemunafikan
tidak akan berlangsung lama, atau tersembunyi. Cepat atau lambat, sebuah sikap
kemunafikan akan terungkap. Terungkapnya kemunafikan kerap tercermin dari
perilaku itu sendiri atau hal-hal kejadian yang tidak terduga.
Surah ini
membuka keburukan dan kemunafikan orang-orang munafik Madinah yang dianggap
berbuat kebajikan dan sudah lama mengaku bagian dari umat Islam. Pada
kenyataanya, orang-orang munafik Madinah tersebut telah menebar benih-benih
perselisihan antara orang-orang Makkah (muhajirin) dan orang-orang Madinah
(ansar). Mereka menjadikan kejadian yang kecil lalu dibesar-besarkan untuk
menyebarkan dan menyulut permusuhan. Hal ini digambarkan pada ayat 7
هُمُ الَّذِيۡنَ
يَقُوۡلُوۡنَ لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰى مَنۡ عِنۡدَ رَسُوۡلِ اللّٰهِ
حَتّٰى يَنۡفَضُّوۡاؕ وَلِلّٰهِ خَزَآٮِٕنُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ
وَلٰـكِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَا يَفۡقَهُوۡنَ
“Mereka
orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): ‘Janganlah kamu
memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi
Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’. Padahal kepunyaan
Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak
memahami.”
Baik
muslim Makkah dan Madinah, keduanya saat itu mengalami kesengsaraan. Muslim
Makkah harus meninggalkan harta mereka di Makkah, sedangkan Muslim Madinah
harus menerima mereka dengan segala keterbatasan. Tetapi, Abdullah ibn Ubay,
seorang munafik Madinah justru memberi komentar pedas terhadap muslim Makkah
dan menghasut orang-orang Madinah dengan berkata: “Beri makan anjingmu, nanti
dia akan memakanmu.” Perkataan Ubay lainnya dikutip dalam ayat ke 8
يَقُوۡلُوۡنَ لَٮِٕنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَى الۡمَدِيۡنَةِ لَيُخۡرِجَنَّ
الۡاَعَزُّ مِنۡهَا الۡاَذَلَّ ؕ وَلِلّٰهِ الۡعِزَّةُ وَلِرَسُوۡلِهٖ
وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ وَلٰـكِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَا يَعۡلَمُوۡنَ
“Mereka
berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah (dari peperangan Bani
Mustalik), benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
dari padanya’. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan
bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui”.
Kata-kata
Ubay di atas adalah ingin mengacaukan, membelah orang-orang muslim dan
melemahkan kekuatannya. Ubay sangat berambisi mengusir orang-orang mukmin
muhajirin dari Madinah.
Dalam
penafsiran al-Ghazali, surah al-Munâfiqûn ditutup dengan nasihat berharga untuk
semua orang yang tulus yang terdapat pada ayat 9.[13]
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُلۡهِكُمۡ اَمۡوَالُكُمۡ
وَلَاۤ اَوۡلَادُكُمۡ عَنۡ ذِكۡرِ
اللّٰهِۚ وَمَنۡ يَّفۡعَلۡ ذٰلِكَ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ
“Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.”
Tema
utama yang menjadi sorotan al-Ghazali dalam surah al-Munafiqun adalah tentang
kemunafikan sebagai sifat yang tercela dan perlakuan orang-orang munafik
Madinah kepada muslim Makkah. Selanjutnya, pada akhir penafsirannya, al-Ghazali
mengutip ayat kesembilan dari surah al-Munafiqun sebagai nasihat yang mulia.
3.
Surah al-Taghâbûn
Dalam
tafsirnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa surah ini dibuka dengan perintah kepada
makhluk yang berada di alam raya untuk memuji Allah. Karena dengan memujiNya,
itu berarti sebuah ketundukan kepadaNya. Tetapi, banyak manusia yang menolak
Allah dan ajaranNya; menyangkal kekuasaan dan kedaulatanNya; dan tidak sedikit
pula yang mencela utusan Allah (rasul Allah). Terkait hal ini, al-Ghazali
mengutip surah al-Nahl ayat 4:
خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّـطۡفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيۡمٌ مُّبِيۡنٌ
“Dia
telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata”
Surah ini
menyoroti karakteristik perbuatan jahat, dalam ayat 2: “Dia-lah yang
menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang
mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Selanjutnya,
al-Ghazali menjelaskan bahwa sebuah tindakan yang “paradoks” adalah ketika manusia
diciptakan oleh Allah tetapi ia ingkar kepadaNya. Telah banyak nikmat dan
karunia yang telah Allah berikan dengan kemurahan. Tetapi beberapa orang
menolak dengan memberi alasan yang sederhana, yakni: bahwa wahyu Allah hanya disampaikan
oleh manusia, bukan malaikat. Oleh sebab itu, surah ini memberi peringatan pada
ayat 5-6
اَلَمۡ يَاۡتِكُمۡ نَبَـؤُا الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ فَذَاقُوۡا
وَبَالَ اَمۡرِهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ (5)ذٰ لِكَ بِاَنَّهٗ
كَانَتۡ تَّاۡتِيۡهِمۡ رُسُلُهُمۡ بِالۡبَيِّنٰتِ فَقَالُوۡۤا اَبَشَرٌ
يَّهۡدُوۡنَـنَا فَكَفَرُوۡا وَتَوَلَّوْا
وَّاسۡتَغۡنَى اللّٰهُ ؕ وَاللّٰهُ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ
(6)
“Apakah belum datang kepadamu (hai
orang-orang kafir) berita orang-orang kafir terdahulu. Maka mereka telah
merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab yang
pedih (5). Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada
mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: ‘Apakah
manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?’ lalu mereka ingkar dan
berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji (6).”
Al-Ghazali
selanjutnya menjelaskan bahwa dalam dunia modern saat ini, banyak orang
terjebak di dalam dunia materialistik. Sehingga mereka tidak percaya akan
adanya hari kebangkitan dan hanya dianggap sebagai omong kosong. Al-Ghazali
mengutip ayat 7 dari surah ini:
زَعَمَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡۤا اَنۡ لَّنۡ يُّبۡـعَـثُـوۡا ؕ
قُلۡ بَلٰى وَرَبِّىۡ لَـتُبۡـعَـثُـنَّ ثُمَّ
لَـتُنَـبَّـؤُنَّ بِمَا عَمِلۡـتُمۡؕ وَذٰ لِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيۡرٌ
“Orang-orang
yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.
Katakanlah: ‘Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian
akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.”
Sikap
ketidakpercayaan terhadap hari akhir tidak hanya dialami oleh orang-orang
atheis dan kafir, tetapi juga oleh pengikut agama lain: Yahudi dan Kristen.
Mereka tidak dapat menerima ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an.
Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menyajikan
Islam dengan cara yang lebih efektif dan cerdas. Al-Ghazali kemudian mengutip
ayat kedelapan:
فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ وَالنُّوۡرِ الَّذِىۡۤ اَنۡزَلۡنَاؕ
وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرٌ
Kata
“al-Nur” atau yang berarti cahaya pada ayat di atas adalah al-Qur’an. Dalam
banyak ayat, Allah juga telah menjelaskan. Ayat ini menegaskan kewajiban
seorang muslim untuk mengimani dan juga memahami al-Qur’an. Seorang muslim
dituntut untuk dalam hidup sesuai dengan panduan al-Qur’an.
Surah
yang membicarakan tentang hari penghisapan ini juga ditegaskan pada ayat 9.
يَوۡمَ يَجۡمَعُكُمۡ لِيَوۡمِ الۡجَمۡعِ ذٰ لِكَ يَوۡمُ
التَّغَابُنِ ؕ وَمَنۡ يُّؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ وَيَعۡمَلۡ صَالِحًـا يُّكَفِّرۡ
عَنۡهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُدۡخِلۡهُ جَنّٰتٍ
تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا
الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا ؕ ذٰ لِكَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیْمُ
“ (Ingatlah)
hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari
dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan
memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”
Pada hari
itu, lanjut al-Ghazali, manusia akan diperlihatkan segala kesalahannya. Mereka
mengalami penyesalan yang begitu mendalam atas perbuatan yang telah dilakukan
selama hidupnya. Manusia menyesali kehidupan yang terlewat begitu saja.
Al-Ghazali kemudian mengutip sebuah hadis: “Banyak orang kehilangan dua hal:
kesehatan dan waktu”.
Surah ini
juga mengungkap tentang hubungan muslim Makkah dan Madinah yang terlibat
pertengkaran dan permusuhan. Untuk menentramkan dan membesarkan hati kaum
muslim, Allah menurunkan ayat ke 11:
مَاۤ اَصَابَ مِنۡ مُّصِيۡبَةٍ اِلَّا بِاِذۡنِ
اللّٰهِؕ وَمَنۡ يُّؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ يَهۡدِ قَلۡبَهٗؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ
شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
“Tidak
ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Muslim
Makkah telah meninggalkan tempat tinggal dan tanah mereka guna menjadi pengikut
Muhammad. Mereka tetap pada pendirian dan keyakinannya akan agama yang dibawa
oleh Muhammad. Tidak semua orang dapat berbuat pengorbanan atau mendapat
penghormatan seperti ini.
Beberapa
muslim Makkah ada yang ragu-ragu, lebih memilih istri mereka dan anak-anak
mereka. Sehingga mereka menetap di Makkah. Mereka menutup telinga akan
panggilan tugas dan lebih memilih tinggal dengan orang-orang yang mereka cintai
(istri dan anak). Berkaitan dengan hal itu, Allah menegur mereka sebagaimana
dalam ayat 14:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِكُمۡ
وَاَوۡلَادِكُمۡ عَدُوًّا لَّكُمۡ فَاحۡذَرُوۡهُمۡۚ وَاِنۡ تَعۡفُوۡا
وَتَصۡفَحُوۡا وَتَغۡفِرُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
“Hai
orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Menurut
al-Ghazali, kenyamanan dalam hidup yang terlalu melekat pada seseorang dapat menyebabkan
penghianatan. Surah ini telah menjelaskan pada ayat 15:
اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُـكُمۡ
وَاَوۡلَادُكُمۡ فِتۡنَةٌ ؕ وَاللّٰهُ عِنۡدَهٗۤ اَجۡرٌ
عَظِيۡمٌ
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar.”
Diakhir
penafsiran surah al-Taghabun, al-Ghazali menutup dengan uraian bahwa untuk
melawan tindakan korupsi dan agresi membutuhkan kerja keras dan pengorbanan.
Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang setia dan memiliki
keberanian dan kepercayaan diri. Sejarah telah menunjukkan bahwa penindasan
hanya dapat ditaklukkan oleh keyakinan. Kemudian al-Ghazali mengutip ayat 16
sebagai nasihat penutup
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا
وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ
نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[14]
Dua tema
utama yang menjadi perhatian al-Ghazali dari surah di atas adalah, pertama,
sikap kaum kafir yang tidak mengindahkan perintah Allah dan rasulNya. Hal itu
dibuktikan dengan sikap meremehkan utusan Allah (rasul) dan ketidakpercayaan
terhadap hari akhir (hari kebangkitan). Tema kedua adalah posisi kelurga
(isteri dan anak) yang pada saat tertentu menjadi cobaan bagi seorang suami.
4.
Surah al-Qâri’ah
Dalam
surah ini, al-Ghazali menjelaskan sebelum datang hari kebangkitan, akan datang suara
bergemuruh dan letusan yang menggetarkan seluruh dunia dan akan didengar oleh
semua orang. Al-Qur’an juga menjelaskan hal ini di ayat lain:
“Dan
dengarkanlah (seruan) hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat.
(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya. Itulah
hari akhir.” (QS. Qaf : 41-42).
وَاسۡتَمِعۡ يَوۡمَ يُنَادِ الۡمُنَادِ مِنۡ مَّكَانٍ قَرِيۡبٍۙ (41) يَوۡمَ يَسۡمَعُوۡنَ الصَّيۡحَةَ
بِالۡحَـقِّ ؕ ذٰ لِكَ يَوۡمُ الۡخُـرُوۡجِ (42)
Seluruh
manusia, saat itu akan bangkit dengan ketakutan dan kecemasan. Mereka
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Surat ini menjelaskan:
اَلۡقَارِعَةُ (1) مَا
الۡقَارِعَةُ (2) وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا
الۡقَارِعَةُ (3) يَوۡمَ يَكُوۡنُ
النَّاسُ كَالۡفَرَاشِ الۡمَبۡثُوۡثِ (4) وَتَكُوۡنُ الۡجِبَالُ كَالۡعِهۡنِ الۡمَنۡفُوۡشِ (5)
“Hari
Kiamat. Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari
itu manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu
yang dihambur-hamburkan”.
Gunung-gunung
hancur dengan sendirinya dan dan berubah hingga menjadi puing-puing.
Orang-orang berpencar-pencar dan bertebaran bagaikan “ngengat” ke segala arah.
Setiap dari mereka tidak mengetahui arah tujuan mereka.
Nasib
mereka telah ditentukan:
فَاَمَّا مَنۡ ثَقُلَتۡ مَوَازِيۡنُهٗ (6) فَهُوَ فِىۡ عِيۡشَةٍ
رَّاضِيَةٍ (7) وَاَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ مَوَازِيۡنُهٗ ۙ (8)فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ(9)
“Dan
adapun orang-orang yang berat timbangan kebaikannya, maka dia berada dalam
kehidupan yang memuasakan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan
kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah”.
Kata
“Ibu” digunakan (fa ummuhu haawiyah)
dalam metafora Bahasa Arab karena pada saat seseorang cemas, saat ingin mencari
kenyamanan dan keamanan maka akan mencari dada ibunya. Menggunakan tersebut
menurut penulis bermakna “kembali”.
Dalam
surah ini, al-Ghazali menyoroti keadaan hari kiamat. Hal ini sangat terlihat
saat ia berusaha menggambarkan suasana yang akan terjadi kelak. Ia juga
mengutip ayat dari surah lain untuk menjelaskan hubungan (munasabah) ayat.[15]
5.
Surah al-Mâ’ûn
Pada
pembukaan penafsiran surah ini, al-Ghazali menerangkan bahwa orang-orang ikhlas
dan salih selalu bersedia membantu sesama. Agama mendorong umatnya untuk
menyediakan bantuan kepada yang lemah, miskin, menyantuni anak yatim, dan
menuntun mereka yang kehilangan arah dalam hidup.
Mengabaikan
amalan ini dapat mengakibatkan pada lemahnya iman. Sehingga ideologi
materialistik seperti komunis akan mudah menyusup. Menurut al-Ghazali, paham
tersebut –komunis- telah menyapu sebagian wilayah di dunia ini dan telah banyak
mendatangkan malapetaka.
Agama,
seperti yang dikutip pada surah,
berarti: menyedekahkan kekayaan, bertoleransi, dan berkasih saying. Seperti
yang dikatakan dalam surah ini:
اَرَءَيۡتَ الَّذِىۡ يُكَذِّبُ بِالدِّيۡنِؕ (1)فَذٰلِكَ
الَّذِىۡ يَدُعُّ الۡيَتِيۡمَۙ (2)وَ لَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ
الۡمِسۡكِيۡنِؕ (3)
“Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Kesimpulan
surah ini adalah, pertama, anjuran membantu orang miskin, karenahal tersebut
adalah syarat dari keimanan. Kedua, perintah menegakkan salat. Ini sekaligus
menjadi peringatan bagi orang-orang yang lalai. Mereka akan mendapat konsekuensinya.[16]
- Al-Masad
Surah
ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras kepada paman Nabi Muhammad, Abu
Lahab.
تَبَّتۡ يَدَاۤ اَبِىۡ
لَهَبٍ وَّتَبَّؕ
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”
Selanjutnya,
al-Ghazali mengutip cerita sebab turunnya surah ini, nabi mengumpulkan
kabilah-kabilah Arab dan menyerunya untuk beriman kepada Allah. Seketika itu
juga, ia mendapat kecaman dan yang keras dari Abu Lahab. Maka turunlah surah
al-Masad ini.
Al-Ghazali
menceritakan kebencian Abu Lahab serta keluarganya kepada nabi. Oleh sebab itu,
ayat 4 dari surah ini juga menyinggung siksa neraka yang akan dialami oleh
isterinya.
وَّامۡرَاَ تُهٗ ؕ حَمَّالَةَ
الۡحَطَبِۚ
“Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”
Diakhir
penafsiran surah al-Masad ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa Abu Lahab telah
dibutakan untuk melihat kenyataan Muhammad sebagai anak yatim yang diasuh oleh
kakeknya kemudian pamannya. Lahab tidak dapat menerima kenyataan ditunjuknya
Muhammad sebagai seorang pembawa misi kenabian. Ia terlanjur berprasangka buruk
dan “cemburu” melihat kehidupannya.[17]
Metode
Tafsir Maudhû’î Abu Hayy al-Farmawi
Sebelum
membahas pengertian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tafsir maudhu’i
menurut Al-Farmawi, penulis memaparkan pengertian metode-metode tafsir secara
umum. Sepanjang perkembangan ilmu tafsir telah lahir berbagai macam kitab
tafsir yang disajikan oleh para ulama dengan menggunakan berbagai metode,
metode-metode tersebut adalah; Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode Muqarran,
dan Metode Maudhu’i. Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Metode ijmali
adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara
mengemukakan makna global atau penjelasan secara umum. Lain halnya dengan
metode muqarran (perbandingan), metode ini adalah metode yang
mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh para penafsir
sehingga terlihat jelas perbedaannya yang kemudian bisa dibandingkan.[18]
Metode-metode yang telah dijelaskan diatas terutama metode tahlili adalah
metode yang seringkali ditemukan dan hampir semua penafsir klasik memakai metode
ini.
Pengertian
Metode Tafsir Maudhu’i
Tafsir
Maudhu’i menurt Al-Farmawi adalah tafsir yang menghimpun ayat-ayat al-Quran
yang mempunyai maksud yang sama dengan kata lain sama-sama membicarakan satu
topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat
tersebut[19]. Di
dalam metode ini seorang penafsir memberikan keterangan atau kejelasan serta
mengambil sebuah kesimpulan. Sebagai contoh misalnya kajian tentang khamar
dengan memakai metode tafsir maudhu’i seorang penafsir pertama-tama harus
mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan khamar, kemudian menyusunnya
berdasarkan kronologis turunnya, mengumpulkan asbab nuzul ayat sebagai
keterangan dan kejelasan terhadap ayat yang dibahas, kemudian penafsir memberi
kesimpulan dari beberapa ayat yang berkaitan dengan khamar.
Bentuk-Bentuk
Kajian Tafsir Maudhu’i
Pada
dasarnya menghimpun dan menyusun ayat-ayat menurut kronologi dilakukan untuk
mengetahui pokok-pokok masalahnya. Dengan demikian komentar negatif bahwa di
dalam al-Quran terdapat pengulangan bisa ditolak atau disanggah. Tafsir Maudhui
mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir maudhu’i per-surah dan tafsir maudhu’i
per-tema.
1. Tafsir
Maudhu’i Per-Surah
Tafsir
maudhui yang membahas satu surah secara utuh dan menyeluruh dan menjelaskan
maksudnya yang bersifat umum dan khusus serta menjelaskan korelasi antara
berbagai masalah yang dikandungnya, sehinnga surah tersebut tampak dalam
bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.[20]
2. Tafsir
Maudhu’i Per-Tema
Menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan satu masalah
tertentu kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah
suatu tema bahasan yang dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i.[21]
Bentuk kajian maudhu’i per-tema seperti ini lah yang biasanya terbayang
dipikiran kita ketika disebutkan tafsir maudhu’i dan Al-Farmawi menjadikan
bentuk kajian tafsir tematik per-tema ini sebagai konsentrasi pembahasannya
dalam menjelaskan tafsir maudhu’i.
Sejarah
Perkembangan Tafsi Maudhu’i
Penafsiran
al-Quran dengan al-Quran yang seringkali dikenal dengan tafsir bil-ma’tsur pada
dasarnya telah memperlihatkan keselarasan ayat-ayat al-Quran. Penafsiran
al-Quran dengan al-Quran ini pada dasarnya menjadi cikal bakal atau bibit dari
tafsir maudhu’i. Dalam perkembangan berikutnya benih atau bibit tafsir maudhu’i
sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya saja masih dalam
bentuknya yang sederhana, belum mengambil bentuk yang lebih tegas dan bisa
dikatakan sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang masih dalam bentuk
yang sangat ringkas seperti yang terdapat dalam tafsir karya Al-Fakhr Al-Razi
karya Al-Qurtuby dan karya Ibu Al-Arabi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
metode maudhu’i ini adalah metode yang sebenarnya sudah ada sejak dulu kala
dengan bentuknya yang masih sederhana yang belum dimaksudkan sebagai metode
yang memiliki karakter metodelogis yang berdiri sendiri.[22]
Perkembangan
tafsir pada masa klasik agak kurang peduli terhadap penafsiran al-Quran dengan
cara tematik, ada dua faktor ketidakpedulian ini:
1. Metode
tematik ini mengarah kepada kajian spesialis yang bertujuan mengkaji satu tema
bahasan. Para penafsir klasik tidak melakukan cara kajian yang seperti ini
karena pada masa lalu spesialisasi belum menjadi tujuan kajian.
2. Para
penafsir klasik belum merasakan perlu dan pentingnya untuk melakukan
topik-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini disebabkan karena
para panafsir masa lalu hafal al-Quran dan ilmu keislaman mereka sangat dalam
serta mencakup semua aspek, oleh sebab itu mere berpotensi untuk menghubungakan
satu ayat dengan ayat yang lain yang ia jelaskan melalui spesialisasi ilmunya. [23]
Pada
perkembangan selanjutnya muncul perhatian dan minat untuk melakukan pembahasan
baru berdasar corak tafsir maudhui, karena disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam mengandung bermacam-macam ilmu yang bernilai
tinggi sehingga banyak tokoh ilmuan dan para penelit berupaya mencapai khazanah
al-Quran tersebut.
2. Banyaknya
minat terhadap kajian al-Quran dari orang-orang non-Arab baik muslim ataupun
non-muslim mempelajari masalah-masalah yang dikandung dalam al-Quran. [24]
Sekalipun
bibit tafsir maudhu’i sudah ada semenjak dahulu akan tetapi cara kerjanya belum
ditetapkan secara jelas, kajian masa lalu tersebut bisa dikatakan sebagai usaha
untuk melahirkan metode ini. Batasan dan definisi yang jelas dan rinci mengenai
metode maudhu’i ini baru muncul pada periode belakangan oleh alUstadz Dr. Ahmad
Al-Sayyid Al-Kumy ketua jurusan Tafsir Universitas al-Azhar. Bersama beberapa
rekan-rekan dosen dan murid-murid mereka di berbagai perguruan tinggi.[25]
Langkah-langkah
Metode Maudhu’i
Langkah-langkah
atau cara kerja tafsir maudhui dijelaskan oleh Al-Farmawi sebagai berikut[26]
1. Menetapkan atau memilih
tema yang akan dikaji secara maudhu’i
2. Melacak dan mengumpulkan
ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut.
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang sebab-sabab turunnya.
4. Menjelaskan munasabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan
utuh (outline).
6. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis nabi, bila dipandang perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan gamblang.
7. Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun
ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, mengkompromikan antara
pengertian yang ‘am dan khas, yang muthlaq dengan muqayyad
yang global dengan terperinci, yang nasikh dan yang mansukh sehingga semua
ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaandan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya
tidak tepat
Urgensi
Tafsir Maudhu’i
- Menghimpun berbagai ayat yang
berkaitan dengan suatu topik masalah sehingga suatu ayat menjadi penafsir
bagi ayat lainnya dan menjadikan metode tafsir maudhu’i dengan corak
bilma’tsur suatu metode yang jauh dari kesalahan dan dekat dengan
kebenaran.
- Dengan menghimpun beberapa atau
sejumlah ayat al-Quran seorang penafsir akan mengetahui adanya keteraturan
dan keserasian serta korelasi antara ayat-ayat tersebut, karenanya
penafsir akan menjelaskan makna-makna dan petunjuk al-Quran tersebut
seraya mengemukakan kelugasan dan keindahan bahasanya.
- Dengan menghimpun seluruh ayat atau
sebagian ayat penafsir bisa memberikan buah penafsiran yang utuh dan
sempurna untuk suatu masalah.
- Dengan menghimpun seluruh ayat atau
sebagian ayat penafsir bisa menghapus anggapan terhadap adanya kontradiksi
dalam ayat-ayat al-Quran.
- Corak kajian tafsir maudhu’i sesuai
dengan semangat zaman modern yang menuntut agar kita bisa melahirkan suatu
hukum yang bersifat universal untuk umat Islam yang bersumber dari
al-Quran.
- Metode ini memungkinkan seseorang
untuk mampu mengemukakan initi masalah dan segala aspeknya.
- Metode ini memungkinkan seseorang
segera sampai kepada inti permasalahan yang dimaksud.
- Zaman modern ini sangat membutuhkan
metode maudhu’i karena dengan metode ini memungkinkan seseorang untuk
segera samapai kepada inti permasalahan dengan jalan yang singkat, praktis
dan mudah.[27]
Hal-hal
yang Harus diperhatikan Oleh Penafsir Maudhu’i
Ada
beberapa hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang penafsir yang memakai
metode maudhu’i ini, antara lain:
1. Penafsir
harus menyadari betul bahwa dengan menggunakan metode ini tidak berarti ia
menafsirkan seluruh al-Quran.
2. Penafsir
harus ingat bahwa ia hanya ingin membahas satu masalah pokok bahasan sehingga
tidak akan menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan.
3. Penafsir
harus memperhatikan tahapan-tahaan al-Quran dalam menurunkan hukumnya.
4. Dalam
menafsirkan suatu pokok masalah seorang penafsir harus secara konsisten
menerapkan semua prinsip operasional metode maudhu’i.[28]
Contoh
Tafsir Maudhu’i
Dalam
bukunnya, al-Farmawi memberikan beberapa contoh penafsiran maudhu’i dengan
mengemukakan beberapa tema, salah satunya adalah tema “ Memelihara Anak Yatim
Menurut Al-Quran Al-Karim”. Berikut penulis mencoba menganalisa contoh
penafsiran tersebut. Dalam contoh yang diuraikan akan terlihat bahwa al-Farmawi
memakai langkah-langkah tafsir maudhu’i yang telah ditetapkannya.
1. Menetapkan
tema pembahasan dengan tema “ Memelihara Anak Yatim Menurut Al-Quran Al-Karim”
2. Memperiodesisasikan
ayat-ayat mengenai anak yatim kedalam periode mekah dan periode madinah
berdasarkan tartib nuzulnya.
3. Menyusun
ayat-ayat tentang anak yatim sesuai dengan kronologis turunnya ayat
4. Menjelaskan
munasabah ayat.
5. Memberikan
tema terhadap beberapa pokok permasalahan seputar memelihara anak yatim,
misalnya tema: “Pemeliharaan harta anak yatim”, “Pemeliharaan moran dan
pendidikan anak yatim”, “Perintah menyayangi dan menyantuni anak yatim” dll.
6. Menampilkan
beberapa hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan pemeliharaan anak yatim
7. Mempelajari
ayat-ayat tentang anak yatim secara tematik dan menyeluruh.
Penutup
Kesimpulan
makalah ini adalah:
Pertama,
al-Ghazali menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an menurut urutan surah.
Metode tafsir maudhû’i yang diaplikasikan al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsir
Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim adalah dengan menafsirkan seluruh surah dan
menjelaskan tema-tema penting yang terdapat dalamnya. Dalam setiap surah, ia
tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja yang menurutnya
menjadi poin penting dari surah tersebut.
Menurut
al-Ghazali, setiap surah memiliki tema-tema penting. Akan tetapi, hal itu tidak
berarti bahwa setiap ayat dalam suatu surah tidak berkaitan. Bahkan antara satu
surah dengan surah yang lain memiliki hubungan (munasabah).
Kedua,
al-Farmawi merumuskan metode tafsir maudhu’i dengan mengemukakan beberapa acuan
yang menjadi satandar metode tafsir maudhu’i dengan memberikan langkah-langkah
yang harus dilakukakan dalam tafsir maudhu’i, langkah-langkah tersebut harus
diaplikasikan oleh penafsir tafsir maudhu’i, karena sebelum metode tafsir
maudhu’i dicanangkan penafsiran dengan gaya awal ini sudah ada sejak zaman
penafsir klasik yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, namun tidak ada
patokan metodologis terhadap penafsiran yang seperti ini, sehingga kemudian
al-Farmawi membuat standarisasi metode tafsir maudhu’i dalam kitabnya Bidayatu
fî Tafsîr Maudhu’î yang di dalamnya terdapat beberapa langkah yang harus
dilakukan penafsir dalam tafsir maudhu’i.
[1] Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan
Realitas dengan Teks: Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr, (Surabaya:
Penerbit PNM, 2010), h. 9
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 2013), h. 175
[3] Kitab tafsir ini juga diterbitkan
dalam edisi bahasa Inggris dengan judul A Thematic Commentary On The Qur’an,
oleh penerbit Islamic Book Trust Selangor Malaysia pada tahun 2001
[4]
Muhammad al-Ghazali lahir pada 22 Septerber 1917 di Mesir. Dibesarkan
dilingkungan sederhana yang sibuk dengan aktivitas perdangan mengingat ayahnya
sebagai seorang pedangan. Diantara gurunya yang berpengaruh adalah Syaikh Abdul Aziz Bilal, Syaikh Ibrahim Al-Gharbawi,
Syaikh Abdul Azhim Al-Zarqani. Al-Ghazali wafat pada 9 Maret 1996. Al-Mustasyar
Abdullah al-Aqil “Mereka Yang Telah Pergi” dalam Buletin Risalah Tsulasa,
edisi 2, tahun 2005
[5] Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, (Kairo:
Nahdetmisr, 2005), h. 29
[6] Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, h. 41
[7] Selengkapnya dapat dibaca dalam,
Muhammad al-Ghazali, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dar
al-Syuruq, tt)
[8] Abad Badruzaman “Beberapa
Pemikiran Tafsir Muhammad al-Ghazali”, diunduh dari situs http://abualitya.wordpress.com pada
22/10/2014.
[9] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, (Selangor: Islamic Book Trust, 2001), h.
viii
[10] Penulis mendasarkan pendapat pada
paparan yang dikemukakan oleh Quraish Shihab mengenai metode tafsir maudhû’î yang
dilakukan Mahmud Syaltut. Menurutnya, Mahmud Syaltut menafsirkan al-Qur’an
bukan ayat demi ayat, tetapi menafsirkan surah demi surah dan mengambil
petunjuk utama yang terkandung didalamnya. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, h. 173
[11] Menurut penulis, metode
penafsiran tematik al-Ghazali terhadap suatu surah sama seperti rumusan metode
penafsiran tematik surah yang diulas oleh al-Farmawi dan juga Musthafa Muslim. Atau
sebaliknya, baik al-Farmawi dan Musthofa merumuskan metode tafsir tematik surah
setelah mencermati metodelogi al-Ghazali dalam tafsirnya. Setidaknya menurut
Musthofa, ada empat tahapan dalam menafsirkan surah dan mengambil tema pokok
dalam surah tersebut. Pertama, terlebih dahulu menjelaskan “seluk beluk” surah,
baik kategori surah (Makiyah atau Madaniyah), sebab turunya surah atau ayat dan
sebagainya. Kedua, berusaha mengetahui tema pokok yang paling utama atau
menonjol dalam surah tersebut. Ketiga menafsirkan ayat dengan membagi ayat
dalam surah menjadi beberapa bagian (memilih) dan menjelaskan pembicaraan ayat
tersebut. Keempat, menghubungkan bagian-bagian ayat tersebut dan mengambil
istinbat, tujuan pokok yang mendasar dari suatu surah. Musthafa Muslim, Mabâhis
fî Tafsîr Maudhû’i, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 40
[12] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, h. 649-651
[13] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, h. 652-653. Lihat sebab turunnya ayat
ini, terutama ayat ke 8 yang menceritakan sikap Abdullah ibnn Ubay yang menebar
kebencian kepada muslim Makkah. Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb Nuzûl
al-Qur’an, (Riyad: Dar al-Maiman, 2005), h. 673
[14] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, h. 654-657
[15] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, h. 748
[16] Muhammad al-Ghazali, A
Thematic Commentary On The Qur’an, h. 757
[17] Muhammad
al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 764
[18] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah (PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 1994) hal. 12-30
[19] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36
[20] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal.35
[21] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36
[22] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 38- 40
[23] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41
[24] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41-44
[25] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45
[26] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45-46
[27] Abd.
Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 51-54
[28] Abd.
Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 54-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar