Jumat, 06 Februari 2015

Metode Tafsir Maudhû’î Muhammad Ghazali dan Abul Hayy al-Farmawi


Oleh: Ali Thaufan DS - Helrahmi Yusman, S.Th.I

Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan zaman, umat Islam dihadapkan dengan berbagai persoalan yang semakin kompleks. Pada saat bersamaan, mendapatkan jawaban secara “instan” dari persoalan semakin digemari, mendapat jawaban yang mudah.[1] Al-Qur’an sebagai kitab suci sepanjang masa diyakin memuat pemecahan masalah dan persoalan tersebut. Hal ini kemudian membuat para ahli tafsir untuk menyajikan jawaban persoalan yang terus bermunculan. Menampilkan penafsiran yang praktis dirasa sangat perlu. Penafsiran “yang praktis” yang penulis maksud disini adalah penafsiran yang secara khusus membahas tema atau pokok permasalahan tertentu. Dalam kaidah ilmu tafsir, disebut dengan penafsiran metode  maudhû’î (tematis).
Menurut Quraish Shihab, metode tafsir  maudhû’î digagas oleh Ahmad Sayyid al-Kumiy pada saat ia menjadi ketua jurusan tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar. Metode yang demikian kemudian menjadi minat para pengkaji al-Qur’an. Hal ini dibuktikan beberapa sarjana tafsir yang membuat penelitian terfokus pada satu masalah, seperti: al-Insan fi al-Qur’an dan al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas Mahmud al-Aqqad dan Riba fi al-Qur’an karya al-Maududi.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, muncul beberapa sarjana tafsir yang memberikan konsep metode tafsir maudhû’î. Mereka antara lain, Abdul Hayy al-Farmawi, Mustafa Muslim, M. Quraish Shihab dan lainnya. Selain rumusan konsep metode tafsir maudhû’î, beberapa penafsiran yang “dianggap” sebagai tafsir maudhû’i pun juga muncul, seperti Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim[3] karya Muhammad Ghazali. Tidak hanya di kawasan timur tengah di Indonesia, terdapat tafsir tematik yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI.
Makalah ini berusaha memaparkan metode tafsir maudhû’î yang dikonsepkan oleh: pertama, Muhammad al-Ghazali, serta melihat aplikasi metode tafsir maudhû’î yang terdapat dalam karyanya, Nahwa Tafsir Maudhû’î. Dalam melihat penafsiran atau aplikasi metode tafsir maudhû’î dalam Nahwa Tafsir Maudhû’î, penulis membatasi hanya beberapa surah pendek. Kedua, metode tafsir maudhû’î yang dirumuskan oleh Abul Hayy al-Farmawi.
Metode Tafsir Maudhû’î Muhammad al-Ghazali dan Aplikasinya dalam Kitab “Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim”
Diantara tokoh-tokoh yang lahir di Mesir seperti Hasan al-Banna ataupun Yusuf Qardhawi, nama Muhammad Ghazali tidak kalah populernya.[4] Ia seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Banyak karya dan buku-buku yang telah dihasilkan, termasuk karyanya yang berkaitan dengan al-Qur’an dan ilmu tafsir, antara lain: Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm dan Nadharat fi al-Qur’an.
Dibawah ini, penulis akan memaparkan pandangan al-Ghazali dan perhatiannya terhadap al-Qur’an, metode penafsiran serta memberikan contoh penafsirannya sebagaimana terdapat dalam buku tafsirnya, Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim.
Perhatian al-Ghazali Terhadap al-Qur’an
Perhatian al-Ghazali terbilang cukup besar dalam mengkaji al-Qur’an. Ia menyarankan agar seorang muslim tidak saja membaca al-Qur’an, tetapi juga mengamalkan. Sehingga umat Islam dapat memahami secara utuh pesan kandungan al-Qur’an. Ia tidak segan mengkritik orang yang hanya sekedar membaca, tetapi tanpa menggali kandungan didalamnya.[5]
Dibidang ilmu tafsir, al-Ghazali menyoroti sumber penafsiran yang dijadikan rujukan oleh para mufasir. Al-Ghazali melihat adanya hadis-hadis dhaif dalam beberapa kitab tafsir seperti Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn Katsir. Ia juga mengkritik adanya kitab tafsir yang memasukkan kisah isrâiliyat seperti kisah Zainab binti Jahsy dan Gharâniq. Ia menyarankan agar kisah-kisah yang demikian dihilangkan dari kitab-kitab tafsir.[6]
Didalam kitab Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm, al-Ghazali membahas lima tema pokok di dalam al-Qur’an. Kelima tema tersebut adalah: keesaan Allah, wujud alam semesta, kisah-kisah dalam al-Qur’an, hari kebangkitan dan balasan dan pendidikan dan hukum.[7]
Karya al-Ghazali dibidang tafsir yang paling besar adalah Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim. Ia menafsirkan seluruh al-Qur’an sesuai dengan tartib mushaf dari surah al-Fatihah sampai al-Nas. Menurut Abad Badruzaman, tafsir tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1995. Kitab tersebut menurut Badruzaman memiliki dua keutamaan, pertama, bahasanya yang tidak bertele-tele, praktis untuk dibaca terlebih bagi muslim “awam”. Kedua, menggunakan metode maudhû’î.[8]
Dalam muqadimah Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim, al-Ghazali menyampaikan bahwa tafsirnya tersebut adalah sumbangan kecil untuk tujuan yang mulia. Ia juga mengakui bahwa banyak terpengaruh oleh Muhammad Abdu Allah Darraz dalam metode penafsirannya. Al-Ghazali menjelaskan al-Qur’an memiliki makna dan arti yang sangat luas. Didalamnya terdapat berbagai tema yang jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an juga menghasilkan sekian banyak pandangan dan tema-tema pokok yang saling berhubungan.
Metode Penafsiran al-Ghazali
Metode penafsiran yang digunakan al-Ghazali dalam kitab tafsirnya adalah memilih ayat-ayat tertentu yang dapat mewakili atau menjadi representasi dari sebuah surah. Meski demikian, menurutnya setiap surah harus dapat dipahami sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam menafsirkan ayat, al-Ghazali berusaha menjelaskan secara teliti dan dengan penuh kehati-hatian untuk membahas tema utama suatu surah.[9]
Metode tematik yang diaplikasikan oleh al-Ghazali memang berbeda dengan metode yang dirumuskan oleh ahli tafsir pada umumnya, seperti al-Farmawi. Menurut penulis, metode penafsiran al-Ghazali ini pernah digunakan oleh Mahmud Syaltut dalam kitab tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm.[10] Al-Ghazali menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an dengan menitikberatkan pada tema-tema yang dianggapnya penting yang terdapat dalam setiap surah. Dalam satu surah tertentu, ia tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja yang menurutnya menjadi poin penting dari surah tersebut.[11]
Contoh Penafsiran Al-Ghazali
1.    Surah al-Jumuah
Al-Ghazali menerangkan bahwa saat mendengar seruan azan untuk salat Jumat, setiap muslim segera ke masjid, bergabung dengan sesamanya menunaikan ibadah kepada Allah. Jumat adalah hari istimewa dalam satu pekan. Umat Islam dihimbau untuk melakukan mandi besar dan memakai wangi-wangian. Menurut Nabi Muhammad, setiap muslim yang berdoa pada hari Jumat pasti akan dikabulkan oleh Allah.
Al-Ghazali selanjutnya menekankan kritik bagi orang yang tergesa-gesa segera meninggalkan masjid –saat salat Jumat- untuk melakukan aktivitas dagang (perniagaan). Allah memberi peringatan pada ayat 11,
وَاِذَا رَاَوۡا تِجَارَةً اَوۡ لَهۡوَا۟ اۨنْفَضُّوۡۤا اِلَيۡهَا وَتَرَكُوۡكَ قَآٮِٕمًا‌  قُلۡ مَا عِنۡدَ اللّٰهِ خَيۡرٌ مِّنَ اللَّهۡوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ‌  وَاللّٰهُ خَيۡرُ الرّٰزِقِيۡنَ
“ Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.”
Surat ini juga menyatakan bahwa Muhammad adalah sebagai penutup utusan Allah yang membawa risalah dan menyeru seluruh umat menyembah Allah. Ia adalah orang terhormat yang dipilih diantara orang-orang buta huruf Arab lainnya. Tetapi kehormatan itu telah dipalingkan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen yang telah mendistorsi agama mereka. Mereka –Yahudi dan Kristen- adalah orang-orang yang sombong, keras kepala dan berada dalam kebodohan. Mereka membuktikan bahwa tidak mampu baik negaranya sendiri, apalagi mereformasi orang lain atau memberikan contoh yang baik, sebagaimana firman Allah pada ayat 2
هُوَ الَّذِىۡ بَعَثَ فِى الۡاُمِّيّٖنَ رَسُوۡلًا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُوۡا عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيۡهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ الۡكِتٰبَ وَالۡحِكۡمَةَ وَاِنۡ كَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ لَفِىۡ ضَلٰلٍ مُّبِيۡنٍۙ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”
Al-Ghazali juga menyinggung sikap bangsa Israel yang menjadi etnosentris, parsial dan materialistis. Kualitas mereka telah terbukti hari ini. Bangsa Israel tidak mampu menyampaikan pesan Tuhan dan memimpin manusia ke jalanNya.
قُلۡ يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ هَادُوۡۤا اِنۡ زَعَمۡتُمۡ اَنَّكُمۡ اَوۡلِيَآءُ لِلّٰهِ مِنۡ دُوۡنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الۡمَوۡتَاِنۡ كُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡنَ (6) وَلَا يَتَمَنَّوۡنَهٗۤ اَبَدًۢا بِمَا قَدَّمَتۡ اَيۡدِيۡهِمۡ‌ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌۢ بِالظّٰلِمِيۡنَ(7)
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar’ (6). Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. (7)”
Diakhir penafsiran surah al-Jumuah, ia menyayangkan saat ini banyak umat Islam yang mengabaikan tanggung jawabnya terhadap wahyu Allah. Mereka justru menyuarakan tentang materialistik, nasionalis dan etnosentris yang memiliki sedikit kecenderungan hubungan dengan wahyu Allah. Bagi umat Islam yang tetap bertahan dan bekerja keras untuk menghidupkan agama Allah, al-Ghazali berpesan agar mereka mengambil peran di dunia serta mengembalikan kedaulatan Tuhan atas kehidupan manusia dan urusan dunia.[12]
Menurut penulis, tema-tema pokok dalam surah al-Jumuah yang menjadi poin penting bagi al-Ghazali adalah pertama, keistimewaan hari Jumat. Hal ini seperti digambarkan bahwa pada hari tersebut umat Islam berkumpul di masjid dalam rangka menjalankan ibadah salat jumat. Pun demikian juga anjuran mandi besar dan menggunakan wangi-wangian yang dianjurkan pada hari Jumat, serta doa setiap muslim pada hari itu yang pasti dikabulkan. Kedua, adalah pandangan terhadap orang Israel. Menurut penulis, al-Ghazali memaknai kata “Yahudi” dalam surah di atas sebagai orang-orang Israel.
2.    Surah al-Munâfiqûn
Pada awal penafsirannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kemunafikan adalah sifat tercela, terdapat kontradiksi antara keyakinan dengan perilaku seseorang. Ketika seseorang bersalah, ia mengubah penampilan dan ekspresi. Menurut al-Ghazali diantara bentuk kemunafikan adalah kepura-puraan dan sumpah palsu. Kemunafikan adalah akhlak yang buruk. Hal ini akibat dari kurangnya ketegasan dan pendirian dalam diri seorang. Seseorang yang mengerjakan kemunafikan adalah akibat dari sifat egois.
اِذَا جَآءَكَ الۡمُنٰفِقُوۡنَ قَالُوۡا نَشۡهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوۡلُ اللّٰهِ ‌ۘ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوۡلُهٗ ؕ وَاللّٰهُ يَشۡهَدُ اِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَـكٰذِبُوۡنَ‌
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”
Kemunafikan tidak akan berlangsung lama, atau tersembunyi. Cepat atau lambat, sebuah sikap kemunafikan akan terungkap. Terungkapnya kemunafikan kerap tercermin dari perilaku itu sendiri atau hal-hal kejadian yang tidak terduga.
Surah ini membuka keburukan dan kemunafikan orang-orang munafik Madinah yang dianggap berbuat kebajikan dan sudah lama mengaku bagian dari umat Islam. Pada kenyataanya, orang-orang munafik Madinah tersebut telah menebar benih-benih perselisihan antara orang-orang Makkah (muhajirin) dan orang-orang Madinah (ansar). Mereka menjadikan kejadian yang kecil lalu dibesar-besarkan untuk menyebarkan dan menyulut permusuhan. Hal ini digambarkan pada ayat 7
هُمُ الَّذِيۡنَ يَقُوۡلُوۡنَ لَا تُنۡفِقُوۡا عَلٰى مَنۡ عِنۡدَ رَسُوۡلِ اللّٰهِ حَتّٰى يَنۡفَضُّوۡا‌ؕ وَلِلّٰهِ خَزَآٮِٕنُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَا يَفۡقَهُوۡنَ‏
“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): ‘Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’. Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.”
Baik muslim Makkah dan Madinah, keduanya saat itu mengalami kesengsaraan. Muslim Makkah harus meninggalkan harta mereka di Makkah, sedangkan Muslim Madinah harus menerima mereka dengan segala keterbatasan. Tetapi, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik Madinah justru memberi komentar pedas terhadap muslim Makkah dan menghasut orang-orang Madinah dengan berkata: “Beri makan anjingmu, nanti dia akan memakanmu.” Perkataan Ubay lainnya dikutip dalam ayat ke 8
يَقُوۡلُوۡنَ لَٮِٕنۡ رَّجَعۡنَاۤ اِلَى الۡمَدِيۡنَةِ لَيُخۡرِجَنَّ الۡاَعَزُّ مِنۡهَا الۡاَذَلَّ  ‌ؕ وَلِلّٰهِ الۡعِزَّةُ وَلِرَسُوۡلِهٖ وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ وَلٰـكِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ لَا يَعۡلَمُوۡنَ
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah (dari peperangan Bani Mustalik), benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya’. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui”.
Kata-kata Ubay di atas adalah ingin mengacaukan, membelah orang-orang muslim dan melemahkan kekuatannya. Ubay sangat berambisi mengusir orang-orang mukmin muhajirin dari Madinah.
Dalam penafsiran al-Ghazali, surah al-Munâfiqûn ditutup dengan nasihat berharga untuk semua orang yang tulus yang terdapat pada ayat  9.[13]
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُلۡهِكُمۡ اَمۡوَالُكُمۡ وَلَاۤ اَوۡلَادُكُمۡ عَنۡ ذِكۡرِ اللّٰهِ‌ۚ وَمَنۡ يَّفۡعَلۡ ذٰلِكَ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Tema utama yang menjadi sorotan al-Ghazali dalam surah al-Munafiqun adalah tentang kemunafikan sebagai sifat yang tercela dan perlakuan orang-orang munafik Madinah kepada muslim Makkah. Selanjutnya, pada akhir penafsirannya, al-Ghazali mengutip ayat kesembilan dari surah al-Munafiqun sebagai nasihat yang mulia.
3.    Surah al-Taghâbûn
Dalam tafsirnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa surah ini dibuka dengan perintah kepada makhluk yang berada di alam raya untuk memuji Allah. Karena dengan memujiNya, itu berarti sebuah ketundukan kepadaNya. Tetapi, banyak manusia yang menolak Allah dan ajaranNya; menyangkal kekuasaan dan kedaulatanNya; dan tidak sedikit pula yang mencela utusan Allah (rasul Allah). Terkait hal ini, al-Ghazali mengutip surah al-Nahl ayat 4:
خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ نُّـطۡفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيۡمٌ مُّبِيۡنٌ
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata”
Surah ini menyoroti karakteristik perbuatan jahat, dalam ayat 2: “Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa sebuah tindakan yang “paradoks” adalah ketika manusia diciptakan oleh Allah tetapi ia ingkar kepadaNya. Telah banyak nikmat dan karunia yang telah Allah berikan dengan kemurahan. Tetapi beberapa orang menolak dengan memberi alasan yang sederhana, yakni: bahwa wahyu Allah hanya disampaikan oleh manusia, bukan malaikat. Oleh sebab itu, surah ini memberi peringatan pada ayat 5-6
اَلَمۡ يَاۡتِكُمۡ نَبَـؤُا الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡ قَبۡلُ فَذَاقُوۡا وَبَالَ اَمۡرِهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ‏  (5)ذٰ لِكَ بِاَنَّهٗ كَانَتۡ تَّاۡتِيۡهِمۡ رُسُلُهُمۡ بِالۡبَيِّنٰتِ فَقَالُوۡۤا اَبَشَرٌ يَّهۡدُوۡنَـنَا فَكَفَرُوۡا وَتَوَلَّوْا‌ وَّاسۡتَغۡنَى اللّٰهُ‌ ؕ وَاللّٰهُ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ    (6)
“Apakah belum datang kepadamu (hai orang-orang kafir) berita orang-orang kafir terdahulu. Maka mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih (5). Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka membawa keterangan-keterangan lalu mereka berkata: ‘Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?’ lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (6).”
Al-Ghazali selanjutnya menjelaskan bahwa dalam dunia modern saat ini, banyak orang terjebak di dalam dunia materialistik. Sehingga mereka tidak percaya akan adanya hari kebangkitan dan hanya dianggap sebagai omong kosong. Al-Ghazali mengutip ayat 7 dari surah ini:
زَعَمَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡۤا اَنۡ لَّنۡ يُّبۡـعَـثُـوۡا‌ ؕ قُلۡ بَلٰى وَرَبِّىۡ لَـتُبۡـعَـثُـنَّ ثُمَّ لَـتُنَـبَّـؤُنَّ بِمَا عَمِلۡـتُمۡ‌ؕ وَذٰ لِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيۡرٌ
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Sikap ketidakpercayaan terhadap hari akhir tidak hanya dialami oleh orang-orang atheis dan kafir, tetapi juga oleh pengikut agama lain: Yahudi dan Kristen. Mereka tidak dapat menerima ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menyajikan Islam dengan cara yang lebih efektif dan cerdas. Al-Ghazali kemudian mengutip ayat kedelapan:
فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ وَالنُّوۡرِ الَّذِىۡۤ اَنۡزَلۡنَا‌ؕ وَاللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ خَبِيۡرٌ
Kata “al-Nur” atau yang berarti cahaya pada ayat di atas adalah al-Qur’an. Dalam banyak ayat, Allah juga telah menjelaskan. Ayat ini menegaskan kewajiban seorang muslim untuk mengimani dan juga memahami al-Qur’an. Seorang muslim dituntut untuk dalam hidup sesuai dengan panduan al-Qur’an.
Surah yang membicarakan tentang hari penghisapan ini juga ditegaskan pada ayat 9.
يَوۡمَ يَجۡمَعُكُمۡ لِيَوۡمِ الۡجَمۡعِ‌ ذٰ لِكَ يَوۡمُ التَّغَابُنِ‌ ؕ وَمَنۡ يُّؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ وَيَعۡمَلۡ صَالِحًـا يُّكَفِّرۡ عَنۡهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُدۡخِلۡهُ جَنّٰتٍ تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا‌ ؕ ذٰ لِكَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِیْمُ
“ (Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”
Pada hari itu, lanjut al-Ghazali, manusia akan diperlihatkan segala kesalahannya. Mereka mengalami penyesalan yang begitu mendalam atas perbuatan yang telah dilakukan selama hidupnya. Manusia menyesali kehidupan yang terlewat begitu saja. Al-Ghazali kemudian mengutip sebuah hadis: “Banyak orang kehilangan dua hal: kesehatan dan waktu”.
Surah ini juga mengungkap tentang hubungan muslim Makkah dan Madinah yang terlibat pertengkaran dan permusuhan. Untuk menentramkan dan membesarkan hati kaum muslim, Allah menurunkan ayat ke 11:
مَاۤ اَصَابَ مِنۡ مُّصِيۡبَةٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِ‌ؕ وَمَنۡ يُّؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ يَهۡدِ قَلۡبَهٗ‌ؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ‏ 
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Muslim Makkah telah meninggalkan tempat tinggal dan tanah mereka guna menjadi pengikut Muhammad. Mereka tetap pada pendirian dan keyakinannya akan agama yang dibawa oleh Muhammad. Tidak semua orang dapat berbuat pengorbanan atau mendapat penghormatan seperti ini.
Beberapa muslim Makkah ada yang ragu-ragu, lebih memilih istri mereka dan anak-anak mereka. Sehingga mereka menetap di Makkah. Mereka menutup telinga akan panggilan tugas dan lebih memilih tinggal dengan orang-orang yang mereka cintai (istri dan anak). Berkaitan dengan hal itu, Allah menegur mereka sebagaimana dalam ayat 14:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّ مِنۡ اَزۡوَاجِكُمۡ وَاَوۡلَادِكُمۡ عَدُوًّا لَّكُمۡ فَاحۡذَرُوۡهُمۡ‌ۚ وَاِنۡ تَعۡفُوۡا وَتَصۡفَحُوۡا وَتَغۡفِرُوۡا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Menurut al-Ghazali, kenyamanan dalam hidup yang terlalu melekat pada seseorang dapat menyebabkan penghianatan. Surah ini telah menjelaskan pada ayat 15:
اِنَّمَاۤ اَمۡوَالُـكُمۡ وَاَوۡلَادُكُمۡ فِتۡنَةٌ   ‌ؕ وَاللّٰهُ عِنۡدَهٗۤ اَجۡرٌ عَظِيۡمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Diakhir penafsiran surah al-Taghabun, al-Ghazali menutup dengan uraian bahwa untuk melawan tindakan korupsi dan agresi membutuhkan kerja keras dan pengorbanan. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang setia dan memiliki keberanian dan kepercayaan diri. Sejarah telah menunjukkan bahwa penindasan hanya dapat ditaklukkan oleh keyakinan. Kemudian al-Ghazali mengutip ayat 16 sebagai nasihat penutup
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡ‌ؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ‏
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[14]
Dua tema utama yang menjadi perhatian al-Ghazali dari surah di atas adalah, pertama, sikap kaum kafir yang tidak mengindahkan perintah Allah dan rasulNya. Hal itu dibuktikan dengan sikap meremehkan utusan Allah (rasul) dan ketidakpercayaan terhadap hari akhir (hari kebangkitan). Tema kedua adalah posisi kelurga (isteri dan anak) yang pada saat tertentu menjadi cobaan bagi seorang suami.
4.    Surah al-Qâri’ah
Dalam surah ini, al-Ghazali menjelaskan sebelum datang  hari kebangkitan, akan datang suara bergemuruh dan letusan yang menggetarkan seluruh dunia dan akan didengar oleh semua orang. Al-Qur’an juga menjelaskan hal ini di ayat lain:
“Dan dengarkanlah (seruan) hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat. (Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya. Itulah hari akhir.” (QS. Qaf : 41-42).
وَاسۡتَمِعۡ يَوۡمَ يُنَادِ الۡمُنَادِ مِنۡ مَّكَانٍ قَرِيۡبٍۙ (41) يَوۡمَ يَسۡمَعُوۡنَ الصَّيۡحَةَ بِالۡحَـقِّ‌ ؕ ذٰ لِكَ يَوۡمُ الۡخُـرُوۡجِ‏ (42)
Seluruh manusia, saat itu akan bangkit dengan ketakutan dan kecemasan. Mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Surat ini menjelaskan:
اَلۡقَارِعَةُ (1) مَا الۡقَارِعَةُ‌ (2) وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا الۡقَارِعَةُ (3) يَوۡمَ يَكُوۡنُ النَّاسُ كَالۡفَرَاشِ الۡمَبۡثُوۡثِ (4) وَتَكُوۡنُ الۡجِبَالُ كَالۡعِهۡنِ الۡمَنۡفُوۡشِ (5)
“Hari Kiamat. Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia bagaikan anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.
Gunung-gunung hancur dengan sendirinya dan dan berubah hingga menjadi puing-puing. Orang-orang berpencar-pencar dan bertebaran bagaikan “ngengat” ke segala arah. Setiap dari mereka tidak mengetahui arah tujuan mereka.
Nasib mereka telah ditentukan:
فَاَمَّا مَنۡ ثَقُلَتۡ مَوَازِيۡنُهٗ (6) فَهُوَ فِىۡ عِيۡشَةٍ رَّاضِيَةٍ (7) وَاَمَّا مَنۡ خَفَّتۡ مَوَازِيۡنُهٗ ۙ (8)فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ(9)
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan kebaikannya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuasakan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan kebaikannya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah”.
Kata “Ibu” digunakan (fa ummuhu haawiyah) dalam metafora Bahasa Arab karena pada saat seseorang cemas, saat ingin mencari kenyamanan dan keamanan maka akan mencari dada ibunya. Menggunakan tersebut menurut penulis bermakna “kembali”.
Dalam surah ini, al-Ghazali menyoroti keadaan hari kiamat. Hal ini sangat terlihat saat ia berusaha menggambarkan suasana yang akan terjadi kelak. Ia juga mengutip ayat dari surah lain untuk menjelaskan hubungan (munasabah) ayat.[15]
5.    Surah al-Mâ’ûn
Pada pembukaan penafsiran surah ini, al-Ghazali menerangkan bahwa orang-orang ikhlas dan salih selalu bersedia membantu sesama. Agama mendorong umatnya untuk menyediakan bantuan kepada yang lemah, miskin, menyantuni anak yatim, dan menuntun mereka yang kehilangan arah dalam hidup.
Mengabaikan amalan ini dapat mengakibatkan pada lemahnya iman. Sehingga ideologi materialistik seperti komunis akan mudah menyusup. Menurut al-Ghazali, paham tersebut –komunis- telah menyapu sebagian wilayah di dunia ini dan telah banyak mendatangkan malapetaka.
Agama, seperti yang dikutip pada  surah, berarti: menyedekahkan kekayaan, bertoleransi, dan berkasih saying. Seperti yang dikatakan dalam surah ini:
اَرَءَيۡتَ الَّذِىۡ يُكَذِّبُ بِالدِّيۡنِؕ (1)فَذٰلِكَ الَّذِىۡ يَدُعُّ الۡيَتِيۡمَۙ (2)وَ لَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الۡمِسۡكِيۡنِؕ (3)
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Kesimpulan surah ini adalah, pertama, anjuran membantu orang miskin, karenahal tersebut adalah syarat dari keimanan. Kedua, perintah menegakkan salat. Ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang lalai. Mereka akan mendapat konsekuensinya.[16]
  1. Al-Masad
Surah ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras kepada paman Nabi Muhammad, Abu Lahab.
تَبَّتۡ يَدَاۤ اَبِىۡ لَهَبٍ وَّتَبَّؕ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”
Selanjutnya, al-Ghazali mengutip cerita sebab turunnya surah ini, nabi mengumpulkan kabilah-kabilah Arab dan menyerunya untuk beriman kepada Allah. Seketika itu juga, ia mendapat kecaman dan yang keras dari Abu Lahab. Maka turunlah surah al-Masad ini.
Al-Ghazali menceritakan kebencian Abu Lahab serta keluarganya kepada nabi. Oleh sebab itu, ayat 4 dari surah ini juga menyinggung siksa neraka yang akan dialami oleh isterinya.
وَّامۡرَاَ تُهٗ ؕ حَمَّالَةَ الۡحَطَبِ‌ۚ
“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”
Diakhir penafsiran surah al-Masad ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa Abu Lahab telah dibutakan untuk melihat kenyataan Muhammad sebagai anak yatim yang diasuh oleh kakeknya kemudian pamannya. Lahab tidak dapat menerima kenyataan ditunjuknya Muhammad sebagai seorang pembawa misi kenabian. Ia terlanjur berprasangka buruk dan “cemburu” melihat kehidupannya.[17]

Metode Tafsir Maudhû’î Abu Hayy al-Farmawi
Sebelum membahas pengertian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tafsir maudhu’i menurut Al-Farmawi, penulis memaparkan pengertian metode-metode tafsir secara umum. Sepanjang perkembangan ilmu tafsir telah lahir berbagai macam kitab tafsir yang disajikan oleh para ulama dengan menggunakan berbagai metode, metode-metode tersebut adalah; Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode Muqarran, dan Metode Maudhu’i. Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global atau penjelasan secara umum. Lain halnya dengan metode muqarran (perbandingan), metode ini adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh para penafsir sehingga terlihat jelas perbedaannya yang kemudian bisa dibandingkan.[18] Metode-metode yang telah dijelaskan diatas terutama metode tahlili adalah metode yang seringkali ditemukan dan hampir semua penafsir klasik memakai metode ini.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i menurt Al-Farmawi adalah tafsir yang menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama dengan kata lain sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat tersebut[19]. Di dalam metode ini seorang penafsir memberikan keterangan atau kejelasan serta mengambil sebuah kesimpulan. Sebagai contoh misalnya kajian tentang khamar dengan memakai metode tafsir maudhu’i seorang penafsir pertama-tama harus mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan khamar, kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, mengumpulkan asbab nuzul ayat sebagai keterangan dan kejelasan terhadap ayat yang dibahas, kemudian penafsir memberi kesimpulan dari beberapa ayat yang berkaitan dengan khamar.
Bentuk-Bentuk Kajian Tafsir Maudhu’i
Pada dasarnya menghimpun dan menyusun ayat-ayat menurut kronologi dilakukan untuk mengetahui pokok-pokok masalahnya. Dengan demikian komentar negatif bahwa di dalam al-Quran terdapat pengulangan bisa ditolak atau disanggah. Tafsir Maudhui mempunyai dua bentuk kajian yaitu tafsir maudhu’i per-surah dan tafsir maudhu’i per-tema.
1.    Tafsir Maudhu’i Per-Surah
Tafsir maudhui yang membahas satu surah secara utuh dan menyeluruh dan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus serta menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehinnga surah tersebut tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.[20]
2.    Tafsir Maudhu’i Per-Tema
Menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu kemudian ayat-ayat disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah suatu tema bahasan yang dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i.[21] Bentuk kajian maudhu’i per-tema seperti ini lah yang biasanya terbayang dipikiran kita ketika disebutkan tafsir maudhu’i dan Al-Farmawi menjadikan bentuk kajian tafsir tematik per-tema ini sebagai konsentrasi pembahasannya dalam menjelaskan tafsir maudhu’i.
Sejarah Perkembangan Tafsi Maudhu’i
Penafsiran al-Quran dengan al-Quran yang seringkali dikenal dengan tafsir bil-ma’tsur pada dasarnya telah memperlihatkan keselarasan ayat-ayat al-Quran. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran ini pada dasarnya menjadi cikal bakal atau bibit dari tafsir maudhu’i. Dalam perkembangan berikutnya benih atau bibit tafsir maudhu’i sangat banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, hanya saja masih dalam bentuknya yang sederhana, belum mengambil bentuk yang lebih tegas dan bisa dikatakan sebagai metode yang berdiri sendiri. Kadang-kadang masih dalam bentuk yang sangat ringkas seperti yang terdapat dalam tafsir karya Al-Fakhr Al-Razi karya Al-Qurtuby dan karya Ibu Al-Arabi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa metode maudhu’i ini adalah metode yang sebenarnya sudah ada sejak dulu kala dengan bentuknya yang masih sederhana yang belum dimaksudkan sebagai metode yang memiliki karakter metodelogis yang berdiri sendiri.[22]
Perkembangan tafsir pada masa klasik agak kurang peduli terhadap penafsiran al-Quran dengan cara tematik, ada dua faktor ketidakpedulian ini:
1.    Metode tematik ini mengarah kepada kajian spesialis yang bertujuan mengkaji satu tema bahasan. Para penafsir klasik tidak melakukan cara kajian yang seperti ini karena pada masa lalu spesialisasi belum menjadi tujuan kajian.
2.    Para penafsir klasik belum merasakan perlu dan pentingnya untuk melakukan topik-topik tertentu yang terdapat di dalam al-Quran. Hal ini disebabkan karena para panafsir masa lalu hafal al-Quran dan ilmu keislaman mereka sangat dalam serta mencakup semua aspek, oleh sebab itu mere berpotensi untuk menghubungakan satu ayat dengan ayat yang lain yang ia jelaskan melalui spesialisasi ilmunya. [23]
Pada perkembangan selanjutnya muncul perhatian dan minat untuk melakukan pembahasan baru berdasar corak tafsir maudhui, karena disebabkan oleh beberapa faktor:
1.    Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengandung bermacam-macam ilmu yang bernilai tinggi sehingga banyak tokoh ilmuan dan para penelit berupaya mencapai khazanah al-Quran tersebut.
2.    Banyaknya minat terhadap kajian al-Quran dari orang-orang non-Arab baik muslim ataupun non-muslim mempelajari masalah-masalah yang dikandung dalam al-Quran. [24]
Sekalipun bibit tafsir maudhu’i sudah ada semenjak dahulu akan tetapi cara kerjanya belum ditetapkan secara jelas, kajian masa lalu tersebut bisa dikatakan sebagai usaha untuk melahirkan metode ini. Batasan dan definisi yang jelas dan rinci mengenai metode maudhu’i ini baru muncul pada periode belakangan oleh alUstadz Dr. Ahmad Al-Sayyid Al-Kumy ketua jurusan Tafsir Universitas al-Azhar. Bersama beberapa rekan-rekan dosen dan murid-murid mereka di berbagai perguruan tinggi.[25]
Langkah-langkah Metode Maudhu’i
Langkah-langkah atau cara kerja tafsir maudhui dijelaskan oleh Al-Farmawi sebagai berikut[26]
1.    Menetapkan atau memilih tema yang akan dikaji secara maudhu’i
2.    Melacak dan mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut.
3.    Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa turunnya, disertai pengetahuan tentang sebab-sabab turunnya.
4.    Menjelaskan munasabah atau korelasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
5.    Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
6.    Melengkapi penjelasan ayat dengan hadis-hadis nabi, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan gamblang.
7.    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khas, yang muthlaq dengan muqayyad yang global dengan terperinci, yang nasikh dan yang mansukh sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaandan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat
Urgensi Tafsir Maudhu’i
  1. Menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan suatu topik masalah sehingga suatu ayat menjadi penafsir bagi ayat lainnya dan menjadikan metode tafsir maudhu’i dengan corak bilma’tsur suatu metode yang jauh dari kesalahan dan dekat dengan kebenaran.
  2. Dengan menghimpun beberapa atau sejumlah ayat al-Quran seorang penafsir akan mengetahui adanya keteraturan dan keserasian serta korelasi antara ayat-ayat tersebut, karenanya penafsir akan menjelaskan makna-makna dan petunjuk al-Quran tersebut seraya mengemukakan kelugasan dan keindahan bahasanya.
  3. Dengan menghimpun seluruh ayat atau sebagian ayat penafsir bisa memberikan buah penafsiran yang utuh dan sempurna untuk suatu masalah.
  4. Dengan menghimpun seluruh ayat atau sebagian ayat penafsir bisa menghapus anggapan terhadap adanya kontradiksi dalam ayat-ayat al-Quran.
  5. Corak kajian tafsir maudhu’i sesuai dengan semangat zaman modern yang menuntut agar kita bisa melahirkan suatu hukum yang bersifat universal untuk umat Islam yang bersumber dari al-Quran.
  6. Metode ini memungkinkan seseorang untuk mampu mengemukakan initi masalah dan segala aspeknya.
  7. Metode ini memungkinkan seseorang segera sampai kepada inti permasalahan yang dimaksud.
  8. Zaman modern ini sangat membutuhkan metode maudhu’i karena dengan metode ini memungkinkan seseorang untuk segera samapai kepada inti permasalahan dengan jalan yang singkat, praktis dan mudah.[27]
Hal-hal yang Harus diperhatikan Oleh Penafsir Maudhu’i
Ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang penafsir yang memakai metode maudhu’i ini, antara lain:
1.    Penafsir harus menyadari betul bahwa dengan menggunakan metode ini tidak berarti ia menafsirkan seluruh al-Quran.
2.    Penafsir harus ingat bahwa ia hanya ingin membahas satu masalah pokok bahasan sehingga tidak akan menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan.
3.    Penafsir harus memperhatikan tahapan-tahaan al-Quran dalam menurunkan hukumnya.
4.    Dalam menafsirkan suatu pokok masalah seorang penafsir harus secara konsisten menerapkan semua prinsip operasional metode maudhu’i.[28]
Contoh Tafsir Maudhu’i
Dalam bukunnya, al-Farmawi memberikan beberapa contoh penafsiran maudhu’i dengan mengemukakan beberapa tema, salah satunya adalah tema “ Memelihara Anak Yatim Menurut Al-Quran Al-Karim”. Berikut penulis mencoba menganalisa contoh penafsiran tersebut. Dalam contoh yang diuraikan akan terlihat bahwa al-Farmawi memakai langkah-langkah tafsir maudhu’i yang telah ditetapkannya.
1.    Menetapkan tema pembahasan dengan tema “ Memelihara Anak Yatim Menurut Al-Quran Al-Karim”
2.    Memperiodesisasikan ayat-ayat mengenai anak yatim kedalam periode mekah dan periode madinah berdasarkan tartib nuzulnya.
3.    Menyusun ayat-ayat tentang anak yatim sesuai dengan kronologis turunnya ayat
4.    Menjelaskan munasabah ayat.
5.    Memberikan tema terhadap beberapa pokok permasalahan seputar memelihara anak yatim, misalnya tema: “Pemeliharaan harta anak yatim”, “Pemeliharaan moran dan pendidikan anak yatim”, “Perintah menyayangi dan menyantuni anak yatim” dll.
6.    Menampilkan beberapa hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan pemeliharaan anak yatim
7.    Mempelajari ayat-ayat tentang anak yatim secara tematik dan menyeluruh.

Penutup
Kesimpulan makalah ini adalah:
Pertama, al-Ghazali menafsirkan seluruh surah dalam al-Qur’an menurut urutan surah. Metode tafsir maudhû’i yang diaplikasikan al-Ghazali dalam kitab Nahwa Tafsir Maudhû’î li Suwar al-Qur’an al-Karim adalah dengan menafsirkan seluruh surah dan menjelaskan tema-tema penting yang terdapat dalamnya. Dalam setiap surah, ia tidak menafsiri keseluruhan ayat, tetapi hanya beberapa ayat saja yang menurutnya menjadi poin penting dari surah tersebut.
Menurut al-Ghazali, setiap surah memiliki tema-tema penting. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa setiap ayat dalam suatu surah tidak berkaitan. Bahkan antara satu surah dengan surah yang lain memiliki hubungan (munasabah).
Kedua, al-Farmawi merumuskan metode tafsir maudhu’i dengan mengemukakan beberapa acuan yang menjadi satandar metode tafsir maudhu’i dengan memberikan langkah-langkah yang harus dilakukakan dalam tafsir maudhu’i, langkah-langkah tersebut harus diaplikasikan oleh penafsir tafsir maudhu’i, karena sebelum metode tafsir maudhu’i dicanangkan penafsiran dengan gaya awal ini sudah ada sejak zaman penafsir klasik yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, namun tidak ada patokan metodologis terhadap penafsiran yang seperti ini, sehingga kemudian al-Farmawi membuat standarisasi metode tafsir maudhu’i dalam kitabnya Bidayatu fî Tafsîr Maudhu’î yang di dalamnya terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan penafsir dalam tafsir maudhu’i.




[1] Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas dengan Teks: Metode Tafsir Tematis M. Baqir al-Shadr, (Surabaya: Penerbit PNM, 2010), h. 9
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), h. 175
[3] Kitab tafsir ini juga diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dengan judul A Thematic Commentary On The Qur’an, oleh penerbit Islamic Book Trust Selangor Malaysia pada tahun 2001
[4] Muhammad al-Ghazali lahir pada 22 Septerber 1917 di Mesir. Dibesarkan dilingkungan sederhana yang sibuk dengan aktivitas perdangan mengingat ayahnya sebagai seorang pedangan. Diantara gurunya yang berpengaruh adalah Syaikh Abdul Aziz Bilal, Syaikh Ibrahim Al-Gharbawi, Syaikh Abdul Azhim Al-Zarqani. Al-Ghazali wafat pada 9 Maret 1996. Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil “Mereka Yang Telah Pergi” dalam Buletin Risalah Tsulasa, edisi 2, tahun 2005
[5] Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, (Kairo: Nahdetmisr, 2005), h. 29
[6] Muhammad al-Ghozali, Kaifa Nata’amal ma’a Al-Qur’an, h. 41
[7] Selengkapnya dapat dibaca dalam, Muhammad al-Ghazali, Al-Mahawir al-Khamsah lî al-Qur’an al-Karîm, (Kairo: Dar al-Syuruq, tt)
[8] Abad Badruzaman “Beberapa Pemikiran Tafsir Muhammad al-Ghazali”, diunduh dari situs http://abualitya.wordpress.com pada 22/10/2014.
[9] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, (Selangor: Islamic Book Trust, 2001), h. viii
[10] Penulis mendasarkan pendapat pada paparan yang dikemukakan oleh Quraish Shihab mengenai metode tafsir maudhû’î yang dilakukan Mahmud Syaltut. Menurutnya, Mahmud Syaltut menafsirkan al-Qur’an bukan ayat demi ayat, tetapi menafsirkan surah demi surah dan mengambil petunjuk utama yang terkandung didalamnya. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 173
[11] Menurut penulis, metode penafsiran tematik al-Ghazali terhadap suatu surah sama seperti rumusan metode penafsiran tematik surah yang diulas oleh al-Farmawi dan juga Musthafa Muslim. Atau sebaliknya, baik al-Farmawi dan Musthofa merumuskan metode tafsir tematik surah setelah mencermati metodelogi al-Ghazali dalam tafsirnya. Setidaknya menurut Musthofa, ada empat tahapan dalam menafsirkan surah dan mengambil tema pokok dalam surah tersebut. Pertama, terlebih dahulu menjelaskan “seluk beluk” surah, baik kategori surah (Makiyah atau Madaniyah), sebab turunya surah atau ayat dan sebagainya. Kedua, berusaha mengetahui tema pokok yang paling utama atau menonjol dalam surah tersebut. Ketiga menafsirkan ayat dengan membagi ayat dalam surah menjadi beberapa bagian (memilih) dan menjelaskan pembicaraan ayat tersebut. Keempat, menghubungkan bagian-bagian ayat tersebut dan mengambil istinbat, tujuan pokok yang mendasar dari suatu surah. Musthafa Muslim, Mabâhis fî Tafsîr Maudhû’i, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), h. 40
[12] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 649-651
[13] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 652-653. Lihat sebab turunnya ayat ini, terutama ayat ke 8 yang menceritakan sikap Abdullah ibnn Ubay yang menebar kebencian kepada muslim Makkah. Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb Nuzûl al-Qur’an, (Riyad: Dar al-Maiman, 2005), h. 673
[14] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 654-657
[15] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 748
[16] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 757
[17] Muhammad al-Ghazali, A Thematic Commentary On The Qur’an, h. 764
[18] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar Terj : Suryan A.Jamrah (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) hal. 12-30
[19] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36
[20] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal.35
[21] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 36
[22] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 38- 40
[23] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41
[24] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 41-44
[25] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45
[26] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 45-46
[27] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 51-54
[28] Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar hal. 54-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar