Oleh: Ali Thaufan DS
Pada awal tahun 2015 setidaknya terdapat dua isu
menarik terkait hukum, yaitu eksekusi mati gembong narkoba. Enam terpidana mati
yakni: Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Rani Andriani alias Melisa
Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi),
Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias
Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WNI). Mereka harus menemui ajalnya
ditangan “algojo”
Isu menarik selain eksekusi mati di atas adalah
tersangkanya calon Kapolri Budi Gunawan, serta semua pimpinan komisi
pemberantasan korupsi (KPK) yang dilaporkan ke Polisi atas dugaan tindak pidana.
Sontak saja, dua hal ini menjadi buah bibir para pengamat, terutama politik dan
hukum. Dua hal ini pula menjadi ujian berat bagi presiden Joko Widodo.
Integritas dalam menegakkan hukum dan keadilan benar-benar diuji. Tulisan ini
secara khusus berupaya memaparkan hiruk pikuk, pro dan kontra soal hukuman mati
gembong narkoba.
Penulis menilai pada saat narkoba disalahgunakan
generasi bangsa, setiap orang akan mengutuknya. Penyalahgunaan narkoba
khususnya dikalangan anak-anak muda dianggap merusak masa depan mereka. Tetapi,
begitu eksekusi mati gembong digaungkan oleh pemerintah, ada beberapa pihak
justru tidak mendukung. Mereka yang tidak mendukung berdalih bahwa hukum mati
melanggar hak asasi manusia (HAM). Adapula yang beranggapan bahwa hukum mati
bukan solusi yang tepat untuk para gembong narkoba. Hukum mati tidak menjamin
para gembong narkoba jera.
Pro dan kontra pelaksanaan eksekusi mati para gembong
narkoba tentunya menjadi tekanan dan sekaligus dukungan bagi pemerintah.
Terhadap pihak yang kontra, pemerintah menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba
termasuk dalam kategori pelanggaran berat. Kasus narkoba jika ditanggapi dengan
“lembek” tidak akan pernah membuat jera pelakunya. Hal ini mengingatkan pada
peristiwa pada tahun-tahun sebelumnya, bahwa pemerintah –SBY pada saat itu- memberikan
grasi kepada “ratu narkoba” Schapelle Corby telah membuat
gembong narkoba “mendapat angin segar”. Saat itu, pemerintah mendapat kecaman
atas pemberian grasi. Pemerintah dianggap gagal mengatasi kasus penyalahgunaan
narkoba. Pemerintah pun dianggap tunduk pada ratu narkoba.
Keputusan eksekusi mati yang diambil
oleh pemerintah menyisahkan sebuah konsekuensi. Pemerintah –dalam hal ini
presiden- pun mendapat protes dari salah satu negara (Brazil) yang warganya
termasuk dalam eksekusi. Bentuk protes dilakukan dengan penarikan duta besar negara
yang berada di Indonesia. Namun demikian, langkah pemerintah yang tegas
–membunuh gembong narkoba- tetap mendapat apresiasi.
Hukuman mati dalam sejarah Indonesia
bukan hal yang baru. Pemerintahan sebelumnya telah melakukan hukum mati bagi
bermacam-macam terpidana. Koran Tempo pada 28 Januari 2015 memberitakan bahwa
pada era presiden Suharto 38 orang terpidana; presiden Abdurahman Wahid 3
orang; presiden Megawati 3 orang;
presiden SBY 8 orang; dan presiden Jokowi 6 orang (masih akan berlanjut). Pada
masa presiden Habibie tidak tercatat pelaksanaan hukuman mati. Dari 58 orang
jumlah di atas, terhitung sejak tahun 1979-2015, 35,2 % adalah jenis pinada
pembunuhan; 35,2 % tahanan politik; 21,1 % narkoba; dan 8,5 % terorisme. Namun
Koran Tempo memberi catatan bahwa eksekusi mati pada masa presiden Suharto bisa
jadi melebihi angka di atas, mengingat pada masa tersebut pemerintah terkesan
tertutup.
Hukuman mati bagi gembong narkoba yang
dilakukan pemerintah, menurut sebagian pihak terutama pakar hukum adalah tindakan
yang tepat. Pelanggaran gembong narkoba tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Dengan hukuman mati, diharapkan para gembong narkoba berpikir ulang atas
tidakan yang merugikan banyak orang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar