Jumat, 06 Februari 2015

Gembong Narkoba dan Hukum Mati

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada awal tahun 2015 setidaknya terdapat dua isu menarik terkait hukum, yaitu eksekusi mati gembong narkoba. Enam terpidana mati yakni: Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WNI). Mereka harus menemui ajalnya ditangan “algojo”

Isu menarik selain eksekusi mati di atas adalah tersangkanya calon Kapolri Budi Gunawan, serta semua pimpinan komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang dilaporkan ke Polisi atas dugaan tindak pidana. Sontak saja, dua hal ini menjadi buah bibir para pengamat, terutama politik dan hukum. Dua hal ini pula menjadi ujian berat bagi presiden Joko Widodo. Integritas dalam menegakkan hukum dan keadilan benar-benar diuji. Tulisan ini secara khusus berupaya memaparkan hiruk pikuk, pro dan kontra soal hukuman mati gembong narkoba.

Penulis menilai pada saat narkoba disalahgunakan generasi bangsa, setiap orang akan mengutuknya. Penyalahgunaan narkoba khususnya dikalangan anak-anak muda dianggap merusak masa depan mereka. Tetapi, begitu eksekusi mati gembong digaungkan oleh pemerintah, ada beberapa pihak justru tidak mendukung. Mereka yang tidak mendukung berdalih bahwa hukum mati melanggar hak asasi manusia (HAM). Adapula yang beranggapan bahwa hukum mati bukan solusi yang tepat untuk para gembong narkoba. Hukum mati tidak menjamin para gembong narkoba jera.

Pro dan kontra pelaksanaan eksekusi mati para gembong narkoba tentunya menjadi tekanan dan sekaligus dukungan bagi pemerintah. Terhadap pihak yang kontra, pemerintah menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba termasuk dalam kategori pelanggaran berat. Kasus narkoba jika ditanggapi dengan “lembek” tidak akan pernah membuat jera pelakunya. Hal ini mengingatkan pada peristiwa pada tahun-tahun sebelumnya, bahwa pemerintah –SBY pada saat itu- memberikan grasi kepada “ratu narkoba” Schapelle Corby telah membuat gembong narkoba “mendapat angin segar”. Saat itu, pemerintah mendapat kecaman atas pemberian grasi. Pemerintah dianggap gagal mengatasi kasus penyalahgunaan narkoba. Pemerintah pun dianggap tunduk pada ratu narkoba.

Keputusan eksekusi mati yang diambil oleh pemerintah menyisahkan sebuah konsekuensi. Pemerintah –dalam hal ini presiden- pun mendapat protes dari salah satu negara (Brazil) yang warganya termasuk dalam eksekusi. Bentuk protes dilakukan dengan penarikan duta besar negara yang berada di Indonesia. Namun demikian, langkah pemerintah yang tegas –membunuh gembong narkoba- tetap mendapat apresiasi.

Hukuman mati dalam sejarah Indonesia bukan hal yang baru. Pemerintahan sebelumnya telah melakukan hukum mati bagi bermacam-macam terpidana. Koran Tempo pada 28 Januari 2015 memberitakan bahwa pada era presiden Suharto 38 orang terpidana; presiden Abdurahman Wahid 3 orang; presiden Megawati  3 orang; presiden SBY 8 orang; dan presiden Jokowi 6 orang (masih akan berlanjut). Pada masa presiden Habibie tidak tercatat pelaksanaan hukuman mati. Dari 58 orang jumlah di atas, terhitung sejak tahun 1979-2015, 35,2 % adalah jenis pinada pembunuhan; 35,2 % tahanan politik; 21,1 % narkoba; dan 8,5 % terorisme. Namun Koran Tempo memberi catatan bahwa eksekusi mati pada masa presiden Suharto bisa jadi melebihi angka di atas, mengingat pada masa tersebut pemerintah terkesan tertutup.


Hukuman mati bagi gembong narkoba yang dilakukan pemerintah, menurut sebagian pihak terutama pakar hukum adalah tindakan yang tepat. Pelanggaran gembong narkoba tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan hukuman mati, diharapkan para gembong narkoba berpikir ulang atas tidakan yang merugikan banyak orang tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar